HOME

26 Januari, 2022

Filsafat Kontemporer

PEMBAHASAN FILSAFAT PADA MASA KONTEMPORER

A.    Filsafat pada abad ke-17-20

Dalam abad ke–17 dan ke–18 pemikiran filsafat Barat memperlihatkan aliran–aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah–wilayah yang luas yaitu :

1.      Rasionalisme

Rasionalisme adalah aliran filsafat ilmu yang berpandangan bahwa akal adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Aliran ini menekankan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui dengan pasti tentang berbagai perkara sejak lahir. Rasionalisme juga meyakini bahwa akal sebagai sumber kebenaran satu – satunya. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak pad aide kita, dan bukan di dalam sesuatu di luar ide (kenyataan).

Sejak abad pencerahan (enlightment), rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika (mathematics rasionalism). Tokoh – tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah menjadikan sesuatu yang irasional (tidak masuk akal) menjadi rasional (tidak masuk akal). Descartes menambahkan bahwa pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Bahkan Baruch Spinoza secara lebih berani mengatakan “God exists only philosophically” (Tuhan berada dalam alam rasio), artinya eksistensi Tuhan bisa diketahui melalui pendekatan rasional.[1]

Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Produk teknologi era industry dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil besar rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.

2.      Empirisme

Empirisme adalah suatu cara yang mendasarkan perolehan pengetahuan melalui pengalaman. Aliran ini menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada yang dapat diamati dan diuji. Dengan demikian strategi utama memperoleh ilmu dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti Jhon Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme.

Menurut Agustus Comte, sejarah proses berfikir manusi amelalui tiga tahapan, yaitu tahap teologi, tahap metafikik dan tahap fisika. Pada tahap fisika inilah manusia mulai meragukan hal – hal yang bersifat teologis dan metafisik. Dengan kata lain, manusia lebih meyakini bahwa kebenaran ilmu pengetahuan adalah yang memiliki kesesuaian dengan pancaindera.

Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metiode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial.[2]

3.      Idealisme

Idealisme merupakan aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan itu adalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Idealisme adalah tradisi pemikiran yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman – pengalaman inderawi.

Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama Kristen. Selain Kristen,  pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi.

Dalam perkembangannya, aliran idealisme ini terbagi menjadi dua, yaitu :

a.       Idealisme Empiris

Idealisme empiris berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pancaindra. Tetapi teori ini tidak mampu memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hakekat.

b.      Idealisme Rasional

Idealisme rasional berpendapat bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pancaindra dan akal, tetapi pengetahuan ini masih tidak mampu memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hakekat. Setidaknya, manusia tidak akan mampu mengetahui apakah gambaran yang diberikan tentang hakekat itu sesuai atau tidak sesuai dengan sesuai dengan kenyataan. Apa yang mampu dicapai oleh idealisme rasional ini hanyalah swebatas pengetahuan tentang wujud sesuatu dan bukan pengetahuan tentang hakekatnya.[3]

Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke–19 dan ke–            20 kelihatan terpecah–pecah. Macam–macam aliran baru   bermunculan,dan yang menarik aliran–aliran ini sering terikat hanya pada satu Negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran yang   paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah:

1.      Positivisme

Aliran positivisme menyatakan bahwa ilmu adalah satu–satunya pengetahuan yang valid, dan fakta–fakta sajalah yang mungkin menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta, menolak penggunaan segala metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.

Aliran positivisme berpendapat bahwa filsafat hendaknya semata– semata berpangkal pada peristiwa positif yang dialami manusia. Positivisme adalah doktrin filsafat dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian.

Salah satu bagian dari tradisi positivisnme adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Wina’ pada awal abad ke–20.

Tokoh–tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Khun, Paul K. Fyerabend, W.V.O Quine. Pemikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metode dalam membangun pengetahuan mulai dari studi etnografi sampai penggunaan analisa statistic.[4]

2.      Eksistensialisme

Aliran yang ini berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkrit, yakni manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.[5]

3.      Pragmatisme

Aliran pragmatisme beranggapan bahwa benar dan tidaknya suatu ucapan, dali, atau teori, semata –mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam kehidupannya. Pragmatism adalah pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, Jhon Dewey, George Herberd Meat, F.C.S Schiller, dan Richard Rorty. Bagi penganut pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.

Para tokoh pragmatisme mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peirce lebih tertarik pada klarifikasi gagasan–gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa (linguistic) sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotic. James lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti kepercayaan dan nilai–nilai kemasyarakatan. Sedangkan Dewey menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek–praktek berpikir secara ktitis.

Sumbangsih paham pragmatism terhadap ilmu penfetahuan adalah terutama sikap para tokohnya yang lebih demokratis. Dalam kontek proses demokratisasi ini, pragmatisme lebih memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.[6]

4.      Marxisme

Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pemikiran-pemikiran Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori  besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai kaum Marxis.

Marxisme dianggap sebagai sistem pemikiran yang amat kaya, karena marxisme telah memadukan tiga tradisi intelektual yang masing–masing sangat berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis dan ilmu ekonomi.

Ada tiga senjata utama dalam teori marxisme, yaitu :

a.       Filsafat Materialisme Dialektika

Filsafat materialisme dialektika sebagai cara pandang terhadap dunia serta metode berpikir yang benar. Matrialisme sebagai kritik terhadap cara pandang idealisme. Dialektika sebagai kritik atas metode berfikir metafisika. Materialisme dialektika kemudian diterapkan dalam sejarah perkembangan masyarakat yang melahirkan doktrin materialisme historis. Materialism dialektika dan historis dengan demikian menjadi filsafat atau senjata berpikirnya kaum Marxis di seluruh dunia.

b.      Ekonomi Politik Marxis

Ekonomi politik Marxis sebagai pisau analisis yang membedah rahasia penghisapan sistem kapitalisme , tempat dictator borjuis melakukan penghisapan dan penindasan atas kelas buruh dalam masyarakat modern dewasa ini.

c.       Sosialisme Ilmiah

Sosialisme ilmiah adalah sebuah paparan ilmiah tentang bagaimana kelas buruh dan rakyat yang tertindas lainnya yang harus melancarakan perjuangan kelas secara revolusioner, merebut kekuasaan Negara dari tangan borjuis. Filsafat Marxisme telah mensenjatai diri kita dengan cara pandang dan metode berpikir yang maju dengan dua maksud. Pertama, memerangi aliran filsafat yang dekaden dari pikiran umat manusia. Kedua, sebagai saran untuk mencapai tatanan masyarakat komunis di masa depan.[7]


B.     Filsafat akhir abad-20 (1950 Analitis)

Filsafat analitis merupakan aliran terpenting di inggris dan amerika serikat sejak sekitar tahun 1950. Filsafat analitis (yang juga disebut analytic philosophy dan linguistic philosophy) pada dasarnya memokuskan diri pada analisis bahasa dan konsep-konsep. Tujuanya ialah mengemukakan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas. Yang cocok dengan kata lain. Filsasfat analitis merupakan suatu ungkapan yang merangkum bagi semua karya filosofis abad ke-20.[8]

Tokoh penting dalam filsafat ini adalah Bertrand Rusell, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin. Mereka mengadakan analisis bahasa untuk memulihkan penggunaan bahasa untuk memecahkan kesalahpahaman yang dilakukan oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Ludwig Wittgensteinadalah maknakata atau kalimat amat ditentukan oleh penggunaandalam bahasa, bukan logika.

Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataanya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan dan kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.

Tokoh- tokoh filsafat analitis dan pemikiranya:

1.      Gottlob Frege

Friedrich Ludwig Gottlob Frege (1848-1925) yang dikenal sebagai Gottlog Frege adalah seorang matematikawan jerman, ahli logika dan filsuf, yang membantu mendirikan matematika modern, logika, dan awal dari gerakan Analytic Philosophy. Meskipun karyanya sedikit dikenal dan hanya sedikit diterima orang-orang selama hidupnya, namun pemikiranya memiliki pengaruh fundamental dan luas terhadap filsafat abad 20.

Kemudian dia meninggalkan karyanya yang mendalam mengenai logika, tapi dia langsung mempengaruhi generasi ahli logika dan filsuf pada masa berikutnya (terutama Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan positivisme logis. Setelah kematianya, teorinya tentang logika hampir sepenuhnya digantikan menjadi bentuk-bentuk logika tradisional. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menetukan tingkat kebeneran dari suatu pernyataan.[9]

2.      Bertrand Russell

Bertrand Russell (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Selama hidupnya, ia menulis banyak buku tentang berbagai pokok antara lain filsafat, masalah-masalah moral,pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya terbesar terdapat di bidang logika matematika.

Pemikiran Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic fatcs). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivism logis pada decade 1920-1930 an.

Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran antomisme logik. Antomisme logic berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti.fakta dalam pemikiran Russell merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.

Russell berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, duniaterdiri dari fakta-fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa sahih. Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russell menekankan bahwa konsep antomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya. Karena menurutnya logikaadalah paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.[10]

3.      Ludwig Wittgenstein

Ludwig Gwittgeinstein dilahirkan di wina (Austria)pada tanggal 26 april 1889. Ia merupakan karya filsafat yang inovatif, dipengaruhi oleh G.E Moore, Bertrand Russell dan Gottlob Frege. Karya filsafat tersebut memiliki perbedaan subtansial, terutama yang berkaitan dengan objek materialnya, tetapi diuraikan dengan pemikiran yang sistematis. Filsafat analitis sendiri sebenarnya dilator belakangi oleh adanya kekacauan filsafat. Filsafat analitis sebagai objek penelitian didasarkan oleh teori G.E Moore, yaitu suatu pemikiran baru yang melakukan analisis bahasa untuk mencari maknasuatu ungkapan filsafat)Charles worth, 1959:12 dalam filsafat analitis menurut Ludwig Wittgenstein).[11]


C.     Filsafat akhir abad-20 (1960 Strukturalisasi)

Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukturalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya.

Struktualisme berkembang di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Aliran ini tersebar diberbagai bidang, yakni filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Strukturalisasi pada dasarnya menyelidiki “pattern” (pola-pola dasar yang tetap) dalam struktur bahasa, agama, sistem ekonomi, dan politik, dan dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari strukturalisasi antara lain Claude Levi-Strauss, J. Lacan dan Michel Faucault, dan lain-lain.

Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perhatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodologi yang memusatkan pada teori percakapan dan komunikasi secara umum, maka strukturalisme lebih kepada bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh strukturalisasi memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen [12]phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adalanya parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.

Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial.[13]

Baca juga artikel yang lain:

D.    Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pemikiran filsafat pada masa kontemporer terjadi pada abad ke 17 sampai sekarang dan pada saat itu banyak aliran pemikiran filsafat barat yang bertahan lama di wilayah yang luas. Ada aliran yang lebih mengunggulkan akal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (rasionalisme), ada aliran yang memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara pengalaman.(empirisme), dan ada pula aliran yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah kejadian dalam jiwa manusia (idealisme).

Pada abad ke 19 dan ke 20 kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru mulai bermunculan dan aliran-aliran ini sering terkait hanya pada satu Negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran Positivisme yang menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta. Aliran Eksistensialisme  beranggapan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkrit. Aliran Pragmatisme yang beranggapan bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut. Aliran Marxisme yakni paham yang mengikuti pemikiran-pemikiran Karl Marx.

Pada akhir abad 20 muncul pemikiran strukturalisme yang merupakan praktik signifikasi yang membangun makna sebagai hasi struktur atau reguaritas yang dapat diperkirakan dan berada diluar individu. Bersifat antihumanis karena lebih mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya.


[1]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat(Surabaya;UIN SA Press, 2014)109-111

[2]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 111-112.

[3]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 115-117.

[4]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 120-121.

[5]Ibid., 118-119.

[6]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 122-123.

[7]https://id.m.wikipedia.org/wiki/Marxisme di akses pada 15 September 2017.

[8]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 30.

[9]http://goedangbiografi.blongspot.com/2016/05/filsuf-logika-dan-analitis-gottlob.html?m=1 di akses pada 15 September 2017.

[10]http://ayinfisafat.blogspot.co.id/2015/06/atomisme-logis-bertrand-russel.html di akses pada 15 November 2017.

[11]https://www.academia.edu/9770577/Filsafat_Analitis di akses pada 15 September 2017.

[12] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, op. cit.

[13]http://sociolovers-ui.blogspot.co.id/2012/06/strukutralisme-bahasan-dalam-topik-ini.html di akses pada 15 September 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...