Adab-adab yang Berkaitan dengan
Suami Isteri
1. Masing-masing dari suami dan
isteri hendaknya mempercantik diri (berhias) hanya untuk pasangannya.
2. Hendaknya suami melakukan
sunnah-sunnah fithrah, yaitu; khitan, membersihkan bulu kemaluan, menggunting kumis,
memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.[1]
Hal ini berlaku juga untuk
seorang isteri, dan tidak membiarkannya lebih dari 40 hari.[2] Hendaknya
seorang isteri menjauhkan diri dari menyerupai wanita-wanita kafir dalam hal
memanjangkan kuku dan mengecatnya.
3. Hendaknya seorang isteri
menjauhkan diri dari melakukan tato, mencukur/mencabut alis seluruhnya atau
sebagiannya atau dengan cara yang semisalnya. Begitu juga tidak boleh
merenggangkan gigi, yaitu memisahkan gigi satu dengan yang lainnya sehingga
jaraknya berjauhan satu dengan yang lainnya. Semua hal tersebut haram dan
pelakunya dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
dalam hadits berikut:
“لَعَنَ اللهُ
الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِماَتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ
وَالْمُتَقَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ.”
“Allah melaknat wanita pembuat
tato dan wanita yang meminta ditato, wanita yang mencabut alis atau wanita yang
meminta dicabut alisnya dan wanita yang merenggangkan giginya untuk
mempercantik dirinya dengan merubah ciptaan Allah.”[3]
4. Hendaknya pasangan suami
isteri melakukan shalat berjama’ah dua raka’at bersama-sama (sebelum melakukan
jima’/persetubuhan).
Sebagaimana keterangan atsar
dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa beliau memerintahkan Abu Huraiz,
apabila isterinya mendatanginya agar shalat di belakangnya sebelum
menggaulinya. [Riwayat Abu Bakar Abi Syaibah dan ath-Thabrani. Lihat Adaa-buz
Zifaf hal. 95 oleh Syaikh al-Albani] Hal tersebut merupakan peringatan bagi
pasangan suami isteri, apabila hendak meraih kebahagiaan di dunia dan Akhirat
maka selayaknya harus mendasari semua perilakunya dengan nilai taqwa.
5. Hendaknya sang suami,
meletakkan tangannya di atas kepala isterinya (ubun-ubunnya) kemudian menyebut
Nama Allah, lalu mendo’akan dengan keberkahan dan mengucapkan do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ
مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا
عَلَيْهِ.”
Baca Juga Adab-Adab Dalam Berdo'a “Ya Allah,
sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan perempuan ini, juga kebaikan
tabiat-nya (wataknya) dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan
tabiatnya.”[4]
6. Hendaknya sang suami tidak
lupa untuk mengucapkan do’a sebelum menggauli isterinya dengan membaca:
بِسْمِ اللهِ، اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.
“Dengan menyebut Nama Allah, ya
Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan agar tidak
mengganggu apa yang Engkau rizkikan kepada kami.”[5]
Sedangkan lanjutan lafazh
hadits tersebut adalah:
…فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا لَمْ يَضُّرَهُ.
“…Apabila ditakdirkan
mendapatkan anak, maka syaitan tidak dapat mengganggu selama-lamanya.”
7. Diperbolehkan bagi pasangan
suami isteri untuk saling melihat seluruh aurat pasangannya. Sebagaimana hadits
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ وَاحِدٌ (تَخْتَلِفُ
أَيْدِيْنَا فِيْهِ) فَيُبَادِرُنِيْ حَتَّى أَقُوْلَ: دَعْ لِيْ، دَعْ لِيْ،
قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ.
“Aku pernah mandi berdua dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu wadah yang terletak antara
aku dan beliau. Tangan kami berebutan menciduki air yang ada di dalamnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menang dalam perebutan itu, lalu aku
katakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku.’ Padahal pada saat itu kami sedang
dalam keadaan junub.”
8. Lebih disukai bagi orang
yang junub untuk berwudhu’ ketika hendak tidur, lebih utama lagi kalau mandi.
Hal tersebut berdasarkan hadits
‘Abdullah bin Qais, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apa yang
dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila dalam keadaan junub?
Apakah beliau mandi sebelum tidur atau tidur sebelum mandi?’ ‘Aisyah menjawab,
‘Semua pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkadang beliau
mandi sebelum tidur dan terkadang berwudhu’ saja lalu tidur.’ Aku berkata.
‘Segala puji bagi Allah Yang telah memberi keleluasaan dalam masalah ini.”
[HR. Ahmad VI/73, 149. Lihat Adabuz Zifaaf hal. 118-119]
9. Tidak boleh berlebih-lebihan
secara gegabah dengan banyak melakukan hubungan badan, karena di dalamnya
banyak terkandung kerusakan dan mempersempit kebaikan di dunia maupun di
akhirat.
Baca juga artikel yang lain:
- Shalat Tarawih
- Pengertian Anak Yatim dan Piatu
- Adab Berdo'a
- Adab Jamuan
- Adab Suami Istri
- Adab Ziarah Kubur
- Adab Makan dan Minum
- Adab-adab Membaca Al-Qur'an
- Keutamaan-keutamaan Hari Jum'at
- Pengertian Bid'ah
- Makalah Fiqih Muamalah (Syirkah, Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah)
- Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
- Maha Penyembuh
_______
Footnote
[1]. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ
وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ.
“Fithrah itu ada lima; Khitan,
membersihkan bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu
ketiak.” [Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5891), Muslim
(no. 257 (50)), Ibnu Majah (no. 292), at-Tirmidzi (no. 2756), Abu Dawud (no.
4198) dan an-Nasa-i (no. 5043)]
[2]. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وُقِّتَ لَنَا فِيْ قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمِ
اْلأَظْفَارِ وَنَتْفِ اْلإِبْطِ وَخَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ
مِنْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.
“Telah ditetapkan (oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada kami agar mencukur kumis, memotong
kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan serta tidak membiarkannya
lebih dari 40 malam.” [Shahih: HR. Muslim no. 258 (51), at-Tirmidzi
no. 2759, Abu Dawud no. 4200, an-Nasa-i I/15-16 no. 14]-penj.
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 4886, 5939) dan Muslim (no. 2125 (120))
[4]. Hasan: Diriwayatkan oleh
Abu Dawud (no. 2160) dan Ibnu Majah (no. 1918). Hadits ini dihasankan oleh
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1892).
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 141) dan Muslim (no. 1434), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma.
[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 261), Muslim no. 321 (46), Ahmad VI/ 37 (210), Abu Dawud (no.
77) dan an-Nasa-i (I/128).-penj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar