BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat sebagai pandangan hidup, sangat erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Di sini filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolak ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus di capai.
Misalnya Amerika sebagai suatu bangsa menilai bahwa demokrasi sebagai pandangan hidup yang benar, maka mereka berusaha untuk membentuk pandangan hidup itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya negara-negara yang menilai sosialisme sebagai pandangan hidup, merekapun akan berupaya mewujudkan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam filsafat sosialisme dalam kehidupan di negaranya. Dan demikian pula masyarakat atau bangsa lain yang memiliki filsafat sebagai pandangan hidup.
Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantara nya adalah mengetahui sisi perspektif historisnya. Dengan demikian kamu dapat mengetahui asal dari sebuah pemikiran filsafat yang kita ketahui saat ini.
Disini kita akan membahas pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan. Dimana terdapat zaman patristik dan zaman skolastik, pemikiran filsafat pada zaman tersebut juga sangat terkenal dan memberi inspirasi baru sampai saat ini. Dan karya-karya para tokoh filsafatnya memberi kontribusi besar bagi kehidupan kita saat ini. Permulaan abad pertengahan barangkali dapat dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M.), pengaruh agama kristen kelihatannya sudah besar; filsafatnya bersifat spiritual. Dan Augustinus yang mempunyai ajaran khas, Aquinas yang terkenal dengan 5 dalil tentang adanya Tuhan, Anselmus yang mengeluarkan istilah Credo ut intelligam (yang dapat dianggap ciri utama filasafat abad pertengahan). Karena itu sangatlah penting mengetahui pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan tersebut. Sebagai ilmu yang berharga bagi kita untuk mengetahui lebih dalam apakah sebenarnya filsafat itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan penting pada masa abad pertengahan?
3. Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan di zaman sekarang?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah peradaban pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam sejarah filsafat masa abad pertengahan.
3. Mengerti tentang pengaruh pemikiran filsafat pada abad pertengahan terhadap zaman sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Filsafat pada Masa Abad Pertengahan
1. Zaman Patristik atau Pemikiran Para Bapa Gereja
Patristik berasal dari kata Latin “Patres” yang berarti Bapa-bapa Gereja, ialah ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen.[1] Zaman ini muncul pada abad ke-2 sampai abad ke-7, dicirikan dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bid’ah kaum Gnosis. Bagi para Bapa Gereja, ajaran Kristen adalah filsafat yang sejati dan wahyu sekaligus. Sikap para Bapa Gereja terhadap filsafat yunani berkisar antara sikap menerima dan sikap penolakan. Penganiayaan keji atas umat Kristen dan karangan-karangan yang menyerang ajaran Kristen membuat para Bapa Gereja awal memberikan reaksi pembelaan (apologia) atas iman Kristen dengan mempelajari serta menggunakan paham-paham filosofis.
Akibatnya, dalam perjalanan waktu, terjadilah reaksi timbal balik, kristenisasi helenisme dan helenisasi kristianisme. Maksudnya, untuk menjelaskan dan membela ajaran iman Kristen, para Bapa Gereja memakai filsafat yunani sebagai sarana (helenisme”di kristenkan”). Namun, dengan demikian, unsur-unsur pemikiran kebudayaan helenisme, terutama filsafat yunani, bisa masuk dan berperan dalam bidang ajaran iman Kristen dan ikut membentuknya (ajaran Kristen “di Yunanikan” lewat gaya dan pola argumentasi filsafat yunani). Misalnya, Yustinus Martir melihat “Nabi dan Martir” kristus dalam diri sokrates. Sebaliknya, bagi Tertulianus (160-222), tidak ada hubungan antara Anthena (simbol filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani). Bagi Origenes (185-253) wahyu illahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Menurutnya orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi gereja dan ajaran para rasul. Pada abad ke-5, Augustinus(354-430) tampil.Ajarannya yang kuat di pengaruhi neo-platonisme merupakan sumber inspirasi bagi para pemikir abad pertengahan sesudah dirinnya selama sekitar 800 tahun. Zaman Patristik ini mengalami dua tahap:[2]
a. Permulaan agama Kristen Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat Yunani maka agama Kristen memantapkan diri Keluar memperkuat gereja dan ke dalam menetapkan dogma-dogma.
b. Filsafat Augustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Augustianus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan.
Setelah berakhirnya zaman sejarah filsafat Barat Kuno dengan ditutupnya Akademia Plato pada tahun 529 oleh Kaisar Justinianus, karangan-karangan peninggalan para bapa gereja berhasil disimpan dan diwariskan di biara-biara zaman itu dan beratus-ratus tahun sesudahnya, praktis menjadi pusat-pusat intelektual berkat kemahiran para biarawan dalam membaca, menulis, dan menyalinnya ke dalam bahasa Latin-Yunani serta tersedianya fasilitas perpustakaan.
2. Skolastik 800-1500
Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajaran dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.
Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata”skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.
Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diiuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contrannya untuk kemudian di temukan pemecahannya. Tuntutan ke masuk akalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.
Sesudah agustinus: keruntuhan. Satu-satunya pemukir yang tampil kemuka ialah: Skotus Erigena (810-877). Kemudian Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu.Persoalan-persoalan tentang pengertian-pengetian umum (pengaruh plato). Filsafat mengabdi pada theology yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaelardus (1079-1142). Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:
a. Periode skolastik awal (800-1200)
Ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.
Pada periode ini, diupayakan misalnya,pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpaberdasarkan kitab suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya,logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan Pro-contra mulai berkembang(Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masa universalia dengan konfrontasi antara ”Realisme” dan ”Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoristis mengenai filsafat alam, sejarah, dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.
Pengaruh alam pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun 8000-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filusuf dan ilmuwan zaman yunani kuno. kaum intelektual dan kalangan kerajaan islam menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa yunani kedalam bahasa arab. maka, pada para pengikut islam mendatangi Eropa (melalui spanyol dan pulau sisilia). terjemahan karya-karya filusuf yunani itu, terutama karya-karya Aristoteles sampai kedunia Barat. Dan salah seorang pemikir islam adalah Muhammad Ibn Rushd (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushd, seorang filusuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara aliran neo-Platonisme dan Aristotelanisme.
Dengan demikian, pada gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani Abad Pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh dari pada sebelumnya. Hal ini semakin didukung dengan adanya biara-biara yang antara lain memang berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.
b. Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)
Periode puncak perkembangan skolastik, dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi.[3] Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad pertengahan. Aristoteles diakui sebagai sang filusuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan yahudi. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinnya. Pada abad ke-13, dihasilkan suatu tensis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat yunani. Tokoh-tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintensis besar ini dinamakan summa (keseluruhan).
c. Periode Skolastik lanjut atau akhir (abad ke-14-15)
Periode skolastik akhir abad ke-14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio member jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.
Salah seorang yang berfikir kritis pada periode ini adalah Wiliam dari Ockham (1285-1349). Anggota ordo Fransiskan ini mempertajam dan menghangatkan kembali persoalan mengenai nominalisme yang dulu pernah didiskusikan. Selanjutnya, pada akhir periode ini, muncul seorang pemikir dari daerah yang sekarang masuk wilayah Jerman, Nicolaus Cusanus (1401-1464). Ia menampilkan “pengetahuan mengenai ketidaktahuan” ala sokrates dalam pemikiran kritisnya: “aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat ku ketahui bukanlah Tuhan”. Pemikir yang memiliki minat besar pada kebudayaan Yunani-Romawi Kuno ini adalah orang yang mengatur kita memasuki zaman baru, yakni zaman modern, yang diawali oleh zaman Renaissans, zaman “kelahiran kembali” kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa mulai abad ke-16. Baru sesudah tahun 1200 filsafat berkembang kembali berkat pengaruh filsafat arab yang diteruskan ke Eropa.
B. Tokoh-Tokoh yang Berperan Penting pada Masa Abad Pertengahan
1. Plotinus (204-270)
Plotinus dilahirkan pada tahun 204 di Mesir, mungkin di daerah Lycopolis.[4]Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, pada seorang guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada tahun 243 ia mengikuti Raja Gordiasius III berperang melawan Persia; ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempelajari kebudayaan Parsi dan India. Akan tetapi, sebelum ia sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244, Plotinus dengan susah payah dapat melarikan diri ke Antakya (Antioch). Pada umur 40 ia pergi ke Roma. Disana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Tahun 270 ia meninggal di Minturnae, Campania, Italia.
2. Augustinus (354-430)
Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria), pada 13 November 354.[5] Ayahnya, praticius, adalah seseorang pejabat pada kekaisaran Romawi, yang tetap kafir sampai kematiannya pada tahun 370. Ibunya, Monica, adalah penganut Kristen yang taat. Dalam bahasa Latin Augustinus dikenal dengan nama Aurelius Augustinus. Pada tanggal 28 Agustus 430, Augustinus meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang dialaminya saat perang Imperium Romawi.
3. Anselmus (1033-11090)
Anselmus berasal dari keluarga bangsawan di Aosta, Italia, pada tahun 1033.[6] Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhan kepada Gereja. Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan ikut ambil bagian dalam perselisihan antara golongan pendeta dan orang orang sekular. Dalam seluruh hidupnya ia berusaha untuk meningkatkan kondisi moral orang-orang suci. Dalam dirinya mengalir arus mistisisme, dan iman merupakan masalah utama baginya.
4. Thomas Aquinas
Thomas lahir di roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga bangsawan, baik bapak maupun ibunya.[7] Pada masa mudanya dia hidup bersama pamannya yang menjadi pemimpin ordo di Monte Cassino. Ia berada disana pada tahun 1230-1239. Pada tahun 1239-1244 ia belajar di Universitas Napoli, tahun 1245-1248 di Universitas Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus. Tahun 1256 ia diberi ijazah (licentia Docendi) dalam bidang teologi, dan mengajar di Universitas Paris sampai tahun 1259. Tahun 1269-1272 ia menyusun tantangan terhadap ajaran Ibn Rusyd. Sejak tahun 1272 ia mulai mengajar di University Napoli. Ia meninggal pada tahun 1274 di Lyons.
C. Karya-karya pada Masa Abad Pertengahan yang Berpengaruh pada Masa Zaman Modern ini.
1. Plotinus (204-270)
Seorang filosof membangun sebuah system yang disebut neo-Platonisme.[8] Jelas ia adalah seorang metafisikawan yang besar. Pengaruhnya itu ada pada teologi Kristen, juga pada renaissance. Mungkin semua filosof yang mementingkan suara hati (iman) dapat dikatakan dipengaruhinya, seperti Goethe, Kant, dan banyak yang lain lagi. Dan teori ini berpengaruh sangat besar pada para filosof Muslim. Ajarannya tentang kebersatuan dengan Tuhan mengingatkan kita pada teor-teori yang dikembangkan oleh para sufi Muslim seperti pada Al-Hallaj, Abu Yazid Al-bisthami, Ibn al-‘Arabi, dan lain-lain.
2. Augustinus (354-430)
Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh pada gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekuler.[9] Dalam pertarungan berbagai ideology politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatism, dan juga dalam fanatisme. Kita menghadapi konflik antar ideology yang tidak dapat disatukan.
Paham teoentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan pengetahuan duniawi, kebenciannya kepada teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagian peradaban modern. Sejak zaman Agustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif. Bagian penting dalam filsafat Agusyinus ialah pertanyaan sekalipun, umpanyan, bukan jawabannya. Kita juga sering diganggu oleh keraguan dan selalu mencari kepastian. Kita selalu ingin memperoleh norma yang dapat yang dapat mengukur tindakan-tindakan kita. Singkatnya pemikiran Agustius penting bagi manusia modern.
3. Anselmus (1033-11090)
Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna.[10] Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tapi segala sesuatu berada di dalam Tuhan.
Ciri khas filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Ansekmus, yaitu credo ut intelligam.
Credo ut intelligam kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argument untuk memahaminya, mungkin juga untuk meneguhkan keimanan itu. Didalam ungkapan itu tersimpan juga pengertian seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini imam secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya.
Sifat ini berlawanan dengan sifat fisalfat rasional. Dalam filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan: setelah dimengerti, barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani, mengikuti jalan pikiran inilah maka saya berkesimpulan bahwa jantung filsafat Abad Pertengahan Kristen terletak pada ungkapan itu. Berdasarkan penalaran itulah maka menurut saya tokoh utama letak kekuatan filsafat Abad Pertengahan adalah St. Anselmus.
Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dapat berlaku umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan ialah bahwa kaidah ini lebih kurang dianut, juga dalam filsafat islam. Contoh yang menonjol dalan islam mislanya pada filsafat Al-Ghazali.
4. Thomas Aquinas
Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian: pengetahuan fisika, matematika, dan metafisika.[11] Dari ketiganya metafisikalah yang lebih banyak mendapat perhatian, yang menurut pendapatnya dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi (Mayer:461).
Sehubungan dnegan teorinya diatas maka didalam filsafat Aquinas, filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akliah., sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak begitu jelas karena pengetahuan sebenarnya adalah gabungan kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi dua. Yang pertama ialah agama natural yang dibentangkan diatas akal, dan yang kedua ialah agama wahyu yang dibetangkan diatas iman.
Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah banyak berkurang.[12] Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan filsafat rasionalnya. Yang terkenal ialah beberapa pembuktian tentang adanya Tuhanyang masih dipelajari orang hingga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu. Lima dalil tentang adanya Tuhan dari Aquinas itu sebenarnya tidaklah kuat sebagaimana yang diduganya. Kelak banyak filosof yang menolaknya, terutama Kant.
Baca juga artikel yang lain:
- Adab Suami Istri
- Aliran Syi'ah
- Ahli Sunnah Wal Jama'ah
- Aliran Khawarij
- Aliran Ahmadiyah
- Biografi Immanuel Kant
- Filsafat Kontemporer
- Filsafat Modern
- Filsafat Kritisisme
- Filsafat Abad Pertengahan
- Filsafat Pada Masa Yunani Klasik
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Zaman pertengahan dibagi menjadi dua: zaman patristic dan zaman skolastik. Zaman patristic (bapa-bapa gereja) diwarnai oleh tokoh-tokoh seperti Clemens, Origenes, Gregorius, dan seterusnya. Di masa ini, filsafat menyatu dengan gereja dan mendasarkan inspirasinya dari Plotinus. Zaman skolastik terjadi sekitar tahun 1000 M. Pada zaman ini pengaruh Plotinus digeser oleh Aristoteles. Pertemuan antara filsafat Aristotelian dengan kristianitas ini melahirkan banyak filsuf kritiani, terutama terejawantah melalui perkembangan dua ordo dominan, Dominikan dan Fransiskan. Tokoh-tokoh yang penting pada masa abad pertengahan adalah Plotinus (204-270), Augustinus (354-430), Anselmus (1033-11090), Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh pada masa abad pertengahan berhasil mempengaruhi pemikiran di zaman sekarang dengan rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Ansekmus, yaitu credo ut intelligam yang kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti.
DAFTAR PUSTAKA
AM, Suhar. 2009. Filsafat Umum (Konsepsi, Sejarah, dan Aliran). Jakarta: Gaung Persada Press
Jalaluddin dan Said, Usman. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Umam, Muhammad Helmi, dkk. 2017. Pengantar Filsafat. Surabaya: UINSA Press
Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hal. 157
[2] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157
[3] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005) cet. Keempatbelas 66.
[5] Tafsir., 79.
[6] Tafsir., 95.
[7] Tafsir., 97.
[8] Tafsir., hal. 75
[9] Suhar AM, Filsafat Umum Konsep, Sejarah dan Aliran, (Jakarta, Gaung Persada Press , 2009) hal. 210
[10] Tafsir, hal. 97
[11] Tafsir., hal. 104
[12] Tafsir., hal. 115-116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar