BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraa’atul Qur’an
Bahwa sesungguhnya qiraat adalah jamak dari qira’ah yang berarti ‘bacaan’ dan ia adalah masdar dari qara’ah. Sedangkan Menurut istilah ilmiah qiraat adalah berbeda dengan mazhab salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qira’at adalah salah satu madhhab pembacaan al-qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madhhab yang berbeda dengan madhhab lainnya.[1]
Secara istilah ilmu qira’at berarti suatu imam atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca al-qur’an. Sedangkan menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) al-qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.[2]
Qira’at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kpada rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qira’at) yang mengrjakan bacaan al-qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraa’at adalah Ubai , Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar para sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiro’at. Mereka semua bersaandar kepada Rasulullah SAW.
Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi’in, tampillah para ulama yang membulatkan tega dan prhatiannya terhadap masalah qiraa’at secara semprna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu displin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang ter kenal sebaga imam yang kepada mereka dihubungkanlah (dnisbatkan) qira’at hingga sekarang ini. Adapun ketujuh imam yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh dunia di antara nama-nama tersebut adalah Abu Amir, Nafi’, Asim, Hamzah al-Kisa’i, ibn Amir dan Ibn Katsir. Qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits pada bab sebelumnya menurut pendapat yang paling kuat, sebab Qira’at-qira’at hanya merupakan madhhab bacaan al-Qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara mengucapkan dan sifatnya, seperti tafkhim ,tarqiq, imalah, idghom, idzhar, isyba’, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagaiya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.[3]
B. Macam-macam Qira’at, Hukum dan kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraa’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syaz. Menurut mereka, qiraat mutawattir ialah qiraat yang tujuh, sedang qira’at ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at ditambah qiraat para sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan qiraat yang sepuluh adalah mutawatir . kemudian dikatakan pula bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qira’at yang shahih.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah b.arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunnah yang harus di ikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (penalaran).
2. Qiraat ssesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipunhanya mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan brmacam-macam dialek qiaat yang mereka ketahui.
3. Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada kselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Kalimat diatas telah menjelaskan syarat-syarat yng ditentukan dalam dabit bagi qiraat yang sahih. Apabila ketiga syarat itu bisa terpenuhi, yitu a) sesuai dengan bahasa arab, b) sesuai dengan rasam mushaf dan 3) shahih sanadnya. Maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shahih. Apabila dari salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.
Sebagian ulama’ menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam:
Pertama: Mutawattir yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar priwayatan yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
Kedua: Masyhur yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga karnanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz.
Ketiga: Ahad, yaitu qiraat yag shahih sanadnya tetapi menyalahi rasam usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak tekenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan, qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang diamalkan bacaannya.
Keempat: Syaz, yaitu qiraat yang tidak shohih sanadnya.
Kelima: Maudu’, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
Keenam: Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibn Abbas.
C. Faedah Beraneka ragamnya Qiraat yang Sahih
Dengan bervariasinya qiraat yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi di antaranya:
1. Menunjukkan betapa terjaga terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyampingan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca Qur’an.
3. Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)nya karena setiap qiraat meunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya, mereka adalah ulama’ yang terkena hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnya, adalah:
a. Abu ‘Amr bin Ala’. Seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Ala’ bin Amr al-Mazini al-Basri. Ada yag mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah kunyah-nya itu. Ia wafat di Kufah pada 154 H dan dua orang perawinya adalah ad-Dauri dan as-Susi. Ad-dauri dalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Daur nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 246 H as-Susi adalah abu Syu’aib Salih bin Ziyad bin Abdullah as-Susi ia wafat pada 261 H.
b. Ibnu Kasir nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al-Makki. Ia termasuk seorang tabi’in dan wafat di Mekah pada 120 H. dua orang perawinya adalah al-Bazi dan Qunbul. Al-Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Bazah. Muazzin di mekkah. Ia diberi kunya Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H. sedangkan Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa’id al-Makki al-Mahzumi. Ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabillah . ia wafat di mekah pada 291 H.
c. Nafi’ al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruawim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laisi , berasal dari Isfahan, dan wafat di Medinah pada 169 H.
d. Ibn amir asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin amir al-Yahsubi, seorang qadi (hakim) di Damaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabi’in . wafat di damaskus pada 118 H.
e. Asim al-Kufi. Ia adalah Asim bin Abun Najud , dan dinamakan pula Ibn Bahdala, Abu bakar. Ia termasuk seorang tabi’in, dan wafat di Kufah pada 128 H.
f. Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah az-zayyat al-fardi at-Taimi. Ia diberi kunyah abu Imarah, dan wafat di Halwan pada masa pemeintahan abu Ja’far al-mansur tahun 156 H.
g. Al- Kisa’i al-Kufi. Ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di kufah.
D. Al-Waqf dan al-ibtida’
Waqaf artinya berhenti di suatu kata ketika membaca al-Qur’an baik di akhir ayat maupun di tengah ayat.[4]
Kata al- waqaf biasa dipakai untuk dua makna, makna yang pertama adalah titik atau dua makna, makna yang pertama adalah titik atau tanda dimana seseorang yang membaca al-qur’an diam (menghentikan bacaannya) pada tanda tersebut. Makna yang kedua adalah tempat-tempat (posisi) yang ditunjukkan oleh para imam ahli qira’at. Dengan demikian setiap tempat (posisi) dari tempat-tempat tersebut dinamakan waqaf, sekalipun seorang pembaca al-Qur’an tidak berhenti di tempat (posisi) tersebut.
Pengetahuan tentang al-waqf dan al-btida’ mempuyai peranan penting dalam cara pengucapan al-Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan. Pengetahuan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang berbagai ilmu kebahasan, qiraat dan tafsir al-qur’an , sehingga arti sesuatu ayat tidak menjadi rusak. Tentang waqaf dan ibtida’ sagat berfaedah dalam memahami makna dan menganalisis hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian waqaf. Menurut pendapat yang masyhur, waqaf terbagi empat macam yaitu : tam-mukhtar, kafin-jaiz, hasan-mafhum dan qabih-matruk.
a). Tam: adalah waqaf pada lafal yang tidak berhubungan sedikitpun dengan lafal sesudahnya. Waqaf tam banyak terdapat pada ra’s al-ayat (penghujung ayat).
b). Kafin-jaiz : yaitu waqaf pada suatu lafal yang dri segi lafal telah terputus dari lafal sesudahnya, tetapi maknanya masih tetap bersambung.
c). Hasan : yaitu waqaf pada lafal yang dipandang baik pada lafal itu tetapi tidak baik memulai dengan lafal yang sesudahnya karena masih berhubungan dengannya dalam lafal dan maknanya.
d). Qabih : yaitu waqaf pada lafal yang tidak dipahami maksud sebenarnya, seperti waqaf pada firman : Iaqad kafar al-ladhina qalu.
E. Tajwid dan Adab Tilawah
Para ulama, dahulu dan sekarang, menaruh perhatian besar terhadap tilawah (cara membaca) al-qur’an sehingga megucapkan lafal-lafal al-qur’an mejadi baik dan benar. Cara membaca ini, dikalangan mereka dikenal dengan Tajwid al-Qur’an. Tajwid sebagai suatu disiplin ilmu mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomi dalam pengucapan huruf huruf dari makhrajnya di samping harus pula diperhatikan hubungan setiap huruf dengan sebelum dan yang sesudahnya dalam cara pengucapanya.
Para ulama memanganggap qiraat al-qur’an tanpa tajwid sebagai suatu lahn, yakni kerusakan atau kesalahan yang menimpa lafal, baik secara jaili maupun secara khafi. Lhan jaili adalah kerusakan pada lafal, secara nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qira’at maupun lainnya, misalnya kesalahan I’rab atau saraf. Lhan jail adalah kerusakan pada lafal yang hanya dapat diketahui oleh ulama qira’at dan para pengajar al-qur’an yang cara bcaannya diterima langsung dari mulut para ulama qiraat dan kemudian lafalnya dengan teliti .
Qiraat itu sebenarnya ada yang bersifat tahqiq yaitu dengan cara memberikan kpada setiap huruf akan haknya dan disesuai dengan Tartil yaitu dengan bacaan yang pelan pelan dan tenang serta suara lembut, ada juga yang bersifat hadar yaitu membaca cepat dengan tetap memprhatikan syarat syarat pengucapan yang benar, da nada pula yang bersifat tadwir yaitu pertengahan antara kedua sifat dan cara tadi.
F. Adab Membaca Al-qur’an
Disunahkan bagi orang yang membaca al-Qur’an :
1. Membaca al-qur’an sesudah wudhuh karena termasuk dzikir yg palig utama meskipun boleh membacanya bagi orang yg berhadast
2. Membaca ditempat yang suci dan bersih untuk mejaga keagungan al-qur’an
3. Membacanya dengan khusyu’ tenang dan penuh hormat
4. Bersiwak(membersihkan mulut)
5. Membaca ta’awudh pada permulaannya
6. Membaca basmallah ketika diawal surah kecuali di surah at-taubah
7. Membaca dengan tartil
8. Memikirkan ayat-ayat yang dibacanya
9. Meresapi ayat ayat al-qur’an yang berhubungan dengan janji maupun ancaman
10. Membaguskan suara dengan membaca al-qur’an
11. Mengeraskan bacaan al-qur’an karna jahar lebih utama.
Baca juga artikel yang lain:
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
- Qira’atul Qur’an
- Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
- Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
- Kodifikasi Al-Qur'an
- Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
- Muhkam dan Mutasyabih
- Mafhum Mukhalafah
- Mantuq dan Mafhum
- I'jazul Qur'an
- Nasikh dan Mansukh
[1] Manna Khalil al-qattan, Studi Ilmu-ilmuQur’an…, hlm.247
[2] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran(Jakarta: Amzah, 2010), hlm.46.
[3] Manna Khalil al-qattan, Studi Ilmu-IlmuQur’an…, hlm. 248-249.
[4] Abdul Aziz Abdur Ra’uf al-Hafiz, Pedoman Dauroh Al-Qur’an (Jakarta: Dzilal Press, 1995), hlm. 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar