BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Paham
dan aliran merupakan dua kata yang sering diucapkan dengan maksud yang sama
karena memang keduanya mengandung makna adanya suatu pemikiran yang dianut oleh
sebagian orang dalam sebuah komunitas atau kelompok tertentu. Namun, terdapat
sisi yang berbeda dari kedua kata tersebut.
Kata
paham berarti satu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu, tidak
terorganisir dan tidak memiliki pimpinan pusat meskipun mereka memiliki tokoh
sentral yang menjadi figur paham tersebut. Biasanya, pengikut suatu paham
tertentu, adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan
menyambut baik adanya dialog-dialog walaupun tidak selalu demikian.
Sedangkan
kata aliran lebih menekankan pada suatu pemahaman yang terorganisir, ada ketua,
pengurus serta anggotanya, mempunyai aturan-aturan tertentu dan biasanya para
anggotanya hanya bisa taklid buta dan mengiyakan semua yang dikatakan
pemimpinannya. Dan biasanya pengikut suatu aliran tertentu adalah orang-orang
yang berdoktrin pikirannya, tidak suka dialog, serba dogmatis, anti kritik dan
cenderung merasa paling benar.
Di
negara kita, terdapat bermacam-macam aliran dan paham yang banyak sekali
jumlahnya. salah satunya adalah aliran ahmadiyah. Dalam hal ini, pemakalah akan
menjelaskan tentang aliran ahmadiyah dan seluk beluknya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan aliran ahmadiyah?
2.
Bagaimana
sejarah berdirinya aliran ahmadiyah?
3.
Apa
saja ajaran/doktrin-doktrin aliran ahmadiyah?
4.
Apa
saja sekte-sekte dan tokoh aliran ahmadiyah?
C.
Manfaat Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian, sejarah aliran ahmadiyah
2.
Mengetahui
ajaran, sekte, dan tokoh aliran ahmadiyah
3.
Menambah
wawasan bagi pembaca tentang aliran ahmadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ahmadiyah
Ahmadiyyah atau sering pula ditulis Ahmadiyah,
adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908)
pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.
Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai
Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama ialah "Ahmadiyya Muslim Jama'at" (atau Ahmadiyah Qadian).
Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri
Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Kelompok kedua ialah
"Ahmadiyyah Anjuman Isha'at-e-Islam Lahore" (atau Ahmadiyah Lahore).
Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan
Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April
1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November
1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35.
Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri
Agama, Menteri
Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia
pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama,
yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya
yang bertentangan dengan Islam.
B. Sejarah Aliran
Ahmadiyah
Jema’at
Ahmadiyah dalam bukunya mengatakan, Jema’at Ahmadiyah adalah gerakan dalam
Islam yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Pada tahun 1889 atau
tahun 1306 Hijrah. Beliau lahir di Qadian, India, pada jum’at pagi, tanggal 3
Pebruari 1835 bertepatan dengan 14 Syawal 1250 Hijrah dan berpulang
kerahmatullah pada tanggal 26 Mei 1908. Menurut pendapat Jema’at Ahmadiyah
bahwa berdasarkan wahyu-wahyu dan perintah Allah Swt, Mirza Ghulam Ahmad adalah
al-Masih yang ditunggu dan imam Mahdi yang dijanjikan kedatangannya dikemudian
hari sebagaimana dinubuwwatkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya Jema’at Ahmadiyah menegaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
berpangkat nabi dan rasul, tetapi tidak membawa syari’at yang baru. Syari’at
yang dipegang teguh oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Qur’an suci tiga puluh
juz serta sunah Rasulullah Saw. Menurut Jema’at Ahmadiyah tugas Mirza Ghulam
Ahmad yang berkali-kali diwahyukan oleh Allah Swt kepadanya adalah “ Yuhyî ddîna Wa Yuqîmusy Syarîah”,
yaitu semata-mata menghidupkan agama serta menegakkan Syare’at Agama Islam.[1]
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya ia
mengatakan:
Di dalam hal
kepercayaan, apa yang Tuhan menghendaki dari kamu hanyalah demikian: kamu
sekalian harus percaya bahwa Tuhan itu Esa dan Muhammad Saw adalah Nabi-Nya,
beliau adalah Khâtamul Anbiyâ’, dan beliau adalah Nabi yang termulya diantara
para nabi semuanya. Sesudah beliau, sekarang tiada nabi lain kecuali seorang
yang secara Buruzi (cerminan) dikenakan jubah Muhammadiyat. Sebab, seorang
hamba tak bisa berpisah dari majikannya; tak ubahnya seperti sebuah dahan tak
pisah dari akarnya. Maka, barangsiapa yang telah menghilangkan seluruh wujudnya
di dalam kefanaan terhadap majikannya dan memperoleh gelar nabi dari Tuhan, ia
tidak sedikitpun
mencemarkan
kedudukan mulia khâtamul nubuwat. Tak ubah halnya seperti kamu
melihat rupamu pada cermin, kamu tidak menjadi dua adanya bahkan kamu tetap
satu juga kendatipun nampak dua. Bedanya adalah yang satu hanyalah bentuk Zil (bayangan) dan yang lainnya adalah
bentuk asli belaka. Demikianlah Tuhan menghendaki tentang seorang Masîh Mau’ûd. Disinilah letak rahasia
mengapa Rasulullah Saw Bersabda bahwa Masîh
Mau’ûd akan di kubur bersama-sama di dalam kuburan beliau, yakni, orang
yang dimaksud itu akulah dan dalam hal ini antara wujud Rasulullah Saw Dan Masîh Mau’ûd As tidak terdapat kelainan. Mengertilah kamu
seyakin-yakinnya bahwa Isa ibn Maryam sudah wafat dan kuburannya terdapat di
desa Khanyar, Srinagar, Kashmir. Allah Swt telah berfirman di dalam kitab
suci-Nya mengenai wafat beliau.[2]
Bila
kita amati paparan Mirza Ghulam Ahmad di atas, menunjukkan bahwa ia telah
mengklaim dirinya sebagai nabi, meskipun ia juga mengakui Nabi Muhammad Saw
ungkapannya itu telah menimbulkan antipati sebagian besar Umat Islam yang telah
punya keyakinan bahwa sesudah Nabi Muhammad Saw tidak ada lagi nabi. Pantaslah
jika kemudian Sirajuddin Abbas dalam bukunya mengecam keras pendapat Mirza
Ghulam Ahmad. Dalam bukunya itu, Sirajuddin Abbas dengan mengutip kitab Izâlatul Auham mengetengahkan perkataan
Mirza Ghulam Ahmad yang mengatakan bahwa sayalah yang dikabarkan Tuhan dengan
firmannya di dalam al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 6:
Yang Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam
berkata: hai bani Israil, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadmu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku,
yaitu Taurat dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang
akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad) maka tatkala rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ini
adalah sihir yang nyata. ( Q.S. 61:6 ).
Dari ayat
tersebut Mirza Ghulam Ahmad menafsirkan bahwa pada ayat tersebut di situ
diterangkan oleh Nabi Isa As. Bahwa akan datang seorang rasul namanya Ahmad.
Menurut Mirza Ghulam Ahmad kata Ahmad itu menunjuk dirinya. Terhadap pernyataan
Mirza Ghulam Ahmad seperti itu, Sirajuddin Abbas mengatakan, Mirza Ghulam Ahmad
telah merangkul ayat ini untuk dirinya, karena ia bernama Ahmad. Selanjutnya
Sirajuddin Abbas mengatakan, andaikata boleh menafsirkan Qur’an semacam itu
maka setiap orang bernama Ahmad berhak untuk mengklaim dirinya sebagai rasul
sesudah Nabi Muhammd Saw Tafsir Qur’an itu harus dicari dalam hadits-hadits,
bukan tafsiran sendiri atau isapan jempol sendiri.[3]
Sejarah
berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri
sebagai pendiri Aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama
Mirza Ghulam Murtadha. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkhan
yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu suatu pemerintahan dinasti Mughal,
mereka tinggal di Gundaspur, Punjab India di situ mereka membangun kota Qadian.
Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtaha masih keturunan Haji Barlas
dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya di depan nama keturunan keluarga ini
terdapat sebutan Mirza. Mengenai pendidikannya, ia pertama-tama belajar membaca
al-Qur’an dan beberapa kitab Persia. Sejak umurnya mencapai 10 tahun, ia telah
mulai mempelajari bahasa arab, dan ketika umurnya mencapai 17 tahun ia
mempelajari nahwu, logika dan filsafat dari seorang guru. Sedang ilmu
kedokteran langsung dipelajari dari ayahnya sendiri. Dibidang ilmu agama dapat
dikatakan bahwa ia belajar tanpa guru ketika umurnya mencapai 29 tahun ia
berkerja pada kantor mahkamah Inggris selama 4 tahun (1864-1868), dimana ia
mempunyai kesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa Inggris.
Adapun mengenai
jemaatnya, bahwa jemaat Ahmadiyah pada mulanya terdiri dari orang-orang yang
dapat menerima pengakuan pendirinya bahwa ia adalah Imâm Mahdi dan Al-Masîh
yang dijanjikan Tuhan, serta seorang rasul Tuhan, yang bertugas untuk
menegakkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan pemahaman yang
lebih benar. Setelah dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahamad sendiri sampai 1908, dan
kemudian oleh Hakim Nurudin sampai 1914, jemaat ini terpecah menjadi dua
golongan, Pertama, Ahmadiyah Qadian, yakni Ahmadiyah yang berpusat di Qadian
dan dipimpin oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad; dan Kedua, Ahmadiyah Lahore, yakni
Ahmadiyah yang berpusat di Lahore, dan dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali.
Sejak terbentuknya negara India dan Pakistan pada tahun 1947 Ahmadiyah Qadian
memindahkan markasnya dari Qadian ke Rabwah (dipakistan), sedangkan Ahmadiyah
Lahore tetap bermarkas di Lahore (juga di Pakistan).[4]
Perbedaan
antara Ahmadiyah Qadian dengan Lahore, bahwa Ahmadiyah Qadian tetap percaya
akan status Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi atau rasul, Imâm Mahdi, dan Al-Masîh
yang dijanjikan Tuhan (sejak ia memproklamirkan status itu pada tahun 1880).
Sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak mempercayai status tersebut, tapi hanya
mengakui sebagai Mujadid (pembaharu).
Dengan pendirian seperti itu, Ahmadiyah Lahore tidaklah memiliki aqidah-aqidah
dasar yang bertentangan dengan pendirian umumnya ummat Islam, kecuali dalam hal
memmandang Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai mujadid. Sebaliknya antara Ahmadiyah
Qadian dan kalangan ummat Islam, terjadi pertentang keras yang sampai kepada
tingkat saling mengkafirkan.
Ahamdiyah
Qadian menganggap ummat Islam yang tidak percaya atau tidak mengakui status
Mirza Ghulam Ahamad sebagai nabi atau rasul, Imâm Mahdi, dan Al-Masîh itu,
sebagai kaum kafir, seperti halnya kaum
Kitab yang dikafirkan karena tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw sebaliknya, para ulama’ Islam
memandang Ahmadiyah Qadian sebagai kaum Murtad yang percaya pada nabi palsu,
seperti halnya para pengikut Musailamah Al-Kazzâb, yang dihancurkan oleh
Khalifah Abu Bakar.
C.Pertumbuhan dan perkembangan Aliran Ahmadiyah
Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga
periode, yaitu periode kebangkitan, periode menghadapi ujian dan periode
perpecahan serta perkembangan.
1. Periode Kebangkitan ( 1880-1900 ).
Pada periode
ini Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri jemaat Ahamadiyah berupaya untuk
mengkonter serangan-serangan propagandis Hindu dan kaum Misionaris Kristen
terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan
pembaharuan pemahaman keadaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu,
keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa
yang dikenal dan diketahui ummat muslim pada umumnya dalam hubungan ini Al-Maududi menjelaskan:
Pada tahun 1880
Mirza pernah menyatakan dirinya sebagai wali Allah yang paling utama bagi umat
saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali
meredam kemarahan mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataan itu, agar mereka
dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu.[5]
Adanya reaksi
besar terhadap ajaran Mirza Ghulam Ahmad pada saat itu merupakan hal yang wajar
karena apa yang dilontarkannya dianggap berlawanan terhadap ajaran yang dianut
oleh masyarakat saat itu. Keanehan dari ajaran tersebut yaitu bahwa untuk
membangun suatu umat yang telah mengalami Set
Back sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih di perlukan wahyu Tuhan
(yang baru). Oleh karena itu ia menyatakan, wahyu itu tidak terbatas di masa
lampau saja tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilihNya
sampai hari ini. Selain itu, disaat yang sama ia pun menyatakan bahwa dirinya
adalah tokoh pembaharu abad ke XIV karena ia telah merasa telah ditunjuk oleh
Tuhan untuk mempertahankan Islam.
Dalam
perjalanan selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad mengakui dirinya sebagai nabi dan
sekaligus merupakan manifestasi dari Isa Al-Masih. Pernyataan Mirza
mencengangkan dan memancing reaksi dapat disimak dari pernyataan sebagai
berikut:
Di antara
beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan) ialah bahwa
Al-Masîh ibn Maryam itu telah wafat
secara alamiyah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah
memberitahukan kepadaku (dengan firmanNya); bahwa Al-Masîh dan Al-Mahdi yang
dijanjikan yang dituggu-tunggu itu adalah
engkau ( Mirza ).[6]
2. Periode Menghadapi
Ujian ( 1900-1908 ).
Dalam
menggulirkan gagasan-gagasan selanjutnya terutama pengakuan-pengakuannya ia
menghadapi tantangan-tantangan yang berat terutama tantangan dari ummat Islam
sendiri lahirnya tantangan yang berat itu di sebabkan oleh pembaharuan yang
gulirkan Mirza Ghulam Ahmad sangat berlawanan dengan aqidah yang telah dimiliki
ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Muhammad Saw argumentasi apapun
yang dimajukan Mirza Ghulam Ahmad tidak
bisa diterima oleh internal ummat Islam saat itu.
Kedaan
ini mengakibatkan adanya benturan dan permusuhan antara umat Islam yang dianut
Ahamadiyah dengan Islam Non Ahamadiyah. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut
penulis berpendapat, sebetulnya ide yang digulirkan Mirza Ghulam Ahmad bisa
diterima oleh intern ummat Islam manakala Mirza mampu mengkemas pesan-pesannya
dengan bahasa yang lunak serta tidak menyentuh sensitifitas aqidah ummat Islam
yang sudah mendarah daging. Sebab itulah, barang kali kurang disadari oleh
Mirza Ghulam Ahmad dalam merangkul seluruh ummat Islam yang ada pada saat itu,
Itulah sebabnya, tidak heran bila kemudian muncul berbagai fatwa ulama’ yang
menentang ajarannya sekaligus mengecam dengan keras dan radikal pula. Atas
dasar itu. Maulana Muhammad Ali memberi suatu Statement (pernyataan).
Kekerasan
dan permusuhan dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya tidak
mendapat belaan dari siapapun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa ulama’,
perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah, dan barang-barang milik mereka
halal dirampas tanpa dapat dituntut dipengadilan. Akan tetapi, mereka tetap
tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dari umat Islam, Hindu dan
Kristen.12
Dalam menghadapi ujian ini Mirza menyatakan:
“Celakalah
kaumku! sungguh mereka tidak mengenalku, mereka mendustakan, mencaci maki,
mengkafirkan serta melaknatiku sebagaimana yang di kalakukan oleh orang-orang
kafir”.[7]
3. Periode Perpecahan Dan Perkembangan (
1908-1924 ).
Dalam
perkembangan selanjutnya, tampak bibit perpecahan dikalangan pengikut
Ahamadiyah yaitu munculnya dua pemikiaran yang beragam. Pemikiran pertama, erat
hubungannya dengan masalah
manejemen
pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi
yang memiliki jangkauan luas, baik dikalangan muslim sendiri maupun non muslim.
Pemikiran ini merupakan salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam.
Pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdisme Ahamadiyah, akan
tetapi juga berhubungan dengan dasar-dasar fundamental dalam ajaran Islam.
Pemikiran kedua ini menjadi pemicu utama perpecahan dikalangan Ahmadiyah,
terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat.
Atas keterangan
di atas, sejak munculnya dua pendapat yang kontrovesial dari intern Ahmadiyah
ini, maka pada tahun 1914, terpecah aliran ini menjadi dua yaitu aliran
Ahmadiyah Qadiani dan aliran Ahmadiyah Lahore sebagaimana telah dipaparkan di
atas. Setelah pecah dalam kedua aliran, sikap para pengikut Mirza tampak lebih
agresif dari sikap Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad tidak suka
mengkafirkan muslim lain, kecuali jika dirinya dikafirkan muslim lain sebagaimana
dinyatakan:
Maka mereka
telah mengkafirkan aku dan mereka telah pula menfatwakan yang demikian itu
untuk diriku. Dengan pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu
tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa nabi Muhammad Saw oleh
sebab itu, aku tidak mengkafirkan mereka bahkan mereka sendirilah yang
memasukkan diri mereka kedalam fatwa Rasulullah.
D.
Ajaran/Doktrin-doktrin Aliran Ahmadiyah
1. Masalah Wahyu
Munculnya faham Ahmadiyah tidak hanya memicu pertentangan dan
perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi juga di kalangan pengikut aliran
Ahmadiyah sendiri. Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan tidak terputus sesudah
Rasulullah SAW wafat, dan wahyu yang terhenti adalah wahyu tasyri’i atau
wahyu syare’at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari
Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan: “Bahwa wahyu yang terputus sesudah
Rasulullah adalah wahyu tasyri’I, bukan wahyu mutlak”.[8]
Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore membagi cara-cara Tuhan
menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an.
Cara-cara itu sebagai berikut:
a.
Wahyu,
yaitu isyarat cepat yang merupakan petujuk Tuhan yang masuk ke hati seseorang,
seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa agar menghanyutkan perahunya
di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang diterima oleh kaum Hawari (murid-murid
Nabi Isa), atau oleh kaum laki-laki lain.
b.
Dari
belakang hijjab (tirai), yang meliputi: ru’yah Salihah (mimpi baik).
Wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar,
sebagaimana dialami oleh Rasulullah sewaktu mi’raj. Kedua, dengan khasyaf seperti
petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi Isa) sewaktu berdialog dengan
Malaikat Jibril, dan ketiga, dengan jalan Ilham.
c.
Mengutus
Jibril. Wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril disebut dengan wahyu
Nubuwwah. Wahyu jenis inilah yang telah terhenti. Sedangkan jenis wahyu yang
lain tetap berlangsung sampai kapan saja.[9]
2. Jihad
Dalam ajaran Islam, dikenal jihad yang terdiri dari jihad Asghar
(kecil), yaitu berperang melawan musuh dan jihad Akbar (paling
besar) yaitu berperang melawan hawa nafsu. Terhadap pembagian tersebut, ajaran
Ahmadiyah menambahkan satu lagi dengan istilah jihad Kabir (besar)
seperti tabligh dan dakwah. Jihad besar dan paling besar akan terus berjalan
sepanjang masa, sedangkan jihad kecil memiliki beberapa persyaratan secara insidental.[10]
Jihad melawan musuh dengan mengangkat senjata, menurut ajaran Ahmadiyah hal itu sudah tidak relevan lagi. Untuk saat ini, jika umat Islam hendak berrjihad, cukuplah dengan menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui karya-karya tulis yang dituangkan dalam media-media yang sudah tersedia saat ini. Menurut ajaran Ahmadiyah, umat Islam mencontoh mengisi dakwah yang disampaikan oleh Isa as yaitu dakwah yang cinta damai tanpa melakukan kekerasan dan perlawanan
3. Masalah Nubuwwah
Sebenarnya ada dua
kelompok Ahmadiyah yang berbeda penafsiran tentang klaim Mirza Ghulam Ahmad.
Cabang Qadian, menganggap bahwa Mirza Ghulam adalah seorang nabi, sementara
cabang Lahore mengklaim bahwa ia hanyalah seorang pembaharu(mujaddid).
Dalam hubungannya dengan nubuwwah terjadi perbedaan yang mendasar
antara sekte Qardiani dan sekte Lahore. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ada dua
versi, yang pertama diistilahkan dengan Nubuwwah Tasyri’iyah (kenabian
yang membawa syari’at), dan kedua adalah Nubuwwah Ghair Tasyri’iyyah (kenabian
tanpa membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua
meliputi, Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Ghair
Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri)
Para nabi yang mandiri adalah semua nabi yang datang sebelum Nabi
Muhammad SAW, dimana mereka tidak perlu mengikuti syari’at nabi sebelumnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan nabi tidak mandiri yaitu nabi yang mengikuti
syariat nabi sebelumnya, seperti kenabian MIrza Ghulam Ahmad yang mengikuti
syari’at Nabi Muhammad SAW
Nabi mandiri dalam pandangan sekte Lahore, bisa berarti bahwa nabi
jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuknya guna menghapus
sebagian ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau
dengan menambah ajaran baru sehingga syari’at itu menjadi lebih sempurna. Sekte
Lahore menyimpulkan bahwa nabi yang tidak membawa syari’at disebut dengan nabi
lughawi atau nabi majazi, yang berarti seseorang yang mendapat berita dari
langit atau dari Tuhan. Dan mereka menganggap bahwa nabi yang membawa syariat
mereka disebut dengan nabi hakiki.
Menurut faham Lahore, Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah menyatakan
dirinya sebagai nabi hakiki. Berbeda dengan faham Qardiani yang memandang
bahwa, Mirza Ghulam adalah seorang nabi dan rasul yang wajib diyakini dan
dipatuhi perintahnya. Menurut sekte Qardiani, seorang Qordiani tidak boleh
membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yag lain, sebagaimana yang
diajarkan oleh al-Qur’an dan yang dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW untuk
mengikuti al-mahdi yang dijanjikan. Meskipun demikian, kedua aliran tersebut
terdapat juga persamaanya yaitu, mereka sepakat tentang berakhirnya nabi
mandiri sesudah Nabi Muhammad SAW.
E.
Sekte-sekte Aliran Ahmadiyah
1. Ahmadiyah Qadiani
Golongan ini mengakui akan kenabian
Mirzha Ghulam Ahmad dan mereka yang tidak mengakui maka dianggap kafir. Sekte
ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW. Sekte ini
dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Ghulam
Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid saja, tetapi juga sebagai nabi dan
yang harus ditaati dan dipatuhi ajarannya.[11]
Terpilihnya
Basyiruddin Mahmud sebagai khalifah al-mahdi yang kedua tampaknya tidak
mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah. Disaat yang sama, muncullah
Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi
Muhammad Ali yang tidak menyetujui prinsip golongan pertama yang disebut dengan
Ahmadiyah Lahore.
2. Ahmadiyah
Lahore
Ahmadiyah Lahore disebut juga dengan
Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam. Golongan ini tidak terlalu menyimpang
jauh seperti Qadiani tetapi heterodox artinya menyimpang dari sunni,
mereka beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai Mujaddid (pembaharu
Islam). Dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut
sekte Qadiani berpendapat bahwa aliran tersebut muncul karena ambisi Maulawi
Muhammad Ali sebagai khalifah terwujud. Oleh sebab itu, mereka memisahkan diri
dan membentuk golongan baru yang berpusat di Lahore. Namun tampaknya yang
menjadi sebab perpecahan itu adalah lebih berpusat dalam masalah akidah.
F. Tokoh Aliran Ahmadiyah
1. Mirza Ghulam Ahmad
Mirza Ghulam
Ahmad lahir pada tahun 1839M. ayahnya bernama Atha Murtadha yang berkebangsaan
Mongol. Namun anehnya, Mirza Ghulam mengatakan bahwa, “Keluarga dari Mongol,
tetapi berdasarkan firman Allah tampaknya keluargaku berasal dari Pesia dan aku
yakin itu. Sebab, tidak ada yang mengetahui seluk beluk keluargaku seperti yang
datang dari Allah SWT”. Dia juga pernah berkata, “Aku pernah membaca beberapa
tulisan ayah dan kakekku kalau mereka berasal dari suku Mongol, tetapi Allah
mewahyukan kepadaku bahwa aku berasal dari Persia”. Dan dia juga mengaku
sebagai keturunan Fathimah bin Muhammad.
Dari sinilah
muncul pemahaman-pemahaman yang kurang rasional. Dan banyak dari kalangan ulama
pada masanya yang menentang ajaran-ajaran Ahmadiyah ini. Bukannya memberikan
bukti-bukti yang nyata, Mirza Ghulam Ahmad malah menghina dengan mengatakan
bahwa orang-orang yang menentangnya lebih najis dari babi. Ia juga mengatakan
bahwa Nabi Muhammad hanya memiliki tiga ribu mukjizat saja, sedangkan Mirza
Ghulam memiliki lebih dari satu juta jenis. Ia juga mengatakan bahwa Nabi Isa
adalah bukan orang yang dapat dikatakan sebagai orang sholeh, sebab orang-orang
mengetahui bahwa Nabi Isa suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik.
Mirza Ghulam juga mengatakan bahwa Nabi Isa cederung menyukai para pelacur
karena nenek-neneknya adalah termasuk pelacur. Selain itu, Mirza Ghulam juga
menghina para sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Hurairah. Mirza Ghulam Ahmad
mengatakan bahwa Abu Hurairah adalah orang yang dungu. Dia tidak memiliki
pemahaman yang lurus.
Perbuatan Mirza
Ghulam Ahmad tidak sedikit para ulama yang menentang dan berusaha untuk
menasehati Mirza Ghulam Ahmad agar ia bertaubat dan menghentikan dakwahnya.
Namun usaha itu juga tidak membuat penyebar ajaran ahmadiyah ini surut. Syeikh
Tsanaullah adalah satu diantara sekian banyak ulama yang berusaha keras
menentangnya dan menasehatinya. Mirza Ghulam merasa terganggu dan akhirnya
mengirimkan surat kepada Syeikh Tsanaullah yang berisi tentang keyakinan
hatinya bahwa ia adalah seorang nabi, bukan pendusta, bukan pula Dajjal
sebagaimana yang diarahkan kepadanya oleh para ulama. Ia juga mengatakan bahwa
sesungguhnya yang mendustakan kenabiannya itulah pendusta yang sesungguhnya.
Diakhir suratnya itu, ia berdo’a dengan mengatakan, “Wahai Allah yang maha
mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika ada seorang
pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas
nama-Mu pada siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih
hidup dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan seba kematianku.
Wahai Allah, jika aku benar sedangkan Tsaunallah berada di atas kebhatilan
pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan
penyakit ganas”.
Dan ternyata
Allah SWT mendengar do’a setelah 13 bulan lebih sepuluh hari setelah do’a itu
yakni pada tanggal 26 Mei 190, Mirza Ghulam dibinasakan oleh Allah dengan
penyakit kolera yang diharapkan menimpa Syeikh Tsanaullah. Sementara Syeikh
Tsanaullah masih hidup sekita 40 tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.[12]
Setelah
wafatnya Mirza Ghulam Ahmad, gerakan ini dipimpin oleh para khalifah sebagai
berikut:
a.
Khalifah
Masih I : Hazrat Maulvi Nuruddin
(1908-1914)
b.
Khalifah
Masih II : Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad (1914-1965)
c.
Khalifah
Masih III : Hazrat Hafiz Nasir Ahmad
(1965-1983)
d.
Khalifah
Masih IV : Mirza Tahir Ahmad
(1983-2003)
G. Perkembangan Pemikiran Aliran
Ahmadiyah dalam Dinamika Kontemporer
Jemaat muslim ahmadiyah adalah satu organisasi keagamanaan internasional yang tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia. Pergerakan jemaat Ahmadiyah dalam islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasionl yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Autralia, dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia, Belanda, Sunda, dan Jawa. Sejarah penyebaran Ahmadiyah di Indonesia.
Baca juga artikel yang lain:
- Adab Suami Istri
- Aliran Qadariyyah
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
- Ilmu Kalam
- Aqidah Islimiyyah
- Aliran Mu'tazilah
- Aliran Syi'ah
- Aliran Jabariyah
- Ahli Sunnah Wal Jama'ah
- Aliran Khawarij
- Aliran Ahmadiyah
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mirza
Ghulam Ahmad mengakui dirinya nabi dan rasul utusan tuhan. Dia mengaku dirinya
menerima wahyu yang turunnya di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan
seluruhnya, sehingga merupakan sebuah kitab suci yang mereka beri nama dengan
kitab suci Tadzkirah. Dan menganggap bahwa kitab itu lebih besar daripada kitab
suci al-Qur’an.
Ajaran
Ahmadiyah menganggap bahwa yang bukan pengikut ajaran ini, itu dianggap kafir.
Makanya, hal itulah yang bertentangan dengan akidah Islam yang benar. Ajaran
Ahmadiyah melahirkan dua sekte, yaitu sekte Qadiani yang menganggap bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang harus ditaati, dan sekte Lahore yang
menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang pembaharu(mujaddid).
B.
Saran
Dalam prosesnya, pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini bisa lebih sempurna dan bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari Internet:
http://meddykusmadi.blogspot.co.id/2012/11/aliran-ahmadiyah.html. Diakses pada 1 November 2017
https://qycha.wordpress.com/2014/11/14/pemikiran-kalam-ahmadiyah/. Diakses pada 1 November 2017
Sumber dari Buku :
Al- Maududi, Mâhilyal Qadî Yaninnyah, Dar Al-Kalam, Kuwait, t.th
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Meri Ta’lim, Alih Bahasa, R. Ahmad Anwar, Ajaranku, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Parug, 1998
Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, Dipersembahkan Kepada yang Kami cintai Bangsa Indonesia, Cet. VI, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1989
Mirza Ghulam Ahmad, Itmâmut-Hujjab Alal-Lâzi Lajja Wa Zaghâ Anil Mubajjab, Kalzar Muhamadi, Lahore, 1311/1892
Moh Rifa’i, Perbandingan Agama, Cet. VII, Wicaksana, Semarang, 1983
Nazir Ahmad. Al-qawl As-Sharib Fizubur Al-Mahdy Wa Al-Masih, Nawa-I Waqt Printers Ltd, Lahore, 1970
S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia), 1978
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahli Sunah Wal Jama’ah, Jakarta, 1969
Footnoote
[1] Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, Dipersembahkan Kepada yang Kami cintai Bangsa Indonesia, Cet. VI, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1989, hlm. 19
[2] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Meri Ta’lim, Alih Bahasa, R. Ahmad Anwar, Ajaranku, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Parug, 1998, hlm. 18-19
[3] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahli Sunah Wal Jama’ah, Jakarta, 1969, hlm. 344 -345.
[4] Moh Rifa’i, Perbandingan Agama, Cet. VII, Wicaksana, Semarang, 1983, hlm. 157-158
[5] Al- Maududi, Mâhilyal Qadî Yaninnyah, Dar Al-Kalam, Kuwait, t.th. Hlm. 22-25
[6] Mirza Ghulam Ahmad, Itmâmut-Hujjab Alal-Lâzi Lajja Wa Zaghâ Anil Mubajjab, Kalzar Muhamadi, Lahore, 1311/1892 H, hlm. 3
[7] Mirza Ghulam Ahmad, Hammat Al-Busyara Ilâ Ahlil-Makkata Wa Shîlab’i ûmmul-Qurâ, Al-Munsyî Ghulam Qadir Al-Fashih, Sialkot, 1311 H/1892, hlm. 19.
[8] Nazir Ahmad. Al-qawl As-Sharib Fizubur Al-Mahdy Wa Al-Masih, Nawa-I Waqt Printers Ltd, Lahore, 1970, hal. 66.
[9] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia), 1978, hal. 35-36.
[10] Nazir Ahmad. Al-qawl As-Sharib Fizubur Al-Mahdy Wa Al-Masih, Nawa-I Waqt Printers Ltd, Lahore, 1970, hal. 69-70.
[11] https://qycha.wordpress.com/2014/11/14/pemikiran-kalam-ahmadiyah/
[12] http://meddykusmadi.blogspot.co.id/2012/11/aliran-ahmadiyah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar