BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aswaja adalah kepanjangan kata dari “Ahlussunnah wal-Jamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa ashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Dalam konteks di Indonesia, Aswaja identik dengan golongan “Islam Tradisional”. Disamping itu NU sebagai penerus ajaran Aswaja yang telah dibawa oleh ajaran Wali Songo merupakan salah satu golongan umat Islam tradisional yang terbesar bukan hanya di Indonesia melainkan terbesar di dunia.
Jika ditelusuri secara mendalam, paham Aswaja sesungguhnya telah lama masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam. Islam sendiri masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Walisongo. Dari murid -murid Walisongo inilah kemudian secara turun temurun menghasilkan ulam-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Kholil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan tak ketinggalanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang nantinya sebagai pendiri utama jam’iyah Nahdlatul Ulama’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunnah wal-Jama’ah
Secara bahasa Ahlussunnah wal-Jamaah terdiri dari tiga kata yaitu Ahl, Al-Sunnah, dan Al-Jama,ah. Kata Ahl diartikan keluarga, golongan, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Kata Al-Jama’ah diartikan mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.[1] Seperti dalam hadits Rasulullah[2] :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّا شِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي.
“Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku”
Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[3] Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili. Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaahadalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[4]
B. Sejarah Aliran Ahlussunnah wal-Jama’ah
Istilah ahlussunnah wal jama’ah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M). Terma Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[5]
Secara terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).
Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali:idza uthliqa uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal maturidiyah (jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi).
Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’. Mereka membentuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.[6]
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran.
Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam.
Oleh sebab itulah tidak mengherankan jika kemudian NU bisa diterima umat Islam Indonesia, bahkan bisa berkembang pesat menjadi salah satu paham terbesar yang dianut oleh umat Islam terutama yang dianggap Islam tradisional.
C. Ajaran Aliran Ahlussunnah wal-Jamaah
Terdapat tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah yang selalu diajarkan Rasulullah SAW dan para sabahat:[7]
1. At-Tawassuth
At-Tawassuth adalah sikap sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Seperti pada firman Allah SWT dalam Al-Quran yang artinya :
Dan demikian pula kami telah menjadikan (umat islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah : 143)
2. At-Tawazun
At-Tawazun adalah sikap seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Quran dan hadits). Seperti firman Allah SWT dalam Al-Quran yang artinya :
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid : 25)
3. Al-I’tidal
Al-I’tidal adalah sikap tegak lurus. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah: 8)
D. Sekte, Tokoh, dan Pemikirannya
Ahlussunnah memiliki dua aliran yang menentang ajaran ajaran Mu'tazilah. Aliran aliran tersebut yaitu aliran Asy'ariah dan Maturidiah.
1. Al-Asy’ariah
Aliran ini dibawa oleh Abu Al-Hasan 'Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma'il bin 'Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi musa Al-Asy'ari. Beliau lahir di Barshah pada tahun 260 H/875 M. Awalnya Al-Asy'ari adalah seorang pengikut faham Mu'tazilah kemudian dia keluar karena tidak cocok dengan Mu'tazilah.
Adapun sebab terpenting mengapa Al-Asy'ari meninggalkan mu'tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri kalau seandainya tidak segera diakhiri.[8]
Pemikiran-pemikiran dari Al-Asy’ariah sebagai berikut :
a) Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Asy'ari berpendapat bahawa Allah memiliki sifat sifat seperti memiliki tangan dan kaki tetapi sifat sifat ini tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. Al-Asy'ari juga berpendapat bahwa sifat Allah tidak dapat dibandingkan dengan sifat manusia yang tampaknya mirip.
b) Kebebebasan dalam berkehendak-berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya.Menurut Al-Asy'ari Allah adalah pencipta(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya(muktasib). Haya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy'ari dan orang-orang mu'tazilah memgakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy'ari mengutamakan wahyu, sementara Mu'tazilah mengutamakan akal.[9]
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat siantara mereka. Al-Asy'ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu'tazilah mendasatkannya kepada akal.[10]
d) Melihat Allah
Al-Asy'ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru'yat dapat terjadi ketikaAllah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat- Nya.[11]
e) Kedudukan orang berdosa
Al-Asy'ari berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar ialah mukmin yang fasik dan tetap beriman kecuali jika menjadi kufur dan dosanya tidak akan diampuni.
2. Al-Maturidi
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Al Maturidy, dia lahir di Maturid salah satu pengikut mazhab Hanafi. Oleh seban itu Al-Maturidi banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaanya dan banyak pula memaka akal dalam sistem teologinya.
Terdapat perbedaan pemikiran antara teologinya dengan teologi teologi Al-Asy'ari, sungguhpun keduanya adalah reaksi dari aliran Mu'tazilah. Salah satu dari perbedaan tersebut yaitu dalam hal takdir. Asy'ari tampaknya lebih dekat pada Jabariyah sedangkan Maturidi lebih dekat pada Qadariyah.
Dalam soal sifat Tuhan terdapat persamaan pemikiran dengan Al-Asy'ari. Baginya Tuhan juga memiliki sifat sifat dan melekat pada dzatnya. Mengengenai dosa besar Al-Maturidi sependapat dengan Al-asy'ari yaitu bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuha kelak di akhirat.
E. Perkembangan Pemikiran Aliran Khawarij dalam Dinamika Kontemporer
Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.
Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)[12]
Baca juga artikel yang lain:
- Adab Suami Istri
- Aliran Qadariyyah
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
- Ilmu Kalam
- Aqidah Islimiyyah
- Aliran Mu'tazilah
- Aliran Syi'ah
- Aliran Jabariyah
- Ahli Sunnah Wal Jama'ah
- Aliran Khawarij
- Aliran Ahmadiyah
Footnoote
[1] FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3
[2] KH. Abdurrahman Navis, Muhammad Idrus Ramli, Faris Khirul Anam, Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah, Surabaya : Khalista Surabaya, 2013 hlm. 2
[3] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[4] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1, hlm. 107
[5] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008 hlm. 6.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001 hlm. 195-197.
[7] http://www.elhooda.net/2014/03/inilah-3-ciri-utama-ajaran-islam-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja/ diakses pada 6 november 2017 (20:08)
[8] Harun Nasution,Pengantar Ilmu Kalam:Analisa Perbamdingan,UI Press,Jakarta,1986,hlm.65.
[9] Prof.Dr.H.Abdul Rozak, Prof.Dr.H.Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,Pustaka Setia, Bandung,2012,hlm.149.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] http://pemikiranaswaja.blogspot.co.id/p/pemikiran-aswaja.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar