HOME

23 Januari, 2022

Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf

DAFTAR ISI

COVER............................................................................................... i

KATA PENGANTAR.......................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1

C. Tujuan............................................................................................ 2

BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................... 3

A. Mahabbah dalam Tasawuf............................................................. 3

B. Ma’rifat dalam Tasawuf................................................................. 6

C. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan

 D. Ilmu Mahabbah dan Ma’rifat...................................... ………......11

BAB 3 KESIMPULAN....................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 18


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

“Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur  kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).

Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal.Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifat.  

Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.

B.     RUMUSAN MASALAH

Sebelum lebih lanjut mengenai pembahasan dalam pembuatan makalah ini terlebih dahulu kita akan menyampaikan beberapa permasalahan atau pembahasan yang akan kita bahas dalam makalah ini, diantaranya:

1.      Bagaimana Pengertian, Tujuan, Kedudukan, dan alat untuk mencapai Mahabbah dalam Tasawuf ?

2.      Bagaimana Pengertian, Tujuan, Kedudukan, dan alat untuk mencapai Ma’rifat dalam Tasawuf ?

3.      Siapa saja tokoh-tokoh yang mengembangkan doktrin Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf ?

C.    TUJUAN

Dengan bebrapa permaslaahan yang telah kami sebutkan di atas diahrapkan kita dapat memahami beberapa hal berikut ini:

1.     Untuk mengetahui Pengertian, Tujuan, Kedudukan Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf

2.     Untuk mengetahui Alat untuk Mencapai Ma’rifat dan Mahabbah

3.     Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang mengembangkan ilmu ma’rifat dan mahabbah dalam tasawuf


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Mahabbah dalam Tasawuf

1.      Pengertian Mahabbah

Secara terminologi, Mahabbah berarti cinta kepada Allah SWT. Sedangkan menurut pendapat dari sebagian sufi, Mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang diinginkan serta disenanginya. Menurut Al-Ghazali, Mahabbah adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan benci.[1]

Menurut Abu Yazid al-Busthami, mahabbah adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sedangkan menurut Rabiah al-Adawiyah, Mahabbah memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

a.      Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

c.       Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.[2]

Menurut Abu Nahsr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta[3] yaitu: Pertama, cinta orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (dzikir) yang terus menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka teradap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan, dan kekuasan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri yang lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi.

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.

Sedangkan menurut Zunnun al-Misry, Mahabbah adalah mencintai apa yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci Allah, mengerjakan secara paripurna apa yang diperintahkan, dan meninggalkan segala sesuatu yang akan membuat kita jauh dari Allah, tidak takut pada apapun selain Allah, dan bersifat lembut terhadap saudara dan bersifat keras terhadap musuh-musuh Allah, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal.

Dengan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang mencintai.

2.      Tujuan Mahabbah

Mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggu dengan tercpainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[4]

Kata Mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Jadi, Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.

3.      Kedudukan Mahabbah

Dibandingkan dengan Ma’rifat, roh Mahabbah lebih tinggi tingkatannya dari Ma’rifah. Karena Ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan pada Tuhan melalui mata hati (al-qolb), sedangkan Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan tuhan melalui cinta. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali Mahabbah merupakan manifestasi Ma’rifah kepada Tuhan.[5]

4.      Alat untuk Mencapai Mahabbah

Para ahli tasawuf tasawuf menggunakan pendekatan psikologi untuk mencapai mahabbah, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifat oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Quraisy bahwa, ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan[6], yaitu:

a.      Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.

b.      Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.

c.       Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.

Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencapai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi cinta kepada Tuhan.[7] Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu, sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah SWT berfirman:

وَيَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ   ۗ  قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَاۤ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Artinya:"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh, katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 85)

فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ

Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS. Al-Hijr 15: Ayat 29)

Selanjutnya, Rasulullah juga bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yaitu:

“Sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segmpal daging), pada waktu juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk), pada waktu empat puluh hari juga, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”.(HR. Bukhari-Muslim).

Dua ayat dan satu hadist tersebut selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahkan roh oleh Tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.[8]


B.     Ma’rifat dalam Tasawuf

1.      Pengertian Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya prngetahuan atau pengalaman.[9] Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan tasawuf, maka istilah ma’rifat disini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam tasawuf. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah yang berbunyi: “ man ‘Arafa Nafsahu. Faqod ‘Arafa Rabbahu”, (artinya: siapa yang mengenal dirinya, maka sesungguhnyadia telah mengenal Tuhannya)[10] dan ma’rifat ini dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[11] Menurut Harun Nasution dalam falsafat dan Mistisisme dalam Islam. “ Ma’rifat adalah mengetahui tuhan dari dekat, sehungga hati sanubari dapat melihat Tuhan”.

Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat ahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang  maujud berasal dari satu. Selanjutnya Ma’rifat digunakan untuk mrnunjukkan pada salah satu tingkatan dalam Tasawuf. Dalam arti sufistik ini, Ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan menegani Tuhan: melalui hati dan sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yan diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[12]

Ma’rifat menurut al-Ghozali adalah keinginan untuk mengenal zat, sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan serta menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah SWT, karena sangat sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah serta ijma’ ummat. Dr. Mustafa Zahri menemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan, “ma’rifat adalah ketetapan hati dalam mempercayai hadirnya)wujud yang wajib hadirnya adanya (Allah) yang segala kesempurnaannya.”

Asy-SyekhIhsan Muhammad Dahlan al-Kadiry mengemukakan pendapat Abuth Thayyib as-Saamiriy yang mengatakan: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Illahi”

Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad Bin Abdillah yang mengatakan: “Ma’rifat membuat ketenangan hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”                                                                                                        

Jadi, ma’rifat adalah sadar kepada Allah SWT, yakni hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti: melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir, dan sebagainya, semua adalah Allah, yang menciptakan dan yang menggerakkan.jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah. Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari.[13]

2.      Tujuan Ma’rifat

Orang yang berma’rifah kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagai makhluk yang lemah dan tanpa daya, manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas pertolongab dan izin dari Allah Yang Maha Perkasa. Karena itu ia pun selalu mencari jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya guna mendapatkan pertolongan, perlindungan, dan karunia-Nya. Sedang apapun yang dapat menghalangi jalannya untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, ia singkirkan jauh-jauh dari lubuk hatinya, seperti sifat serakah kepada dunia, kikir sombong, riya’, bakhil, dan berbagai sifat tercela lainnya.

Menurut sorang ahli Ma’rifat terkenal al-Junaidi, bahwas seseorang belum bisa disebut Ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat:

a.    Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.

b.      Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW (al-Hadis).

c.       Berserah diri kepada Allah, dalam hal mengendalikan hawa nafsunya.

d.      Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak akan pasti kembali kepada-Nya.

Adapun menurut Imam al-Ghazali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya’ Ulumudin, di sana disebutkan bahwa ada 4 hal yang harusdikenal dan dipelajari oleh seseorang yang berma’rifat kepada Allah. Keekmpat hal tersebut adalah:[14]

a.   Mengenal siapa dirinya sebagai hamba, maka ia harus menyembah tuhan-Nya.

b.   Menegnal siapa Tuhannya Maka Dia harus disembah.

c.  Menegnal duinianya, maka harus digunakan sebgai kesembpatan untuk mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan yang pernah dilakukan semasa hidupnya.

3.      Kedudukan Ma’rifat

Sebagaimana dengan halnya mahabba, ma’rifat ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hal. Dalam literature barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan al-Junaidi, ma’rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam risalah al-Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara itu al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘ulumudin memandnag ma’rifah datang sebelum mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakanbahwa ma’rifah dan mahabbah meruoakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbahdan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.[15]

Dengan demikian, kelihatannya yang lebih mudah dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan al-kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.

4.      Alat untuk Ma’rifah

Alat untuk mencapai ma’rifah adalah al-Qalb (hati). Menurut al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yag berbentuk jantung pisang yang terletak di rongga dada sebelah kiri dan berisis darah hitam kental.

Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhi. Hal ini sesuai dengan pernyataannya dalam kitab ihya’’ulum ad-Din.

“qalb adalah dzat yang halus bersifat ketuhanan an rohani, bagi sifat-sifat tersebutdengan qalb jasmaniah ini berkaitan dan dzat yang halus trsebut merupakan hakikat manusia, dan dia bagian dari diri manusia yang menemukan dan mengetahui, dan diapula yangmenerima perintah agama dan yang disiksa”.

Demikian juga menurut al-Qusyairi, qalb terdapat ruh dan sirr. Sirr merupakan alat musyahadah (menyaksikan alam ghaib), sedang ruh merupakan alat mahabbah (mencintai Tuhan). Sedang al-Qalb tempat pengetahuan (ma’rifah).

Ia (hati) adalah tempat menyaksikan sebagaimana ruh adalah tempat cinta dan hati adalah tempat pengetahuan. Oleh Karena itu Abu Hamid al-Ghazali mengumpamakan qalb sebagai kaca cermin, di mana kaca cermin dapat menghasilkan gambar kebenaran dari segala hal. Al-Qalb sebagai cermin mampu menampakkan gambar kebenaran dari segala hal, termasuk hal yang tertulisdi dalam lauh al-mahfudz.

Gambar kebenaran atau tulisan akan tampak di dalam hati, manakala hati itu tidak terdapat penghalang. Ada beberapa penghalang yang menyebabkanhati itu tidak berfungsi sebagai cermin atau setidaknya fungsinya menjadi berkurang atau gambarnya menjadi kurang jelas. Penghalang itu adalah pertama, kekurang-sempurnaan hati sehingga tidak bisa menampakkan gambar pengetahuan. Kekurang sempurnaan hati ini misalnya hati anak-anak. Kedua, kotoran maksiat yang menumpuk diatas permukaan hati. Ketiga, hati tidak lurus kea rah yang dituju. Hati seseorang yang shaleh dan taat misalnya, tidak akan muncu gambar kebenaran karena tidak diarahkan pada kebenaran itu sendiri. Keempat, keyakinnan yang dibawa sejka kecilmelalui taqlid yang terlanjur menempel di hati sehingga menghalangi kebenaran muncul kedalam hati. Hal seperti ini banyak dialami oleh mereka yang fanatik terhadap golongan atau mazdhabnya. Kelima, tidak tahu arah terhadap gambar kebenaran yang dicari.

Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takahlli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiatmelalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahallli yaitu menghiasi diri dengan akhalk yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:

فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ

Artinya: “tatkala Tuhannya Nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan. (QS. Al-A’raf, 7: 143)

Kemungkinan manusia mencapai tajjali atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapet pula dilihat dari syarat ayat berikut ini:

نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ

Artinya: cahaya diatas cahaya, Allah mengkaruniakan cahayanya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Nur: 35)

Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang  yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dsngan hati yang dilimpahi cahaya, ia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antene parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dan Tuhan. Allah berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Dan di atas yang berilmu pengetahuan ada lagi Yang Maha Mengetahui (Allah SWT). (QS. Yusuf, 12:76)

Ma’rifah yang dicapai seseorang itu terkadang diberi nama yang bermacam-macam. Imam al-Syarbasi (pancaran). Ibn Sina menyebut al-faid (limpahan). Sementara di kalangan dunia pesantren dikenal dengan istilah futuh (pembuka), dan di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan nama ilmu laduni, dan di kalangan kebatinan disebut wangsit.

Menurut Dzunun Al-Mishriy yang mnegatakan: alat untuk mencapai ma’rifah ada 3 macam : yakni Qalby (hati), Sirr (perasaan), dan rub hal tidak beda jauh dengan apa yang dikatakan oleh para sufi. Sedanghkan tanda-tanda yang dimiliki oleh shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:

a.       Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b.      Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf, belum tentu benar.

c.       Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnaya kepada Allah SWT, sehungga Asy-Syekh Muhammad bin al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, Karena selalu merasa bersama-sama dengan Tuhan-nya.


C.    Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Ilmu Mahabbah dan Ma’rifat

1.      Tokoh yang Mengembangkan Ilmu  Mahabbah

Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran Mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah.[16] Hal ini didasarkan pada ungkapan yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.

Rabiah al-Adawiyah adalah sosok sufi perempuan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H.[17] ia berasal dari keluarga miskin, ditinggal mati oleh ayahnya ketika masih kanak-kanak, dan dirundung keprihatinan hidup di masa remajanya. Ia dilahirkan dimana tidak ada sesuatu apapun untuk dimakan dan yang dapat dijual. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan telah habis.

Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh pejabat dan dijual dengan harga 6 dirham. Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah majikannya, sedangkan malam harinya ia selalu berdoa. Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabi’ah, ketika Rabi’ah berdoa kepada Allah: “Ya Rabbi, engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku mengabdi kepadanya, seandainnya aku bebas pasti akan kupersembahkan seluruh waktu dalam hidupku untuk berdoa kepada-Mu”. Tiba-tiba tampak cahaya di dekat kepalanya, dan melihat itu majikannya sangat ketakutan, dan esok harinya Rabi’ah dibebaskan.[18]

Dalam hidup selanjutnya, ia banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak bantuan material yang diberikan kepadanya. Selain itu juga ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah SWT dan selalu menolak lamaran pria salih dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi milik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”.[19]

Rabiah dipandang sebagai pelapor tasawuf Mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah SWT). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ibadah ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau penuh harap akan pahala dan surge, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan-Nya yang azali (wujud abadi tanpa awal). Mahabbah sebagai martabat untuk mencapai tingkat Ma’rifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi’ah setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat ridho (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.

Bagi Rabi’ah, dorongan Mahabbah kepada Allah berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah untuk dipuja dan dicintai. Mahabbah disini bertujuan untuk melihat keindahan Allah SWT. Puncak pertemuan Mahabbah antara hamba dan cinta kepada Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya.

Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan suatu corak tasawuf yang baru dizamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri byang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[20]

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, didalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkanlah aku darinya. Tapi, sekirannya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi”[21].

Begitu besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Taka ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun. Begitu juga, tidak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Allah SWT semata. Hal ini juga ia tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[22] Luapan cinta itu sebagaimana terucap dalam syair-syairnya:

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, cinta karena diriku adalah keadaanku yang selalu mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu. Pujianku bukanlah bagiku, bagi-Mu lah semua pujian itu. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehariban-Mu, Engkau harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku, hatiku enggan mencintai selain Engkau”.

“Aku membawa obor dan seember air, untuk membakar surge dan memadamkan neraka karena aku ingin manusia beribadah dan beramal bukan karena ingin mendapat surga-Mu dan menjauhkan neraka-Mu, tapi semata-mata karena engkau”.

2.      Tokoh yang Mengembangkan Ilmu Ma’rifat

Dalam literatur Tasawuf di jumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham Ma’rifah, Yaitu Imam al-Ghazali dan Zun-al Nun al- Misri.

Al-Ghazali lahir 1095 M di Ghazaleh,suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di madrasah al-Nisamiah Nisyafur  Setelah mempelajari ilmu agama,ia mempelajari ilmu teologi,ilmu pengetahuan alam,filsafat dan lain lain, akhirnya ia memilih jalan tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus ditahun 1105M, dan meninggal disana  tahun1111 M.[23]

Zun al-Msri lahirnya tidak banyak diketahui,yang di ketahui hanya wafatnya tahun 860M berasal dariNaubah negeri  yang terletak Sudan dan Mesir. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan.Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit,menuruti garis perintah yang di turunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.[24]

Ia disebut “Zunnun” yang artinya “yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata  yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnu  menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: “Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata dimulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut. Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh pernah melakukan bid’ah, sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili dihadapan Khalifah al-Mutawakkil (khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H/ 847 M – 247 H / 861 M). zunnun dipenjara selama 40 hari. Konon ketika wafatnya tahun 860 M, tatkala orang-orang mengusung jenazahnya, muncullah sekawan burning hijau yang memayungi jenazahnya dan seluruh pengiring jenazah dengan sayap-sayap hijau burung tersebut. Dan pada hari kedua, orang-orang menemukan tulisan pada nisan makam beliau, “Zunnun adalah kekasih Allah, diwafatkan karena Rindu” dan setiap kali orang akan menghapus tulisan itu, maka muncul kembali seperti sedia kala.

Menurut Hamka beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ke-tiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis yang diperintahkan, dan takut berpaling dari jalan yang benar.

Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham marifah dapat di ikuti dari pendapat pendapatnya. Al Ghazali mengatakan marifah adalah tampak jelas rahasia rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencangkup segala yang ada Lebih lanjut al Ghazali mengatakan, ma’rifah adalah  Memandang kepada wajah(rahasia) Allah.

Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai marifah tentang Tuhan,Yaitu arif tidak akan mengatakan ya Allah atau Ya Rabb karena memanggil Tuhan dengan kata kata serupa ini  menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang Tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.

Tetapi bagi al-Ghazali marifah urutannya terlebih dahulu dari pada mahabah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namun mahabbah  yang di maksud al Ghazali berlainan dengan mahabbah yang di ucapkan oleh Rabi’ah al- Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada seseorang yang berbuat baik kepadanya,cinta yang timbul dari kasih dan Rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup,rezeki,kesenangan dan lain lain. Al Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma,rifah danmahabah itulah setinggi tinggi tingkat yang dapat di capai seorang sufi. Dan pengetahuan yang di peroleh dari marifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang di peroleh dengan akal.

Adapun ma’rifat yang diajukan oleh Zun al-Nun al-Misri adalah pengethaun hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifat hanya terdapat pada kamu sufi yang snaggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan yang serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kepada kaum sufi. Ma’rifah dimasukkan tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya pebuh dnegan cahaya. Ketika Zun al-Nun al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhsn, ia menjawab “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tau Tuhan” ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kehendak dan rahmat Tuhan.  Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada shufiyang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seseorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabidan yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah. “memikirkan zat Allah adalah kebodohan, mengisyaratkan sesuatu kepada-Nya adalah kesyirikan, dan hakikat ma’rifat adalah kebingungan”

Zunnun ber mutawatta’ dan mempelajari disiplin ilmu fiqh kepada Malik ibn Anas, dan Zunnun pernah mengatakan:

“aku menempuh perjalanan 3 kali dan mendapatkan 3 ilmu. Pada pejalanan pertama aku dapatkan ilmu yang bisa diterima kalangan awam dan khass, pada perjalanan kedua aku dapatkan ilmu yang hanya yang bisa diterima kalangan khass, dan pada perjalanan yang ketiga aku dapatkan ilmu yang tidak bisa diterima oleh kalangan awam maupun khass. Maka tinggalah aku hampa papa seorang diri”

Maka dari pernyataan diatas itu Zunnun pun membagi tingkatan ma’rifat dalam 3 tingkatan, yaitu yang pertama adalah tingkat awam, dan yang kedua adalah tingkat ulama’ dan yang ketiga adalah tingkat sufi.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

KESIMPULAN

Pengertian mahabbah secara terminology berarti cinta kepada Allah. Sedangkan menurut pendapat dari sebagian sufi, cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang diinginkan serta disenanginya.

Pengertian ma’rifat berasal dari kata “arafa” yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allahketika Shufi mencapai maqam dalam tasawuf.  

Alat untuk mencapai mahabbah dan ma’rifat yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Sedangkan alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu al-Qalb, roh dan Sirr.

Robi’ah al-Adawiyah dan mahabbah: sosok sufi perempuan yang snagat dikenal dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua hijriyah, dan meninggal pada tahun 185 H, ia berasal dari keluarga miskin, ia ditinggal mati ayahnya selagi ia masih kanak-kanak, dan dirundung keperihatinan hidup pada masa remajanya.

Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat yaitu al-Ghazali dan Dzun al-Nun al-Misri.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa. Akhlak Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia). 1997.

Alberry, A.J. Pasang Surut Aliran Tasawuf.  (Bandung: Mizan) 1985.

Al-Ghazali. Ihya Ulumuddi.  (Beirut: Dar al-Ma’rifah)

Aththahal.  Tadzkirat al-Aul.  (Mesir: Al-Ma’arif)

ath-Thusi, Abu Nashr as-Sarraj. al-Luma’. (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah). 1960.

IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra Utara)

Mahmud , Abdul Halim.  At-Tasawuf Fi Al-Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2002.

Mas’ud, Ali. Akhlak Tasawuf  (Surabaya: UIN SA Press). 2014.

Mustofa. Akhlak Tasawuf . (Bandung: Pustaka Setia). 2010.

Nasution, Harun. Filsafat dan Materialisme dalam Islam. cetakan III.  (Jakarta: Bulan Bintang). 1983.

Nata, Abuddin.  Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). 2013.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2009.


Footnoode

[1] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), h. 29.

[2] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h.240.

[3] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’ (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), h. 68-88.

[4] Abdul Halim Mahmud, At-Tasawuf Fi Al-Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 95.

[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 110.

[6] Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf  (Surabaya: UIN SA Press, 2014), h.147.

[7] Ibid, 147.

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 184.

[9] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra Utara, 1983), h. 122

[10] Labib MZ, Syarah Alhikam Ibn Atho’ (Surabaya: Tiga Dua, 2001), h. 11 dalam buku Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf  (Surabaya: UIN SA Press, 2014), h.159

[11] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979). H. 72 dalam buku Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 220

[12] Harun Nasution, Filsafat dan Materialisme dalam Islam, cetakan III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 75

[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 221

[14] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumudin, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), h. 399.

[15] Harun Nasution, Filsafat dan Materialisme dalam Islam, cetakan III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 75

[16] Ibid, 185

[17] A.J Alberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985), h.49.

[18] Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.247.

[19] Aththahal, Tadzkirat al-Aula (Mesir: Al-Ma’arif, tt), h. 66.

[20] A.J Alberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985), h. 153.

[21] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 186.

[22] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang: 1973), h.74.

[23] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta,Bulan bintang 1983)hal.43

[24] Ibid, hal. 227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...