BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat atas kebenaran sesuatu atau studi yang membahas tentang fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.
Kehadiran aliran filsafat Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Pada satu sisi aliran Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pemikiran atau pengetahuan, sedangkan aliran Empirisme berpendirian bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh yang menolak kedua pandangan tersebut adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).
Immanuel Kant berusaha menawarkan prespektif baru dan berusaha mengadakan penyelesaian permasalahan itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme atau Kontianisme. Secara harfiah kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Immanuel Kant bermaksud membeda-bedakan antar pengenalan yang murni dan tidak murni, yang tiada kepastiannya. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Filsafat Kritisisme ?
2. Bagaimana biografi tokoh Filsafat Kritisisme ?
3. Bangaimana pandangan Immanuel Kant terhadap Filsafat Kritisisme ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui lebih jelas pengertian dari Kritisisme
2. Untuk mengetahui biografi tokoh Filsafat Kritisisme
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant terhadap Filsafat Kritisisme tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Kritisisme
Filsafat Kritisisme adalah filsafat yang dipelopori oleh Immanuel Kant dimana ia memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.[1]
Filsafat Immanuel Kant disebut sebagai filsafat kritis, karena pemikirannya mengkritik mengkritisi aliran filsafat sebelumnya yaitu Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Immanuel Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. karena itulah, ia menawarkan sebuah konsep ”Filsafat Kritisisme” yang merupakan sisntesis dari Rasionalisme dan Empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara.
Dengan itu, Immanuel Kant kemudian mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak Rasionalisme dan sifat sepihak Empirisme. Gagasan ini muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya, yaitu apa yang harus saya lakukan ? dan apa yang boleh saya harapkan?.[2] Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman. Sedangkan Empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa Empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Dengan kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia itu sendiri. Namun menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahiriyah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indra kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik dimana hal itu merupakan materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniyah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.[3] Immanuel Kant bermaksud mengadakan penilitian yang kritis terhadap rasio murni dan mewujudkan pemikiran tersebut kedalam beberapa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik.
Immanuel Kant tidak bermaksud mencari mana yang lebih benar dari yang lainnya. Rasionalisme lebih benar dari Empirisme kah, ataukah sebaliknya, Empirisme lebih benar dari Rasionalisme. Pemikiran monumental Kant ini hendak memadukan kedua pendapat yang awalnya bertolak belakang, menjadi sebuah paduan yang saling melengkapi. Pengetahuan adalah hasil dari perpaduan rasio yang hidup denngan dihadapkan kepada materi empirik.
Atau dengan kata lain, Kritisisme Kant sekaligus mengakhiri pendapat sebelumnya yang menganggap akal pikiran hanyalah berfugsi sebagai “container” (alat tempat menyimpan sesuatu dan bersifat pasif). Dalam Kritisisme, pengetahuan itu terkait dengan terjalinnya hubungan yang kokoh antara ide-ide (seabgai isi pokok dari pada akal pikiran), dan dunia luar pada umumnya. Akal pikiran yang dikatakan mempunyai ide-ide tertentu dalam dirinya sendiri yang dapat memaksa kita untuk menyatukan sifat-sifat dari dunia luar dalam satu kerangka keilmuan tertentu.[4]
Filsafat aliran Kritisisme ini muncul pada abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara Rasionalisme dengan Empirisme. Zaman baru ini disebut zaman percerahan (aufklarung), zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi seorang filosof Jerman Immanuel Kant mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan telah mencapai hasil yang menggembirakan. Di sisi lain filsafat jalannya tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.[5]
B. Biografi Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir di Konigsberg, Prusia, pada tahun 1724 dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant. Setelah itu, ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, tetapi pada tahun 1730-1740 perdangangan di Königsberg mengalami kemerosotan. Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan. Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.
Sejak kecil, Kant tidak pernah meninggalkan desa kelahirannya kecuali beberapa waktu singkat karena memberikan kuliah di desa tetangganya. Professor ini sangat doyan memberikan kuliah geografi dan etnologi. Pada tahun 1755, Kant memulai karirnya sebagai dosen swasta di Universitas Konisberg. Kemudian ia meninggalkan kedudukan itu setelah lima belas tahun. Dua kali lamarannya untuk menjadi guru besar ditolak dan akhirnya pada tahun 1770 ia diangkat menjadi professor logika dan metafisika. Setelah beberapa tahun mengajar, ia banyak melahirkan buku-buku tentang pendidikan yang berisi pendapat-pendapatnya yang sangat istimewa. [6]
Pada usia 40 tahun, ia merasa beruntung karena menyenangi metafisika ia sendiri rupanya tidak menyadari bahwa sifat-sifat metafisikawan itu sebenarnya ada pada dirinya. Sebelum tertarik pada metafisika, ia lebih dulu menyenangi pengetahuan yang bukan metafisika. Ia menulis tentang planet, gempa, api, angin, eter, gunung, bumi, etnologi, dan ratusan subjek lainnya yang tidak berhubungan dengan metafisika.
Kehidupan Kant, menurut salah seorang penulis biogafi, berlangsung menurut aturan yang tegas : bangun, minum kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu rumahnya, berjalan menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut tempat jalan-jalan sang filosof. Maka tahulah tetangganya bahwa itu berarti jam setengah empat. Ia berjalan naik-turun sepanjang musim, dan tatkala udara berkabut atau hujan, Lampe, pelayannya yang sudah tua, menjaganya dengan susah payah sambil memayunginya, seperti perlambang kebijaksanaan.
Secara fisik ia lelah, memerlukan perwatan dokter, tetapi ia hidup sampai usia delapan puluh tahun. Ia memang filosof tulen. Ia selalu berpikir lebih dahulu sebelum berbuat. Barangkali karena inilah ia membujang seumur hidup. Dua kali ia mencoba mendekati perempuan. Karena Kant terlalu memikirkan sebelum berbuat dan membutuhkan waktu yang lama membuat perempuan itu meninggalkanya dan menikah engan pemuda lain. Mungkin ia berpikiran seperti Nietzsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran sedangkan Kant pada umur dua puluh dua tahun telah menyatakan, “saya sudah menetapkan jalan yang pasti. Saya ingin belajar, tidak satu pun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu.”
Melalui berbagai kondisi ia terus menyelesaikan karya besarnya selama lima belas tahun. Selesai tahun 1781 tatkala ia berumur lima puluh tujuh tahun. Belum pernah ada orang yang matang selambat itu dan juga belum pernah ada buku sehebat itu dalam mengguncangkan dunia pemikiran.
Perkembangan filsafat Kant umumnya dibagi menjadi duaa, yakni periode pra-kritis dan periode kritis. Dalam periode pra-kritis, Kant banyak menulis mengenai filsafat ilmu alam dan metode-metodenya. Sejak muda, Kant memang telah memiliki ketertarikan pada metode ilmu alam. Ketertarikan atas metode itu terutama karena Kant yakin bahwa yang membuat ilmu-ilmu alam dapat maju secara konstan adalah metode yang digunakannya. Ilmu alam dapat dikatakan maju karena begitu sebuah teori atau hukum ditemukan, maka hukum tersebut dapat menjadi batu loncatan untuk penemuan berikutnya. Dan tidak ada lagi ahli yang kemudian membahas atau membuktikan kekeliruan hukum tersebut. hal serupa tidak terjadi pada filsafat dan metafisika. Dalam filsafat dan metafisika, begitu sebuah pendapat diajukan oleh seorang filsuf, maka ia langsung dikritik oleh filsuf lain, sehingga metafisika atau filsafat itu kelihatan tidak maju, melainkan hanya berputar-putar dalam rangkaian kritik atas kritik. Nah, Kant ingin mengakhiri rangkaian kritik atas kritik yang tanpa akhir ini, yakni dengan mencoba mmenerapkan metode ilmu alam ke bidang filsafat dan metafisika. Tujuannya jelas : agar metafisika juga dapat mencapai kemajuan seperti ilmu-ilmu alam dan matematika. Pada periode kritis-nya, Kant mulai menerapkan metode ilmu alam untuk masalah metafisika. Periode ini ditandai oleh penulisan buku Kritik atas Akal Budi Murni (KABM). Usaha untuk menerapkan metode ilmu alam inilah yang kemudian tertuang dalam buku KABM dan juga buku-buku lainnya.
Immanuel Kant menjadi tonggak filsafat Barat Modern, terutama melalui bukunya Kritik atas Akal Budi Murni(KABM). Tujuan utama Kant dalam buku ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai : Kritik terhadap akal budi murni dan kritik melalui (dengan menggunakan) akal budi murni.
Dalam buku ini, akal budi murni menjadi hakim sekaligus terdakwa. akal budi murni melakukan kritik terhadap akal budi murni melalui akal budi murni itu sendiri. KABM adalah buku yang sangat sulit dipahami dan membingungkan, sehingga seringkali pembaca pertamanya menjadi salah faham. Karena itu Kant merevisi bukunya dan kemudian ia menulis buku lain yang meringkas buku tersebut dan berjudul Prolegomena untuk setiap Metafisika di Masa Depan yang mampu menyebut dirinya sebagai ilmu.
C. Pandangan imanuel kant terhadap filsafat hingga tercipta filsafat kritisisme
Metafisika adalah ‘ratu’ilmu - ilmu, demikianlah anggapan umum yang tersebar di antara filsuf abad pertengahan (400 – 476 AD sampai 1453 – 1517 AD) dan awal filsafat modern. Akan tetapi pernyataan tesebut kini telah banyak dikritik, terutama karena banyak klaimnya yang tidak bisa didasarkan secara memadai melalui pengalaman inderawi, sehingga, terutama dari sudut pandag sains, refleksi – refleksinya dianggap tidak ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kegelisahan tentang status metafisika memang masih menjadi perdebatan di dalam dunia filsafat, bahkan sampai sekarang. Metafisika disini bukanlah dalam arti mistik atau klenik, melainkan cabang dari filsafat yang ingin merefleksikan realitas sampai dasar terdalamnya , dan menemukan prinsip – prinsip yang menentukan “ada”-nya realitas tersebut.[7]
Perdebatan di dalam refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada. Konsekuensinya, metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatism dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba – raba secara acak.
Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya itu, Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat.
“Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya dengan obyek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih berhasil di dalam metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa obyeklah yang harus menyesuikan diri dengan kesadaran kita…. Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”[8]
Dalam ranah filsafat, metafisika, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, mengacu pada cabang filsafat yang hendak memahami hakekat fundamental dari seluruh realitas. Hakekat itu bisa tampak bagi mata, tetapi juga bisa tidak. Metafisika berusaha mendeskripsikan realitas secara sangat mendasar (basic), sederhana (simple), dan luas, sehingga deskripsinya bisa mencakup semua hal.
Dalam konteks ini metafisikus adalah sebutan umum bagi orang yang tertarik untuk menemukan dasar dari seluruh realitas. Dan bisa dibagi setidaknya dua jenis kategori metafisikus.yang pertama adalah para materialis, yakni orang – orang yang berpendapat bahwa seluruh realitas ini sebenarnya adalah materi yang bergerak terus menerus. Sementara di sisi lain, para idealis yang berpendapat bahwa seluruh realitas terdiri dari ide – ide, pikiran, ataupun roh. Gaya berpikir ini sering juga disebut sebagai metafisika tradisinal yang bersifat dogmatis. Disebut tradisional karena cara berpikir ini banyak digunakan oleh filsuf abad pertengahan dan di awal filsafat modern, dan disebut dogmatis, karena metafisika ini mengklaim mampu mengetahui hakekat dasar dari realitas secara mutlak, serta tidak kritis terhadap batas – batas pengetauan manusia.
Salah satu filsuf yang dengan gencar mengkritik metafisika, dalam arti metafisika tradisional (traditional metaphysic), di dalam sejarah filsafat modern adalah imanuel kant. Akan tetapi menurut Karl Ameriks, proyek kritis atas metafisika yang dirumuskan oleh Kant tersebut tampak mengandung ambiguitas, bahkan sejak perumusannya dimulai.[9]
Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776) Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintetis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas. Kritiknya terhadap metafisika juga terdapat di dalam tanggapannya ini.[10]
Pencerahan adalah kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’ (Beranilah Berpikir Sendiri!). seperti dikutip oleh Gardner, Kant menulis,
“Masa di mana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa krtisme, dan untuk mengkritik apapun yang ada. Termasuk di antaranya adalahh agama dengan kesuciannya, hukum yang telah terberi dengan kemuliaannya.. haruslah mampu bertahan di hadapan ujian akal budi yang bebas dan terbuka.”
Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin, bahwa kemajuan sudah merupakan bagian inheren di dalam karakter manusia itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami dunianya melalui sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan oleh Isaac Newton (1642-1727).
Baca juga artikel yang lain:
- Adab Suami Istri
- Aliran Syi'ah
- Ahli Sunnah Wal Jama'ah
- Aliran Khawarij
- Aliran Ahmadiyah
- Biografi Immanuel Kant
- Filsafat Kontemporer
- Filsafat Modern
- Filsafat Kritisisme
- Filsafat Abad Pertengahan
- Filsafat Pada Masa Yunani Klasik
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat kritisisme merupakan filsafat yang mengkritik dua filsafat sebelumnya yaitu rasionalisme yang mengedepankan akal da empirisme yang mengedepankan pengalaman empirik. Filsafat kritisisme berpendapat bahwa dalam memperoleh sebuah ilmu kit membutuhan dua unsur yakni rasio dan pengalaman.
Filsafat kritisisme di kemukakan oleh seorang ahli filosof Immanuel Kant. Immanuel Kant lahir di Prusia, Konisberg. Sejak kecil ia sudah bergelut dengan dunia metafisika sehingga membuatnya berfikir secara kritis hingga dewasa.
Immanuel Kant selalu menekankan berfikir kritis dalam dunia metafisika. Ia juga mengatakan bahwa pencerahan adalah kemunculan manusi dari ketidak dewasaan yang dibuatnya sendiri. Hal ini mejadikan sebuah semboyan “Beranilah Berpikir Sendiri” yang kemudian dikuatkan dengan kutipan Immanuel kant bahwa hidup harus mengkritik apapun yang ada. Termasuk di antaranya adalah agama dengan kesuciannya, hokum yang telah diberi dengan kemuliaan haruslah mampu bertahan di hadapan akal budi yang bebas dan terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. 2002. Filsafat Umum . Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Asmoro Ahmadi, 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Juhaya, 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: PrenadaMedia
Reza A.A Wattimena,2010. Filsafat kritis,Iimanuel Kant, mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Imanuel Kant atas Metafisika. Surabaya : PT Evolitera
Susanto, 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara
http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html (diakses pada 23 Oktober 2017)
http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html (diakses pada 24 Oktober 2017)
[1]Juhaya,Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. (Jakarta: PrenadaMedia, 2008), 114.
[2] Susanto,Filsafat Ilmu. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 38.
[3] http://ozziexdanuarta.blogspot.com/200/10/kritisisme-filsafat-ilmu.html
[4] http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html
[5]Asmoro Ahmadi,Filsafat Umum. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 118.
[6] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002) h.157
[7] Reza A.A Wattimena, Filsafat kritis,Iimanuel Kant, mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Imanuel Kant atas Metafisika (Surabaya, 2010, PT Evolitera) h.1
[8] Ibid. h 7-8
[9]Ibid, h 2 - 3
[10]ibid, h 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar