Adab-adab makan dan minum
meliputi tiga hal; adab sebelum makan, adab ketika makan dan adab setelah
makan.
A.
Adab
Sebelum Makan
a.
Hendaknya berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman yang halal
dan baik serta tidak mengandung unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman
Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu…” [Al-Baqarah/2: 172]
b.
Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat
melakukan ibadah, sehingga dengan makan minumnya tersebut ia akan diberikan
ganjaran oleh Allah.
c.
Mencuci kedua tangannya sebelum makan, jika dalam keadaan kotor atau ketika
belum yakin dengan kebersihan keduanya.[1]
d.
Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk
meletakkan makanan) yang digelar di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja
makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap tawadhu’. Hal
ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:
مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak
pula di atas sukurrujah [2].” [HR. Al-Bukhari no. 5415]
e.
Hendaknya duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk di atas kedua lututnya atau
duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan
dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana posisi duduk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari dengan sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ
كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.
“Aku
tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan
sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya
seorang hamba.” [HR. Al-Bukhari no. 5399]
f.
Hendaknya merasa ridha dengan makanan apa saja yang telah terhidangkan dan
tidak mencela-nya. Apabila berselera menyantapnya, jika tidak suka
meninggalkannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
:
مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berselera, (menyukai makanan yang telah
dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera),
maka beliau meninggalkannya.”[3]
g.
Hendaknya makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat,
anak-anak atau pembantu. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ
فِيْهِ.
“Berkumpullah
kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan
bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” [HR.
Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664]
B.
Adab
Ketika Sedang Makan
a.
Memulai makan dengan mengucapkan, ‘Bismillaah.’ Berdasarkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ
تَعَالَى، فَإِذَا نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ:
بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.
“Apabila
salah seorang di antara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismillaah’, dan
jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia
mengucapkan: ‘Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di
awal dan akhirnya).”[4]
b.
Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنَ أَكَلَ طَعَاماً وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِِللهِ
الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ
قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa
sesudah selesai makan berdo’a: ‘Alhamdulillaahilladzi ath‘amani hadza wa
razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin (Segala puji bagi Allah
yang telah memberi makanan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku
tanpa daya dan kekuatanku),’ niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[5]
c.
Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.[6] Menyedikitkan
suapan, memperbanyak kunyahan, makan dengan apa yang terdekat darinya dan tidak
memulai makan dari bagian tengah piring, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ
وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ.
“Wahai
anak muda, sebutlah Nama Allah (bismillaah), makanlah dengan tangan kananmu dan
makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.”[7] Dan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pula:
الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوْا
مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ.
“Keberkahan
itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-piring dan
janganlah memulai dari bagian tengahnya.”[8]
d.Hendaknya
menjilati jari-jemarinya sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَاماً فَلاَ يَمْسَحْ
يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا.
“Apabila
salah seorang di antara kalian telah selesai makan, maka janganlah ia mengusap
tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilatkan (kepada isterinya,
anaknya).”[9]
e.
Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian
yang kotornya kemudian memakannya. Berdasarkan hadits:
إِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ
فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا مِنْ أَذَى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا
لِلشَّيْطَانِ.
“Apabila
ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah
dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan
meninggalkannya untuk syaitan.”[10]
f.
Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya
hingga menjadi lebih dingin. Tidak boleh juga, untuk meniup pada minuman yang
masih panas, apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas sebanyak
tiga kali sebagaimana hadits Anas bin Malik.
كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثاً.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika minum, beliau bernafas (meneguknya) tiga
kali (bernafas di luar gelas).”[11]
Begitu
juga hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu:
نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk meniup (dalam gelas) ketika
minum.”[12]
Adapula
hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu:
نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي اْلإِناَءِ أَوْ
يُنْفَخَ فِيْهِ.
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam
gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.”[13]
g.
Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ
بَطْنِهِ حَسْبُ
ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.”
“Tidak
ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah
baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya
(memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya
dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.”[14]
h.
Hendaknya memulai makan dan minum dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan
(mempersilahkan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua
umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan. Hal tersebut merupakan
bagian dari adab yang terpuji. Apabila tidak menerapkan adab tersebut, maka
berarti mencerminkan sifat serakah yang tercela.
i.
Hendaknya tidak memandang kepada temannya ketika makan, dan tidak terkesan
mengawasinya karena itu akan membuatnya merasa malu dan canggung. Namun
sebaiknya menundukkan pandangan dari orang-orang yang sedang makan di
sekitarnya dan tidak melihat ke arah mereka karena hal itu menyinggung
perasaannya atau mengganggunya.
j.
Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap
menjijikkan, tidak pula membersihkan tangannya dalam piring, dan tidak pula
menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika sedang makan, mengunyah
makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga tidak boleh berbicara dengan
ungkapan-ungkapan yang kotor dan menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu
teman (ketika sedang makan). Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah
perbuatan yang haram.
k. Jika
makan bersama orang-orang miskin, maka hendaknya mendahulukan orang miskin
tersebut. Jika makan bersama-sama teman-teman, diperbolehkan untuk bercanda,
senda gurau, berbagi kegembiraan, suka cita dalam batas-batas yang
diperbolehkan. Jika makan bersama orang yang mempunyai kedudukan, maka
hendaknya ia berlaku santun dan hormat kepada mereka.
C.
Adab
Setelah Makan
a.
Menghentikan makan dan minum sebelum sampai kenyang, hal ini semata-mata
meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghindarkan diri dari
kekenyangan yang menyebabkan sakit perut yang akut dan kerakusan dalam hal
makan yang dapat menghilangkan kecerdasan.
b.
Hendaknya menjilati tangannya kemudian mengusapnya atau mencuci tangannya. Dan
mencuci tangan itu lebih utama dan lebih baik.
c.
Memungut makanan yang jatuh ketika saat makan, sebagai bagian dari
kesungguhannya dalam menerapkan adab makan dan hal itu termasuk cerminan rasa
syukurnya atas limpahan nikmat yang ada.
d.
Membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di sela-sela giginya, dan berkumur
untuk membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya itulah ia berdzikir kepada
Allah Azza wa Jalla dan berbicara dengan teman-temannya.
e.
Hendaknya memuji Allah Azza wa Jalla setelah selesai makan dan minum. Dan
apabila meminum susu, maka ucapkanlah do’a setelah meminumnya, yaitu:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَزِدْنَا مِنْهُ.
“Ya
Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada apa-apa yang telah Engkau
rizkikan kepada kami dan tambahkanlah (rizki) kepada kami darinya.”[15]
Jika
berbuka puasa di rumah seseorang, hendaklah dia berdo’a:
اَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ
اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.
“Telah
berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, telah makan makananmu orang-orang
baik dan semoga para Malaikat bershalawat (berdo’a) untukmu.”[16]
Baca juga artikel yang lain:
- Shalat Tarawih
- Pengertian Anak Yatim dan Piatu
- Adab Berdo'a
- Adab Jamuan
- Adab Suami Istri
- Adab Ziarah Kubur
- Adab Makan dan Minum
- Adab-adab Membaca Al-Qur'an
- Keutamaan-keutamaan Hari Jum'at
- Pengertian Bid'ah
- Makalah Fiqih Muamalah (Syirkah, Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah)
- Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
________
Footnote
[1].
Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا
َأرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ
“Apabila
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur sedangkan beliau dalam
keadaan junub, maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu dan apabila hendak makan,
maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” [HR.
An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no.
390, shahih]
[2].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah
hal. 88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil
yang biasa dipakai untuk menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran
lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/532) berkata: “Guru
kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak digunakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan
mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk
makan lima orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan
sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”-penj.
[3].
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3563), Muslim (no. 2064) dan Abu
Dawud (no. 3764).
[4].
Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no. 1858), Ahmad
(VI/143), ad-Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no.
281). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1965)
[5].
Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4023), at-Tirmidzi (no. 3458), Ibnu
Majah (no. 3285), Ahmad (III/439) dan al-Hakim (I/507, IV/192) serta Ibnu Sunni
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 467). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1984).
[6].
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ
أَصَابِعَ، فَِإذَا فَرَغَ لَعِقَهَا.
“Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa makan dengan meng-gunakan
tiga jari tangan (kanan) apabila sudah selesai makan, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjilatinya.” [HR. Muslim no. 2032 (132), Abu Dawud no.
3848].-penj. Tiga jari yang dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu
jari, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
Fat-hul Baari IX/577.-penj.
[7].
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022), Ibnu Majah
(no. 3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
[8].
Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031 (129)), Abu Dawud (no. 3772) dan
Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam
Shahiihul Jaami’ (no. 379)
[9].
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)).
[10].
Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033 (135)), Abu Dawud (no. 3845) dan
Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 1404), karya
Syaikh al-Albani.
[11].
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no. 2028), at-Tirmidzi
(no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
[12].
Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil
(no. 1977), karya Syaikh al-Albani.
[13].
Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888), Abu Dawud (no. 3728), Ibnu
Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977) , karya
Syaikh al-Albani.
[14].
Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), al-Hakim (IV/
121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh al-Albani rahimahullah.
[15].
Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3730), at-Tirmidzi (no. 3451) dan
an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 286-287). Dihasankan oleh Syaikh
Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Jami’ush Shaghiir (no. 381).
Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa’ ‘Uluumiddiin (II/6).
[16].
Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no. 1747).
Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud (II/703).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar