HOME

26 Januari, 2022

Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh

BAB I

PEMBAHASAN

1.    Riwayat hidup Syaikh Muhammad Abduh

Syaikh Muhammad Abduh (Mesir, 1265-1323/1849-1905 M) adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam islam di Mesir. Ayahandanya Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama bertempat tinggal di Mesir. Sedangkan ibunya bernama Junainah, berasal dari suku Arab asli yang masih bersilsilah sampai kepada sayyidina umar bin khattab. Dia lahir pada pemerintahan Muhammad Ali pasya.

Ayahnya adalah penduduk di Mahallah Nasr, daerah Subrakhit, dari Provinsi Buhairah Mesir selatan, seorang petani yang sedang memiliki 40 feddan sawah. Karena tindakan-tindakan penguasa yang dipandang sering sewenang-wenang, maka Ayahnya pindah ke Provinsi Gharbiyah dan menetap di situ selama 15 tahun dan akhirnya kembali lagi ke daerah asalnya.

Setelah pulang ke kampung halamannya, ayahnya kemudian kawin lagi dan dari istri kedua ini lahir beberapa anak. Dengan demikian, maka Syaikh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah tangga  yang terdiri dari istri-istri dan anak-anak. Keadaan rumah tangga orang tuanya yang demikian ini, ternyata berpengaruh terhadap pemikirannya, khususnya tentang masalah poligami.

Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru kepada ayahnya sendiri di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan menghafal Al-quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun seluruh Al-quran telah dihafalnya. Kemudian pada usia 14 tahun dia dikirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di masjid Al-Ahmadi (al-jami’ al-Ahmadi). Di sini, disamping melancarkan hafalan Al-Qurannya, dia juga belajar Bahasa Arab dan Fiqih. Setelah belajar dua tahun, Abduh merasa bosan karena system pengajarannya memakai metode hafalan. Dengan rasa kecewa Abduh kembali ke Mahallat Nasr.

Pada 1282 H/1866 M Abduh memasuki hidup berumah tangga. Sekitar 40 hari setelah menikah, Abduh dipaksa ayahnya kembali ke Tanta untuk melanjutkan pelajarannya. Dalam perjalanannya ke Tanta, Abduh mengubah haluan menuju ke desa kanisah untuk bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr. Dia adalah pengikut tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang luas karena banyak melakukan perjalanan ke luar mesir.

Kemudian dia melanjutkan pelajarannya di Masjid Al-Ahmadi dan pada 1866 dia resmi masuk di Al-Azhar. Di perguruan tinggi islam yang paling popular itu ternyata Abduh tidak menemukan sesuatu yang baru. Materi pelajaran dan metodenya tidak jauh berbeda dengan di Tanta sebelumnya.

Kebosanannya itu disampaikan kepada pamannya, Syaikh Darwisyi, bahwa di Al-Azhar dia merasa kecewa pula. Pamannya lalu menyarankan supaya tetap belajar di Al-Azhar, disamping menuntut ilmu kepada ulama-ulama di luar Al-Azhar. Saran tersebut dipatuhi oleh Abduh. Dia belajar ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di Al-Azhar, seperti filsafat, logika, dan matematika kepada Syaikh Hasan At-Tawil.

Abduh dan kawan-kawannya berkesempatan berdialog dengan tokoh pembaru, bernama Jamaluddin Al-Afghani (1870). Di sinilah awal perkenalan Abduh dengan Jamaluddin Al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya pula. Melalui Jamaluddin, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika, teologi, politik, dan jurnalistik.

Karena tertarik pada pemikiran Muktazilah, Abduh lalu dituduh ingin menghidupkan lagi Aliran ini. Atas tuduhan ini dia dipanggil menghadap Syaikh al-Laisi, tokoh ulama penentang Muktazilah. Ketika ditanya apakah dia akan memilih Muktazilah, dijawabnya dengan tegas bahwa dia tidak bermaksud taklid kepada aliran manapun dan kepada siapapun. Dia ingin menjadi pemikir bebas. Peristiwanya ini nyaris membuatnya gagal memperoleh ijazah Al-Azhar. Meskipun tujuan Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh sama, yaitu pembaruan masyarakat islam, namun cara untuk mencapai tujuan itu berebeda.


2.    Karya-karya Syaikh Muhammad Abduh

Syaikh Muhammad Abduh meninggalkan beberapa karya, Antara lain :

a.       Risalah al-Tauhid

Pada 1882 di Mesir terjadi pemberontakan yang dipelopori oleh ‘Urabi Pasya, yang mana Abduh menjadi penasihatnya. Ketika pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka resikonya Abduh diusir dari negeri Mesir, dan akhirnya memilih di Syiria (Beirut). Di sini dia mengajar pada perguruan As Shulthaniyah pada 1885 sekitar setahun lamanya, mengajarkan Ilmu Tauhid, Fiqih, dan Sejarah Islam. Hasil pelajaran tersebut, kemudian dibukukan dan menjadi bahan pelajaran di Sekolah Menengah Al-Azhar, ketika dia telah diizinkan pulang ke mesir. Jadi Risalah a;-Tauhid adalah karya hasil pengalaman mengejar ketika di Syiria.

b.      Al-Islam Wan-Nashraniyah Ma’ al-Ilmi Wal-Madaniyah

Ditulis tahun 1902, buku ini memperbandingkan antara pandangan Islam dan Kristen tentang Ilmu, peradaban, watak kedua agama itu dan keadaan islam waktu itu, penyakit yang melanda umat islam dan bagaimana terapinya. Pada bab penutup dikupas pemikiran filosof ibnu rusydi dan terakhir berisi tentang kesan dan tanggapan terhadap buku tersebut baik dari kalangan islam maupun Kristen.

c.       Syarah kitab Al-Bashair al-Nashiriyah karangan Syaikh Al-Qadhi Zainuddin, tahun 1898.

d.      Tafsir Al-Manar

e.     Ide pemikirannya Bersama-sama dengan gurunya, Sayid Jamaluddin Al-Afghani, ditulis di majalah Al-‘Urwah Al-Wutsqo, untuk menyadarkan dan mempersatukan pikiran umum di seluruh negeri Muslim. Majalah tersebut diterbitkan di paris ketika keduanya pada masa pengasingan

f.       Ar-Raddu ‘Ala al-Dahriyyin tahun 1886

g.      Syahrul-Balaghoh, tahun 1885

h.      Syarah Maqamat Badi’izzaman Al-hamadani, tahun 1889

i.    Menerjemahkan karangan Herbert spencer, filsuf inggris ke dalam Bahasa Prancis, berjudul L’education (Nasution: 62-74; Adam: 48-49).

j.        Durus Min Al-Qur’an (berbagai pelajaran dari Al-quran

k.      Hashiyah ‘Ala Syarhid-Dawwani al-Aqaid al-Adudiyah

(komentar terhadap penjalasan Ad-Dawwani tentang Akidah-akidah yang meleset).

l.        Tafsir Al-Qur’an al Karim Juz ‘Amma. [1]


3.    Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh

a.       Tentang Islam

Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati(mu jma’ ‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai  jelas. [2]

Disinilah peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.

Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.

Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan  kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.[3]

Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahayatak lid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.

Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.[4]

Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bias dihindarkan.

Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut.[5]

Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan as Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah

dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.

Tantangannya yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.

Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatantakl id dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami sesuatu. Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bias diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.

b.      Tentang Akal Pikiran

Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya,

pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.[6]

Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.

Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.

Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.

Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap

sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam  tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.[7]

Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasandalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud.

Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu.[8]

Baca juga artikel yang lain:

4.  Inti Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh

1.  Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.

2.   Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.

3.     Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.[9] 


[1] Prof. dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M. Pd.I, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) sejarah, ajaran, dan perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h.305-307

[2] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 26

[3] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 29

[4] Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hlm 79.

[5] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 40

[6] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 42

[7] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 50

[8] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 51

[9] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...