HOME

26 Januari, 2022

Aqidah Islimiyyah

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Aqidah adalah keyakinan atau kepercayaan tentang tuhan

Aqidah Ilmu Kalam diarahkan untuk mengkaji secara rasional akidah islam. Argumentasi-argumentasi rasional dipergunakan untuk memperdalam keyakinan terhadap ajaran islam. Islam secara geologi adalah didekati dengan doktrin agama, sedangkan Islam secara mologi adalah didekati dengan doktrin ilmiah, sehingga belajar Islam secara mologi berbeda denga cara pemebelajarannya dan semua bisa mempelajarinya (dikuasai).


B.     Rumusan Masalah

1.      Dasar-dasar normatif dan filosofi aqidah islamiyah.

2.      Masalah ushul dan furu aqidah islamiyah.

3.      Kerangka berfikir aliran-aliran kalam aqidah islamiyah.

4.      Sikap inklusif dalam beraqidah islamiyah.


C.     Rumusan Masalah

1.      Untuk mengetahui Dasar-dasar normatif dan filosofi aqidah islamiyah.

2.      Untuk mengetahui Masalah ushul dan furu aqidah islamiyah

3.      Untuk mengetahui Kerangka berfikir aliran-aliran kalam aqidah islamiyah

4.      Untuk mengetahui Sikap inklusif dalam beraqidah islamiyah


BAB II

PEMBAHASAN

A.    DASAR NORMATIF

Aqidah Islamiyah telah memecahkan ‘uqdah al-kubro’ (perkara besar) pada manusia. Aqidah Islam juga memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia, sebab Islam telah menjelaskan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan adalah ciptaan (makhluk) bagi pencipta (al-khaliq) yaitu Allah SWT. Dan bahwasannya setelah kehidupan ini akan ada hari kiamat. Hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelumnya adalah ketundukan manusia terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan Nya. Sedangkan hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sesudahnya adalah hari kiamat., yang di dalamnya terdapat pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Al-Qur’an telah menetapkan rukun-rukun aqidah ini.

ءَامَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ امَنَ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ  وَكُتُبِهِ وَرَسُوْلِه

Artinya: “ Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah/2:285). [1]

عَنْ عَبْدُاللّهِ بْنِ عُمَرُو رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ. قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةُ كُلِّهِمْ فِيْ النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا : وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللّه؟ قَالَ: مَا أَناَ عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ.

“dari sahabat Abdullah bin Amr RA. Ia berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: “Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: yang berpegang teguh dengan ajaran yang aku dan para sahabatku jalankan sekarang ini.” (H.R. Tirmidzi dan Al Hakim).[2]


B.     DASAR FILOSOFIS

Dalam ajaran Islam, ada berbagai hal bersifat teoretis yang disebut sisi akidah, yang menuntut kewajiban untuk diyakini atau diimani dalam hati.[3] Oleh para ulama, berbagai hal yang wajib diimani tersebut, ada yang disebut sebagai akidah pokok, yang menentukan identitas keislaman seseorang. Oleh jumhur ulama, akidah pokok ini diidentifikasi dan disistemasisasi serta disepakati sebagai rukun iman. Akidah pokok atau rukun iman dimaksud adalah beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhirat, dan beriman kepada qadha dan qadar. Penetapan akidah pokok yang enam ini mengacu kepada firman Allah SWT. Antara lain: Q.S. Al-Baqarah/2: 285 dan hadist yang memuat berita tentang percakapan antara Jibril dan Rasulullah mengenai pengertian Iman, Islam, dan Ihsan.

Para ulama bersepakat tentang akidah-akidah poko yang menjadi rukun iman ini yang harus diimani oleh Muslimin, namun dalam waktu yang sama, mereka berbeda pendapat dan beraneka interpretasi mengenai masalah-masalah yang sifatnya sebagai cabang, yang berkaitan dengan akidah-akidah pokok tersebut.


C.     MAKNA USHUL DAN FURU’

Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN.

Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat prinsip dan mendasar, sehingg Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan.

Sedang Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun tidak prinsip dan tidak mendasar , sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furu’, karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni : ada dalil yang bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar’i.

Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai.


D.    MENENTUKAN USHUL DAN FURU’

Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURU’ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD  (Sanad Penyampaian) dan  DILALAH (Fokus Penafsiran).

WURUD terbagi dua, yaitu :

1)      Qoth’i : yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR.

2)      Zhonni :yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR.

Mutawatir  ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga mustahil mereka berdusta.

DILALAH juga terbagi dua, yaitu : 

1)      Qoth’i  : yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN.

2)      Zhonni  : yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN.

Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran.

Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. 

Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah :

1)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka pasti masalah USHUL.

2)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.

3)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.

4)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURU’. 

Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan.


E.     KERANGKA BERPIKIR ALIRAN – ALIRAN ILMU KALAM

Untuk mengkaji aliran – aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami kerangka berpikir serta proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan – persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia yang baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis yang secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.[4]

Dalam kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat lainnya tidak mendengarkan keputusan hukum dari Nabi. Para sahabat yang tidak mendengar keputusan hukum dari Nabi itu lalu berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu ketentuan hukum.[5]

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan.[6] Lain lagi dengan yang dikatakan Umar Sulaiman Asy-Syaqar. Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan keyakinan (aqa‘id), persoalan syariah, dan persoalan politik.[7]

Bertolak dari ketiga pandangan diatas, perbedaan pendapat di dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan metode bepikir aliran-aliranIlmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam). Perbedaan cara berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu metode bepikir rasional dan metode berpikir tradisional.[8]Metode berpikir rasional memiliki prinsip berikut ini:

1.     Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Yakni ayat yang gathi (ayat yang tidak boleh disamakan dengan arti lain).

2.      Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak.

3.      Serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berpikir tradisional memiliki prinsip berikut ini:

1.      Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).

2.      Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3.      Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Metode berpikir kedua macam di atas, terutama menyangkut peranan akal dan wahyu.[9] Teologi rasional memberikan peranan yang besar terhadap akal. Dalam pandangan teologi ini, akal dapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan kewajiban menjahui yang jahat. Adapun teologi tradisional memberikan peranan yang kecil terhadap akal. Hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau akal dan selebihnya dietahui wahyu.

Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berpikir teologi rasional adalah Mu’tazilah. oleh karena itu,Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berpikir tradisional adalah Asy’ariyah. Mengenyampingkan pengategorian teologi rasional dan teologi tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.[10]


1.      Aliran Antroposentris

Aliran antroposentrismenganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos, unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk meraih kemardekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketakwaannya lebih diorientasikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam realita impersonalnya.[11]

Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah, danSyi’ah. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemardekaan dan kebesan dalam menentukan perjalanan hidupnya.


2.      Teolog Teosentris

Aliran Teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos, personal, dan keTuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Tuhan dengan segala kemampuanNya mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu Dia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah ciptaanNya sehingga harus berkarya hanya untukNya. Didalam kondisinya yang serba relatif, diri manusia adalah migran abadi yang segera akan kembali kepada Tuhannya. Untuk itu, manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, serta mampu memancarkan atribut-atribut keTuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.[12]

Manusia teosentris adalah manusia yang statis kerena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan ini menjadikannya seperti tidak mempunyai pilihan lain. Baginya, segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. Ia tidak memiliki pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan cara itu, Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan dapat saja memasukan manusia jahat ke dalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia juga dapat memasukan manusia yang taat kedalam situasi serba rugi yang terus-menerus (neraka).

Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, adakalanya manusia mampu melaksanakan suatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya, ia tidak mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala tidak ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantaraan daya, Tuhan selalu campur tangan, bahkan manusia dapat dikatakan tidak mempunyai daya samasekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalahJabbariyah.


3.      Aliran Konvergensi atau Sintesis

Aliran konvergensi mengnggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan ipersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat lain yang dikotomik. Ibn Arabi menamakan sifat-sifat semacam ini dengan insijam al-azali (prestabilished harmony).[13] Aliran ini memandang bahwa manusia juga merupakan cermin asma dan sifat-Nyayang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifatNya yang Azali.

Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal. Secara substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini,huwiyah, dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat dimusnahkan, kecuali atas kehendakNya yang mutlak. Secara formal, sesuatu mempunyai nilai-nilai zahiri, inniyah,dan temporal (huduts) karena merupakan cermin Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikutisunatullah atau natural law (hukum alam) yang berlaku.

Aliran ini berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memperoses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.

Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu berada tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi tetap ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitis. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhlukNya, dan sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia ataupun makhluk merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebagaimana keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifatNya. Kesimpulannya, kemardekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan dengandeterminisme transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukan ke dalam kategori ini adalah Asy’Ariyah.


4.      Aliran Nihilis

Aliran Nihilis menganggap bahwahakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalm suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang buruk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat bisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.[14]

Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif, iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai benar. Bagi aliran-aliran ini, iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya masti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.

Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah iman buknalah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-Jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadaNya, bukanlah yang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan . tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. Menurut Abu al-Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah hanya yang wajib saja, tetapi jiga yang sunnat. Sedangkan menurut al-Jubba’i, yang dimaksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib. Al-Nazzam mempunyai pendapat lain. Iamn baginya adalah menjauhi dosa-dosa yang besar. Sungguhpun ada perbedaan paham dalam hal ini, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.[15]

Bagi kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iaman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Whyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Oleh karena itu, iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan iman, sebagai diberikan al-Asy’ari ialahal-tasdiq bi Allah,[16] yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan. Al-Baghdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman ialah tasdiq tentang adanya Tuhan, rasul-rasul dan berita yang mereka bawa; tasdiq tidak sempurna apabila tidak disertai pengetahuan. Bagaimanapun iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang dibawa wahyu bersangkutan.

Kaum maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sejalan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau ‘amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia.[17]

Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidi sendiri menulis sendiri bahwa Islam adalah menegetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana bentukNya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam keTuhanannya, ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifatNya dan tauhid adalah mengenal Tuhan dalam keEsaannya. Ada juga diberikan definisi lain, yaitu pengakuan dengan lidah dan penerimaan dalam hati. Tetapi definisi ini kelihatannya bukanlah definisi al-Maturidi, karena dalam Syarh al-Fiqhal-Akbar, ditegaskan bahwa defini al-Maturidi yang sebenarnya ialah definisi yang pertama.[18] Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau ‘amal.[19]


F.      SIKAP INKLUSIF DALAM BERAKIDAH

Kebutuhan individu dan bermasyarakat bersifat luas seiring dengan perkembangan zaman. Kerjasama dengan individu atau kelompok lain menjadi keniscayaan. Prinsip bersikap inklusif muncul karena adanya kebutuhan bekerjasama untuk mencapai cita-cita, titik tolaknya adalah memandang sisi positif perbedaan sehingga mendorong usaha-usaha untuk mempelajari perbedaan dan menarik sisi-sisi universal yang mungkin bernilai positif dan menunjang cita-cita atau misi pembangunan masyarakat.

Beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk mengembangkan sikap inklusif :

1)    Menyadari bahwa setiap orang atau kelompok dimasyarakat memiliki potensi mencapai kebenaran, sehingga tidak menghindari primordialisme yang berlebihan terhadap keunggulan dirinya dan kelompoknya, setiap orang atau kelompok juga memiliki sisi kelemahan yang membutuhkan kerjasama dengan orang atau kelompok lain.

2)  Mengakui adanya aspek-aspek universal yang mungkin bernilai positif pada orang lain atau kelompok lain yang berbeda pandangan (aliran) agama untuk menunjang tercapainya cita-cita atau misi pembangunan masyarakat.

3)  Menumbuhkan jiwa sportif dalam bersosialisasi dan hidup bersama dengan orang lain atau kelompok lain, sehingga terdorong untuk mengelolah perbedaan secara etis atau mengembangkan kompotisi yang sehat meskipun memiliki pandangan dan cara hidup yang berbeda.

4)   Membiasakan berkomunikasi dengan sehat tidak semata-mata didasari persepsi yang sempit dan kacamata kuda, melainkan bedasarkan pengamatan dan pengertian terhadap perbedaan yang ada.

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Aqidah adalah keyakinan atau kepercayaan tentang tuhan

Aqidah Ilmu Kalam diarahkan untuk mengkaji secara rasional akidah islam. Argumentasi-argumentasi rasional dipergunakan untuk memperdalam keyakinan terhadap ajaran islam.

Aqidah Islamiyah telah memecahkan ‘uqdah al-kubro’ (perkara besar) pada manusia. Aqidah Islam juga memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia, sebab Islam telah menjelaskan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan adalah ciptaan (makhluk) bagi pencipta (al-khaliq) yaitu Allah SWT. Dan bahwasannya setelah kehidupan ini akan ada hari kiamat. Hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelumnya adalah ketundukan manusia terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan Nya. Sedangkan hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sesudahnya adalah hari kiamat., yang di dalamnya terdapat pahala dan siksa, serta surga dan neraka.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hal. 952.

[2] Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), Hal. 21.

[3] Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam , (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), Hal. 66.

[4] Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Pustaka Setia, Bandung, 2000), Hal. 31.

[5] Ibid

[6] Imam munawwir, Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan, (Bina Ilmu, Surabaya, 1985), Hal. 38.

[7] Umar Sulaiman Asy-Asyqar, Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat:Perecahan, Akar Masalah, dan Solusinya, (terj. Abu Fahmi Wacana Lazuardi Amanah, Jakarta), Hal 35-39.

[8] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990), Hal. 16.

[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta, 1986), Hal. 86.

[10] Muhammad Fazlur Rahman Ansar, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, (terj. Juniarso Ridwan dkk, Risalah, Bandung, 1984). Hal. 92.

[11] ibid

[12] Ibid, hal. 93.

[13] Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin Arabi, Fushush Al-Hika, komentar A.R. Nicholson, Jilid II, t.t., Hal. 22.

[14] Ibid, Hal. 92.

[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta, 1986), Hal. 147.

[16] Ibid, Hal. 148.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid, Hal. 149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...