HOME

25 Januari, 2022

Aliran Ahmadiyah

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Paham dan aliran merupakan dua kata yang sering diucapkan dengan maksud yang sama karena memang keduanya mengandung makna adanya suatu pemikiran yang dianut oleh sebagian orang dalam sebuah komunitas atau kelompok tertentu. Namun, terdapat sisi yang berbeda dari kedua kata tersebut.

Kata paham berarti satu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu, tidak terorganisir dan tidak memiliki pimpinan pusat meskipun mereka memiliki tokoh sentral yang menjadi figur paham tersebut. Biasanya, pengikut suatu paham tertentu, adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan menyambut baik adanya dialog-dialog walaupun tidak selalu demikian.

Sedangkan kata aliran lebih menekankan pada suatu pemahaman yang terorganisir, ada ketua, pengurus serta anggotanya, mempunyai aturan-aturan tertentu dan biasanya para anggotanya hanya bisa taklid buta dan mengiyakan semua yang dikatakan pemimpinannya. Dan biasanya pengikut suatu aliran tertentu adalah orang-orang yang berdoktrin pikirannya, tidak suka dialog, serba dogmatis, anti kritik dan cenderung merasa paling benar.

Di negara kita, terdapat bermacam-macam aliran dan paham yang banyak sekali jumlahnya. salah satunya adalah aliran ahmadiyah. Dalam hal ini, pemakalah akan menjelaskan tentang aliran ahmadiyah dan seluk beluknya.

B.  Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan aliran ahmadiyah?

2.      Bagaimana sejarah berdirinya aliran ahmadiyah?

3.      Apa saja ajaran/doktrin-doktrin aliran ahmadiyah?

4.      Apa saja sekte-sekte dan tokoh aliran ahmadiyah?

C.  Manfaat Penulisan

1.      Mengetahui pengertian, sejarah aliran ahmadiyah

2.      Mengetahui ajaran, sekte, dan tokoh aliran ahmadiyah

3.      Menambah wawasan bagi pembaca tentang aliran ahmadiyah

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ahmadiyah

Ahmadiyyah atau sering pula ditulis Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.

Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah "Ahmadiyya Muslim Jama'at" (atau Ahmadiyah Qadian). Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Kelompok kedua ialah "Ahmadiyyah Anjuman Isha'at-e-Islam Lahore" (atau Ahmadiyah Lahore). Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35.

Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.

B.  Sejarah Aliran Ahmadiyah

Jema’at Ahmadiyah dalam bukunya mengatakan, Jema’at Ahmadiyah adalah gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Pada tahun 1889 atau tahun 1306 Hijrah. Beliau lahir di Qadian, India, pada jum’at pagi, tanggal 3 Pebruari 1835 bertepatan dengan 14 Syawal 1250 Hijrah dan berpulang kerahmatullah pada tanggal 26 Mei 1908. Menurut pendapat Jema’at Ahmadiyah bahwa berdasarkan wahyu-wahyu dan perintah Allah Swt, Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang ditunggu dan imam Mahdi yang dijanjikan kedatangannya dikemudian hari sebagaimana dinubuwwatkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Selanjutnya Jema’at Ahmadiyah menegaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah berpangkat nabi dan rasul, tetapi tidak membawa syari’at yang baru. Syari’at yang dipegang teguh oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Qur’an suci tiga puluh juz serta sunah Rasulullah Saw. Menurut Jema’at Ahmadiyah tugas Mirza Ghulam Ahmad yang berkali-kali diwahyukan oleh Allah Swt kepadanya adalah “ Yuhyî ddîna Wa Yuqîmusy Syarîah”, yaitu semata-mata menghidupkan agama serta menegakkan Syare’at Agama Islam.[1]

 

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya ia mengatakan:

 

Di dalam hal kepercayaan, apa yang Tuhan menghendaki dari kamu hanyalah demikian: kamu sekalian harus percaya bahwa Tuhan itu Esa dan Muhammad Saw adalah Nabi-Nya, beliau adalah Khâtamul Anbiyâ’, dan beliau adalah Nabi yang termulya diantara para nabi semuanya. Sesudah beliau, sekarang tiada nabi lain kecuali seorang yang secara Buruzi (cerminan) dikenakan jubah Muhammadiyat. Sebab, seorang hamba tak bisa berpisah dari majikannya; tak ubahnya seperti sebuah dahan tak pisah dari akarnya. Maka, barangsiapa yang telah menghilangkan seluruh wujudnya di dalam kefanaan terhadap majikannya dan memperoleh gelar nabi dari Tuhan, ia tidak sedikitpun

mencemarkan kedudukan mulia khâtamul nubuwat. Tak ubah halnya seperti kamu melihat rupamu pada cermin, kamu tidak menjadi dua adanya bahkan kamu tetap satu juga kendatipun nampak dua. Bedanya adalah yang satu hanyalah bentuk Zil (bayangan) dan yang lainnya adalah bentuk asli belaka. Demikianlah Tuhan menghendaki tentang seorang Masîh Mau’ûd. Disinilah letak rahasia mengapa Rasulullah Saw Bersabda bahwa Masîh Mau’ûd akan di kubur bersama-sama di dalam kuburan beliau, yakni, orang yang dimaksud itu akulah dan dalam hal ini antara wujud Rasulullah Saw Dan Masîh Mau’ûd As tidak terdapat kelainan. Mengertilah kamu seyakin-yakinnya bahwa Isa ibn Maryam sudah wafat dan kuburannya terdapat di desa Khanyar, Srinagar, Kashmir. Allah Swt telah berfirman di dalam kitab suci-Nya mengenai wafat beliau.[2]

Bila kita amati paparan Mirza Ghulam Ahmad di atas, menunjukkan bahwa ia telah mengklaim dirinya sebagai nabi, meskipun ia juga mengakui Nabi Muhammad Saw ungkapannya itu telah menimbulkan antipati sebagian besar Umat Islam yang telah punya keyakinan bahwa sesudah Nabi Muhammad Saw tidak ada lagi nabi. Pantaslah jika kemudian Sirajuddin Abbas dalam bukunya mengecam keras pendapat Mirza Ghulam Ahmad. Dalam bukunya itu, Sirajuddin Abbas dengan mengutip kitab Izâlatul Auham mengetengahkan perkataan Mirza Ghulam Ahmad yang mengatakan bahwa sayalah yang dikabarkan Tuhan dengan firmannya di dalam al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 6:

Yang Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadmu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad) maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ini adalah sihir yang nyata. ( Q.S. 61:6 ).

Dari ayat tersebut Mirza Ghulam Ahmad menafsirkan bahwa pada ayat tersebut di situ diterangkan oleh Nabi Isa As. Bahwa akan datang seorang rasul namanya Ahmad. Menurut Mirza Ghulam Ahmad kata Ahmad itu menunjuk dirinya. Terhadap pernyataan Mirza Ghulam Ahmad seperti itu, Sirajuddin Abbas mengatakan, Mirza Ghulam Ahmad telah merangkul ayat ini untuk dirinya, karena ia bernama Ahmad. Selanjutnya Sirajuddin Abbas mengatakan, andaikata boleh menafsirkan Qur’an semacam itu maka setiap orang bernama Ahmad berhak untuk mengklaim dirinya sebagai rasul sesudah Nabi Muhammd Saw Tafsir Qur’an itu harus dicari dalam hadits-hadits, bukan tafsiran sendiri atau isapan jempol sendiri.[3]

Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri Aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkhan yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu suatu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal di Gundaspur, Punjab India di situ mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtaha masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza. Mengenai pendidikannya, ia pertama-tama belajar membaca al-Qur’an dan beberapa kitab Persia. Sejak umurnya mencapai 10 tahun, ia telah mulai mempelajari bahasa arab, dan ketika umurnya mencapai 17 tahun ia mempelajari nahwu, logika dan filsafat dari seorang guru. Sedang ilmu kedokteran langsung dipelajari dari ayahnya sendiri. Dibidang ilmu agama dapat dikatakan bahwa ia belajar tanpa guru ketika umurnya mencapai 29 tahun ia berkerja pada kantor mahkamah Inggris selama 4 tahun (1864-1868), dimana ia mempunyai kesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa Inggris.

Adapun mengenai jemaatnya, bahwa jemaat Ahmadiyah pada mulanya terdiri dari orang-orang yang dapat menerima pengakuan pendirinya bahwa ia adalah Imâm Mahdi dan Al-Masîh yang dijanjikan Tuhan, serta seorang rasul Tuhan, yang bertugas untuk menegakkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan pemahaman yang lebih benar. Setelah dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahamad sendiri sampai 1908, dan kemudian oleh Hakim Nurudin sampai 1914, jemaat ini terpecah menjadi dua golongan, Pertama, Ahmadiyah Qadian, yakni Ahmadiyah yang berpusat di Qadian dan dipimpin oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad; dan Kedua, Ahmadiyah Lahore, yakni Ahmadiyah yang berpusat di Lahore, dan dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali. Sejak terbentuknya negara India dan Pakistan pada tahun 1947 Ahmadiyah Qadian memindahkan markasnya dari Qadian ke Rabwah (dipakistan), sedangkan Ahmadiyah Lahore tetap bermarkas di Lahore (juga di Pakistan).[4]

Perbedaan antara Ahmadiyah Qadian dengan Lahore, bahwa Ahmadiyah Qadian tetap percaya akan status Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi atau rasul, Imâm Mahdi, dan Al-Masîh yang dijanjikan Tuhan (sejak ia memproklamirkan status itu pada tahun 1880). Sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak mempercayai status tersebut, tapi hanya mengakui sebagai Mujadid (pembaharu). Dengan pendirian seperti itu, Ahmadiyah Lahore tidaklah memiliki aqidah-aqidah dasar yang bertentangan dengan pendirian umumnya ummat Islam, kecuali dalam hal memmandang Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai mujadid. Sebaliknya antara Ahmadiyah Qadian dan kalangan ummat Islam, terjadi pertentang keras yang sampai kepada tingkat saling mengkafirkan.

Ahamdiyah Qadian menganggap ummat Islam yang tidak percaya atau tidak mengakui status Mirza Ghulam Ahamad sebagai nabi atau rasul, Imâm Mahdi, dan Al-Masîh itu, sebagai kaum kafir, seperti halnya kaum Kitab yang dikafirkan karena tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw sebaliknya, para ulama’ Islam memandang Ahmadiyah Qadian sebagai kaum Murtad yang percaya pada nabi palsu, seperti halnya para pengikut Musailamah Al-Kazzâb, yang dihancurkan oleh Khalifah Abu Bakar.

 

 

C.Pertumbuhan dan perkembangan Aliran Ahmadiyah

Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu periode kebangkitan, periode menghadapi ujian dan periode perpecahan serta perkembangan.

 

1. Periode Kebangkitan ( 1880-1900 ).

Pada periode ini Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri jemaat Ahamadiyah berupaya untuk mengkonter serangan-serangan propagandis Hindu dan kaum Misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keadaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui ummat muslim pada umumnya dalam hubungan ini Al-Maududi menjelaskan:

Pada tahun 1880 Mirza pernah menyatakan dirinya sebagai wali Allah yang paling utama bagi umat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataan itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu.[5]

Adanya reaksi besar terhadap ajaran Mirza Ghulam Ahmad pada saat itu merupakan hal yang wajar karena apa yang dilontarkannya dianggap berlawanan terhadap ajaran yang dianut oleh masyarakat saat itu. Keanehan dari ajaran tersebut yaitu bahwa untuk membangun suatu umat yang telah mengalami Set Back sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih di perlukan wahyu Tuhan (yang baru). Oleh karena itu ia menyatakan, wahyu itu tidak terbatas di masa lampau saja tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilihNya sampai hari ini. Selain itu, disaat yang sama ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah tokoh pembaharu abad ke XIV karena ia telah merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam.

Dalam perjalanan selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad mengakui dirinya sebagai nabi dan sekaligus merupakan manifestasi dari Isa Al-Masih. Pernyataan Mirza mencengangkan dan memancing reaksi dapat disimak dari pernyataan sebagai berikut:

Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan) ialah bahwa Al-Masîh ibn Maryam itu telah wafat secara alamiyah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firmanNya); bahwa Al-Masîh dan Al-Mahdi yang dijanjikan yang dituggu-tunggu itu adalah engkau ( Mirza ).[6]

 

2. Periode Menghadapi Ujian ( 1900-1908 ).

Dalam menggulirkan gagasan-gagasan selanjutnya terutama pengakuan-pengakuannya ia menghadapi tantangan-tantangan yang berat terutama tantangan dari ummat Islam sendiri lahirnya tantangan yang berat itu di sebabkan oleh pembaharuan yang gulirkan Mirza Ghulam Ahmad sangat berlawanan dengan aqidah yang telah dimiliki ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Muhammad Saw argumentasi apapun yang  dimajukan Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa diterima oleh internal ummat Islam saat itu.

Kedaan ini mengakibatkan adanya benturan dan permusuhan antara umat Islam yang dianut Ahamadiyah dengan Islam Non Ahamadiyah. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut penulis berpendapat, sebetulnya ide yang digulirkan Mirza Ghulam Ahmad bisa diterima oleh intern ummat Islam manakala Mirza mampu mengkemas pesan-pesannya dengan bahasa yang lunak serta tidak menyentuh sensitifitas aqidah ummat Islam yang sudah mendarah daging. Sebab itulah, barang kali kurang disadari oleh Mirza Ghulam Ahmad dalam merangkul seluruh ummat Islam yang ada pada saat itu, Itulah sebabnya, tidak heran bila kemudian muncul berbagai fatwa ulama’ yang menentang ajarannya sekaligus mengecam dengan keras dan radikal pula. Atas dasar itu. Maulana Muhammad Ali memberi suatu Statement (pernyataan).

Kekerasan dan permusuhan dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya tidak mendapat belaan dari siapapun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa ulama’, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah, dan barang-barang milik mereka halal dirampas tanpa dapat dituntut dipengadilan. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dari umat Islam, Hindu dan Kristen.12

Dalam menghadapi ujian ini Mirza menyatakan:

“Celakalah kaumku! sungguh mereka tidak mengenalku, mereka mendustakan, mencaci maki, mengkafirkan serta melaknatiku sebagaimana yang di kalakukan oleh orang-orang kafir”.[7]

 

3. Periode Perpecahan Dan Perkembangan ( 1908-1924 ).

Dalam perkembangan selanjutnya, tampak bibit perpecahan dikalangan pengikut Ahamadiyah yaitu munculnya dua pemikiaran yang beragam. Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah

manejemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik dikalangan muslim sendiri maupun non muslim. Pemikiran ini merupakan salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam. Pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdisme Ahamadiyah, akan tetapi juga berhubungan dengan dasar-dasar fundamental dalam ajaran Islam. Pemikiran kedua ini menjadi pemicu utama perpecahan dikalangan Ahmadiyah, terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat.

Atas keterangan di atas, sejak munculnya dua pendapat yang kontrovesial dari intern Ahmadiyah ini, maka pada tahun 1914, terpecah aliran ini menjadi dua yaitu aliran Ahmadiyah Qadiani dan aliran Ahmadiyah Lahore sebagaimana telah dipaparkan di atas. Setelah pecah dalam kedua aliran, sikap para pengikut Mirza tampak lebih agresif dari sikap Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad tidak suka mengkafirkan muslim lain, kecuali jika dirinya dikafirkan muslim lain sebagaimana dinyatakan:

Maka mereka telah mengkafirkan aku dan mereka telah pula menfatwakan yang demikian itu untuk diriku. Dengan pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa nabi Muhammad Saw oleh sebab itu, aku tidak mengkafirkan mereka bahkan mereka sendirilah yang memasukkan diri mereka kedalam fatwa Rasulullah.

D. Ajaran/Doktrin-doktrin Aliran Ahmadiyah

1. Masalah Wahyu

Munculnya faham Ahmadiyah tidak hanya memicu pertentangan dan perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi juga di kalangan pengikut aliran Ahmadiyah sendiri. Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan tidak terputus sesudah Rasulullah SAW wafat, dan wahyu yang terhenti adalah wahyu tasyri’i atau wahyu syare’at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan: “Bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri’I, bukan wahyu mutlak”.[8] Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Cara-cara itu sebagai berikut:

a.       Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petujuk Tuhan yang masuk ke hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa agar menghanyutkan perahunya di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi Isa), atau oleh kaum laki-laki lain.

b.      Dari belakang hijjab (tirai), yang meliputi: ru’yah Salihah (mimpi baik). Wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar, sebagaimana dialami oleh Rasulullah sewaktu mi’raj. Kedua, dengan khasyaf seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi Isa) sewaktu berdialog dengan Malaikat Jibril, dan ketiga, dengan jalan Ilham.

c.       Mengutus Jibril. Wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril disebut dengan wahyu Nubuwwah. Wahyu jenis inilah yang telah terhenti. Sedangkan jenis wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.[9]

2. Jihad

Dalam ajaran Islam, dikenal jihad yang terdiri dari jihad Asghar (kecil), yaitu berperang melawan musuh dan jihad Akbar (paling besar) yaitu berperang melawan hawa nafsu. Terhadap pembagian tersebut, ajaran Ahmadiyah menambahkan satu lagi dengan istilah jihad Kabir (besar) seperti tabligh dan dakwah. Jihad besar dan paling besar akan terus berjalan sepanjang masa, sedangkan jihad kecil memiliki beberapa persyaratan secara insidental.[10]

Jihad melawan musuh dengan mengangkat senjata, menurut ajaran Ahmadiyah hal itu sudah tidak relevan lagi. Untuk saat ini, jika umat Islam hendak berrjihad, cukuplah dengan menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui karya-karya tulis yang dituangkan dalam media-media yang sudah tersedia saat ini. Menurut ajaran Ahmadiyah, umat Islam mencontoh mengisi dakwah yang disampaikan oleh Isa as yaitu dakwah yang cinta damai tanpa melakukan kekerasan dan perlawanan 

3. Masalah Nubuwwah

Sebenarnya ada dua kelompok Ahmadiyah yang berbeda penafsiran tentang klaim Mirza Ghulam Ahmad. Cabang Qadian, menganggap bahwa Mirza Ghulam adalah seorang nabi, sementara cabang Lahore mengklaim bahwa ia hanyalah seorang pembaharu(mujaddid).

Dalam hubungannya dengan nubuwwah terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Qardiani dan sekte Lahore. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ada dua versi, yang pertama diistilahkan dengan Nubuwwah Tasyri’iyah (kenabian yang membawa syari’at), dan kedua adalah Nubuwwah Ghair Tasyri’iyyah (kenabian tanpa membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua meliputi, Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Ghair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri)

Para nabi yang mandiri adalah semua nabi yang datang sebelum Nabi Muhammad SAW, dimana mereka tidak perlu mengikuti syari’at nabi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi tidak mandiri yaitu nabi yang mengikuti syariat nabi sebelumnya, seperti kenabian MIrza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW

Nabi mandiri dalam pandangan sekte Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuknya guna menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari’at itu menjadi lebih sempurna. Sekte Lahore menyimpulkan bahwa nabi yang tidak membawa syari’at disebut dengan nabi lughawi atau nabi majazi, yang berarti seseorang yang mendapat berita dari langit atau dari Tuhan. Dan mereka menganggap bahwa nabi yang membawa syariat mereka disebut dengan nabi hakiki.

Menurut faham Lahore, Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nabi hakiki. Berbeda dengan faham Qardiani yang memandang bahwa, Mirza Ghulam adalah seorang nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya. Menurut sekte Qardiani, seorang Qordiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yag lain, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Qur’an dan yang dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti al-mahdi yang dijanjikan. Meskipun demikian, kedua aliran tersebut terdapat juga persamaanya yaitu, mereka sepakat tentang berakhirnya nabi mandiri sesudah Nabi Muhammad SAW.

E. Sekte-sekte Aliran Ahmadiyah

     1. Ahmadiyah Qadiani

Golongan ini mengakui akan kenabian Mirzha Ghulam Ahmad dan mereka yang tidak mengakui maka dianggap kafir. Sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid saja, tetapi juga sebagai nabi dan yang harus ditaati dan dipatuhi ajarannya.[11]

Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai khalifah al-mahdi yang kedua tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah. Disaat yang sama, muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad Ali yang tidak menyetujui prinsip golongan pertama yang disebut dengan Ahmadiyah Lahore.

2. Ahmadiyah Lahore

  Ahmadiyah Lahore disebut juga dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam. Golongan ini tidak terlalu menyimpang jauh seperti Qadiani tetapi heterodox artinya menyimpang dari sunni, mereka beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai Mujaddid (pembaharu Islam). Dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadiani berpendapat bahwa aliran tersebut muncul karena ambisi Maulawi Muhammad Ali sebagai khalifah terwujud. Oleh sebab itu, mereka memisahkan diri dan membentuk golongan baru yang berpusat di Lahore. Namun tampaknya yang menjadi sebab perpecahan itu adalah lebih berpusat dalam masalah akidah.

F. Tokoh Aliran Ahmadiyah

1. Mirza Ghulam Ahmad

Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1839M. ayahnya bernama Atha Murtadha yang berkebangsaan Mongol. Namun anehnya, Mirza Ghulam mengatakan bahwa, “Keluarga dari Mongol, tetapi berdasarkan firman Allah tampaknya keluargaku berasal dari Pesia dan aku yakin itu. Sebab, tidak ada yang mengetahui seluk beluk keluargaku seperti yang datang dari Allah SWT”. Dia juga pernah berkata, “Aku pernah membaca beberapa tulisan ayah dan kakekku kalau mereka berasal dari suku Mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku bahwa aku berasal dari Persia”. Dan dia juga mengaku sebagai keturunan Fathimah bin Muhammad.

Dari sinilah muncul pemahaman-pemahaman yang kurang rasional. Dan banyak dari kalangan ulama pada masanya yang menentang ajaran-ajaran Ahmadiyah ini. Bukannya memberikan bukti-bukti yang nyata, Mirza Ghulam Ahmad malah menghina dengan mengatakan bahwa orang-orang yang menentangnya lebih najis dari babi. Ia juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad hanya memiliki tiga ribu mukjizat saja, sedangkan Mirza Ghulam memiliki lebih dari satu juta jenis. Ia juga mengatakan bahwa Nabi Isa adalah bukan orang yang dapat dikatakan sebagai orang sholeh, sebab orang-orang mengetahui bahwa Nabi Isa suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik. Mirza Ghulam juga mengatakan bahwa Nabi Isa cederung menyukai para pelacur karena nenek-neneknya adalah termasuk pelacur. Selain itu, Mirza Ghulam juga menghina para sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Hurairah. Mirza Ghulam Ahmad mengatakan bahwa Abu Hurairah adalah orang yang dungu. Dia tidak memiliki pemahaman yang lurus.

Perbuatan Mirza Ghulam Ahmad tidak sedikit para ulama yang menentang dan berusaha untuk menasehati Mirza Ghulam Ahmad agar ia bertaubat dan menghentikan dakwahnya. Namun usaha itu juga tidak membuat penyebar ajaran ahmadiyah ini surut. Syeikh Tsanaullah adalah satu diantara sekian banyak ulama yang berusaha keras menentangnya dan menasehatinya. Mirza Ghulam merasa terganggu dan akhirnya mengirimkan surat kepada Syeikh Tsanaullah yang berisi tentang keyakinan hatinya bahwa ia adalah seorang nabi, bukan pendusta, bukan pula Dajjal sebagaimana yang diarahkan kepadanya oleh para ulama. Ia juga mengatakan bahwa sesungguhnya yang mendustakan kenabiannya itulah pendusta yang sesungguhnya. Diakhir suratnya itu, ia berdo’a dengan mengatakan, “Wahai Allah yang maha mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika ada seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas nama-Mu pada siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih hidup dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan seba kematianku. Wahai Allah, jika aku benar sedangkan Tsaunallah berada di atas kebhatilan pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas”.

Dan ternyata Allah SWT mendengar do’a setelah 13 bulan lebih sepuluh hari setelah do’a itu yakni pada tanggal 26 Mei 190, Mirza Ghulam dibinasakan oleh Allah dengan penyakit kolera yang diharapkan menimpa Syeikh Tsanaullah. Sementara Syeikh Tsanaullah masih hidup sekita 40 tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.[12]

Setelah wafatnya Mirza Ghulam Ahmad, gerakan ini dipimpin oleh para khalifah sebagai berikut:

a.    Khalifah Masih I       : Hazrat Maulvi Nuruddin (1908-1914)

b.    Khalifah Masih II     : Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965)

c.    Khalifah Masih III    : Hazrat Hafiz Nasir Ahmad (1965-1983)

d.   Khalifah Masih IV    : Mirza Tahir Ahmad (1983-2003)

G. Perkembangan Pemikiran Aliran Ahmadiyah dalam Dinamika Kontemporer

Jemaat muslim ahmadiyah adalah satu organisasi keagamanaan internasional yang tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia. Pergerakan jemaat Ahmadiyah dalam islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasionl yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Autralia, dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia, Belanda, Sunda, dan Jawa. Sejarah penyebaran Ahmadiyah di Indonesia.

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Mirza Ghulam Ahmad mengakui dirinya nabi dan rasul utusan tuhan. Dia mengaku dirinya menerima wahyu yang turunnya di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan seluruhnya, sehingga merupakan sebuah kitab suci yang mereka beri nama dengan kitab suci Tadzkirah. Dan menganggap bahwa kitab itu lebih besar daripada kitab suci al-Qur’an.

Ajaran Ahmadiyah menganggap bahwa yang bukan pengikut ajaran ini, itu dianggap kafir. Makanya, hal itulah yang bertentangan dengan akidah Islam yang benar. Ajaran Ahmadiyah melahirkan dua sekte, yaitu sekte Qadiani yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang harus ditaati, dan sekte Lahore yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang pembaharu(mujaddid).

B.  Saran

Dalam prosesnya, pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini bisa lebih sempurna dan bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Internet:

http://meddykusmadi.blogspot.co.id/2012/11/aliran-ahmadiyah.html. Diakses  pada 1 November 2017

https://qycha.wordpress.com/2014/11/14/pemikiran-kalam-ahmadiyah/. Diakses  pada 1 November 2017

Sumber  dari Buku :

Al- Maududi, Mâhilyal Qadî Yaninnyah, Dar Al-Kalam, Kuwait, t.th

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Meri Ta’lim, Alih Bahasa, R. Ahmad Anwar, Ajaranku, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Parug, 1998

Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, Dipersembahkan Kepada yang Kami cintai Bangsa Indonesia, Cet. VI, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1989

Mirza Ghulam Ahmad, Itmâmut-Hujjab Alal-Lâzi Lajja Wa Zaghâ Anil Mubajjab, Kalzar Muhamadi, Lahore, 1311/1892

Moh Rifa’i, Perbandingan Agama, Cet. VII, Wicaksana, Semarang, 1983

Nazir Ahmad. Al-qawl As-Sharib Fizubur Al-Mahdy Wa Al-Masih, Nawa-I Waqt Printers Ltd, Lahore, 1970

S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia), 1978

Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahli Sunah Wal Jama’ah, Jakarta, 1969


Footnoote

[1] Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, Dipersembahkan Kepada yang Kami cintai Bangsa Indonesia, Cet. VI, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1989, hlm. 19

[2] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Meri Ta’lim, Alih Bahasa, R. Ahmad Anwar, Ajaranku, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Parug, 1998, hlm. 18-19

[3] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahli Sunah Wal Jama’ah, Jakarta, 1969, hlm. 344 -345.

[4] Moh Rifa’i, Perbandingan Agama, Cet. VII, Wicaksana, Semarang, 1983, hlm. 157-158

[5] Al- Maududi, Mâhilyal Qadî Yaninnyah, Dar Al-Kalam, Kuwait, t.th. Hlm. 22-25

[6] Mirza Ghulam Ahmad, Itmâmut-Hujjab Alal-Lâzi Lajja Wa Zaghâ Anil Mubajjab, Kalzar Muhamadi, Lahore, 1311/1892 H, hlm. 3

[7] Mirza Ghulam Ahmad, Hammat Al-Busyara Ilâ Ahlil-Makkata Wa Shîlab’i ûmmul-Qurâ, Al-Munsyî Ghulam Qadir Al-Fashih, Sialkot, 1311 H/1892, hlm. 19.

[8] Nazir Ahmad. Al-qawl As-Sharib Fizubur Al-Mahdy Wa Al-Masih, Nawa-I Waqt Printers Ltd, Lahore, 1970, hal. 66.

[9] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia), 1978, hal. 35-36.

[10] Nazir Ahmad. Al-qawl As-Sharib Fizubur Al-Mahdy Wa Al-Masih, Nawa-I Waqt Printers Ltd, Lahore, 1970, hal. 69-70.

[11] https://qycha.wordpress.com/2014/11/14/pemikiran-kalam-ahmadiyah/

[12] http://meddykusmadi.blogspot.co.id/2012/11/aliran-ahmadiyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...