HOME

25 Januari, 2022

Aliran Jabariyah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jabariyah

Jabariyyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Al-syahrastani menegaskan istilah al-jabr diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada allah.[1] Menurut al-Syahrastani jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan pebuatan tersebut kepada Allah. Dalam istilah inggris Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyatakan bahwa segala perbutan manusia telah ditentukan semula oleh qada dan qodar Tuhan.[2] Dengan kata lain semua yang terjadi dalam kehidupan manusia bergantung pada takdir allah. Menurut aliran ini manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.

Menurut aliran ini Allah mempunyai sifat al-jabbar, yang artinya Allah  maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur  mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan untuk menetukan kehendak dan perbutannya. Manusia terikat pada kehendak tuhan, denga kata  lain manusia mengerjakkan perbutannya dalam keadaan terpaksa. Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama) ditarik menjadi Jabariyah, yang memilik arti suatu kelompok atau golongan (isme). Faham ini menyatakan bahwa manusia itu terpaksa dalam segala  tindaknnya. Ia tidak mempunyai kemampuan atau pilihan untuk menentukan tindakan-tindaakannya sendiri. Ia ibarat bulu yang digantungkan di udara yang hanya bergerak bila ada angin yang menggerakannya.

B.     Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah

Faham Jabariyah diperkirakan telah ada sebelum agama islam datang pada masyarkat Arab. Kahidupan bangsa Arab yang dikelilingi oleh gurun pasir yang terik, memberikan dapak yang besar terhadap kehidupan mereka. Dengan suasana yang demikian membuat mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, dan hanya mampu patuh, tunduk, dan pasrah terhadap kehendak Tuhan.[3] Dalam kehidupan yang serba sederhana dimasa lalu ditambah pula keadaan lingkungan gurun pasir yang tandus dan terik, menyebabkan bangsa Arab pada zaman dahulu menggantungkan kehidupan mereka dari keadaan alam. Mereka tidak mampu merupah keadaan mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sehingga membuat mereka bersifat falatisme.   

Benih pemikiran Jabariyah ada pada beberapa orang sahabat sejak masa nabi Muhammad SAW masih hidup. Diceritakan bahwa suatu hari nabi menjupai para sahabatnya yang sedang membicarakan masalah tentang qadar nabipun marah seraya berkata: untuk inikah kalian diperintahkan? Umat sebelum kamu binasa karena mereka berbuat seperti kamu ini, saling mempertentang ayat yang satu dengan yang lain. Perhatikan apa yang diperintahkan kepadamu, lalu kerjakanlah, dan apa yang dilarang atas kamu jauhilah.

Nabi sendiri sudah pernah menyatakan bahwa diantara umatnya ada orang-orang yang berpaham semacam jabariyah atau qodriya. Dikisahkan pada suatu hari ada seseorang lelaki dari persi yang datang kepada nabi lalu berkata: aku lihat orang persi menikah dengan anak-anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka. Kalu mereka ditanya mengepa berbuat demikian ? mereka menjawab: demikian qadla dan adar allah. Lalu nabi bersabda: diantara umatku akan adda orang-orang yang berkata demikian, dan mereka itulah orang-orang majusi dari umatku.

Khalifah umar bin khattab opernah menangkap seorang pencuri kektika diinterogasi pencuri itupun berkata: “tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu. Umarpun marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri itu. pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir allah.

Pada pemerintahan bani umayyah pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada penduduk syiri’ah yang diduga berfaham jabariyah.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa awal mula kemunculan faham jabariyah adalaah sejak awal periode islam. Namun al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjaddipada masa pemerintahn bani umayyah.

Faham jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa bani umayyah. Dan yang dianggap sebai penderi utama adalkah al-ja’ad bin dirham diperoleh berita bahwa emahaman ja’ad didapat dari banan bin sam’an dari talut bin ukhtu lubaid bin as’am tukang sihir dan memusuhi nabi SAW.[4]

Dalam pendapat lain mengatakan bahwa faham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama islam datang kemasyarakat arab. Kehidapan bangsa arab yang diliputi gurun pasir sahara yang telah member pengaruh besar dalam hidup mereka. Ditengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat panas ternyata tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, namun yang tumbuh hanya rumout kering dan beberapa pohon kuat untuk mengahadapi panasnya musim serta keringnya udara.

Harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keasaan disekitar mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka kefaham fatalisme.

C.    Doktrin-doktrin Aliran Jabariyah

Menurut Asy-Sarahtani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian :

1)      Jabariyah murni merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang mausia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat.misalnya, kalau seorang mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, terpai perbuatannya timbul karena qada, dan qadar tuhan yang menghendaki demikian.

2)      Jabariyah moderat: aliran yang mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan manusiatidak membatasi. Orang yang mengaku adanya perbutan dari makhluk ini yang mereka namakan “kasab” bukan termasuk jabariyah.[5] Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:

D.    Tokoh-tokoh Beserta Sekte-sekte dalam Aliran Jabariyah

Dalam perkembangannya aliran jabariyah terus berkembang hingga akhirnya muncul tokoh-tokoh dalam aliran ini beserta sekte-sekte dan ajaranya masing-masing, berikut merupakan tokoh-tokoh dalam aliran Jabariyah :

a.       Ja’ad bin Dirham

Ja’ad bin Dirham adalah seorang maulana bani hakim, tinggal di damaskus. Ia dibesarkan dalm lingkungan orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Ajaran yang dibawa olej Ja’ad merupakan aliran jabariyah yang ekstrim. Dokrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai berikut;

1)      Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.

2)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.

3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

b.      Jaham ibn Shafwan Al-Jahmiyyah

Jaham ibn Shafwan (124 H) merupakan pendiri dari aliran Al-Jahmiyyah, dia merupakan pengikut Jabariyyah murni. Aliran Al-Jahmiyyah tersebar luas didaerah Tirmiz. Meskipun Jaham ibn Shafwan sependapat dengan Mu’tazilah mengenai penolakan adanya sifat alamiah bagi Allah, namun ia memiliki beberapa perbedaan dengan Mu’tazilah dalam beberapa hal :

1)      Makhuk tidak boleh memiliki sifat yang serupa dengan Allah, ia menolak pendapat bahwa Allah maha hidup dan maha mengetahui, namun ia meyakini bahwa Allah maha kuasa.

2)      Ia mengakui bahwa ilmu bukan sifat dari zat-Nya, karena menurutnya sifat tidak memiliki tempat. Ia mengakui bahwa ilmu Allah itu baru karena banyaknya yang diketahui Allah itu baru.

3)      Manusia tidak sedikitpun memiliki kekuasaan, keinginan, dan tidak memiliki pilihan antara ingin melakukan hal tersebut ataukah tidak. Menurutnya semua yang terjadi kepada makhluk hidup adalah perbuatan Allah dan perbutan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi.

4)      Manusia akan kekal baik di Surga maupun di Neraka. Ia menakwilkan firman Allah:

 خَا لِدِيْنَ فِيْهَا 

“... mereka kekal di dalamnya...”

Jaham ibn Shafwan juga memaparkan alasan bahwa keadaan penghuni surga dan mereka tidak berubah dengan firman Allah :

خَالِدِيْنَ فِيْهَا مَادَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّ مَا شَآ ءَ رَبُّكَ (هود : 108)

“Mereka kekal didalamnya, selama ada langit dan bui kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain)…..”. (Q.S. Hud 108)

Ia berpendapat bahwa dalam ayat ini memuat syarat dan pengecualian, sedangkan kekekalan dalam surge dan neraka tidak dapat dikecualikan.

5)      Menurutnya siapa yang memiliki ma’rifah (pengenalan) kepada Allah, dan kemudian ia berbuat ingkar dengan lisannya ia tidak dapat dikatakan kafir.[6]

Aliran Al-Jahmiyah merupakan aliran jabariyah yang bersifat ekstrim.

c.       al-Husain ibn Muhamad An-Najjar

al-Husain ibn Muhamad An-Najjar merupakan pendiri aliran  An-Najjariyah, ia merupakan tokoh Mu’tazilah yang paling banyak mempergunakan rasio. Pendukung aliran ini diantaranya Burgusiah, Za’faraniah, dan Mustadikah. Mereka memiliki pendapat yang sama dengan Mu’tazilah yang menolak adanya sifat Ilmu, Qudrat, Iradat, Sama’, Hayat, dan Bashar bagi Allah, akan tetapi mereka memiliki pendapat yang sama dengan mazhab Shifatiyyah yang mengatakan bahwa semua perbutan termasuk ciptaan Allah.

An-Najjar berpendapat bahwa Tuhan yang maha berkehendak dengan zat-Nya, Tuhan maha mengetahui dengan zat-Nya. Menurutnya Allah yang menciptakan semua perbutan makhluk yang baik maupun buruk dan manusia sedikit pun tidak memiliki andil dalam hal tersebut karena manusia hanya mampu merencanakan.[7]

Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa setiap tindakan manusia yang baik ataupun buruk merupakan ciptaan tuhan, namun manusia masih memiliki andil dalam setiap apa yang diperbuatnya. Aliran yang dibawa oleh an-Najjar merupakan aliran jabariyah yang bersifat moderat.

d.      Dhirar ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard

Dhirar ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard merupakan pendiri dari aliran Ad-Dhirariyyah, keduanya memiliki pendapat yang sama mengenai adanya sifat Allah, namun mereka berpendapat bahwa Allah Maha Mengetaahui dan Maha kuasa, maksudnya bahwa Allah tidak jahil dan tidak lemah.

Mereka memiliki keyakinan bahwa segala perbutan manusia adalah ciptaan Allah, namun manusia memperdayagunakannya. Mereka beranggapan bahwa dalam satu perbutan bisa saja terdapat dua pelaku.[8]

Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia berasal dari dua sumber yang saling bekesinambungan, antara daya manusia dan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.  Aliran ini merupakan  aliran jabariyah yang sifatnya moderat.

E.     Perkembangan Pemikiran Aliran Jabariyah dalam Dinamika Kontemporer

Seiring dengan berkembangnya zaman mulai banyak muncul aliran ilmu kalam. Meskipun demikian aliran Jabariyah justru semakin lemah dikarenakan para pemimpin terdahulunya telah meninggal, namun eksistensi masih ada dikalangan umat islam. Dalam sejarah teologi islam, Jabariyah sebagai kelompok sudah ada. Adapun pemikirannya ada dalam Asy’ariyah, meski tidak sama persis dengan yang dibawa oleh Jahm Ibn Safwan atau dengan paham yang dibawa oleh Najjar dan Dirar.[9]

Hal tersebut menyatakan bahwa aliran Jabariyah pada masa kini tidak ada lagi, namun sebagian pemikiran-pemikiran aliran terdapat pada aliran Asy’ariyah walaupun tidak benar-benar sama.

Baca juga artikel yang lain:


[1] Rochimah dkk, ilmu kalam (Surabaya: UINSApress, 2014), 107.

[2] Abudin Nata, Ilmu Kalam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 40.

[3] Abudin Nata, Ilmu Kalam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 40.

[4] Rochimah dkk, ilmu kalam (Surabaya: UINSApress, 2014) 107

[5] Al-shahrastan, al-milal ma al nihall (libano-beirut: dar-al-fikr, t.t), 85.

[6] Asy-Syahrastani,  Al-milal wa al nihal, asywadie syukur, surabaya, pt bina ilmu

[7] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (

[8] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (

[9] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2002), 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...