HOME

26 Januari, 2022

Ilmu Kalam

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ilmu kalam adalah salah satu nama atau sebutan untuk ilmu yang membicarakan ajaran-ajaran dasar agama Islam. Ilmu kalam merupakan salah satu dari empat disiplin keilmuan tradisional dalam islam, yang telah tumbuh dan  menjadi bagian dari kajian tentang agama islam. Tiga disiplin ilmu lainnya adalah Fiqih, Tasawuf dan Filsafat.

Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas mengenai akidah dengan memakai pendekatan logika (mantiq). Ilmu ini mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi yang menjadi landasan pokok agama islam (ushul al aqaid) yaitu kemahaesaan Tuhan, masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu ilmu ini menempati posisi yang sangat penting dan terhormat dalam tradisi keilmuan Islam.

Sebab kemunculan ilmu kalam di picu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berawal pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali bin Abi Thalib. Keteganggan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib memuncak menjadi perang siffin   yang berakhir dengan keputusan tahkim. Untuk itu penting bagi kita untuk mengetahui sebab-sebab munculnya ilmu kalam supaya kita mengetahui bagaimana sejarah perjalanan atau peristiwa yang melatarbelakangi adanya ilmu kalam sejak zaman Rasulullah, sampai akhir pemerintahan khalifah ke empat dari pemerintahan khulafaur Ar-Rasyidin sehingga tejadinya perseteruan antara muawiyah bin abi sufyan dengan khalifah yang sah pada saat itu yang dijabat oleh Ali bin abi thalib yang memuncak menjadi perang siffin dan diakhiri dengan tahkim.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian ilmu kalam?

2.      Bagaimana latar belakang lahirnya ilmu kalam?

3.      Apa yang menjadi dasar ilmu kalam?

4.      Apa saja faktor pendorong lahirnya ilmu kalam?


C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian ilmu kalam.

2.      Untuk mengetahui latar belakang lahirnya ilmu kalam.

3.      Untuk mengetahui dasar ilmu kalam.

4.      Untuk mengetahui faktor pendorong lahirnya ilmu kalam.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Kalam

Secara etimologis terdiri dari dua perkataan. Pertama, arti ilmu itu sendiri yaitu pengetahuan dan kedua, adalah kalam artinya perkataan atau juga percakapan. Ilmu ini biasa digunakan sebagai nama dari ilmu yang membahas aqidah-aqidah dalam Islam. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Atau Ilmu yang membahas soal-soal keimanan.

Sedangkan ilmu kalam secara Terminologi/ definisi/ istilah ada beberapa pendapat:

1.      Menurut Musthafa Abdul Raziq definisi ilmu kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah imani yang dibangun dengan argumentasi-argumentasi rasional.

2.      Menurut AlFarabi definisi ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam.

3.      Menurut Ibnu Khaldun definisi ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.

4.      Menurut Syekh Muhammad Abduh definisi ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil dari mereka.

Jadi Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional.[1]


B.      Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam

1.      Ilmu kalam pada zaman Rasulullah

Ketika Rasulullah Saw. Diutus sebagai seorang rasul di Makkah, beliau memfokuskan dakwah islamiyah pada tiga hal. Pertama, yaitu pertauhidan Allah Swt, bahwa tiada tuhan selain Allah dan tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Kedua, yaitu untuk mengabarkan bahwasannya nabi Muhammad Saw adalah utusan allah untukseluruh manusia, sebagai  pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan. Ketiga, yaitu untuk mengingatkan tentang akan adanya hari akhir, yakni kehidupan setelah mati dimana setiap orang akan dihitung amal baik dan amal buruknya.[2] Pada saat itu, orang arab tidak percaya akan adanya hari akhirat. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an surah al-An’am ayat 29:

وقلواانهيالاحياتناالدنياومانحنبمبعوثين.  

 Artinya :

“Dan mereka (orang-orang Arab jahiliyah ) berkata bahwasannya kami hanya hidup di dunia dan kami tidak akan di bangkitkan (setelah kematian).”

Pengenalan tauhid saat itu sangat mendasar. Belum ada pembahasan bagaimana sifat-sifat Allah, dan apakah sifat-sifat itu merupakan zat Allah sendiri atau bukan sebagaimana yang di bahas oleh para mutakallimun selanjutnya.

Adapun ketika beliau hijrah ke madinah, orang-orang madina telah menerima kerasulan Nabi Muhammad saw telah diterima, maka dengan sendirinya mereka menerima dua ajakan Rasulullah saw yang lain, yaitu pentauhidan Allah dan adana hari akhir. Begitu juga mereka akan menerima setiap apa yang datang dari Rasulullah saw. Termasuk setiap ayat dari al-Qur’an, baik yang muhkamat ataupun yang mutasyabihat. karena mereka telah meyakini dan mengimani bahwa semua berasal dari Allah swt. Adapun apabila mereka memiliki pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya, mereka langsung menanyakan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw pun menjawabnya dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar sehingga tidak ada lagi keraguan di hati mereka.


2.      Ilmu Kalam pada Zaman Khulafa’ al-Rashidin

Pada zaman khulafa’ al-Rasyidin, para sahabat lebih menitik beratkan perhatian mereka pada permasalahan hukum-hukum amaliyah dari pada permasalahan i’tiqodiyah atau keyakianan. Adapun kemunculan permasalahan keyakinan di awali oleh permasalahan politik, yaitu peristiwa pembunuhan utsman bin affan, khalifah ke III. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah islam ini dikenal dengan Fitnah al-Kubra (fitnah besar).

Peristiwa Fitnah al-Kubra dianggap sebagai pangkal pertumbuhan masyarakat islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka ilmu kalam sebagai suatu bentuk penalaran paham keagamaan bisa dikatakan tumbuh dan bertitik tolak dari Fitnah al-Kubro itu.

Bersama dengan falsafah, ilmu kalam mulai dikenal orang-orang muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar belakang peradapan yunani dan dunia pemikiran yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah yang menjadi sasaran pembebasan (fath/ liberation) orang orang muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah syiriah, mesir dan anatolia, dengan pusat-pusatHellenisme yang giat seperti Damaskus, Antiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.[3]

Dari interaksi inilah, orang-orang Muslim mengenal penalaran logis ala Yunani yang kemudian digunakan untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan Utsman atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa Utsman boleh atauharus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan), padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan orang-orang kafir,apalagi murtad (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh!

Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatan itu, yang baik dan yang buruk.

Para pembunuh Utsman menurut beberapa petunjuk sejarah, menjadi pendukung kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Khalifah IV. Hal ini sebagaimana yang disebutkan, misalnya oleh Ibn Taimiyah, bahwa sebagian besar pasukan Ali dalam perang Siffin, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh Utsman. Sebaliknya, para pembunuh Utsman itu hanyalah sekelompok kecil dari pasukan Ali. Jumlah umat Islam saat kekhalifahan Utsman berjumlah dua ratus sekitar seribu orang. [4]

Perpecahan dalam umat Islam semakin menjadi ketika perang Siffin (659 M). saat itu pasukan Ali yang hampir mengalah pasukan Muawiyah ketika kemudian ‘Amr bin al‘As, seorang panglima perang dari pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan yang terkenal licik, mengangkat al-Quran ke atas sebagai tanda meminta berdamai. Pihak Ali menerima dan diadakanlah tahkim atau arbitrase dimana pihak Alidiwakili oleh Abu Musa al-Asyari dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin al-As.

Pada arbitrase ini, pihak Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan secara de juresehingga menimbulkan kekecewaan yang luar biasa dari pasukan pendukung Ali. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hkum yang ada dalam al-Quran. Golongan ini lalu memisahkan diri dari barisan Ali yang kemudian disebut dengan golongan Khawarij.

Dari perdebatan dalam persoalan politik lalu menjalar ke persoalan teologi. Seperti sikap mereka terhadap Utsman, kaum Khawarij juga memandang Ali dan Muawiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (batil). Karena itu mereka marencanakan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr ibn al-Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Muawiyah mengalahkan Ali dalam perang Siffin tersebut. Namun yang terjadi, kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah hanya mengalami luka-luka, dan Amr bin al-As selamat sepenuhnya. Mereka juga membunuh seseorang bernama Kharijah yang dikira Amr bin al-As karena kemiripan rupanya.[5]

Inilah awal mula munculnya perdebatan i’tiqadiyah dalam Islam. Apakah seorang Muslim yang berbuat dosa besar disebut kafir atau tidak. Kaum Khawarij jelas mengatakan bahwa mereka menjadi kafir dan di akhirat nanti akan ditempatkan di neraka. Lalu muncullah kelompok Murjiah yang menentang pendapat Khawarij dengan mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak disebut kafir selama masih ada iman di dalam hati. Adapun masalah apakah mereka menjadi kafir atau tidak, diserahkan kepada Allah. Ada juga kelompok yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir. Dan ketika mereka meninggal, mereka berada di antara duatempat, tidak di surga dan tidak di neraka. Kelompok yang memiliki pendapat seperti ini dikenal dengan nama kaum Mu’tazilah.


3.      Ilmu Kalam pada Zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah

Telah disebutkan bahwa pasca perang Siffin telah muncul tiga kelompok dalam sejarah Islam yaitu Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah. Pada masa Bani Umayyah muncul aliran Jabariyah yang dimotori pertama kali oleh Ja’d bin Dirham, lalu kemudian disiarkan oleh Jahm bin Shafwan dan aliran Qadariyah yang pertama kali dibawa oleh Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqi.

Kaum jabariyah memandang bahwa manusia tidak memiliki kehendak, daya dan pilihan dalam melakukan perbuatannya. Mereka dipaksa dalam melakukan perbuatan-perbuatannya. Yang menarik dari Jahm bin Safwan, tokoh yang menyebarkan paham ini adalah ternyata ia merupakan orang yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur Yunani dalam penalaran keagamaan. Jahm bin Safwan mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti. Jadi tak terlawan oleh manusia.

Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang pribadi. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dahsyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm ibn Sufwan dan para pengikutnya sampai kepada sikap kepada mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat pengampun, santun, maha tinggi, pemurah dan seterusnya. Bagi ereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan sifat tauhid yang mereka akui dan hedak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya Tuhan itu dikenal dengan an-Nufat (pengingkar sifat-sifat Tuhan) atau al-Muattilah (pembebas Tuhan dari sifat-sifatnya).

Sedangkan Qadariyah berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa setiap perbuatan manusia merupakan perbuatan dan kehendak mereka sendiri. Aliran Qadariyah ini selanjutnya banyak diikuti oleh orang-orang Mu’tazilah. Namun disisi lain, kaum Mu’tazilah banyak mengikuti sikap kaum Jahmiah, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh kegiatan penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi an India, kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini memuncak dibawah pemerintahan Bani Abassiyah yaitu ketika kepemimpinan khalifah al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid. Penerjemahan itu telah mendorong munculnya ahli kalam dan falsafah.[6]

Khalifah al-Ma’mun sendiri, ditengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan Ahl al- Hadist yang dipimpin oleh ahmad bin hanbal (pendiri madzab hanbali, salah satu dari empat mazhab fiqh). Lebih dariitu, khalifah al- Ma’mun melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi/ inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang yang tidak berpendapat dengan mazhab negara, termasuk ahmad bin Hanbal, kedalam penjara. Namun perlu ditegaskan bahwa mihna yang dilaksanakan khalifah Al-Ma’mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan, inquisition yang terjadi dispanyol. Karena mihna yang dijalankan al-Ma’mun dilaksanakan di bawah semangat kebebasan berpikir menjadi paham mu’tazilah. Hal ini dilakukan untuk melawan mereka yang di anggap menghalangi liberalisme dan kebebasan itu, khususnya kaum “fundamentalis” (al- Hashwiyyun, sebutan ejekan yang secara harfiah berarti “kaum sampah“ karena malas berpikir dan menolak melakukan interpretasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition yang terjadi di spanyol kemudian eropa pada umumnya dilaksanakan dengan semangat sebaliknya, yaitu atas nama kaum agama yang fundamentalis dan sempit melawan kebebasan berfikir yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para filsof saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran islam.

Mihnah al-Ma’mun terus dilanjutkan oleh penggantinya yaitu al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Salah satu masalah yang diperselisihkan pada saat itu ialah apakah kalam atau sabda Allah berwujud al-qur’an itu qadim(tidak diciptakan karena menjadi satu dengan hakikat atau dzat Allah) ataukah hadits (diciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab). Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara Ahl al-Hadits mmebedakan antara qadim dan hadits. Mereka berpendapat bahwa al-qur’an itu qadim seperti dzat Allah itu sendiri.

Terlepas dari catatan sejarah negatif al-Ma’mun karena telah memerintahkan pelaksanaan mihnah, ia berjasa besar dalam mebuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan. Hal ini tetap tercatat dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan  pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juda filsafat Islam.


C.     Dasar Ilmu Kalam

1.      Al Qur’an

a.       QS. Al Ikhlas [112]: 1-4, keseluruhan surat ini membahas tentang identitas Allah.

Artinya:

“1. Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”


b.      QS. Al Furqan [25]: 59, ayat ini membahas tentang tempat Allah setelah menciptakan alam raya.

Artinya:

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) yang Maha pemurah, Maka Tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.”


c.    QS. al Fath [48]: 10, ayat ini membahas tentang kekuasaan Allah yang dinyatakan dengan “tangan” Allah.

Artinya:

“bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”[7]


2.      Hadis

Adanya hadits Nabi yang membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam. Diantaranya hadis yang membahasa masalah islam, iman dan ihsan.

عَنْعُمَرَرَضِيَاللهُعَنْهُأَيْضاًقَالَ :بَيْنَمَانَحْنُجُلُوْسٌعِنْدَرَسُوْلِاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَذَاتَيَوْمٍإِذْطَلَعَعَلَيْنَارَجُلٌشَدِيْدُبَيَاضِالثِّيَابِشَدِيْدُسَوَادِالشَّعْرِ،لاَيُرَىعَلَيْهِأَثَرُالسَّفَرِ،وَلاَيَعْرِفُهُمِنَّاأَحَدٌ،حَتَّىجَلَسَإِلَىالنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلمفَأَسْنَدَرُكْبَتَيْهِإِلَىرُكْبَتَيْهِوَوَضَعَكَفَّيْهِعَلَىفَخِذَيْهِوَقَالَ:يَامُحَمَّدأَخْبِرْنِيعَنِاْلإِسْلاَمِ،فَقَالَرَسُوْلُاللهِصلىاللهعليهوسلم:لإِسِلاَمُأَنْتَشْهَدَأَنْلاَإِلَهَإِلاَّاللهُوَأَنَّمُحَمَّدًارَسُوْلُاللهِوَتُقِيْمَالصَّلاَةَوَتُؤْتِيَالزَّكاَةَوَتَصُوْمَرَمَضَانَوَتَحُجَّالْبَيْتَإِنِاسْتَطَعْتَإِلَيْهِسَبِيْلاًقَالَ :صَدَقْتَ،فَعَجِبْنَالَهُيَسْأَلُهُوَيُصَدِّقُه،قَالَ:فَأَخْبِرْنِيعَنِاْلإِيْمَانِقَالَ :أَنْتُؤْمِنَبِاللهِوَمَلاَئِكَتِهِوَكُتُبِهِوَرُسُلِهِوَالْيَوْمِالآخِرِوَتُؤْمِنَبِالْقَدَرِخَيْرِهِوَشَرِّهِ.قَالَصَدَقْتَ،قَالَفَأَخْبِرْنِيعَنِاْلإِحْسَانِ،قَالَ:أَنْتَعْبُدَاللهَكَأَنَّكَتَرَاهُفَإِنْلَمْتَكُنْتَرَاهُفَإِنَّهُيَرَاكَ .قَالَ:فَأَخْبِرْنِيعَنِالسَّاعَةِ،قَالَ:مَاالْمَسْؤُوْلُعَنْهَابِأَعْلَمَمِنَالسَّائِلِ.قَالَفَأَخْبِرْنِيعَنْأَمَارَاتِهَا،قَالَأَنْتَلِدَاْلأَمَةُرَبَّتَهَاوَأَنْتَرَىالْحُفَاةَالْعُرَاةَالْعَالَةَرِعَاءَالشَّاءِيَتَطَاوَلُوْنَفِيالْبُنْيَانِ،ثُمَّانْطَلَقَفَلَبِثْتُمَلِيًّا،ثُمَّقَالَ : يَاعُمَرَأَتَدْرِيمَنِالسَّائِلِ؟قُلْتُ : اللهُوَرَسُوْلُهُأَعْلَمَ . قَالَفَإِنَّهُجِبْرِيْلُأَتَاكُمْيُعَلِّمُكُمْدِيْنَكُمْ. (رواهمسلم[8])

“Dari Umar ra,  dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Saw  suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”, kemudian dia berkata: “anda benar”. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”, kemudian dia berkata: “anda benar”.  Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan”. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya", beliau bersabda: " Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.(HR. Muslim)


3.      Pemikiran manusia

Pada pertumbuhan awal pemikiran Islam, para ulama telah menggunakan rasionya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam jauh sebelum filsafat Yunani berpengaruh luas dalam khasanah ilmu keislaman. Hal ini terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat al Quran yang samar maksudnya, sehingga membutuhkan pemikiran akal untuk memahaminya.

Di dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur, tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-nuha.  Diantara ayat-ayat tersebut yaitu(Q.S. An-Nahl: 17) :

Artinya:

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan? Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”. (Q.S. An-Nahl: 17).

Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan karena adanya perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelasnya penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam.[9]


D.    Faktor Pendorong Lahirnya Ilmu Kalam

Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu:

1.      Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:

a.       Adanya kepentingan kelompok atau golongan.

Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran. Sangat jelas, di mana Syi’ah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan Khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya.

b.      Adanya kepentingan politik.

Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman khalifah Usman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan. Karna Faktor politik juga dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran di lingkungan Umat Islam, khususnya pada awal perkembangannya. Maka persoalan imamah menjadi persoalan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam. Permasalahan ini dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. Berkenaan dengan itu, ulama antara lain ‘Amir al-Najjar berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah.

c.       Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda.

Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yangmengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.

d.      Mengedepankan akal

Dalam hal ini, akal digunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.

2.      Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah Faktor yang muncul dari luar umat islam, Disamping faktor internal mendorong dan mempengaruhi kemunculan persoalan-persoalan kalam juga ada faktor eksternal berupa paham-paham keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam. Seperti:

a.       Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam.

Paham keagamaan non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani, yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam mulai dipengaruhi oleh pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang jerman yang ahli ketimuran dan ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar aceh, yang mengatakan bahwa banyak ucapan dan cara berfikir kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits yang dikataakan berasal dari Muhammad.

b.      Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah

Perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.

c.       Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logis)

      Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logis) sehingga memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu berkenaan. [10]

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Dasar-dasar Ilmu Kalam adalah al-Qur’an, hadits dan pemikiran manusia. Persoalan kalam telah ada sejak zaman Rasulullah, zaman Khulafaur Rasyidin dan berkembang ke zaman Bani Umayyah dan Abassiyah dan lainnya. Latar belakang lahirnya ilmu kalam berawal ilmu kalam pada zaman Rasulullah, ilmu kalam pada zaman Khulafaur rasyidin, ilmu kalam pada zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah. Adapun Dasar dari Ilmu kalam yaitu Al-quran, Hadist dan pemikiran manusia.

Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu: Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:

a)         Adanya kepentingan kelompok atau golongan.

b)         Adanya kepentingan politik.

c)         Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda.

d)        Mengedepankan akal


Faktor eksternal

a)      Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam.

b)      Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah

c)      Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logis)


 

[1] http://www.nomifrod.com/2016/03/pengertian-fungsi-dan-faktor-timbulnya-ilmu-kalam.html. di akses pada tanggal 09 oktober  2017.

[2]  Ali Mustafa al-Ghazali , tarikh al-Firaq al-islamiyah ( Mesir: Maktabah wa matba’ah Muhammad Ali shabih wa Awladuh), 8-9.

[3] Mukhtafi, ilmu kalam (Surabaya: UINSA Press, 2015), 19.

[4] ibn Taymiyah, minhaj al-sunnah al-Nabawiyah fi  Naqd  al –kalam al-Shi’ah wa al-Qadariyah, (Kairo: al-Mathba’at al-Amiriyah, 1321 H), 237.

[5]  Ibid., 12-13.

[6]  Ahmad Amin, fajr al-islam ( Jakarta : al-Munjid 2009 ), 284.

[7]  Sahilun Nasir, pengantar  ilmu kalam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), 21.

[8]  Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, sahih al-Bukhari, juz 1 (Beirut : Dar ibn Khatir, 1987), 27.

[9]  Sahilun A.Nasir, pengantar  ilmu kalam, 41.

[10] https://sakinah-wasohibatimuslimah.blogspot.co.id/2015/10/makalah-sejarah-lahirnya-ilmu-kalam.html (diakses pada tanggal 10 oktober 2017).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...