BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada
masa Rasulullah masih hidup, zaman Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar zaman
Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar
melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif
untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka
merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang
diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in
benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi
tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke
seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena
meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits
nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik
dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang
dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan
dari Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang
dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang
dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara
pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi,
perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan
daya ingat para pe-Rawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu,
para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan
meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits
yang nantinya ilmu itu disebut Ulumul Hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
dan Pembagian Ulumul Hadits
2.
Sejarah
Pertumbuhan dan Penghimpunan Hadits
3.
Cabang-Cabang
Ilmu Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Pembagian Ulumul Hadits
1.
Pengertian Ulumul
Hadits
Para
Ulama telah sepakat bahwa Ulumul Hadits
atau ilmu yang membahas tentang perihal hadits baik dari segi
periwayatannya atau dari segi materi/ matan riwayat hadits adalah suatu
ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu mendalaminya adalah suatu keharusan
bagi para pemangku hadits.
Ulumul
Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits
(arabnya : ‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua
kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam
bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berati “ilmu-ilmu”;
sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits
berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan,
perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits
adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Menurut
Ulama Mutaqaddimin Ilmu Hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul
SAW dari segala hal ihwal para pe-Rawinya, kedhabitan,
keadilan, dan dari bersambung tidaknya Sanad dan sebagainya.
Pembukaan
hadits di sekitar abad ke dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits
dalam rangka menghimpun dan membukukannya semata-mata didorong oleh kemauan
yang kuat agar hadits nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya
para penghafalnya. Mereka menghimpun dan membukukan semua hadits yang
mereka dapatkan beserta riwayat dan Sanad-nya masing-masing tanpa
mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya (para Rawi)
begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini
dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya.
Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun
perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab
khusus ialah Al-Qandi
Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360 H) yang
di beri nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian
bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang
bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim
al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadits
yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi
tentang tata cara meriwayatkan hadits.
2.
Pembagian Ulumul
Hadits
Ilmu
hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat
kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu
Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat
(dirayah).
a.
Ilmu Hadits
Riwayah
Ilmu
Hadits Riwayah ialah ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada
Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir,
ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai.
Maudhu’nya
(obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir
dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya.
b.
Ilmu Hadits
Dirayah
Ilmu
Hadits Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan Sanad dan matan
dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu.
Maudhu’nya
(objeknya) adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW,
agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Dengan
mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang
diperoleh antara lain:
1) Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu
hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
2) Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara
dan meriwayatkan hadits.
3) Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4) Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan
kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
5) Dari beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka
faedah mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui
kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud
(ditolak), baik dilihat dari sudut Sanad maupun matannya.
6) Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan
Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat
erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada
periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan
baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan
dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits
Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan
kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits Riwayah.
Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri
tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan Ilmu Hadits
Sunnah atau hadits
sebagai dasar tasyri’ yang kedua setelah al-Qur’an dalam sejarahnya
telah melalui beberapa tahapan perkembangan yang cukup panjang. Para ahli
berbeda pendapat di dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan
penghimpunannya. Dalam makalah ini dijelaskan dalam empat periodisasi, yakni
masa Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, dan masa kodifikasi (tadwin hadits).
1.
Hadits pada
masa Rasulullah SAW
Seluruh
perbuatan, ucapan serta gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya.
Ada
suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu
umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW
sebagai sumber hadits. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang
dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.
Ada
beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadits
kepada para sahabatnya, yaitu:
a) Melalui para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis
al- ilmi.
b) Dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW
juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada orang lain.
c)
Cara lain
yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti haji wada’ dan futuh makkah
Para
sahabat dalam menerima hadits Nabi berpegang teguh pada hafalannya,
yakni menerima dengan jalan hafalan bukan jalan menulis. Mereka mendengar
dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan kemudian makna atau lafadz tergambar
dalam dzin (benak) mereka. Pun juga mereka menyampaikan kepada orang
lain lewat hafalan pula.
2.
Hadits pada
masa Sahabat
Periode
kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya
Khulafa Ar-Rasyidin yaitu sekitar tahun
11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar. Karena pada masa
ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur’an. Periwayatan hadits belum begitu berkembang dan masih
dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang
menunjukan adanya masa pembatasan periwayatan ( At-Tasabbut wa al-Iqlal min
ar-Riwayah ).
Meskipun
begitu Rasul sangat memerintahkan sahabat untuk mentablighkan hadits seperti dibawah ini:
نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ
مِنِّيْ مَقَالَتِيْ مَحَفِظَهَا
وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ
سَامِعٍ.
“Mudah-mudahan
Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan
dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar
karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari
pada yang mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi ).
Hadits pada masa Abu Bakar dan Umar hanya
disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja, belum bersifat
pelajaran. Pada masa ini hadits belum diluaskan karena beliau mengerahkan
minat umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk
berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Perkembangan hadits dan
riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.
Pada
masa Utsman dan Ali hadits lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk
menjawab semua permasalahan dalam masyarakat dikala itu.
3.
Hadits pada
masa Tabi’in
Sesudah
masa Utsman dan Ali, timbulah usaha yang lebih serius untuk mencari dan
menghfal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan
mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada
tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H
mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara
islam sampai disamarkand. Pada tahun 93 H tentara islam menaklukan Spanyol.
Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota itu menjadi “perguruan“ tempat
mengajarkan al-Qur’an dan hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in
dalam bidang hadits.
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai
tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits, ialah Madinah
al-Munawarah, Makkah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalus.
Intinya
pada masa ini periwayatan hadits masih bersifat dari mulut ke mulut
(al-Musyafahat ), seperti seorang murid langsung memperoleh hadits dari
guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan
melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah
bahwa pada masa ini periwayatan hadits
sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal dengan Iktsar al-Riwayah
(pembanyakan riwayat).
4.
Masa
kodifikasi (Tadwin Hadits)
yang
dimaksud dengan kodifikasi Hadits atau Tadwin pada periode ini
adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan
melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi
yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana
yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha
ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul
Aziz (khalifah ke-8 dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui intruksinya kepada
para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para
penghafalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm
(Gubernur Madinah). Beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar
mengumpulkan hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari
(murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al-Qasin bin Muhammad bin Abi Bakar.
Intruksi yang sama juga diberikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang
dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadits dari pada
yang lainnya.
Alasan
mengapa hadits dibukukan/dikodifikasikan karena:
a.
Hilangnya
sejumlah hadits besar.
b.
Penyebaran
kebohongan.
c.
Periwayatan
makna.
d.
Perbedaan
diantara sesama muslim.
e.
Penyebarluasan
ra’yu (penilaian subyektif).
C.
Cabang-Cabang
Ilmu Hadits
1.
Ilmu dan
Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
a.
Ilmu Rijal
Al-Hadist
Ilmu
Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah
para Rawi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ al-tabi’in.
Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari
mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah
dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas
tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang
sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang
biografi para pe-Rawi Hadist.
Adapun materi dari ilmu ini adalah :
1) Konsep
tentang Rawi dan thabaqah
2) Rincian thabaqah
Rawi
3) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
b.
Ilmu Jarh Wa
At-Ta’dil
Ilmu
Jarh Wa At-Ta’dil adalah ilmu tentang hal ihwal para Rawi dalam hal
mencatat keaibannya dan menguji keadilannya.
Ta’dil
artinya
menganggap adil seorang Rawi yakni memuji Rawi dengan
sifat-sifatyang membawa maqbulnya riwayat. Adapun Al-Jarh atau Tajrih
artinya mencacatkan, yakni menuturkan sebab-sebab keaiban Rawi. Ilmu ini
berkaitan dengan hal-hal seperti bid’ah (i’tikad berlawanandengan dasar syariat),
mukhalafah (perlawanan sifat adil dan dhabith), gholath (kesalahan), jahalah
al-hal (tidak diketahui identitasnya), da’wa al-inqitha’ (mendakwa terputusnya Sanad).
Kaidah Tajrih
dan Ta’dil ada dua macam:
1) Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara
dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas Rawi.
2) Naqd Dakhili, yaitu kritik internal, yaitu tentang makna hadits
dan syarat keshahihannya.
Adapun
syarat-ayarat pen-Tajrih dan pen-Ta’dil adalah: berilmu, taqwa,
wara’, jujur, menjauhi fanatik golongan, mengetahui sebab-sebab Ta’dil dan
Tajrih (mufassar).
2.
Ilmu dan
Kaidah Tentang Matan
a.
Gharib Al-Hadits
Ilmu Gharib al-Hadist adalah: “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist
yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’.
Yang
dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat
yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga.
Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi
mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang
yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umum tersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan
sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin
untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1) Mencari dan menelaah hadits yang Sanadnya berlainan
dengan yang bermatan gharib
2) Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits
atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3) Memperhatikan penjelasan dari Rawi selain shahabat.
b.
Ilmu Asbab
Wurud al-Hadits dan Tawarikh al-Mutun
Ta’rif ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi
menuturkan”. Ilmu ini titik berat
pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat
mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu
memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang
berkaitan dengan wurudnya Hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan
konteks makna Hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah
Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’
al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif,
susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c.
Ilmu Nasikh
wa al-Mansukh
Ta’rif
ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah: “Ilmu yang
menerangkan Hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang
menasikhkannya.”
Beliau
menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua
Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’.
Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-Hadis,
kedua Hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’
(dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan
yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang
diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut
nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh,
antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW
sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
3.
Ilmu dan
Kaidah Tentang Sanad dan Matan
a.
Ilmu ‘Ilal
al-Hadits adalah ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat
merusakkan hadits. Jadi Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang
membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan Hadist.
b. Ilmu Fan al-Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam Sanad.
c.
Ilmu
At-Tashif Wa At-Tahrif adalah “Ilmu yang
menerangkan Hadis-Hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan
bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa
al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
Baca juga tentang:
Makalah Fiqih Muamalah (Syirkah, Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah)
Keutamaan-keutamaan Hari Jum'at
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ilmu
Hadits adalah ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW.
Perintis pertama Ilmu Hadits adalah Al Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy.
Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan beberapa ilmu yang masing-masing
berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut
dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits
dan para peRawinya. Akan tetapi pada masa berikutnya ilmu-ilmu itu
digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan nama Ulumul Hadits.
B.
SARAN
Demikianlah
makalah yang dapat pemakalah susun, tentunya makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk membangun dan memperbaiki makalah ini. Penulis juga meminta maaf apabila
ada penulisan dan ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Katib, Ajaj, Hadits Nabi Sebelum
Dibukukan, 1999, Jakarta: Gema Insani Press
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, 2010, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Hadi,
Saeful, Ulumul Hadits, Yogyakarta:
Sabda Media
Ja’fariyah,
Rasul, Penulisan Penghimpunan Hadits, 1992, Jakarta: Lentera
Mudasir,
Ilmu Hadis, 2005, Bandung: Pustaka Setia
Nor,
Ichwan Mohammad, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 2013, Semarang: Rasail Media
Group
Soetari,
Endang, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, 2005, Yogyakarta: CV
Qalam Suparta, Munzier, 2003 Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar