HOME

23 Januari, 2022

Maqamat dan Ahwal

 

BAB II

PEMBAHASAN 

A.  Pengertian Maqamat

Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]

Seorang sufi akan mencapai tingkatan yang bagus, maka pada saat sudah mencapai tahap tahalli maka kaum Sufi akan berusaha melakukan sifat-sifat terpuji dalam Islam. Indikator sifat-sifat tersebut antara lain: Taubat, Zuhud, Khauf, shabar, Syukur, Ikhlas, tawakkal, ridho, Dzikrul Maut.

B.  Pengertian Ahwal

Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti sesuatu keadaan (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.

C.  Maqamat Sebagai Tahapan-Tahapan Spiritual Tasawuf

Maqamat yang harus dijalani oleh seorang sufi mempunyai banyak pandangan. Menurut Abu Bakar al-kalabadzi, tokoh sufi dari Bukhara Timur Tengah menyebutkan bahwa ada tujuh maqam yang harus dilalui Sufi menuju Tuhan, yaitu: taubat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, takwa, tawakal, kerelaan, cinta, makrifat. Abu Nasr al-Sarraj at-Tusi menyebut dalam al-Luma’: taubat, wara’, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati. Abu hamid al-ghazali dalam kitab Ihya Ulumu al-din memberikan: taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, makrifat, kerelaan.[2]

Menurut Ibnu Sina tasawuf itu tidak dimulai dengan Zuhu atapun taubat, menurutnya tasawuf dimulai dengan penyucian diri untuk berkomunikasi dengan akal Faal dan dari akal faal tersebut akan mendatangkan suatu ketenangan batin ataupun petunjuk-petunjuk yang lainnya.

Maqamat-maqamat dalam tasawuf secara umum bertahap dari :

1.    Taubat, yang artinya kembali. Secara istilah taubat adalah kembali dari hal yang buruk kepada terpuji sesuai dengan ketentuan agama.

2.    Zuhd, yaitu meninggalkan sesuatu karena kekurangan dan kehinaannya. Dalam istilah tasawuf, Zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniawian dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah SWT. Firman Allah SWT yang artinya “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta bebangga banggaan tentang banyaknya harta dan anak” (QS. 57:20)

3.    Khauf (takut), maksudnya yaitu takut kepada Allah itu merupakan perhiasan diri orang-orang saleh, orang yang takut ialah orang yang lebih takut kepada dirinya sendiri dari pada kepada musuh.

4.    Sabar, yaitu keteguhan hati dalam menghadapi cobaan dan kesulitan , serta keuletan meraih tujuan dan cita-cita. Menghadapi cobaaan dan kesulitan serta meraih suatu tujuan dan cita-cita merupakan kenyataan yang selalu ditemukan dalam kehidupan ini. Di dalamnya terkandung berbagai tantangan yang harus diatasi oleh peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan.

5.    Syukur, yaitu berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat-Nya. Menurut Abu Syaid al-Kharraz, syukur itu artinya mengenal yang memberi dan mengetahui sifat ketuhanan-Nya.

6.    Ikhlas, yaitu bersih, tidak ada campuran ibarat emas murni, tidak ada bercampur perak berapa persenpun. Ikhlas merupakan pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu, ia merupakan sikap mental yang sungguh-sungguh menutup rapat-rapat pintu gangguan Iblis. Makna Ikhlas yang sesungguhnya adalah kesengajaan seseorang dalam melakukan taat kepada Allah, hanya untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharap Ridho-Nya semata.[3]

7.    Tawakal, yaitu berserah diri, mempercayakan diri atau mewakilkan. Secara istilah tawakal yaitu mempercayakan diri kepada Allah dalam melakukan suatu rencana bersandar kepada kekuatannya dalam melaksanakan suatu pekerjaaan, berserah diri dibawah perlindungan_Nya pada waktu menghadapi kesulitan.

8.    Ridho, yaitu sebuah sikap yang tidak menentang cobaaan, Qada dan Qadar Tuhan.

9.    Dzikrul al-Maut, yaitu ingat akan mati, maksudnya dengan mengingat kematian, akan memberikan motivasi kepada manusia yang sadar akan berbuat amal kebajikan yang sebanyak-banyaknya, baik merupakan ibadah, muamalah, maupun Mu’asyarah yang baik terhadap manusia.

D.  Ahwal Sebagai Pencapaian Kualitas Spiritual Bertasawuf

Ahwal adalah jamak hal yang berarti keadaan atau kondisi jiwa. Secara terminology ahwal adalah keadaan spiritual yang menguasai hati. Para sufi membedakan antara Maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Maqam ditandai dengan kemapanan, sedangkan hal justru mudah hilang. Dalam kalimat syahadat terdapat dua pernyataan yang terdiri dari penolakan atau pengingkaran dan penegasan atau penguatan. Para ulama’ tasawuf dalam menentukan jumlah dan bentuk-bentuk hal berbeda-beda. Diantara macam-macam hal yang popular adalah:

1.    Muraqabah

Secara etimologi Muroqobah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminology muroqobah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya.[4]

2.    Mahabbah

Menurut Imam Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau nalurinya anti pati terhadap selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala kesenangannya makin bertambah itu artinya cintanya makin mendalam.[5]

Sedangkan asal cinta menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab IHYA ‘ULUMUDDIN jilid IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan adalah ”La Yatashowwaru Mahabbata Illa Ba’da Ma’rifatain Wa ‘Idrotin".

Jadi, sumbernya cinta menurut Imam Al-Ghazali itu ada tiga perkara:

a.    Mengenal dan bertemu.

b.    Setelah mengenal dan bertemu, lalu menimbulkan kecocokan.

c.    Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.[6]

3.    Khauf

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi dua bagian:

a.    Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Khauf yang seperti inilah yang mendorong manusia untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.

b.    Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[7]

4.    Raja’

Raja’ bermakna harapan. Al-Ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Secara maknawi, raja’ adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan. Yang dimaksud Al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Al-Ghazali menambahkan bahwa raja’ perlu disertai dengan husnudzan (baik sangka) kepada Allah SWT dengan menjauhkan rasa keputus asaan akan rahmat-Nya.

5.    Shauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui Allah. Jika pengenalan dan pengetahuan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bersam Allah.

Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam bukunya Ensiklopedia[9] Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak lagi dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak dirindukan lagi[

6.    Uns

7.    Tuma’ninah

Thuma’ninah berarti tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga:

a.    Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir.

b.    Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa.

c.    Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.

8.    Musyahadah

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology persepektif tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai Musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini seseorang mencapai tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.

9.    Yaqin

Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam ditambah dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin.

 

E.  Korelasi maqamat dengan ahwal sebagai instrument pencapaian tujuan tasawuf

Maqamat adalah jamak dari kata Maqam yang berarti tingkatan. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah SWT yang berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu, berbagai latihan spiritual, dan penghadapan segenap jiwa raga kepada Allah SWT. Oleh karena itu, keberadaan maqom seorang hamba bisa dikategorikan sah apabila dirinya dapat menyaksikan Allah secara khusus dalam nilai maqom yang sedang diaktualisasikan. Misalnya, kebenaran seorang hamba telah benar-benar menetapi suatu maqom taubat seperti dia benar-benar taubat akan segala sesuatu yang selain Allah dan memusatkan persaksiannya hanya satu yakni Allah. Maqamat-maqamat dalam tasawuf secara umum bertahap dari :

1.    Taubat

2.    Zuhd

3.    Khauf

4.    Sabar

5.    Syukur

6.    Ikhlas

7.    Tawakal

8.    Ridho

9.    Dzikrul Al-Maut

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga


[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h.243

[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2010), h. 48

[3] Imam Fu’adi, Menuju kehidupan Sufi, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 2004), h. 46

[4] Azyumardi Azra dkk. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev, 2005), h. 287

[5] M. Abdul Mujib Dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika, 2009), h. 460

[6] Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2008 ), h. 288-289

[7]]Abdul Fattah,  Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah (Jakarta: Khalifa, 2005), h.108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...