DAFTAR ISI
COVER................................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................3
A. Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahab.............................. 3
B. Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab................... 5
C. Pokok-pokok Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.............. 10
D. Karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab.................................. 14
BAB III PENUTUP................................................................................ 16
A. Kesimpulan..................................................................................... 16
Daftar Pustaka......................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara yang damai dan santun sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.
Islam adalah agama ciptaan Allah yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia memandang akal sebagai satu nikmat agung yang harus dijaga dan diarahkan.
Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui budaya, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat, dan sebagainya. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Pemikiran adalah produk akal manusia sekaligus menjadi ciri khasnya yang membedakan dengan makhluk lainnya. Pemikiran ini mengalami proses yang sifatnya dinamis dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, keyakinan, budaya dan interaksinya dengan alam. Sesuai dengan berjalannya waktu, ilmu kalampun semakin berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.Untuk itu, makalah ini akan membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut mencurahkan pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad bin abdul wahhab. Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan pemikiran kalam muhammad bin abdul wahhab.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana riwayat hidup Muhammad bin Abdul Wahab?
2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab?
3. Bagaimana pokok pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab?
4. Apa saja karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Muhammad bin Abdul Wahab
2. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
3. Untuk mengetahui pokok pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
4. Untuk mengetahui karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Sulaiman al-Musyrifi al- Tamimi al-Najdi[1] dilahirkan di ‘Uyainah, sebuah kampung di Yamamah, Nejed yang terkenal yang terletak sekitar 70 km dari kota Riyadh, dari arah barat laut. Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1703 M, berdasarkan pendapat yang terkuat dan yang masyhur dari para Ulama dan Pakar Sejarah. Beliau berasal dari keturunan Bani Tamim,[2] sebuah kabilah Arab yang besar dan sangat masyhur. Bila kita mengamati nasab Syekh secara lebih sempurna lagi maka kita akan mendapatkan bahwa nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah saw. pada Ilyas ibnu Mudhar yang merupakanh cicit dari ‘Adnan.[3] Dilahirkan dari sebuah keluarga Ulama yang mana kakek, ayah dan paman beliau Ibrahim ibn Sulaiman semuanya tergolong Ulama besar di negeri Nejed.[4]
Beliau telah memulai mempelajari Islam sejak kecil, mula-mula mengaji pada ayahnya dalam bidang fikih, tafsir dan hadis. Mampu menghafal keseluruhan Al-Qur’an pada saat usianya belum mencapai 10 tahun. Beliau terkenal sejak kecil dengan ketajaman daya tangkap dan kecerdasan pemahaman serta kuat hafalannya, rajin menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, dan perkataan-perkataan para Ulama terutama dalam masalah aqidah yang merupakan pokok agama Islam, sehingga Allah melapangkan dadanya dalam mengenal dan mengaplikasikan tauhid, serta mengenal segala hal-hal yang dapat merusak dan membatalkannya.
Setelah itu beliau berangkat ke Mekkah untuk berhaji sekaligus mengaji pada para Ulama Mekkah, lalu beliau ke Madinah untuk menambah ilmunya dari Ulama-ulama besar di sana. Setelah kembali ke Uyainah, ia merantau ke negeri Irak dengan sasaran Basrah, Baghdad dan Mosul, dan banyak menimba ilmu dari para Ulama besar di kota-kota tersebut. Di kawasan Bashrah, Syekh berdakwah secara terang-terangan mengajak umat kepada Tauhidullah dan menghimbau mereka agar kembali kepada ajaran Al-Sunnah. Namun seruan kembali kepada kemurnian Islam itu ditentang oleh sekelompok orang, karenanya beliau terpaksa keluar dari Bashrah. Lalu beliau ke Ahsa, sebuah kota di bagian timur Saudi Arabia sekarang dan di sana beliau pun bertemu dengan para Ulama.
Setelah itu beliau pindah dan menetap di Huraimila. Di sinilah beliau mulai menyebarkan da’wah tauhid secara terang-terangan (tahun 1143 H/1730 M). Setelah ayah beliau yang menjadi qadhi di Huraimila wafat tahun 1153 H, terjadilah peristiwa buruk berupa percobaan pembunuhan terhadap beliau oleh sekelompok orang yang sangat marah karena beliau selalu menyarankan kepada penguasa agar menindak para pelaku kejahatan. Selamat dari upaya pembunuhan tersebut beliau pindah ke ‘Uyainah.
Kedatangan dan dakwah beliau disambut baik oleh Amir (penguasa) ‘Uyainah, yaitu Utsman ibn Mu’ammar. Sang Amir secara terang-terangan mendukung Syekh, maka ia pun terus bekerja keras dalam menyebarkan ilmu, mengadakan pembinaan dan dakwah, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar sehingga beliau pun semakin terkenal. Banyak orang dari daerah-daerah sekitar datang kepadanya. Ketenaran Syekh dan gerakannya sampai juga ke telinga Amir Ahsa yang bernama ‘Urai’ir ibn Dujain Al Khalidi. Karena khawatir pengaruh Syekh semakin membesar dan nanti bisa menggulingkan kekuasaannya ia meminta Amir Utsman untuk menghabisi nyawa Syekh, kalau tidak ia akan menghentikan pembayaran upeti kepadanya.[5]
Karena khawatir akan kehilangan sangat banyak harta dari pembayaran upeti orang-orang Ahsa kurang dari 1200 dinar pertahun ditambah dengan upeti berbentuk barang dan harta lainnya, dalam keadaan bingung dan hati goncang Amir Utsman memberitahukan hal itu kepada Syekh, beliau justru balik menenangkannya dan berusaha memahamkan dan meyakinkan bahwa apa yang beliau bawa semata-mata adalah dakwah kepada agama Allah ia berpegang teguh dan mendukungnya maka Allah pasti akan memenangkannya atas siapa saja yang memusuhinya.
Namun rupanya buncahan cinta dunia semakin menebal di hati membuat Sang Amir tidak bisa lagi bersabar, melalui utusannya ia memerintahkan Syekh keluar dari ‘Uyainah. Maka dengan sedih Syekh pun meninggalkan negeri tersebut dan melangkahkan kakinya menuju Dar’iyah, pusat kekuasaan Amir Muhammad ibn Sa’ud.[6] Dengan kuasa dan taufiq Allah swt. kehadiran Syekh di Dar’iyah disambut baik oleh Sang Amir, bahkan beliau menyatakan kesiapan mendukung dan melindungi da’wah beliau, sebaliknya Syekh membai’at Amir Muhammad untuk senantiasa membela dan mendukungnya dan berada di sisinya berjihad bersamanya di jalan Allah hingga menanglah agama tauhid.
Maka mulailah babakan baru dalam perjuangan dakwah Syekh, di Dar’iyah membuka halakah-halakah (kelompok-kelompok pengajian) ilmiah, dari pagi hingga senja hari memberikan kajian dalam berbagai membimbing umat kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan tuntunan Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Di Dar’iyah, Syekh yang sangat zuhud terhadap dunia ini hidup dalam keadaan penuh dihormati, dicintai, didukung dan dibela. Beliau menghabiskan waktunya untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah melalui lisan dan tulisannya, hingga Allah berkenan memanggilnya kembali ke sisi-Nya, beliau wafat pada tahun 1206 H/1792 M, setelah selama 50 tahun penuh beliau berjuang menyeru dan membimbing umat tanpa henti. Semoga Allah senantiasa merahmati dan meridhai-Nya.
B. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M). Paham atau Madzhab Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori Ahmad Ibnu Taimiyyah.
Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam sekh atau walinya masing-masing. Umat Islam pergi ke makam-makam itu dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia. Menurut paham Wahabiah, perbuatan ini termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.
Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke wilayah-wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda dengan paham Ibnu taimiyyah dan mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab mengadakan pembaruan dengan memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok, melarang membangun kuburan, meskipun sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai adat kebiasaan.[7]
Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.[8]
Gerakan kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi jenazah, perayaan-perayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali, acara-acara yang lazim dilakukan para pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru atau nenek moyang mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi, laki-laki yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas, juga dianggap bid’ah.
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Kerangka pemikrian Muhammad bin Abd. Wahab berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada Allah. Ia membagi ketauhidan menjadi dua, yaitu tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah.
Tauhid uluhiyah artinya tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allalh, yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Selain itu hanya berbakti kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepadanya. Sedangkan tauhid rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi tidak dengan mengabdi kepada Allah.
Dalam pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sementara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada selain Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik. Seperti mengunjungi makam para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka.
Menurut Muhammad bin Abd. Wahab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama dalam pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode pendidikan yang paling efektif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab agar umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi manusia.
Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:
a) Ketuhanan Yang Esa yang mutlak
b) Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan Hadits
c) Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan pemberian amal
d) Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
e) Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
f) Percaya akan takdir
g) Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar
Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka kaum muslimin pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.
Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern, diantaranya:
a) Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber
b) Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
c) Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.
Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.[9]
Di samping itu, dari beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[10]
C. POKOK-POKOK PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Pokok-pokok Pemikiran dan ide-ide yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dapat disimpulkan dalam tiga aspek utama, yaitu: 1) anti taqlid dan membuka pintu ijtihad, 2) pemurnian Islam, 3) pemikiran islahi (damai). Ketiga aspek ini akan dijelaskan di bawah ini.
1. Anti Taqlid dan Membuka Pintu Ijtihad
Taqlid dalam pandangan Syekh merupakan sumber kebekuan ummat Islam, disamping itu untuk memahami ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis harus dilakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup. Beliau berpendapat hanya al-Qur’an dan al-Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam sedangkan pendapat ulama bukan merupakan sumber. Selain itu, Syekh juga berpandangan bahwa Al-Kitab dan Al-Sunnah bukan hanya sejedar berita saja sebagaimana diperkirakan orang-orang dari ahli kalam, hadis, fikih dan tasawwuf, tetapi sebagai dalil dan petunjuk jalan bagi makhluk dan dalil yang tegas bagi dasar-dasar agama.
Pola pemikiran seperti ini ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan pemikiran Islam kontemporer pada abad ke 19.[11]
2. Pemurnian Islam
Pokok pikiran yang kedua dari Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab pada hakikatnya adalah upaya-upaya pengembalian umat Islam kepada agamanya yang murni, itulah Islam sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah Muhammad saw. dan selanjutnya oleh para sahabat beliau. Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka tentunya dakwah beliau mencakup segala aspek ajaran Islam itu sendiri, namun kita bisa melihat dari sejarah dakwah beliau bahwasanya titik-berat perbaikan yang beliau lakukan terletak pada dua aspek yang sangat mendasar dalam Islam yang pada waktu itu telah mengalami banyak penyimpangan. Yaitu aspek aqidah dan aspek ibadah.
a. Aspek Aqidah
Pada hakikatnya pemikiran dan ajaran yang dibawa oleh Syekh Muhammad ibn Abdul Wahab adalah seruan terhadap umat untuk kembali kepada aqidah Islam yang murni, dengan menyucikan mafhum tauhid dari segala apa yang mencemarinya daripada berbagai bentuk kesyirikan. Ia yang baru apalagi bila dikatakan sebagai sebuah bentuk tarekat bid’ah. Ia hanyalah kelanjutan dari dakwah salafiyah sebelumnya.[12] Dakwah beliau bermuatan penegasan akan pentingnya merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah, serta upaya menghidupkan kembali ajaran-ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah (Salaf al-Shaleh) yang telah banyak ditinggalkan. Beliau mendorong umat untuk menegakkan Islam dengan berpegang teguh pada ajaran yang hak dan memberantas berbagai bid’ah dan khurafat yang dimasukkan oleh sekelompok manusia ke dalam agama ini.[13]
Menurut Syekh, pemurnian aqidah berpijak pada ketauhidan (mengesakan Allah-pen), meliputi zatNya, sifatNya dan dalam beribadah kepadaNya. Hal tersebut terangkum dalam kalimat an La na’buda Illa Allah wa La Nussyrika bihi Siwahu. Oleh karena itu, doa merupakan bagian dari ibadah yang tidak boleh meminta kepada sesama makhluk yang sudah mati.[14]
Beliau mengawali dakwahnya dengan lemah lembut di antara sanak saudara dan bangsanya. Lalu ia lebih meratakan lagi menyampaikan dakwahnya kepada amir-amir di Hijaz dan ulama-ulama di daerah lain, mengajak mereka untuk memerangi bid’ah dan kembali kepada Islam yang betul (murni-pen).
Sebetulnya dakwah beliau tersebut dilatarbelakangi oleh keadaan umat Islam waktu itu khususnya negeri Nejed di mana Syirik akbar tumbuh dan merata di Nejed. Makam-makam yang berkubah, pepohonan, batu-batu, gua- gua yang dianggap keramat menjadi sesembahan selain Allah. Begitu juga orang yang dianggap “wali” disembah. Nejed juga terkenal banyak ahli sihir dan dukunnya yang sangat dipercaya omongannya. Sangat langka orang yang mengingkarinya. Secara umum, kebanyakan orang memusatkan perhatiannya kepada kehidupan dan ambisi-ambisi duniawi”.
Keadaan di Nejed ini juga tidak jauh berbeda dengan situasi masyarakat di Hijaz (Haramain) dan Yaman. Di daerah-daerah itu terkenal dengan adanya tindakan-tindakan syirik dan pembangunan kubah-kubah di atas pekuburan dan pemanjatan permohonan dan permintaan selamat kepada para wali. Bahkan di Nejed, terkenal juga pemujaan dan permohonan perlindungan kepada jin, serta persembahan sesaji dan kurban untuknya. Oleh karena itu dakwah Syekh adalah dakwah untuk menyelamatkan kaum muslimin dari kejahilan yang telah mengotori mereka, memperbaiki pemahaman mereka terhadap persoalan- persoalan aqidah maupun ibadah, menghilangkan segala apa yang disematkan kepada ajaran Islam berupa kotoran bid’ah.
Perkara ini merupakan pusat konsentrasi dakwah beliau, mengingat kedudukan aqidah (tauhid) sebagai pokok dan landasan utama ajaran Islam, dimana seluruh aspek ajaran Islam bertumpu padanya, dan memang keadaan masyarakat di negeri beliau yang umumnya telah benar-benar mengalami penyimpangan yang sangat fatal dalam aqidah dan ketauhidan mereka sebagaimana diuraikan di atas.
Syekh Muhammad ibn Abdul Wahab mengajarkan dan menanamkan aqidah Salaf Al-Shalih, yaitu iman kepada Allah dengan mengimani semua Asma dan Sifat-Nya, iman kepada para malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab Suci-Nya, iman kepada Hari Akhir dan kepada Qadar (taqdir) baik dan buruknya. Beliau berpegang pada metode pemahaman para Imam terkemuka dalam hal bertauhid kepada Allah dan pemurnian ibadah kepada-Nya; mengimani asma dan sifat Allah sebagaimana yang layak bagi Allah Yang Maha Suci, tidak menyatakan ketiadaan sifat-sifat itu dan tidak pula menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mengimani kebangkitan orang-orang mati dari kubur, pembalasan, hisab, surga, neraka dan lain sebagainya. Beliau berpendapat sebagaimana pendapat ulama Salaf dalam hal iman, yaitu bahwa iman adalah qaul (ucapan) dan ‘amal (perbuatan), bertambah dengan ketaatan kepada Allah dan berkurang dengan kemaksiatan kepada AllAH.
b. Aspek Ibadah dan Syari’at
Di samping melakukan gerakan pemurnian aqidah, Syekh Muhammad juga membimbing umat untuk menegakkan syari’at Allah, terutama yang difardhukan, agar bagaimana syari’at itu dilaksanakan secara tepat dan cermat, tanpa ada penambahan ataupun pengurangan, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya adalah syari’at Islam yang datang dari Rasulullah Muhammad yang wajib diterima dengan sepenuh hati dan ditaati secara utuh dimana hati meyakini wajibnya beriman kepada syari’at itu dan anggota tubuh yang mengamalkannya tanpa rasa bosan dan lelah.[15]
Seorang Ulama Besar Nejed yang juga adalah cicit Syekh Muhammad yaitu Syekh Abdullathif ibn Abdurrahman ibn Hasan menceritakan bahwa Syekh Muhammad berdakwah dan mengajak umat untuk mendirikan dan menjaga shalat 5 waktu, menyuruh mereka untuk membayar zakat, berpuasa dan menunaikan haji, beliau tegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Karena Syekh berpegang pada manhaj Salaf Al-shalih baik dalam aqidah maupun syari’at, maka beliau menganut prinsip “ittiba’u al-dalil”, sehingga sekalipun beliau berlatar belakang madzhab fikih Hanbali, beliau tidak bersikukuh dengan pendapat madzhab dalam berfatwa dalam suatu hal tertentu, bila ternyata beliau mendapatkan dalil yang bertentangan dengan pendapat tersebut.
3. Pemikiran Islahi (damai)
Pokok pikiran yang ketiga yang ditawarkan Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab adalah islahi (damai) yaitu menyerukan perdamaian antar suku dan keagamaan (pemahaman keagamaan-pen) menjadi satu pemikiran dan satu pandangan. Perlu diketahui, bahwa sejak kedatangan Muhammad ibnu Abdul Wahhab, keadaan kehidupan jazirah Arab sebagai berikut:
Pertama, keluarga Muhammad ibnu Sa’ud bukan merupakan satu ikatan keluarga terbesar di Nejed.
Kedua, wilayah kekuasaan di jazirah Arab lebih merupakan sebagai serpihan-serpihan kesukuan Najdiyah.
Ketiga, jazirah Arab terbagi kepada beberapa wilayah keamiran yang kekuatannya tergantung pada kemampuan pribadi amir dan interesnya masing-masing.
Keempat, amir-amir yang lebih tampak kekuasaanya adalah amir Hijaz, Banu Khalid di Al-Ahsa, keluarga Ma’mar di Al-Uyainah, keluarga Sa’dun di Irak Imam Al-Shan’a di Yaman, sadah di Najran, Al-Bu Sa’idiyun dan lainnya di Musqith dan Aman. Secara politis mereka saling bertentangan.
Kelima, keadaan kehidupan sosial keagamaan ketika itu penuh dengan penyimpangan yang sangat berat. Kemusyrikan dan kesetatan merajalela. Cahaya hidayah dari jiwa mereka telah padam karena kebodohan. Kitab Allah disimpan dipunggung mereka; para wali dan shalihin yang masih hidup serta kuburannya yang telah meninggal, mereka datangi untuk mengadakan kebaktian, meminta pertolongan dan syafaat dari berbagai kebutuhan dan jalan keluar dari kesulitan. Pemikiran islahi ini rupanya mendapat sambutan yang baik oleh Amir Al-Dar’iyyah; Muhammad ibnu Sa’ud.[16] Hampir lima puluh tahun lamanya jihad dan dakwah Syekh berlangsung, berpadu antara pertarungan fisik dan pertarungan lidah dalam membela yang hak, ajakan untuk menuju agama Allah dan pengarahan menuju Syari’at Rasulullah, hingga akhirnya umat menyatakan masuk ke dalam agama Allah yang hak.
Baca juga artikel yang lain:
- Adab Suami Istri
- Aliran Qadariyyah
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
- Ilmu Kalam
- Aqidah Islimiyyah
- Aliran Mu'tazilah
- Aliran Syi'ah
- Aliran Jabariyah
- Ahli Sunnah Wal Jama'ah
- Aliran Khawarij
- Aliran Ahmadiyah
D. KARYA-KARYA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Muhammad bin Abdul Wahab telah memiliki karya tu;is dan kumpulan fatwa yang banyak akan tetepi kita banyak dari kita yang belum mengenal dengan karya-karya tulis beliau.
Ø Ahaditsu fil Fitani wal Hawadits
Ø Ahkamush Sholah
Ø Adabul Masy-yi Ilash Sholah
Ø Arba’ul Qowa’id Taduurul Ahkam ‘alaiha
Ø Ushulul Iman
Ø Mansakul Hajj
Ø Al-Jawahirul Mudhiyyah
Ø Al-Khuthobul Minbariyah
Ø Ar-Rosa-ilu Asy-Syakhshiyyah
Ø Ar-Risalatul Mufidah
Ø Ath-Thoharoh
Ø Al-Qowa’idul Arba’ah
Ø Al-Kabair
Ø Masa-ilul Jahiliyyah
Ø Ba’dhu Fawa-id Shulhil Hudaibiyah
Ø Tafsiru Ayaatin Minal Qur’anil Karim
Ø Tsalatsatul Ushul
Ø Majmu’atul Hadits ‘ala Abwabil Fiqh
Ø Risalah fir Raddi ‘alar Rafidhah
Ø Syuruthush Sholah wa Arkanuha wa Wajibatuha
Ø Fatawa wa Masa-il
Ø Fadho-ilul Qur’an
Ø Fadhlul Islam
Ø Kitabut Tauhid
Ø Kasyfus Syubuhat
Ø Mabhatsul Ijtihad wal Khilaf
Ø Majmu’atu Rosa-il fit Tauhidi wal Iman
Ø Mukhtashorul Inshof wa Asy-Syarhul Kabir
Ø Mukhtashor Tafsir Surat Al-Anfal
Ø Mukhtashor Zadil Ma’ad li Ibnil Qayyim Al-Jauziyah
Ø Mukhtashor Sirotir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
Ø Masa-il, ringkasan dari penjelasan-penjelasan Ibnu Taimiyyah
Ø Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid
[1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab. Diakses pada tanggal 24 November 2017
[2] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 353.
[3] Lihat Shaleh ibn Abdullah ibn Abdul Rahman Al-‘Abud, Aqidatu al-Syekh Muhammad ibn Abdi al-Wahhab Al-Salafiyah, juz I(Cet. III; Madinah Munawwarah: Maktabah al-Ghuraba al- Atsariyah, 1996 M./1417 H.) h.125. Lihat pula Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, Al-Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Da’watuhu wa siratuhu, diterjemahkan oleh Rahmat al-Arifin dengan judul Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Dakwah dan Jejak Perjuangannya (Cet.I; T’t:Kantor Atase Agama Arab Saudi Di Jakarta, 1419 H.) h.23-24.
[4] as’ud Al-Nadwi, Muhammad ibn Abdulwahhab Mushlihun Mazhlum wa Muftara ‘alaih. (T.t: Wizarah asy-Syu’uni al-Islamiyah wal-Auqaf wad-Da’wah wal-Irsyad, Arab Saudi, 1420 H), h.39.
[5] lihat Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, op. cit,. h. 24-27. Lihat pula An-Nadwah al- ‘Alamiyah, Al-Mausu’ah al Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, juz I(Cet. III; Riyadh: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyah, 1418 H.) h. 164-167.
[6] Mas’ud Al-Nadwi, Muhammad ibn Abdul wahhab Mushlihun Mazhlum wa Muftara ‘alaih., h. 51-52.
[7] Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), hlm.392-393.
[8] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 269-270.
[9] Muhammad ‘Imarah, 45 Tokoh Pengukir Sejarah, ,( Surakarta: Era Intermedia, 2007), Hlm. 173-174.
[10] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995),Hlm.269-270.
[11] Lihat: Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Cet.II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 60-61.
[12] lihat An-Nadwah al-‘Alamiyah, Al-Mausu’ah al Muyassarah fi al-Adyan wa al- Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, juz I, h. 165.
[13] Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, Al-Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Da’watuhu wa siratuhu, diterjemahkan oleh Rahmat al-Arifin dengan judul Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Dakwah dan Jejak Perjuangannya, h.55.
[14] Lihat Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h. 233.
[15] Abdullah Khayyath, al-Ishlah al-Diniy fi al-Qarni al-Tsani ‘Asyar, h. 150.
[16] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h. 232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar