عَنْ
سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، وَأَشَارَ
بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu
‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan
orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari
tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.[HR
al-Bukhari no. 4998 dan 5659]
Hadits yang agung ini
menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim,
sehingga imam al-Bukhari rahimahullah mencantumkannya dalam bab: Keutamaan
Orang Yang Mengasuh Anak Yatim. Beberapa faidah penting yang terkandung dalam
hadits ini:
• Makna hadits ini: orang yang
menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga
dekat dengan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1].
• Arti “menanggung anak yatim”
adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah
(makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam
yang benar [2].
• Yang dimaksud dengan anak
yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai
usia dewasa [3].
• Keutamaan dalam hadits ini
berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau
harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan
untuk itu [4].
• Demikian pula, keutamaan ini
berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga
dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga
dengannya [5].
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi
dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin
terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:
1. Larangan menisbatkan anak
angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah:
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
وَمَوَالِيكُمْ
“Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang
lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu”
[al-Ahzaab/33: 5].
2. Anak angkat (anak asuh)
tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda
dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak
kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal
dunia[6].
3. Anak
angkat (anak asuh) bukanlah mahram[7], sehingga wajib bagi orang tua yang
mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi
aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain
yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
Baca juga artikel yang lain:
- Shalat Tarawih
- Pengertian Anak Yatim dan Piatu
- Adab Berdo'a
- Adab Jamuan
- Adab Suami Istri
- Adab Ziarah Kubur
- Adab Makan dan Minum
- Adab-adab Membaca Al-Qur'an
- Keutamaan-keutamaan Hari Jum'at
- Pengertian Bid'ah
- Gembira dengan Kelahiran Anak
- Nabi Berdakwah Ke Thaif
- Berzina dengan Seseorang yang Bersuami/Beristri
- Keutamaan Menyantuni Anak Yatim
Footnote
[1]. Lihat kitab “’Aunul
Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).
[2]. Lihat kitab “Syarhu
shahiihi Muslim” (18/113).
[3]. Lihat kitab “an-Nihaayah
fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/689).
[4]. Lihat kitab “Syarhu
shahiihi Muslim” (18/113) dan “Faidhul Qadiir” (3/49).
[5]. Ibid.
[6]. Sebagaimana dalam HSR
al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab “Tafsir al-Qurthubi” (14/119).
[7]. Mahram adalah orang yang
tidak halal untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang mubah (diperbolehkan
dalam agama). Lihat kitab “Fathul Baari” (4/77).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar