HOME

29 Desember, 2021

ETIKA POLITIK DAN NILAI PANCASILA SEBAGAI SUMBER POLITIK

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.             LATAR BELAKANG

Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Begitu juga dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila.

Kesadaran etika yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila  itu diyakini kebenarannya, kesadaran etika juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown kedalam norma-norma yang diberlakukan di Indonesia .

Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai.

Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yang bersifat mendasar.

Nilai-nilai pancasila dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausal materialis).

Pancasila merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

B.             RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang ada di  makalah ini adalah :

1.             Apa pengertian Etika?

2.             Bagaimana pengertian Etika Politik?

3.             Bagaimana kaitan Dimensi Politik Kehidupan Manusia dengan kehidupan Negara dan Hukum?

4.             Apa kodrat manusia sebagai mahluk individu dan sosial?

5.             Nilai-nilai apa yang tergandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik?

C.             TUJUAN

Tujuan dalam makalah ini adalah

1.             Untuk mengetahui definisi tentang pengertian etika dan beberapa kelompoknya, seperti etika umum dan etika khusus.

2.             Dapat mengerti hubungan dimensi politik kehidupan manusia sebagai mahluk individu dan sosial.

3.             Memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.             PENGERTIAN ETIKA

Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang yang transenden.

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita  harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsipEtika khusus dibagi  menjadi etika individu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.

Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan  dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :

1.             Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.

2.             Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial).

 

B.             PENGERTIAN ETIKA POLITIK

Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini. Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik masyarakat yang berdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Karena itu,  etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.

Akibatnya ada dua hal:

1.             Pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan

2.             Tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.

Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.

Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:

1.             Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hukum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.

2.             Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislatif maupun eksekutif.

Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:

a.       Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)

b.      Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)

c.       Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)

d.      Kedaulatan rakyat (Rousseau)

e.       Negara hukum demokratis/republican (Kant)

f.        Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

g.       Keadilan sosial

 

C.             DIMENSI POLITIK KEHIDUPAN MANUSIA

Dalam Kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut negara.

Oleh karena itu berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, system-sistem nilai serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.

Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhuk sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Oleh karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.

Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagi anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya.

Dimensi Politik Manusia Manusia sebagai makhluk Individu dan makhluk sosial. Berbagai paham Antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia dari kacamata yang berbeda. Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas.

Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Sedangkan paham kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang manusia sebagai makhluk sosial saja.

Dimensi Politik kehidupan Manusia Dalam kehidupan manusia jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sosial sulit untuk dilaksanakan, karena terjadinya benturan kepentingan diantara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anaarkisme dalam masyarakat.

Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut sebagai Negara Pengertian dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental yaitu Pengertian dan kehendak untuk bertindak (inilah yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia).

Manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat dari kejadian tertentu, akan tetapi hal itu dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap orang lain. Namun sebalikny jika manusia tidak bermoral maka ia tidak akan perduli dengan orang lain.

 

D.            MANUSIA SEBAGAI MAKLHUK INDIVIDU DAN SOSIAL

Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukannya.

Konsekuensinya ia harus mengambi sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyesuaikan diri dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka.

Dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat  yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif.

Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara.

Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama ( Suseno :1987 :21).

Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan pikirannya dalam hubungan dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannyadan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat ruang  gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara moral senantiasa berkaitan dengan orang lain.

Oleh karena itu bagaimanapun juga ia harus memutuskan sendiri apa yang layak atau tidak layak dilakukannya secara moral. Ia dapat memperhitungkan tindakannya serta bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut.

 

E.             NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SUMBER ETIKA POLITIK

Sebagai dasar  filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila  pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Negara Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara.

Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legatimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral) (lihat Suseno,1987:115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus ke dalam negara kekuasaan.

Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaraan atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.

Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan , kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis  hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legimitasi dari rakyat, atau dengan lain perkataan harus memiliki ‘legimitasi demokratis’.

Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legimitasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Misalnya kebijaksanaan harga BBM, Tarif dasar Listrik, Taris Telepon, kebijaksanaan politik dalam maupun luar negeri harus didasarkan atas tiga prinsip-prinsip tersebut.

Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dang penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijaksanaan itu sesuai dengan hukum belum tentu sesuai dengan moral. Misalnya gaji para Pejabat dan anggota DPR, MPR itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral).

Baca juga artikel yang lain:

  1. Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
  2. Pengertian Bid'ah
  3. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  4. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  5. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  6. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  7. Studi Al-Qur'an
  8. Studi Fikih (Hukum Islam)
  9. Urgensi Pengantar Studi Islam
  10. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...