BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jabariyah
Jabariyyah
berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Al-syahrastani
menegaskan istilah al-jabr diartikan menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada allah.[1] Menurut
al-Syahrastani jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyandarkan pebuatan tersebut kepada Allah. Dalam istilah inggris
Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyatakan
bahwa segala perbutan manusia telah ditentukan semula oleh qada dan qodar
Tuhan.[2] Dengan
kata lain semua yang terjadi dalam kehidupan manusia bergantung pada takdir
allah. Menurut aliran ini manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam melakukan
perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut aliran
ini Allah mempunyai sifat al-jabbar, yang artinya Allah maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau
terpaksa. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan untuk menetukan kehendak dan perbutannya.
Manusia terikat pada kehendak tuhan, denga kata
lain manusia mengerjakkan perbutannya dalam keadaan terpaksa.
Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama) ditarik menjadi Jabariyah, yang
memilik arti suatu kelompok atau golongan (isme). Faham ini menyatakan bahwa
manusia itu terpaksa dalam segala tindaknnya.
Ia tidak mempunyai kemampuan atau pilihan untuk menentukan
tindakan-tindaakannya sendiri. Ia ibarat bulu yang digantungkan di udara yang
hanya bergerak bila ada angin yang menggerakannya.
B.
Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah
Faham Jabariyah
diperkirakan telah ada sebelum agama islam datang
pada masyarkat Arab. Kahidupan bangsa Arab yang
dikelilingi oleh gurun pasir yang terik, memberikan
dapak yang besar terhadap kehidupan mereka. Dengan suasana yang demikian
membuat mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, dan hanya mampu patuh, tunduk,
dan pasrah terhadap kehendak Tuhan.[3]
Dalam kehidupan yang serba sederhana dimasa lalu ditambah pula keadaan
lingkungan gurun pasir yang tandus dan terik, menyebabkan bangsa Arab pada
zaman dahulu menggantungkan kehidupan mereka dari keadaan alam. Mereka tidak
mampu merupah keadaan mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sehingga
membuat mereka bersifat falatisme.
Benih pemikiran
Jabariyah ada pada beberapa orang sahabat sejak masa nabi Muhammad SAW masih
hidup. Diceritakan bahwa suatu hari nabi menjupai para sahabatnya yang sedang membicarakan masalah
tentang qadar nabipun marah seraya berkata:
untuk inikah kalian diperintahkan? Umat sebelum kamu binasa karena mereka berbuat seperti
kamu ini, saling mempertentang ayat yang satu dengan yang lain. Perhatikan apa
yang diperintahkan kepadamu, lalu kerjakanlah, dan apa yang dilarang atas kamu
jauhilah.
Nabi sendiri
sudah pernah menyatakan bahwa diantara umatnya ada orang-orang yang berpaham
semacam jabariyah atau qodriya. Dikisahkan pada suatu
hari ada seseorang lelaki dari persi yang datang kepada nabi lalu berkata:
aku lihat orang persi menikah dengan anak-anak perempuan mereka dan
saudara-saudara perempuan mereka. Kalu mereka ditanya mengepa berbuat demikian
? mereka menjawab: demikian qadla dan adar allah. Lalu nabi bersabda: diantara
umatku akan adda orang-orang yang berkata demikian, dan mereka itulah
orang-orang majusi dari umatku.
Khalifah umar bin khattab opernah menangkap seorang
pencuri kektika diinterogasi pencuri itupun berkata: “tuhan telah menentukan
aku mencuri”. Mendengar ucapan
itu. Umarpun marah sekali dan menganggap orang itu
telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberi dua
jenis hukuman kepada pencuri itu. pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir allah.
Pada
pemerintahan bani umayyah pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin abbas
melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada penduduk syiri’ah yang diduga
berfaham jabariyah.
Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa awal mula kemunculan faham
jabariyah adalaah sejak awal periode islam. Namun al-jabar sebagai pola pikir
atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjaddipada masa
pemerintahn bani umayyah.
Faham jabariyah
secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa
bani umayyah. Dan yang dianggap sebai penderi utama adalkah al-ja’ad bin dirham
diperoleh berita bahwa emahaman ja’ad didapat dari banan bin sam’an dari talut
bin ukhtu lubaid bin as’am tukang sihir dan memusuhi nabi SAW.[4]
Dalam pendapat
lain mengatakan bahwa faham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama islam datang
kemasyarakat arab. Kehidapan bangsa arab yang diliputi gurun pasir sahara yang
telah member pengaruh besar dalam hidup mereka. Ditengah bumi yang disinari
terik matahari dengan air yang sangat panas ternyata tidak memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, namun yang tumbuh
hanya rumout kering dan beberapa pohon kuat untuk mengahadapi panasnya musim
serta keringnya udara.
Harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian
masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keasaan disekitar mereka
sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka kefaham fatalisme.
C. Doktrin-doktrin Aliran Jabariyah
Menurut Asy-Sarahtani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian :
1)
Jabariyah murni merupakan aliran yang menolak
adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang mausia tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat.misalnya, kalau seorang mencuri itu bukanlah terjadi
atas kehendak sendiri, terpai perbuatannya timbul karena qada, dan qadar tuhan
yang menghendaki demikian.
2)
Jabariyah
moderat: aliran yang mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan
manusiatidak membatasi. Orang yang mengaku adanya perbutan dari makhluk ini
yang mereka namakan “kasab” bukan termasuk jabariyah.[5]
Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
D.
Tokoh-tokoh Beserta Sekte-sekte dalam Aliran Jabariyah
Dalam perkembangannya aliran jabariyah terus berkembang
hingga akhirnya muncul tokoh-tokoh dalam aliran ini beserta sekte-sekte dan
ajaranya masing-masing, berikut merupakan tokoh-tokoh dalam aliran Jabariyah :
a.
Ja’ad
bin Dirham
Ja’ad bin
Dirham adalah seorang maulana bani hakim, tinggal di damaskus. Ia dibesarkan
dalm lingkungan orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Ajaran yang dibawa olej Ja’ad merupakan aliran
jabariyah yang ekstrim. Dokrin pokok
Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai
berikut;
1)
Al-quran
itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatka kepada Allah.
2)
Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat,
dan mendengar.
3)
Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
b.
Jaham
ibn Shafwan Al-Jahmiyyah
Jaham ibn
Shafwan (124 H) merupakan pendiri dari
aliran Al-Jahmiyyah, dia merupakan pengikut Jabariyyah murni. Aliran Al-Jahmiyyah
tersebar luas didaerah Tirmiz. Meskipun Jaham ibn Shafwan sependapat dengan
Mu’tazilah mengenai penolakan adanya sifat alamiah bagi Allah, namun ia
memiliki beberapa perbedaan dengan Mu’tazilah dalam beberapa hal :
1) Makhuk tidak boleh memiliki sifat yang serupa dengan Allah, ia menolak
pendapat bahwa Allah maha hidup dan maha mengetahui, namun ia meyakini bahwa
Allah maha kuasa.
2)
Ia
mengakui bahwa ilmu bukan sifat dari zat-Nya, karena menurutnya sifat tidak
memiliki tempat. Ia mengakui bahwa ilmu Allah itu baru karena banyaknya yang
diketahui Allah itu baru.
3)
Manusia
tidak sedikitpun memiliki kekuasaan, keinginan, dan tidak memiliki pilihan
antara ingin melakukan hal tersebut ataukah tidak. Menurutnya semua yang
terjadi kepada makhluk hidup adalah perbuatan Allah dan perbutan itu
disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi.
4)
Manusia
akan kekal baik di Surga maupun di Neraka. Ia menakwilkan firman Allah:
خَا لِدِيْنَ
فِيْهَا
“... mereka kekal di dalamnya...”
Jaham
ibn Shafwan juga memaparkan alasan bahwa keadaan penghuni surga dan mereka tidak
berubah dengan firman Allah :
خَالِدِيْنَ
فِيْهَا مَادَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّ مَا شَآ ءَ رَبُّكَ (هود :
108)
“Mereka
kekal didalamnya, selama ada langit dan bui kecuali jika Tuhanmu menghendaki
(yang lain)…..”. (Q.S. Hud 108)
Ia
berpendapat bahwa dalam ayat ini memuat syarat dan pengecualian, sedangkan
kekekalan dalam surge dan neraka tidak dapat dikecualikan.
5)
Menurutnya
siapa yang memiliki ma’rifah (pengenalan) kepada Allah, dan kemudian ia berbuat
ingkar dengan lisannya ia tidak dapat dikatakan kafir.[6]
Aliran Al-Jahmiyah merupakan aliran jabariyah yang bersifat ekstrim.
c.
al-Husain
ibn Muhamad An-Najjar
al-Husain ibn
Muhamad An-Najjar merupakan pendiri aliran An-Najjariyah, ia
merupakan tokoh Mu’tazilah yang paling banyak mempergunakan rasio. Pendukung aliran ini
diantaranya Burgusiah, Za’faraniah, dan Mustadikah. Mereka memiliki pendapat
yang sama dengan Mu’tazilah yang menolak adanya sifat Ilmu, Qudrat, Iradat,
Sama’, Hayat, dan Bashar bagi Allah, akan tetapi mereka memiliki pendapat yang
sama dengan mazhab Shifatiyyah yang mengatakan bahwa semua perbutan termasuk
ciptaan Allah.
An-Najjar
berpendapat bahwa Tuhan yang maha berkehendak dengan zat-Nya, Tuhan maha
mengetahui dengan zat-Nya. Menurutnya Allah yang menciptakan semua perbutan
makhluk yang baik maupun buruk dan manusia sedikit pun tidak memiliki andil
dalam hal tersebut karena manusia hanya mampu merencanakan.[7]
Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa setiap
tindakan manusia yang baik ataupun buruk merupakan ciptaan tuhan, namun manusia
masih memiliki andil dalam setiap apa yang diperbuatnya. Aliran yang dibawa
oleh an-Najjar merupakan aliran jabariyah yang bersifat moderat.
d.
Dhirar
ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard
Dhirar ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard merupakan pendiri dari aliran Ad-Dhirariyyah, keduanya memiliki pendapat yang sama mengenai
adanya sifat Allah, namun mereka berpendapat bahwa Allah Maha Mengetaahui dan
Maha kuasa, maksudnya bahwa Allah tidak jahil dan tidak lemah.
Mereka memiliki keyakinan bahwa segala perbutan manusia adalah
ciptaan Allah, namun manusia memperdayagunakannya. Mereka beranggapan bahwa
dalam satu perbutan bisa saja terdapat dua pelaku.[8]
Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa dalam
setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia berasal dari dua sumber yang saling
bekesinambungan, antara daya manusia dan takdir yang telah ditetapkan oleh
Allah. Aliran ini merupakan aliran jabariyah yang sifatnya moderat.
E.
Perkembangan Pemikiran Aliran Jabariyah dalam Dinamika Kontemporer
Seiring dengan berkembangnya zaman mulai
banyak muncul aliran ilmu kalam. Meskipun demikian aliran Jabariyah justru
semakin lemah dikarenakan para pemimpin terdahulunya telah meninggal, namun
eksistensi masih ada dikalangan umat islam. Dalam sejarah teologi islam,
Jabariyah sebagai kelompok sudah ada. Adapun pemikirannya ada dalam Asy’ariyah,
meski tidak sama persis dengan yang dibawa oleh Jahm Ibn Safwan atau dengan paham
yang dibawa oleh Najjar dan Dirar.[9]
Hal tersebut menyatakan bahwa aliran Jabariyah
pada masa kini tidak ada lagi, namun sebagian pemikiran-pemikiran aliran
terdapat pada aliran Asy’ariyah walaupun tidak benar-benar sama.
Baca juga artikel yang lain:
- Adab Suami Istri
- Aliran Qadariyyah
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh
- Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
- Ilmu Kalam
- Aqidah Islimiyyah
- Aliran Mu'tazilah
- Aliran Syi'ah
- Aliran Jabariyah
- Ahli Sunnah Wal Jama'ah
- Aliran Khawarij
- Aliran Ahmadiyah
[1] Rochimah dkk, ilmu
kalam (Surabaya: UINSApress, 2014), 107.
[2] Abudin Nata, Ilmu Kalam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 40.
[3] Abudin Nata, Ilmu Kalam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 40.
[4] Rochimah dkk, ilmu kalam (Surabaya: UINSApress, 2014) 107
[5]
Al-shahrastan, al-milal ma al nihall (libano-beirut: dar-al-fikr, t.t), 85.
[6] Asy-Syahrastani, Al-milal wa al nihal, asywadie syukur,
surabaya, pt bina ilmu
[7] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (
[8] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (
[9] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2002), 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar