HOME

19 Januari, 2022

Studi Fikih (Hukum Islam)

DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

A.    Latar Belakang...................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah................................................................................ 1

C.    Tujuan .................................................................................................. 2


BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3

A.    Pengertian Fikih.................................................................................... 3

B.     Sumber Hukum Fikih........................................................................... 4

C.    Asas-asas hukum islam........................................................................ 10        

D.    Tujuan Hukum Islam............................................................................ 14

E.     Perkembangan Hukum Islam............................................................... 15


BAB III PENUTUP..................................................................................... 18

A.    Kesimpulan.......................................................................................... 18


Daftar Pustaka.............................................................................................. 19


BAB I

PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang

Pada umumnya Fiqh tidak pernah terlepas dari perdebatan oleh Para ulama Indonesia karna akan perbedaan pendapatnya tersebut(tentang Fiqh). Perbedaan yang di maksud adalah tentang  masalah Furu' (cabang)  dan ushul (pokok). Perbedaan itu sudah terjadi sejak zaman Raasulullah SAW. Dan di zaman ulama salafus shalih, dan mereka tidak saling bertengkar karenanya.

Dalam melaksanakan praktek ibadah, tentu kita harus menyertainya dengan dalil yang kuat, jelas dan tepat. Sehingga kita menjadi yakin jika ibadah kita akan di terima oleh Allah SWT. Karena agar dapat di terimanya suatu amalan  ibadah yang kita lakukan,maka kita harus memenuhi dua syarat, yakni : cara dalam melakukan suatu ibadah nya harus benar dan ikhlas. Kedua nya harus bersamaan, harus menjadi kesatuan yang utuh dan jangan sampai terpisahkan.

Keadaan fiqih yang demikian itu tampak menyatu dengan misi agamaIslam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapainyaketertiban dan keteraturan, dengan Rasulullah SAW. Sebagai aktor utamanyayang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut sebagai ilmu al-hal.Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi hukum Islam atau fiqihtersebut, maka muncullah serangkaian penelitian dan pengembangan hukum Islam, yaitu penelitian yang ingin melihat seberapa jauh produk-produk hukum Islam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman, dan bagaimanaseharusnya hukum Islam itu dikembangkan dalam rangka merespons danmenjawab secara konkret berbagai masalah yang timbul di masyarakat.Penelitian ini dinilai penting untuk dilakukan agar keberadaan hukum islamatau fiqih tetap akrab dan fungsional dalam memandu dan membimbing perjalanan umat.

                                                                          

B.           Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan fikih?

2.      Apa saja sumber hukum fikih?

3.      Apa saja asas-asas dalam fikih (hukum islam)?

4.      Bagaimana tujuan hukum islam?

5.      Bagaimana perkembangan hukum islam?


C.          Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian fikih

2.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum fikih

3.      Untuk mengetahui asas-asas dalam fikih (hukum islam)

4.      Untuk mengetahui tujuan hukum islam

5.      Untuk mengetahui perkembangan hukum islam


BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Fikih

Fiqih dalam (Bahasa Arab :فقه  ; translitersi: fiqh ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fiqih seperti imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Fiqih membahas tentang cara beribadah, prinsip rukun islam, dan hubungan antar manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam islam terdapat empat mazhab dari sunni yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut fakih.[2]

Secara Etimologi dalam Bahasa Arab, secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu merupakan ilmu yang mendalami hukum islam yang diperoleh melali dalil di Al-Qur’an dan sunnah.[3] Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum Syar’iyyah dan hubungan dengan kehidupan manusia sehari hari baik itu dalam ibadah maupun dalam muammalah. Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah “al-ilmu bil-ahkam asy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah”, ilmu tentang hukum-hukum syari’ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”. Terdapat sejymlah pengecualian terkait pendefinisi ini. Dari “asy-syar’iyyah”( bersifat syari’at), dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum selain syari’at, seperti ilmu tentang hukum alam, seperti gaya gravitasi bumi. Dari “al-amaliyyah” (bersifat praktis, diamalkan), ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat keyakinan atau akidah, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Dari “at-tafshiliyyah” (bersifat terperinci ), ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang didapat dari dalil-dalilnya yang “ijmali” (global), misalkan tentang bahwasannya kalimat perintah mengandung muatan kewajiban, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[4]


B.   Sumber Hukum Islam ( Fikih)

1.      Al Qur’an

Al Qur’an ialah wahyu Allah swt. yang merumakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk islam yang bernilai ibadah kepada Allah bila dibaca. Garis besar isi Al Qur’an ialah:

a.  Tauhid, kepercayan terhadap Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para RosulNya, hari kemudian, qadha dan qodar yang baik dan buruk.

b. Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.

c.  Janji dan ancaman, Al Qur’an menjanjikan pahal bagi orang yang mau menerima dan mengamalkan isi Al Qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.

d.             Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

e.  Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah yaitu orang-orang yang sholeh, seperti nabi-nabi dan rosul-rosul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah dan hukum-hukumNya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan teladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntutan akhlaq.

Al Qur’an sebagai dasar hukum. Allah swt menurunkan Al Qur’an berguna untuk dijadikan dasar hukum dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah:

فاستمسك بالذى اوحى اليك (الزخرف : 43)

“Maka berpeganglah kepada apa yang diwahyukan kepadamu”

Kita mempelajari ushul fiqih gunanya untuk mengetahui bagaimana mengambil hukum dari ayat-ayat Al Qur’an. Dalam Al Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain sebagai berikut:

1.Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jelas.

2.Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tudak jelas.

3.Ada yang tempatnya jelas, misalnya tentang menyapu muka dan tangan dalam tayamum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai di mana yang disapu.

Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, sekali penjelasan lebuh lanjut. Tidak ada yang berhak member penjelasan ini, kecuali Nabi Muhammad saw semata-mata, sebagaimana firman Allah.


2.      Sunnah

Menurut bahasa, sunnah berarti perjalanan, pekerjaan atau cara.  Menurut istilah syara’ mempunyai arti perkataan Nabi Muhammad saw, perbuatannya da keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh Nabi, tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatannya itu tiada terlarang hukumnya. Pembagian Sunnah:

a.  Sunnah Qouliyah. Yaitu perkataan Nabi Muhammad saw yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al Qur’an yang berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan, dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) ini dinamakan juga hadits Nabi saw. Sunnah qouliyah sering juga disebut dengan khabar. Jadi, sunnah qouliyah itu boleh dinamakan sunnah, hadits, dan khabar.

Dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan, dibagi menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.

1)  Hadits mutawatir, ialah khabar yang diriwayatkan oleh orang banyak tentang sesuatu yang dipercaya oleh panca indranya yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka. Maksudnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh golongan demi golongan sehingga dalam tingkatan dari sejak sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, dan seterusnya tidak kurang dari sepuluh orang yang mendengarkan atau meriwayatkannya sampai kepada rowi yang penghabisan yang menyusun kitab hadits itu, misalnya Bukhori, Muslim, Imam Malik, dan lain-lainnya.

Hadits mutawatir ini ada dua macam, yakni:

a)      Mutawatir Lafdhi, ialah mutawatir yang lafadz-lafadz haditsnya sama atau hampir sama

b)     Mutawatir maknawi, ialah yang di dalam kata dan artinya berbeda-beda, tetapi dapat diambil dari kumpulannya satu makna yang umum, yakni satu makna dan tujuan.

2) Hadits ahad, ialah hadits yang perawi-perawinya tidak mencapai syarat-syarat perawi hadits mutawatir. Dengan kata lain yaitu yang selain hadits mutawatir.

ditinjau dari segi kualitasnya, yakni sifat-sifat orang-orang yang meriwayatkannya, terbagi atas hadits shahih, hasan dan dhoif.

a) Hadits shahih, yang syaratnya yaitu sanadnya tidak terputus-putus; orang yang meriwayatkannya bersifat adil, sempurna ingatannya, dan berakhlaq baik; tidak ada cacat atau hal-hal yang diragukan terhadap perawi dan isi haditsnya; dan keadaanya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadits. Contohnya terdapat pada hadits-hadits Imam Bukhori dan Muslim

b) Hadits hasan, yaitu hadits yang memenuhi syarat hadits shahih, tetapi perawinya yang meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Di sini boleh diterima sekalipun tingkatan hafalnya agak kurang sempurna, asal tidak berpenyakit yang membahayakannya dan tidak berbuat ganjil (syadz),

c)  Hadits dhoif, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam hadits shahih dan hadits hasan.


b. Sunnah Fi’liyah. Yaitu perbuatan Nabi Muhammad saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadah. Sunnah fi’liyah terbagi sebagai berikut:

1)   Pekerjaan Nabi saw yang bersifat gerakan jiwa gerakan hati, dan gerakan tubuh, sperti bernapas, duduk, berjalan, dan sebagainya.

2)   Perbuatan Nabi saw yang bersifat kebiasaan, seperti cara-cara makan, tidur, dan sebagainya.

3)   Perbuatan Nabi saw yang khusus untuk beliau sendiri.

4)   Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti shalat dan haji.

5)   Pekerjaan yang dilakukan terhadap orang lain sebagai hukuman

6)   Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja.


c. Sunnah Taqririyah. Yaitu diamnya Nabi saw ketika melihat perbuatan para sahabat, baik merekakerjakan dihadapannya atau bukan dan sampai berita kepadanya.

Syarat sah taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq.


d.  Sunnah Hammiyah. Ialah sesuatu yang sudah diniatkan oleh Nabi, tetapi tidak jadi dikerjakan, misalnya beliau ingin puasa pada tanggal 9 Muharram, tetapi beliau telah wafat sebelum tanggal itu. Walaupun keinginan itu belum terlaksana , sebagian besar para ulama menganggap sunnah berpuasa pada tanggal 9 Muharram.


 Hujjah Sunnah.

Sunnah itu mempunyai fungsi menjelaskan maksud ayat-ayat Al Qur’an dan berdiri sendiri dalam menentukan sebagian daripada beberapa hukum.

a. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al Qur’an. Karena sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hukum masih merupakan garis besar yang memerlukan keterangan dari nabi.

b. Berdiri sendiri di dalam menentukan sebagian daripada beberapa hukum; Adakalanya di dalam Al Qur’an tidak kita dapati hukum suatu hal yang disebut oleh Rosulullah, misalnya tentang haramnya hewan yang berkuku tajam.

c. Kedudukan hadits/sunnah menyendiri mengatur hukum syara’ secara Qur’an, sebagaiman sabda Nabi saw.

Dengan demikan, dapat kita ketahui bahwa sunnah merupakan hujjah kedua sesudah Al Qur’an yang dapat dijadikan sumber hukum juga.


3.      Ijma’

Menurut bahasa, ijma’ artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah ialah kebulatan semua ahli ijtihad umat Muhammad, sesudah wafat pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).

Ijma’ itu menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al Qur’an dan Al Hadits. Dan tidak menjadi ijma’, kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam dan selama tidak menyalahi nash yang qath’i (kitabullah dan hadits mutawatir). Kehujjahan ijma’ juga berdasarkan pada dalil berikut.

يا ايها الذين آمنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم (النساء : 59)

“Wahai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, patuhilah Rasul, dan patuhilah orang-orang yang memerintah diantara kamu”

Sandaran ijma’ ada kalanya berupa dalil yang qath’i, yaitu Al Qur’an dan hadits mutawatir, dan ada kalanya berupa dalil dhanni yaitu hadits ahad dan qiyas karena ijma’ bukanlah dalil yang berdiri sendiri.

Ijma’ dabagi menjadi 2, yaitu:

a.  Ijma’ qauli (ucapan). Yaitu ijma’ dengan cara para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya, baik dengan lisan maupun tulisanyang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada masanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ qath’i.

b. Ijma’ sukuti (diam). Yaitu para ulama ijtihad tidak mengeluarkan pendapat atas mujtahid lain. Ijma’ ini disebut juga ijma’ dhanni.


4.      Qiyas.

Secara bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut.

Adapun firman Allah yang menyerukan untuk membandingkan sesuatu dengan yang lain.

فاعتبروا يآ اوالى الأبصار (الحشر : 2)

“hendaklah kamu mengambil i’tibar (ibarat=pelajaran) hai orang-orang yang berpikiran.”

Rukun qiyas:

a. Ashal yang menjadi pangkal/ukuran/tempat menyerupakan.

b.Far’un yang merupakan cabang yang diukur/diserupakan.

c. ‘illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.

d.  Hukum, yang ditetapkan pada far’i sesudah tetap pada Ashal.


 Macam-macam qiyas:

a.    Qiyas Aula, ialah yang ‘illatnya sendiri menetapkan adanya hukum, sementara cabang lebih pantas menerima hukum daripada ashal.

b.      Qiyas Musawi, ialah ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada ashal maupun hukum yang ada pada far’un

c.       Qiyas Adna, ialah adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum ashal.


C.          Asas-asas Hukum Islam

Yang dibicarakan dalam kesempatan ini hanya beberapa asas hukum islam. Tim pengkajian Hukum Islam Badan Binaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporan tahun 1983/1984 (Laporan 1983/1984 : 14-27) menyebut beberapa asas Hukum Islam yang (1)Bersifat Umum (2) Dalam lapangan hukum pidana (3) Dalam lapangan hukum perdata , sebagai contoh. Asas-asas hukum dilapangan Hukum tata negara, internasional dan lapangan-lapangan huku Islam lainnya tidak disebutkan dalam laporan itu.

1. Asas-asas umum

a. Asas keadilan

Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.[19]

b. Asas kepastian hukum

Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.

c. Asas kemanfaatan

Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.

2.   Asas dalam lapangan hukum pidana.

a. Asas legalitas

Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.

b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain

Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.

c. Asas praduga tak bersalah

Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.

3.   Asas dalam lapangan hukum perdata

a. Asas kebolehan (mubah)

asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.

b. Asas kemaslahatan hidup

Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.

c. Asas kebebasan dan kesukarelaan

Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.

d. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.

e. Asas kebajikan

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan Pihak ketiga dalam masyarakat.

f. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat

Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.

g. Asas adil dan berimbang

Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.

h. Asas mendahulukan kewajiban dari hak

Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.

i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain

Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.

j. Asas kemampuan berbuat atau bertindak

Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.

k. Asas kebebasan berusaha

Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.

l. Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa

Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.

m. Asas perlindungan hak

Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.

n. Asas hak milik berfungsi sosial

Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

o. Asas yang beritikad baik harus dilindungi

Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.

p. Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.

Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.

q. Asas mengatur dan memberi petunjuk

Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam

r. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.

Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.

4.   Asas-asas Hukum Perkawinan

a. Kesukarelaan

Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.

b. Persetujuan kedua belah pihak

Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.

c. Kebebasan memilih

d. Kemitraan suami isteri

Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.

e. Untuk selama-lamanya

Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.

f. Poligami terbuka

Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.

5.   Asas-asas Hukum Kewarisan

a. Asas Ijbari

Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.

b. Bilateral

Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.

c. Asas individual

Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.

d. Asas keadilan berimbang

Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

e. Asas kewarisan akibat kematian

Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.


D.          Tujuan Hukum Islam

Tujuan umum dari hukum islam adalah merealisasikan kehidupan manusia di alam ini lebih baik dengan mempriotaskan kebaikan, menolak, dan menghilangkan kesukaran. Tentunya untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan usaha-usaha yang nyata dengan mengikuti aturan-aturan yang telah tercantum dalam sumber-sumber hukum islam, yakni al-qur`an dan hadist. Adapun prinsip-prinsip yang harus ditegakkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:

1.  Umur dlaruriy, yaitu sesuatu yang harus ada demi tegak dan berdirinya kehidupan manusia. Karena hanya dengan kehidupan-kehidupan itu semua kemaslahatan bisa terealisir. Hal demikian hanya bisa dilaksanakan dengan perwujudan hak-hak dasar manusia, seperti terpeliharanya jiwa, agama, akal, dan harta benda. Tanpa demikian, maka tidak ada yang diharapkan dari kehidupan di dunia kecuali kehancuran.

2. Umur hajiyah, yaitu sesuatu yang diperlukan bagi tegaknya hukum dan implementasinya. Ketiadaannya akan menyulitkan manusia untuk melaksanakan kewajibanya secara  baik. Dalam memenuhi tuntunan kewajibanya, mukallaf memerlukan sarana dan prasarana yang menopang terlaksananya kewajiban itu. Tanpa sarana yang cukup, maka tuntunan tersebut tidak bisa dilaksanakan secara baik. Hanya dengan demikian, maka tuntunan hukum tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, walaupun pelaksaannya hanya menyentuh pokok-pokoknya saja.

3. Umur thsiniyah, yaitu keberadaan sesuatu akan menyebabakan tuntunan hukum bisa dilaksanakan lebih indah dan sempurna. Keberadaan umur yahsiniyah menyebabkan dalam pengimplementasian tuntunan itu menjadi lebih mudah dan lebih nyaman, tetapi seandainya tidak tersedia tidak akan menyebabkan terbelangkainaya tuntunan hukum.

Dalam kitab Al-Muwafaqot juz II, karya imam Abu Ishaq al-syatibi, tujuan hukum islam itu ada lima, yang disebut maqosid al-khomsah atau maqosid as-syariah. Adapun isinya yaitu:

1.menjaga agama

2.menjaga jiwa

3.menjaga akal

4.menjaga keturunan

5.menjaga harta

Tentunya semua itu bertujuan untuk mendapatkan keridhoan Allah, kebahagiaan baik di dunia dan akhirat, dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi semua laranganNya.


E.           Perkembangan Hukum Islam

Hukum islam selalu mengalami perkembangan dalam setiap proses perjalananya, yakni mulai pada zaman rosulullah hingga zaman sekarang. Dari masa kemasa  hukum islam selalu memiliki berbagai masalah yang berbeda-beda sesuai perkembangan zaman. Meskipun terjdi berbagai masalah yang rumit dan tentunya selalu berbeda dengan masalah yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, kita sebagai umat islam harus bersikap bijak dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan menjadikan dasar hukum utama, yaitu Al-quran dan hadist sebagai sumber rujukan, serta menjadikan ijmak  dan qiyas sebagai pelengkap, jika belum ditemukan solusi yang tepat.Adapun perkembangan hukum islam dibagi kedalam 3 periode[5] yaitu:

1.Periode Abad 1 H

Periode ini terjadi ketika Rosulullah masih hidup. Pada masa ini persoalan hukum yang dihadapi oleh umat muslim langsung ditentukan sendiri oleh Rosulullah SAW berdasarkan apa yang diterima nabi dari Allah SWT. Atau nabi menentukan sendiri hukum yang menjadi kebutuhan umat muslim pada waktu itu. Akan tetapi setelah rosulullah wafat, Al-Quran dan hadist yang menjadi sumber rujukan hukum islam terputus, karena dengan wafatnya rosulullah maka terpuslah wahyu yang turun dari Allah kepada nabi Muhammad. Maka dua hal inilah yang menjadi warisan serta pedoman bagi umat islam dalam menjalankan kehidupan baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan manusia. Seiring dengan perkembangan zaman persoalan yang timbul di kalangan kaum muslim semakin beragam,banyak masalah baru yang tidak ditemui oleh para sahabat pada saat rosulullah masih hidup, sedangkan dalam Al-Quran dan hadist juga tidak ditemukan jejak-jejak hukum. Ketika masalah ini terjadi, maka orang muslim tidak boleh pasrah dengan keadaan yang ada, tetapi sebaliknya kita dituntut untuk selalu berusaha mencari jawaban dari masalah yang terjadi. Ketika itu para sahabat terus berikhtiyar untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, yaitu dengan berusaha mencari jawaban dari AL-Quran dan hadist, ketika tidak ditemukan hukum langkah selanjutnya adalah bertanya kepada sahabat lain atau kepada orang-orang terdekat nabi seperti keluarga beliau. Jika masih belum ditemukan titik terangnya, langkah selanjutnya adalah dengan cara musyawaroh. Sebagian sahabat melakukan musyawaroh untuk mencapai kesepakatan dalam bentuk ijma`(kesepakatan para ulama` untuk menetapkan hukum).

2. Periode Abad I-IV H.

 Pada periode ini pemikiran umat islam dalam mencari hukum semakin berkembang, hal ini ditandai dengan lahirnya para mujtahid (ulama yang mampu melakukan ijtihad ) dari berbagai kalangan. Selain pemikiran umat islam yang terus berkembang masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat juga semakin variatif dan hukumnya sulit dikenali secara langsung dalam Al-Quran dan hadist. Maka ini adalah salah satu faktor yang mendorong para ulama` yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad, dengan mengerahkan semua kemampuan untuk mendapatkan istinbath hukum sesuai dengan pendekatan, dan teknik  masing-masing para mujtahid.

Pada periode ini pula berkembang metodologi pengembangan hokum islam sebagaimana yang dilakukan oleh al Syafi`I dengan kitab al Risalahnya[6]. Sebagianulama` memperbolehkan mengambil istinbathhanya dari  hadist-hadist, dan sekalipun hadist itu sifatnya dhoif. Akan tetapi untuk sebagian ulama yang lain yang memiliki pengetahuan minim tentang hadist mereka menggunakan pendekatan ro`yu (rasional) dengan menggunakan berbagai metodologi yang dikuasai. Akan tetapi pada masa ini terjadi banyak pendapat sehingga terjadi banyak perbedaan madhab yang berkembang di kalangan umat.

3. Periode Abad V Samapai Sekarang

Pada masa ini perkembangan produk hukum mencapai anti klimaks. Para ulama`  mulai jarang menggunakan originalitas karyanya dalam karangan kitab, akan tetapi mereka sudah mulai produktif dalam mengikuti karya yang telah ada sebagai produk pengembangan. Pada dasarnya tidak ada ulama`  yang bisa menghentikan kegiatan ijtihad, karena itu adalah bagian dari hak dasar manusia.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
  2. Pengertian Bid'ah
  3. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  4. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  5. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  6. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  7. Studi Al-Qur'an
  8. Studi Fikih (Hukum Islam)
  9. Urgensi Pengantar Studi Islam
  10. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fiqh berasal dari bahasa faqiya-yafqohu-faqihun, yang artinya mengetahui, memahami sesuatu. Menurut istilah, fiqh adalah sekelompok hukum syariat yang berpautan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash AL-Quran dan As sunnah , bila ada nash dari AL-Quran atau As sunnahyang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut , atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al-Quran atau As sunnah.

Agama pada umumnya dan islam pada khususnya dewasa ini semakin dituntut peranannya untuk menjadi pemandu dan pengarah kehidupan manusia agar tidak terperosok kepada keadaan yang merugikan dan menjatuhkan martabatnya sebagai makhluk yang mulia. Berkembangnya berbagai aliran mazhab dalam fiqh, adalah karena perbedaan dalam ushul fiqh-nya, setidaknya berbeda dalam penekanan penggunaan salah satu metodenya. Ijtihad sebagai dinamisator hukum islam yang memberikan peluang pada kreatifitas individu yang mempunyai syarat untuk memberikan interpretasi terhadap alquran dan alsunnah serta membuktikan bahwa islam adalah adil, memberi rahmat, maslahat dan menggandung hikkmah. Hal ini memerlukan metode agar bisa meraih kebenaran yang lebih tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Ramulyo, Moh. Idris. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: PT. Sinar Grafindo. 1995.

Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996

Nata, AH Abbudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1998 Rifa’I, Mohammad. Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif. 1973.

Khamzah, M. Modul Fiqih Madrasah Aliyah. Akik Pustaka.


Footnoot

[1] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116.html diakses tanggal 18 september 2017

[2]  KH.Muhammad Wafi,lc,M,Si, 02 februari 2009

[3] Al-Qur’an wajib menjadi dalil syar’i yang pertama- lajnah an-Nadwah al-ilmiyyah (LNI) PP. AL Anwar

[4] I’anah ath-thalibin

[5]KadirAbd, DirosatIslamiyah, (sidoarjo:Dwiputrapustaka jaya,2016), 184

[6]Ibid, Dirosat Islamiyah.186 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...