HOME

23 Januari, 2022

Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                 1

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang                                                                                    3

B.     Rumusan Masalah                                                                               3

C.     Tujuan                                                                                                 3

BAB II

PEMBAHASAN                                                                                         4

A.    Pengertian baik dan buruk, hak dan kewajiban dalam akhlak            4

B.     Pandangan dan aliran tentang baik dan buruk                                    7

C.     Baik dan buruk menurut ajaran agama Islam                                    11

D.    Hubungan antara hak, kewajiban, keutamaan dengan akhlak            14

BAB III

KESIMPULAN                                                                                          20

DAFTAR PUSTAKA                                                                                  21


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Setiap perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang tidak baik atau buruk. Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Pernyataan tersebut dapat dijadikan indikator untuk menilai perbuatan itu baik atau buruk sehingga dapat dilatar belakangi sesuatu yang mutlak dan relatif.

Pernyataan-pernyataan tersebut perlu dicarikan jawaban dan dapat dijadikan rumusan masalah sehingga para pembaca menilai sesuatu itu baik atau buruk memiliki indikator tang pasti. Untuk itu dijadikan pembahasan masalah adalah bagaimana ukuran menilai baik dan buruk menurut pandangan islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian baik dan buruk, hak dan kewajiban dalam akhlak?

2.      Bagaimana pandangan dan aliran tentang baik dan buruk?

3.      Bagaimana pandangan baik dan buruk menurut ajaran agama Islam?

4.      Apa hubungan antara hak, kewajiban, keutamaan dengan akhlak?

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian baik dan buruk, hak dan kewajiban dalam akhlak.

2.      Untuk mengetahui pandangan dan aliran tentang baik dan buruk.

3.      Untuk mengetahui pandangan baik dan buruk menurut ajaran agama islam.

4.      Untuk mengetahui hubungan akhlak antara hak, kewajiban, keutamaan dengan akhlak.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam akhlak

Pada hakekatnya di dunia ini berisi dua hal, yaitu perbuatan atau tingkah laku manusia yang baik dan yang buruk. Menilai yang baik dan yang buruk dari segi peninjauan yang berbeda; menurut siapa yang menyaksikan dan siapa yang menilainya, maka hal ini merupakan masalah. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa sesuatu itu baik, tetapi sebagian lagi akan mengatakan sesuatu itu tidak baik dan buruk.

Adapun pengertian baik menurut Ilmu Akhlak adalah sesuatu yang berharga, tidak berguna untuk tujuan, apalagi yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah buruk.[1]

Setiap tindakan seseorang atau golongan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari pasti mempunyai tujuan tertentu, di mana tujuan itu satu sama lain adalah berbeda, namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menginginkan kebaikan, kebaikan untuk dirinya ataupun golongannya. Akan tetapi untuk mencapai tujuan tidak boleh menggunakan segala macam cara. Oleh karenanya, cara atau sarana untuk sampai kepada tujuan harus tetap menggunakan norma yang baik.

Pengertian hak dan kewajiban, hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, mimiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuaan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.[2]

Poedjawijatna mengatakan bahwa yang di maksud dengan hak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu.[3] Jika seseorang misalnya mempunyai hak atas sebidang tanah, maka ia berwenang, berkuasa untuk bertindak atau memanfaatkan terhadap miliknya itu, misalnya menjual, memberikan kepada orang lain, mengolah dan sebagainya.

Selanjutnya jika seseorang misalnya mempunyai hak dan mengarang, maka ia dapat berbuat semaunya terhadap hasil karangannya itu dengan cara menjual, menyuruh cetak, menerbitkan dan seterusnya.

Di dalam Al-Qur’an jika jumpai juga kata al-haqq, namun pengertiannya agak berbeda dengan pengertian hak yang dikemukakan di atas. Jika pengertian di atas mengacu kepada semacam hak memiliki, tetapi al-haqq dalam Al-Qur’an bukan itu artinya. Kata memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut di atas dalam bahasa Al-Qur’an disebut milik dan orang yang menguasai disebut malik.

Pengertian al-haqq dalam Al-Qur’an sebagaimana dikemukakan Al-Raghib al-Asfahani adalah al-muthabaqah wa al muwafaqah artinya kecocokan, kesesuian dan kesepakatan, seperti cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.[4]

Dalam perkembangan selanjutnya kata al-haqq dalam Al-Qur’an digunakan untuk empat pengertian. Pertama, untuk menunjukkan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah, seperti adanya Allah disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi:

ثّمَّ رُدُّوْآإلَى الله مَوْلَهُمُ اْلحَقِّ (الانعام: ٦٢)

“kemudian kembalilah kamu sekalian kepada Allah. Dialah Tuhan mereka yang haq”. (QS. al-An’am, 6:62).

Kedua, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah. Misalnya Allah SWT. Menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai misalnya pada ayat yang berbunyi.

مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ اِلاَّبِالْحَقِّ (يونس: ٥)

“Allah tidak menciptakan yang demikian itu (matahari dan bulan) kecuali dengan haqq”. (QS.Yunus, 10:5).

Ketiga kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan keyakinan (i’tiqad) terhadap sesuatu yang cocok dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan diakhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi:

فَهَدَى الله الَّذِيْنَ اَمَنُوْالِمَااخْتَلَفُوْافِيْهِ مِنَ الْحَقِّ (البقرة: ٢١٣)

“Maka Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap apa yang mereka perselisihkan dari haqq”. (QS. al-Baqarah, 2:213).

Keempat, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar atau porsi yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keadaan waktu dan tempat. Penggunaan kata al-haqq yang demikian itu sejalan dengan ayat dan berbunyi:

وَلَوِاتَّبَعَ الْحَقُّ اَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلاَرْضُ (المؤمنون: ٧١)

“Dan seandainya al-haqq itu menuruti hawa nafsunya, maka terjadilah kerusakan langit dan bumi”. (QS. al-Mu’minun, 23:71).

Selain itu kata al-haqq dapat berarti upaya mewujudkan keadilan, argumentasi yang kuat, menegakkan syari’at secara sempurna, dan isyarat tentang adanya hari kiamat. Dengan demikian seluruh kata al-haqq yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak ada satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana arti hak yang umumnya lazim digunakan masyarakat.

Pengertian hak dapat arti memiliki sesuatu dan dapat menggunakan sekehendak hatinya, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-milk. Misalnya pada ayat yang berbunyi:

وَتَّخَذُوْامِنْ دُوْنِهِ آلِهَةُ لاَّيَحْلُقُوْنَ شَيْئًاوَّهُمْ يُحْلَقُوْنَ وَلاَ يَمْلِكُوْنَ لِاَنْفُسِهِمْ ضَرًّاوَّلاَنَفْعًاوَّلاَ يَمْلِكُوْنَ مَوْتًاوَّلاَحَيَوةًوَّلاَ نُسُّوْرًا. (الفرقان: ٣)    

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya, (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya yang dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan. (QS. al-Furqan, 25: 3).

Pada ayat tersebut kata al-milk dihubungkan dengan kemampuan untuk menolak kemudharatan dan mengambil manfaat. Arti inilah yang digunakan dalam tulisan ini.


B.     Pandangan dan Aliran Tentang Baik dan Buruk

Pada pembahasan terdahulu telah diterangkan, bahwa perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk, untuk mengetahui tengtang pengetahuan yang baik dan yang buruk itu perlu dikemukakan tentang sumber-sumber yang menjadi ketentuan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Untuk membahas masalah ini akan diuraikan beberapa aliran dalam filsafat Akhlak, baik dari gerakan-gerakan moral agama maupun moral skuler. Dari aliran-aliran sekuler sebagaimana yang dipaparkan oleh Humaidi Tatapangarsa[5] ada enam aliran moral sekuler yaitu:

1.      Aliran Etopiricisme (Empiris/ pengalaman)

Aliran ini berpendapat bahwa pengalaman manusia adalah satu-satunya alat yang terpecaya untuk mengetahui yang baik dan yang buruk.

2.      Aliran Intuitionisme (Intuisi/bisikan hati)

Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang baik dan buruk adalah intuisi yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “ Madzhab Laqonah”

3.      Aliran Rasionalisme (Rasio/akal)

Aliran ini berpendapat bahwa Rasionallah yang menjadi sumber moral dan bukannya yang lain. Termasuk pelopor aliran ini adalah Ploto, Aristoteles, Hegel dan Spinoza.

4.      Aliran Tradisionalisme (Tradisi/adat kebiasaan)

Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi norma baik dan buruk adalah tradisi.

5.      Aliran Hedonisme (Madzhab Sa’adah)

Berpendapat bahwa kebahagiaan merupakan norma baik dan buruk. Maksudnya, sesuatu perbuatan itu baik kalau mendatangkan kebahagiaan dan sebaliknya, perbuatan itu buruk kalau mendatangkan penderitaan. Aliran ini dibagi menjadi dua:

a.       Egoitic Hedonisme (madzhab Sa’adah Syahlisiyah).

Berpendapat bahwa kebahagiaan yang menjadi norma baik dan buruk tersebut adalah kebahagiaan individual.

b.      Universalistic Hedonisme (madzhab Sa’adah ‘Amman)

Berpendapat bahwa kebahagiaan yang menjadi norma baik dan buruk adalah kebahagiaan yang bersifat universal. Aliran ini juga disebut dengan Utilitarianisms.

6.      Aliran Evolusionisme

Berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan moral itu tumbuh berkembang secara berangsur-angsur dan meningkat maju demi sedikit. Ia berproses terus menuju idealisme yang menjadi tujuan hidup. Oleh karena itu, suatu perbuatan dikatakan baik apabila mendekati idealisme dan sebaliknya perbuatan dikatakan buruk, jika jauh dari idealisme. Aliran ini bertitik tolak dari teori Evolusinya March, cendekiawan Francis (1774-1829) dan teori Darwin, Sarjana Inggris (1809-1889). Sedang tokohnya iaiah Herbert Spencer, seorang filosof Inggris. (1820-1903).

Sedangkan untuk menentukan persoalan dengan apa orang menentukan baik dan buruk itu, tidak hanya diperdebatkan oleh mereka yang berpaham sekularisme saja, namun juga diperdebatkan oleh para ulama Islam

Menurut pedapat Ahli Sunnah.

الحسن ماجعله الشارع حسناوالقبيح مارسم انه قبيح وليس للعقل سلطان بياالخيروالشرمن نفسه.

Artinya: baik adalah apa yang dijadikan baik oleh agama, dan buruk ialah apa yang ditentukan buruk oleh agama. Sedangkan akal pikiran tidaklah mampu menjelaskan baik dan buruk itu.[6]

Berbeda dengan pendapat ahli sunnah di atas, orang yang Mu’tazilah berpendirian:

ان المعرفة وشكر المنعم ومعرفة الحسن والقبيح واجبات العقل.

Artinya: Bahwasannya mengenal dan bersyukur kepada Allah pemberi kenikmatan, dan mengetahui baik dan buruk itu termasuk kewajiban akal.

Sedangkan al-Ghazali mempunyai pendapat agak berbeda dengan kedua pendapat diatas, yaitu:

فاداعي الى محض التقليد مع غزل العقل بالكلية جاهل والمتكفى بمجرد العقل عن انوار القرأن والسنة مغرور.

Artinya: orang yang mengajak kepada taklid saja dengan mengenyampingkan akal sama sekali, adalah ia seorang yang bodoh, sedang orang yang hanya mencukupkan akal saja terlepas dari petunjuk Al-Qur’an dan As-sunnah, adalah orang yang tertipu. (Ihya Ulumiddin III).

Kalau kita cermati pendapat al-Ghazali, beliau sebenarnya menengahi atau menggabungkan antara pendirian Ahli Sunnah dengan Mu’tazilah. Berdasarkan pendapat al-Ghazali ini, maka sumber atau alat pengukur baik dan buruk, adalah:

1.      Al-Qur’anul Karim.

2.      Sunnah Rasulullah SAW.

3.      Akal pikiran.

Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali itu barang kali diilhami oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal, tatkala diutus Rasulullah SAW, ke negeri Yaman:

قال: تقض اذاعرض لك قضاء, قال: اقضى بكتاب الله, قال فان لم تجد فى كتاب الله قال: فبسنة رسول الله ص.م. قال: فان لم تجد في سنة رسول الله ولافى كتاب الله قال: اجتهد رأيى ولاالو. فضرب رسول الله صدرى وقال: الحمد لله الذى وفق رسول الله لمايرض رسول الله.

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: bagaimana kamu menghukumi bila dihadapkan kepadamu sesuatu persoalan? Mu’adz menjawab: Saya memutuskan dengan kita Allah. Nabi bertanya: jika tidak ditemuka dalam kitabullah? Muadz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah. Nabi bertanya lagi: seandaiannya persoalan itu tidak terdapat: dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Saya berijtihad dengan menggunakan akal saya dan saya tidak akan berlaku ceroboh. Mu’adz berkata: Maka Rasulullah SAW, menepuk dadaku setelah aku berkata demikian dan Nabi bersabda: Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjuki utusan Rasulullah kepada apa yang diridha oleh Rasulullah[7].

Menurut Abul A’la Haududi, salah seorang ulama dan pemikir Islam masa kini, berpendapat agak lebih luas. Menurutnya sumber nilai-nilai moral Islam terdiri dari:

1.      Bimbingan Tuhan, sebagai sumber pokok. Yang dimaksud bimbingan Tuhan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

2.      Pengalaman, rasio dan Intuisi manusia, sebagai sumber tambahan atau sumber pembantu[8]


C.    Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah swt., al-qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalaj akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar.

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an dan al-hadis. Jika kita perhatikan al-qur’an atau hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik dan ada pula yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.

Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-raghib al- Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah terbagi menjadi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu/keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Pemakaian kata al-hasanah kta jumpai pada ayat-ayat yang berbunyi :

“ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (Q.S al-Nahl, 16: 125)”.

Adapun kata at-tayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa seperti makan dan sebagainya. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang kami berikan kepadamu. (Q.S. al-baqarah, 2:57)”.

Selanjutnya kata al-khair digunakan utnuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

“Barangsiapa yang melakukan kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-baqarah, 2: 158)”.

Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah swt., dengan demikian kata al-mahmudah lebih menujukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :

“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji (Q.S al-Isra, 17: 79)”.

Selanjtnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya:

“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya, dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia (Q.S. al-ISra, 17: 23)”.

Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia maka yang dimaksud adalah ketaatannya.

Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan al-qur’an dan hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu pada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.

Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian, Islam memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan  keridlaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas.

Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseeorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan itu dipandang tercela.

Selain itu perbuatan yang dianggap baik oleh Islam juga adalah perbuatan yang sesuia dengan petunjuk al-qur’an dan al-sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan al-qur’an dan al-sunnah. Namun demikian, al-qur’an dan al-sunnah bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua cumber itu bersikap terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal pikiran, adat istiadat dan sebagainya yang dibuat manusia, dengan catatan semuanya itu tetap sejalan dengan petunjuk al-qur’an dan al-sunnah. Ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada logika dan filsafat dengan berbagai alirannya tertampung dalam istilah etika, atau ketentuan baik-birik yang didasarkan atas istilah adat istiadat tetap diakui dan dihargai keberadaannya. Ketentuan baik-buruk yang terdapat pada etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang ada didalam al-qur’an.

D.    Hubungan Antara Hak, Kewajiban, Keutamaan dengan Akhlak

Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud hak ialah semacam milik, kepunyaan yang tidak hanya kepunyaan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil pemikiran itu. Sedangkan kewajiban adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh setiap manusia dalam memenuhi hubungan sebagai makhluk individu, social dan tuhan.

Dan Keadilan merupakan peringkat tertinggi dalam menentukan segala bentuk permasalahan yang ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak.

Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian berlaku adil pun mesti ditegakkam di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Maka hanya dengan menerapkan konsep keadilan yang ideal seperti itu, maka umat Islam pada khususnya akan terbebas dari belenggu perbudakan kaum impratif modern.

Keutamaan ialah akhlak yang baik. Dan akhlak itu sendiri adalah kehendak yang dibiasakan. Sedangkan sifat utama ialah kehendak orang dengan membiasakan sesuatu yang baik. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa orang utama adalah orang yang mempunyai akhlak baik yang membiasakan memilih perbuatan yang sesuai dengan apa yang diperintahkan. Sehingga keutamaan merupakan sifat jiwa sedangkan kewajiban hanya perbuatan luar.

Keutamaan juga dapat disimpulkan sebagai segala yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan maksud dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahkan juga terdapat dalam Kalamullah:

يَآيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْآاَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولىِ الْاَمْرِمِنْكُمْ, فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ, ذَلِكَ خَيْرٌوَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً.

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".(An-Nisa’ 59).

Dalam ta’wil yang di khabarkan, Ayat ini tetap (tidak berubah), dan bahwasanya (menghadapi persoalan baru yang bertentangan pendapat antara ulama’ satu dengan ulama’ lain) lebih Utama mengembalikan sesuatu tersebut kepada ta’wil dasar hukumnya, baik lebih utama hakikat-nya (kebenaran-nya), lebih utama Mudhir-nya (yang di nyatakan-nya), maupun murji’-nya (pengembalian kepada Al-Quran & Al-Hadits).

Selain pengertian-penegrtian diatas, keutamaan diartikan dengan berbagai tafsiran menurut beberapa keadaan diantaranya adalah:

-  Menurut perbedaan masa. Contohnya ialah Keberanian dulu diartikan tahan dari penderitaan badan, tetapi kini diartikan lebih luas  dari itu. Begitupun dengan adil.

-  Menurut perubahan akal dan pergaulan bangsa bangsa. Contoh kebijakan seseorang dengan memberi sedekah adalah terhitung keutamaan yang terpenting pada abad  pertengahan sedangkan pada masa sekarang ini soal keutamaan tersebut menjadi tempat kecaman.

- Menurut perbedaan keadaan masing-masing orang dan perbuatan mereka. Contoh keutamaan saudagar tidak sebagai keutamaan ahli pengetahuan.

Amat sukar sekali untuk memperdalam soal ini. Dan menerangkan perbedaan yang kecil-kecil di antara orang-orang yang menimbulkan perbedaan di dalam nilai keutamaan pada umumnya. Seperti jujur, adil, dan sebagainya.

Keutamaan dapat dimasukkan di dalam keutamaan yang lebih seperti jujur dapat dimasukkan di dalam arti adil dan rasa puas. Sebagian keutamaan dilahirkan dari gua keutamaan atau lebih ,seperti sabar tibul jadi perwira dan berani.

Terdapat beberapa pendapat tokoh tentang pokok keutamaan yang menjadi dasar bagi keutamaan yang laindiantaranya adalah:

Socrates berpendapat bahwa “tidak ada keutamaan kecuali pengetahuan(ilmu)”. Yang dapat disimpulkan bahwa:

a. Sesungguhnya manusia itu tidak dapat berbuat kebaikan kalau tiada tahu kebaikan.

b. Pengetahuan manusia tentang baiknya sesuatu itu tentu mendorong untuk mengerjakannya.

Socrates memperluas teorinya. Maka menurut pendapatnya bahwa manusia yang baik itu ialah yang mengetahui kewajibannya. Tepatlah Socrates  di dalam mengambil kesimpulan bahwa dasar keutamaan itu ialah pengetahuan, karena manusia tidak menjadi utama sehingga mengetahui kebaikan dan perbuatannya ditujukan ke arah kebaikan.

Aristoteles menolak pandangan Socrates karena menurutnya jiwa manusia tidak hanya tersusun dari akal. Kebanyakan perbuatan manusia itu dikuasai oleh perasaan dan syahwat. Menurut pendapat Socrates keutamaan itu hanya ada satu. Ialah pengetahuan atau boleh engkau namai kebijaksanaan, sedang keutamaan lain-lainnya seperti berani, perwira, dan adil, hanya gejalanya dan bersumber dari padanya.

Plato berpendapat bahwa keutamaan yang benar bukan hanya pebuatan yang benar. Karena perbuatan yang benar terkadang timbul dari dasar yang batal. Akan tetapi, keutamaan yang benar ialah perbuatan baik yang timbul dari pengetahuan benar dan sebab apa ia benar. Dari itu ia membagi keutamaan itu, menjadi: keutamaan filsafat dan keutamaan biasa. Keutamaan filsafat ialah perbuatan baik yang berdasar dengan akal dan timbul dari pendirian yang dipeluknya setelah mempergunakan pikiran. Adapun keutamaan biasa ialah perbuatan baik yang timbul karena adat atau perasaan baik. Keutamaan yang kedua ini ialah keutamaan bagi umumnya orang; mereka berbuat kebaikan karena orang-orang mengerjakannya dengan tiada berfikit sebab-sebab kebaikannya.

Adapun Aristoteles berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ialah “Tunduknya syahwat kepada hukum akal” atau dengan arti lain: “Menyerahnya syahwat kepada akal yang memimpinnya” keutaman itu mempunyai dua anasir: akal dan syahwat.

Perkataan tersebut menarik kepada Aristoteles untuk meletakkan “Teori Tengah-tengah” berarti bahwa tiap-tiap keutamaan itu di tengah-tengah antara dua keburukan, keburukan berlebih-lebihan dan keburukan berkurang maka keberanian umpamanya adalah di antara membabi buta dan takut, dermawan adalah di antara boros dan kikir dan demikianlah seterusnya.

Teori ini dibantah dengan beberapa bantahan

a) Tengah-tengah menurut keterangan Aristoteles berarti tidak selalu, di titik tengah-tengah berarti bahwa keutamaan itu dua jarak yang jauhnya tidak sama dari dua keburukan.

b) Banyak keutamaan yang tidak kelihatan bahw ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur, dan adil.

c) Kita tidak mempunyai ukuran yang tepat yang dapat menjelaskan titik tengah-tengah.

Keutamaan dibagi menjadi tiga:

1. Perseorangan

1) Mengekang hawa nafsu

2) Mendidik nafsu

2. Masyarakat

Keutamaan masyarakat mengandung sifat adil ialah menyampaikan hak-hak manusia kepada mereka dan kebajikan member kebutuhan mereka di atas hak-hak mereka.

3. Agama

Keutamaan agama mengandung sifat-sifat manusia yang harus dipakai untuk Tuhannya. Pandangan kita dalam memberi hukum kepada sesuatu akan baik dan buruknya, adalah suara hati itu menjadi petunjuk yang baik.

Hak adalah sesuatu yang diterima setelah manusia diberatkan atas suatu kewajiban. Antara hak dan kewajiban tidak bisa dipisahkan, keduanya harus seimbang.Sehingga dapat tercipta suatu keselarasan kehidupan dalam masyarakat yang kemudian tercipta suatu kesejahteraan secara menyeluruh.

Selain ada hak dan kewajiban dalam diri manusia ada juga keutamaan yang merupakan akhlak baik sebagai implementasi dari pelaksanaan  hak dan kewajiban yang seimbang.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

KESIMPULAN

Setiap tindakan seseorang atau golongan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari pasti mempunyai tujuan tertentu, di mana tujuan itu satu sama lain adalah berbeda, namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menginginkan kebaikan, kebaikan untuk dirinya ataupun golongannya. Hak adalah sesuatu yang diterima setelah manusia diberatkan atas suatu kewajiban. Antara hak dan kewajiban tidak dipisahkan, keduanya harus seimbang. Sehingga dapat diciptakan atau keselarasan kehidupan dalam masyarakat yang kemudian tercipta suatu kesejahteraan secara menyeluruh.

Pandangan dan aliran tentang baik dan buruk, antara lain: Aliran Etopiricisme (Empiris/ pengalaman), Aliran Intuitionisme (Intuisi/bisikan hati), aliran Rasionalisme (rasio/akal), Aliran Tradisionalisme (Tradisi/adat kebiasaan), Aliran Hedonisme (Madzhab Sa’adah), Aliran Evolusionisme.

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an dan al-hadis.

Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Keutamaan ialah akhlak yang baik. Dan akhlak itu sendiri adalah kehendak yang dibiasakan.


DAFTAR PUSTAKA

-          Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

-          Mas’ud, Ali, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014, cet-1

-          http://aan888.blogspot.co.id/2015/05/makalah-akhlak-tasawuf-hak-kewajiban.html?m=1

-          Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.


Footnoode

[1] Rahmad Djatmika, Sistem Etika Islami (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), 33.

[2] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), cet.ll, 59.

[3] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), cet.IV, 60.

[4] Al-Raghib al-Asfahani, mu’jam Mufradat Al-Fadz Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 124.

[5] Humaidi Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), 25-27.

[6] Ibid.,28.

[7] Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abu Dawud II. Beirud: Dar Al Fikri, tt, 303.

[8] Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia, 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...