HOME

29 Januari, 2022

Nasikh dan Mansukh

Nasikh mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk  beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian majazinya  ialah pemindahan atau pengalihan.  Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.

Nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang pertama.

Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:

a)  Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.

b)   Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).

c)  Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.


1)     Rukun Nasakh

a)      Adat  nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.

b)   Nwsikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah.

c)     Mansykh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.

d)     Mansykh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.


2)     Syarat Nasakh

a)     Yang dibatalkan adalah hukum syara’

b)     Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’

c)   Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.

d)    Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.


3)     Macam Nasakh

a)    Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.

b)   Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.

c)    Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perempuan tua yang telah menikah.

d)   Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang akan berbicara kepada Nabi.

e)    Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan 10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari A’isyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.

f)  Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulam Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.


4)     Pembagian Naskh

a)   Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur.

b)   Dalam undang-undang modern banyak juga terjadi, misalnya suatu undang-undang ditegaskan berlakunya untuk mengakhiri berlakunya undang-undang terdahulu yang sama materinya.

c)   Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing, misalnya suatu nash positif dan yang lain negative, sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat pada ahli waris dinasakh oleh ayat mewaris.

a)    Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.

b)   Nasakh juz’i, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang dicakup oleh nash kedua. Contohnya ayat had qadzab dengan ayat li’an karena dalam ayat qadzab dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam umum ayat qadzab.


5)      Cara Mengetahui

a)    Nash yang secara lahirnya menunjukkan yang satu menjadi nasikh terhadap yang lain. Firman Allah dalam QS.  Al Baqarah (2): 187,

 “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.”

Ayat tersebut berarti menasakh hukum sebelumnya tentang tidak bolehnya bersetubuh, makan dan minum di malam hari.

b) Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Hal itu mendorong arti bahwa nasikhnya hukum ijma’ tetapi adalah nash juga, sedangkan ijma’ hanya memberi petunjuk mengenai nash mana yang nasikh dan mana yang mansukh.

Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda. Bila yang datang kemudian itu disebut nasikh dan yang terdahulu itu disebut mansukh.


6)      Kategori Nasakh

a)    Nasakh di mana ayatnya diubah dan hukumnya juga diubah. Maksudnya, secara tekstual ayat tersebut diganti, dan hukumnya juga diganti.

Contoh untuk  kategori pertama (nasakh dalam sisi tekstual/ayatnya, sedangkan hukumnya masih berlaku), yaitu:

Menurut suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada satu ayat di Surah al-Ahzab yang menyatakan, jika ada orang berzina, sedangkan orang tersebut sudah atau pernah menikah, maka orang tersebut harus dirajam.

Ayat ini kemudian diangkat oleh Allah dan dihapus keberadaannya, sehingga tekstualnya menjadi tidak ada tapi hukumnya masih tetap berlaku. Mengapa bisa demikian? Karena diganti oleh ayat lain pada Surat An-Nuur ayat 2, yaitu: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nuur: 2)

Maksud ayat ini (QS. An-Nuur: 2) adalah, bahwa jika ada yang berzina, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali. Ini di antara hukum-hukum yang realitas terjadi, sehingga terlalu sulit untuk mengingkari adanya nasakh dan mansukh di dalam ayat tersebut. Ayatnya sudah tidak ada, tetapi hukumnya masih tetap diberlakukan oleh Rasulullah, bahkan hingga akhir zaman nanti.

b)     Ayatnya diganti, tetapi hukumnya masih tetap berlaku.

Untuk kategori kedua, yaitu yang lafaz dan hukumnya dua-duanya dicabut. Contohnya adalah sebagai berikut:

Sayyidatuna Aisyah menyatakan, bahwa Rasulullah pernah mendiktekan ayat Al-Qur’an kepada mereka ketika itu, bahwa orang yang menyusui dan disusui akan mempunyai hubungan nasab sebagaimana ibu dan anak kandung minimal sepuluh kali. Tetapi ternyata ayat ini dicabut oleh Allah, termasuk juga hukumnya. Sebagai gantinya, sekali saja menyusui sepanjang itu sudah mengenyangkan, maka sudah dianggap memiliki hubungan nasab. Yang jelas hukum yang sepuluh kali itu dicabut.

c)   Ayatnya masih ada di dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya kemudian dinyatakan sudah kadaluwarsa. Jenis ketiga ini yang paling banyak di dalam Al-Qur’an.            

Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah (QS. Mujadilah : 12) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menfadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 yang artinya “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul ? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadilah: 13).


7)      Contoh-Contoh Naskh

a.       Firman Allah:

“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115) kemudian dinasakh oleh :

“Maka palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram” (QS. Al-Baqarah :144). Telah dikatakan, dan inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.


b.      Firmah Allah:

“ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yang itu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)…” (QS. Al-Baqarah: 240). Ayat ini dinasakh oleh:

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah: 234). Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar, dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedang ayat kedua berkenaan dengan masalah ‘iddah. Dengan demikian maka tak ada pertentangan antara kedua ayat itu.


c.       Firman Allah:

“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapt mengalahkan dua ratus orang musuh…” (QS.Al-Anfal: 65). Ayat ini dinasakh oleh ayat berikutnya :

“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Ia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang” (QS. Al-Anfal: 66).


d.      Firman Allah:

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat…”(QS. At-Taubah: 41). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya: “Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah dan atas orang-orang yang sakit…” (QS. At-Taubah: 91), dan oleh firman-Nya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)…” (QS. At-Taubah: 122).


8)       Hikmah adanya Nasikh dan Mansykh

a)       Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.

b)      Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

I'jazul Qur'an

I. PENDAHULUAN

Sudah menjadi kelaziman dari munculnya seorang rasul dengan seruan agama baru untuk disertai dengan mukjizat. Dengan mu’jizat itu seorang rasul baru diberdayakan oelh Allah untuk sanggup membalikkan pandangan umatnya yang sedang mengalamai fase keterkaguman dengan salah satu aspek kehidupan keduniaan, menuju jalan agama Allah yang lurus. Sejarah nabi dan rasul menunjukkan kebhinekaan corak mu’jizat yang tidak lain sebagai respon logis dari tuntutan realitas kehidupan umat.

Fenomena al-Quran sebagai mu’jizat, berikut segala segi dan fungsinya, akan banyak ditelaah dalam tulisan ini. Pembahasan al-Quran sebagai mu’jizat oleh para ulama masih menyisahkan perbedaan pendapat tentang domain kemu’jizatan al-Quran ditambah lagi munculnya pendapat yang cenderung melimitasi pada segi kemu’jizatan dengan menafikan segi yang lain. Berangkat dari sini, penulis bermaksud untuk mengkaji beberapa segi kemukjizatan al-Quran yang diharapkan dapat menampilkan keterwakilan seluruh pergolakan pendapat dan pemikiran yang bergulir disekitar obyek telaah kemu’jizatan al-Quran.


II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa pengertian I’jazul Qur’an ?

B. Apa tujuan I’jazul Qur’an ?

C. Apa fungsi I’jazul Qur’an ?

D. Apa segi-segi I’jazul Qur’an ?

E. Apa macam-macam I’jazul Qur’an ?


III. PEMBAHASAN

A. Pengertian I’jazul Qur’an

I’jaz menurut bahasa artinya melemahkan, dan mukjizat artinya sesuatu yang luar biasa, yang ajaib atau yang menakjubkan. Sedangkan menurut istilah mukjizat ialah sesuatu yang bernilai sangat tinggi dan bisa mengungguli seluruh masalah yang berkembang. Disamping kedatangannya mukjizat memang sedang dinanti oleh kaum.

suatu hal yang luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah kepada Nabi/ Rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian atau kerasulannya. Juga untuk menjelaskan kepada manusia bahwa orang yang mengaku Nabi/ Rasul dengan sihirnya adشlah dusta.


B. Tujuan I’jazul Qur’an

Menurut Dr. Subhi Shaleh, orang yang pertama kali menulis I’jazul Quran adalah Imam Al-Jadid dengan bukunya “Nudlumul Qur’an”. Dan menurut pendapat lain menyatakan bahwa yang pertama kali menulis I’jazul Qur’an adalah Abu Ubaidah dengan kitab “Majalul Qur’an”

Disamping untuk menumbuhkan keyakinan kepada manusia bahwa Al-Qu’an betul-betul wahyu dari Allah, I’jazul Qur’an juga merupakan bukti kebenaran Muhammad SAW sebagai Rasul Allah. Karena itu, sasaran I’jazul Qur’an adalah non muslim. Sedangkan bagi orang muslim kekaguman mereka terhadap Al-Qu’an menunjukkan adanya keistimewaan dalam Al-Qur’an.

Dengan demikian, I’jazul Qur’an mempunyai beberapa tujuan, yaitu :

1. Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad SAW

2. Untuk membuktikan bahwa kitab suci Al-Qu’an benar-banar wahyu dari Allah.

3. Untuk menunjukkan balaghah bahasa manusia.

4. Untuk menunjukkan kelemaan daya upaya dan rekayasa manusia.


C. Fungsi I’jazul Qur’an I’jazul Qur’an

Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT (QS: Al A’raaf:2) yang memiliki fungsi dan peran sebagai:

1.      Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw

2.      Pedoman hidup bagi setiap Muslim

3.      Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya        .

Al Quran tidak diragukan lagi sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengajak pada kebajikan dan kebenaran, menuju hidup yang lebih baik. Tidak hanya berisi tata cara berinteraksi dengan Sang Pencipta, melainkan juga etika bermu’amalah dengan sesama manusia, maupun dengan makhluk lainnya.. Ada kalanya penyebutan di Al Quran secara global saja, dan Hadits Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai penjelasnya.

Karena diturunkan terakhir atau pamungkas, maka Al Quran berfungsi sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Sementara sebagai mu’jizat Rasulullah Muhammad SAW, Al Quran sudah tidak ada tandingannya lagi, bahkan jika seluruh makhluk bersekutu untuk membuat sebuah surat yang sama dengan al Quran.


D. Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an

Menurut Ibnu Athiyah, yang dianggap tepat oleh para ulama’ bahwa segi kemukjizatan Al-Qu’an adalah bahwasanya tersusun secara tertib dan artinya indah, runtut (bersambung) kata-katanya. Karenanya Allah lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Demikian juga kalam Allah mencakup segala sesuatu sehingga Allah menyusun mana-mana yang layak di ayat pertama, dan ayat keduadan menjelaskan arti ini setelah ini dan seterusnya. Sedangkan manusia tidak bias memiliki kemampuan seperti Allah. Yang benar adalah sama sekali tidk ada kemampuan manusia melebihi ilmu Allah YangMaha Luas itu. 

MuhammadAli Ash Shabuni dalam kitab At Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjiatan Al-Qur’an sebagai berikut :

1. Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada dalam bahasa orang-orang arab.

2. Ia mengandung sifat mungkin dan membuka peluang bagi serang mahluk untuk mendatangkan yang sejenisnya.

3. Bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.

4. Mengambarkan hal-hal yang ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.

5. Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya.

6. Menepati janji yang dikabarkan dalam Al-Qu’an.

7. Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan di dalamnya.

8. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya.


E. Macam-macam Mukjizat

Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang lain ada dua jenis, yaitu Hissi dan Maknawi

1. Hissi merupakan mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar, dirasa, dan ditangkap oleh pancaindera. Ia sengaja ditunjukkan kepada manusia yang tidak mampu menggunakan akal pikirandan kecerdasannya untuk menangkap keluarbiasaaan Allah.

2. Maknawi adalah mukjizat yang tidak dapat dicapaidengan kekuasaan panca indera semata, tetapi harus dicapai dengan kekuasaan dan kecerdasan akal pikiran.

Contoh kemukjizatan al Quran di era Kontemporer:

1. Penjelasan al Qur’an tentang Perputaran Bumi

Allah telah mengabarkan RasulNya, Muhammad SAW bahwa gunung begerak seperti awan, dan Allah berbicara kepada RasulNya dalam ayat ini. Allah SWT berfirman: An-Naml ayat 88

Ayat ini mengisyaratkan adanya proses rotasi bumi. dimana gunung adalah bagian dari bumi yang berputar dan kurang lebih perputarannya sama dengan kecepatan awan.

2. Api yang menyala dalam laut

Belakangan,para ahli geologi menemukan semua samudera dan sebagian lautan seperti Laut Merah dan Laut Arab benar-benar bernyalakan api dengan aktivitas nyata. Allah berfirman dalam surat Ath-Thur ayat 6:

Para ahli tafsir memberikan catatan, مَسْجُورِ maknanya bernyalakan api.

3. Janin Berada dalam 3 Kegelapan

Para dokter ilmu kandungan menemukan bahwa janin ketika masih berada dalam kandungan dilapisi oleh tiga selaput yang melindunginya dari air yang berasal dari

luar, dan dari panas serta cahaya, dan dinamakan dengan tiga kegelapan. Penemuanini selaras dengan apa yang digambarkan Allah tentang proses penciptaan dalam QS. Az-Zumar ayat 6 :

4. Asal mula manusia dari tulang stulbi:

Para dokter ilmu kandungan telah berhasil menemukan sumber dasar manusi. Bahwa dasar diciptakannya manusia bersumber dari tulang sulbi, yaitu tulang belakang

laki-laki dan tulang dada perempuan, yaitu tulang rusuk perempuan.  Penemuan ini selaras dengan yang diberitakan Allah dalam Al-Qur'an dalam surat Ath-Thariq ayat 5-7

5. Tentang Penciptaan Langit (Teori Big Bang)

astronom menemukan (ilmu pengetahuan) bahwa pada awalnya langit dan bumi saling melekat menjadi satu, kemudian keduanya terpisah dari yang lain. Penemuan ini dinamakan dengan teori Ledakan Dahsyat (Big Bang) yang berbunyi, Pada mulanya alam berbentuk massa yang sangat tebal, berkilau dan sangat panas. Kemudian akibat pengaruh tekanan dahsyat yang datang dari suhu panasnya yang sangat tinggi maka terjadilah ledakan dahsyat yang meledakkan massa gas tadi dan melemparkan kepingan-kepingannya ke seluruh penjuru. Bersama berjalanya waktu, maka terbentuklah planet – planet dan bintang- bintang . hal ini sesuai dengan penjelasan pada QS al ambiya ayat 30


IV. KESIMPULAN

Mukjizat adalah suatu hal yang luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah kepada Nabi/ Rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian atau kerasulannya.

I’jazul Qur’an mempunyai beberapa tujuan, yaitu :

1. Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad SAW

2. Untuk membuktikan bahwa kitab suci Al-Qu’an benar-banar wahyu dari Allah.

3. Untuk menunjukkan balaghah bahasa manusia.

4. Untuk menunjukkan kelemaan daya upaya dan rekayasa manusia

Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT (QS: Al A’raaf:2) yang memiliki fungsi dan peran sebagai:

1. Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw

2. Pedoman hidup bagi setiap Muslim

3. Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya

Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang lain ada dua jenis, yaitu Hissi dan Maknawi.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami uraikan. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabil banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaparan. Semoga makalah ini dapat bermanfaatbagi kita semua, dan menambah keykinan kita kepada Allah SWT. Terima Kasih

Mantuq dan Mafhum

 A. Mantuq dan Pembagiannya

Menurut bahasa mantuq ialah yang terucap, yang dikatakan. Menurut istilah mantuq adalah memahami lafaldz yang sesuai dengan pengucapannya , Atau dalam penjelasan Naisaburi disebut dengan lafaldz yang menunjukkan hakekat lafadz pada saat di ucapkan.. Contoh : didalam surat al Baqarah ayat 222 yang artinya: “dan jangan dekati mereka (wanita-wanita) itu sampai mereka bersuci”. Maksud dari ayat tersebut hakiki adalah larangan terhadap hubungan suami istri pada saat haid. Lafaldz yang dinyatakan dalam ayat tersebut jelas menggunakan kata larangan laa naahi ini berarti tidak ada alasan untuk tidak mematuhinnya. Dari kata-kata yang tersurat dalam ayat itu hanya satu pintu yang membolehkan laki-laki berhubungan dengan istrinnya, yakni setelah selesai masa haidnya. Inilah yang dimaksud mantuq  dari ayat diatas. 

Menurut Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam,  yaitu  dilâlat  al-mantûq 

(دلالـة الـمـنطوق)  dan  dilâlat  al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم)). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :

دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.

“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai     dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:

اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ

“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.

1.  Mantûq Sarih

Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah. 

Pada dasarnya mantuq ada yang berupa Nash, dan Zahir:

a.       Nash

Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”

Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti. 

b.      Zahir

Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia  diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


2.   Mantûq Ghairu Sarih 

Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:

a.     Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal,  tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.

Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}

“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)

Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahwa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya. 

b.  Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.

Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun” 

c.   Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.

Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}

“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan. 


 B.  Mafhum dan Pembagiannya

Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).

Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.

Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا

“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya”.

Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “ah” dan  menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.

Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

1.   Mafhum Muwafaqah

Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.

Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua bagian: 

a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.

Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ

“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”

Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.

Seperti firman Allah swt.:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.

Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).

2.   Mafhum mukhalafah

Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”

Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.

Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :

a. Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.

Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:

فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ

“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”

Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan. 

Mafhum sifat ada 3 macam:

1)   Mustaq dalam ayat.

Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.

2)   Hal (keterangan keadaan)

Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”

Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.

3)  ‘Adad (bilangan)

Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”

Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak sah.

b.   Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan. 

c. Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:

اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....

“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.

Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.

d. Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu. 

e.  Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”

Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan. 

f.    Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:

...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...

“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

Mafhum Mukhalafah

A.    Pengertian

Mafhum (فهم ) yakni pemahaman, pengertian, gambaran yang tidak tertulis di dalam nash (tersirat). Sedangkan mukhalafah (خلف) yakni berbeda.

  الّنّص الّشرعّى لادلالة على حكٍم فى مفهوم المخالفة                

Artinya : “Nash syar’i tidak mengandung pengertian hukum pada mafhum mukhalafahnya”.

Mafhum mukhalafah adalah ketika dalam suatu nash syar’i terdapat hukum yang tidak dibatasi oleh suatu batasan, sifat, batas maksimal (ghayah), syarat, batasan hitungan, dan batasan nama (laqab). Sedangkan apabila nash syar’i menunjukkan suatu hukum yang dibatasi oleh suatu batasan, sebagaimana disifati oleh suatu sifat, dibatasi oleh suau batas maksimal, disyarati oleh suatu syarat, ataupun dibatasi dengan suatu hitungan, maka terdapat hukum pada nash tersebut, dan disebut manthuq (yang dikatakan).

Pengertian secara garis kaidah ini adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebutkan dalam nash (manthuq) karena tidak adanya batasan yang membatasi berlakunya hukum menurut nash.

Firman Allah SWT :

وآتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا                         

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ 4:4)

Dalam ayat tersebut suami boleh menerima maskawin isterinya dengan syarat apabila isterinya tersebut memberikannya dengan senang hati, maka mafhum mukhalafahnya adalah apabila tidak dengan senang hati, maka haram hukumnya.

Adapun tujuan dari mufham mukhalafah tersebut yaitu untuk menjadi hujjah atas suatu hukum dari suatu nash, begitupun dengan kebalikan (mufham mukhalafah itu sendiri) juga menjadi hujjah atas kebalikan hukumnya yang manthuq.


B.     Pembagian

Mafhum mukhalafah terbagi menjadi lima, sesuai dengan batasan yang membatasi manthuq nashnya, antara lain :

1.      Mafhum Sifat

Yakni menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan sifat yang telah ditetapkan (manthuq) dalam nash. Sebagaimana Firman Allah SWT :

وتحرير رقبة مؤمنة                                                                     

Artinya : “....maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin....” (QS. An-Nisaa’ :92)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa dalam membayar kifarat hendaknya memerdekakan budak yang mukmin. Mafhum mukhalafahnya jika yang dimerdekakan bukan budak yang mukmin (kafir) maka tidak sah.

2.      Mafhum Syarat

Yakni menetapkan suatu hukum sesuai dengan syarat dalam nash. Sebagaimana Firman Allah SWT :

وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن                           

Artinya : “....Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,.....” (QS. Ath-Thalaaq :6)

Dalam ayat tersebut di atas mafhum mukhalafahnya adalah jika isteri yang ditalak tersebut tidak sedang dalam keadaan hamil telah melahirkan, maka tidak wajib diberi nafkah.

3.      Mafhum Ghayah (batasan maksimal)

Yakni menetapkan suatu hukum sampai batas tertentu dan berlaku sebaliknya jika batas tersebut dilampaui. Allah SWT berfirman :

وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر     

Artinya : “.....dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar....” (QS. Al-Baqarah :187)

Dari penggalan ayat tersebut di atas dapat diketahui bahwa mafhum mukhalafahnya adalah sampai batas terbit fajar. Maksudnya, ketika berpuasa (bulan Ramadhan) diperbolehkan makan dan minum kecuali sampai terbit fajar.

4.      Mafhum ‘Adad (hitungan)

Yaitu menetapkan suatu hukum dengan bilangan tertentu.

Firman Allah SWT :

والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون                      

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Dari ayat tersebut terdapat keharusan adanya empat orang saksi, kemudian jika tidak ada, si penuduh harus didera sebanyak delapan puluh kali. Maka mafhum mukhalafahnya adalah kurang atau lebih dari empat orang saksi, dan lebih sedikit atau lebih banyak dari delapan puluh dera.

5.      Mafhum Laqab

Yaitu menetapkan hukum dengan isim alam, nama jenis, dan lain sebagainya. Sebagaimana Firman Allah SWT :

حرمت عليكم أمهاتكم                                                                      

Artinya : “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu.....” (QS. An-Nisaa’:23)

Dari penggalan ayat tersebut di atas, mafhum mukhalafahnya adalah selain ibu.

Rasulullah SAW bersabda :

فى البرّ صدقة                                                                           

Artinya : “Pada gandum ada (kewajiban) zakat”.

Maka, mafhum mukhalafahnya adalah selain gandum.

Namun, para ahli Ushul fiqh bersepakat untuk tidak menggunakan nash dari mafhum laqab untuk dijadikan sebagai hujjah. Karena seperti pada hadist tersebut di atas, bahwa lafazh “burr” adalah nama bagi biji-bijian tertentu yang wajib zakat. Di sini tidak dapat difahami baik menurut bahasa, syara’, maupun adat kebiasaan bahwa mafhum mukhalafah dari hadits tersebut yakni lafazh “burr” mengecualikan segala biji-bijian lainnya.


C.     Pendapat Ulama

Para ulama ushul fiqh sepakat untuk tidak menggunakan hujjah atas dasar mafhum mukhalafah dalam suatu bentuk, sepakat menggunakan bentuk tertentu, dan suatu bentuk lagi terdapat perbedaan pendapat mengenai kehujjahannya.

1. Mafhum mukhalafah yang sepakat untuk tidak digunakan sebagai hujjah adalah mafhum laqab, karena lafazh jamid yang ada di dalam nash itu merupakan substansi yang menjadi pokok sandaran hukum yang manthuq dalam nash.

2.  Mafhum mukhalafah yang disepakati untuk dipergunakan hujjahnya adalah mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum ‘adad. Namun hal tersebut hanya bagi nash selain nash syar’i, misalnya perjanjian, perkataan manusia, ungkapan pengarang, ataupun peristilahan para ahli fiqh.

3.  Mafhum mukhalafah yang masih diperselisihkan penggunaan hujjahnya adalah mafhum mukhalafah pada sifat, syarat, batas maksimal dan hitungan pada nash syar’iyyah secara khusus.

Jumhur ulama beristidlal terhadap pendapat tersebut di atas dengan beberapa dalil, yaitu :

1.  Akan terdapat penetapan hukum dari mafhum mukhalafah jika keempat batasan itu ada dalam nash. Dan sebaliknya, tidak ada penetapan hukum jika keempat batasan tersebut tidak ada dalam nash.

2. Batasan-batasan yang ada dalam nash syar’i memiliki hikmah atau manfaat tersendiri. Batasan tersebut juga harus menunjukan sifat, syarat, batas maksimal, dan hitungan. Batasan tidak bertujuan untuk pengagungan, pujian, celaan, dan kebiasaan. Jika demikian, maka tidak dapat ditetapkan hukum dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

Muhkam dan Mutasyabih

 BAB I

PENDAHULUAN

AL-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-qur’an pula diturunkan sebagai mukjizat sekaligus pedoman bagi umat islam. Kalam Allah ini diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa ini mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dari bahasa lainnya serta memiliki uslub dan kosa kata tertentu. Suatu kosakata tak selalu memiliki makna yang absolut sehingga dapat dimengerti secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui makna-makna Al-qur’an memerlukan penguasaan dalam bahasa Arab.

Bahkan, diantara ungkapan Al-Qur’an terdapat lafal yang hampir mustahil diketahui oleh manusia maknanya. Hanya Allah yang mengetahui maksud dan makna lafal tersebut. lafal-lafal ini perlu diketahui agar tidak terjadi pemaksaan makna terhadap kosakatanya. Sebab, hal itu diungkapakan oleh Al-qur’an bukan untuk dipahami manusia, tetapi ada tujuan lain dalam menyampaikan dakwah islam.

Maka dari itu terdapat pemahaman Al-qur’an yang disebut dengan muhkam wa mutasyabih.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Muhkam dan Mutasyâbih

Muhkam adalah ayat-ayat yang sudah mempunyai kejelasan didalam maknanya sehingga, tidak terjadi kebingungan dalam memaknai lafalnya. Sedangkan, Mutasyâbihât adalah ayat-ayat Al-qur’an yang belum jelas maknanya, ia mempunyai beberapa kemungkinan makna yang tidak pasti, mana diantara makna-makna itu yang harus digunakan dalam menafsirkan ayat yang bersangkutan.

 

B.      Contoh ayat Muhkam dan Mutasyâbihât

Ayat muhkam, misalnya terdapat dalam  firman Allah Surah Al-baqarah ayat 183

يَأَيُّهَا ٱلَّذِيْنَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa. (QS. Al-Baqarah (2): 183)

Kata ash-shiyâm dan perintah berpuasa dalam ayat ini sangat jelas maksudnya sehingga orang biasa pun dapat memahaminya. Dan yang kedua adalah ayat – ayat yang hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai, seperti ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu balaghah.

Ayat-ayat mutasyâbih mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

1.    Mutasyâbih dari aspek lafal saja. Artinya, terdapat lafal tertentu dalam suatu ayat yang tidak pasti maksudnya disebabkan oleh 1) lafal tersebut gharîb (asing) atau jarang digunakan, 2) lafal tersebut musytarak (mempunyai makna ganda), 3) ringkasnya ungkapan, dan 4) susunan lafalnya.

a.                   Mutasyâbih karena asingnya suatu lafal. Misalnya, dalam contoh QS ‘Abasa (80) ayat 27 -31 :

فَأَنْۢبَتْنَا فِيْهَا حَبَّا (٢٧) وَعِنَبًا وَ قَضْبًا (٢٨) وَ زَيْتُونًا وَ نَخْلاً (٢٩) وَ حَدَآئِقَ غُلْبًا (٣٠) وَ فٰكِهَةً وَ أَبًّا (٣١)

Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (QS. ‘Abasa (80): 27-31)

Kata أَبًّا jarang digunakan, sehingga maknanya tidak jelas atau tidak begitu populer. Kata tersebut dalam ayat ini diartikan kepada rumput-rumputan. Ash-Shabuni memaknai kata أَبًّا itu dengan ‘segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh binatang, seperti rumput”. Contoh lain dari mutasyâbih lafal adalah  يَزِفُّوْن yang terdapat dalam firman Allah pada Surah Ash-Shaffat (37) ayat 94 :

فَأَقْبَلُوٓاْ إِلَيْهِ يَزِفُّوْنَ (٩٤)

Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. (QS. Ash-Shaffat (37): 94)

Kata yaziffûn dalam ayat ini berarti “bergegas” atau semakna dengan kata yasra‘ûna fî al-masyyi (mereka bersegera dalam berjalan).

2.     Mutasyâbih disebabkan oleh gandanya makna suatu lafal (musytarak), seperti kata  قُرُوءٍ  dalam firman Allah Surah Al-Baqarah (2) ayat 228:

وَٱلمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوٓءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah (2) :228)

Qurûsecara harfiah mempunyai dua arti, yaitu suci (ath-thahru) dan haid. Tidak ada kejelasan dan kepastian mana diantara kedua makna itu harus dipakai dalam ayat ini. Maka itulah sebabnya para ulama tidak sepakat memaknainya: ada yang mengartikannya kepada suci dan adapula yang mengartikan kepada haid.

3.    Mutasyâbih dari segi susunan lafalnya adalah seperti yang terlihat dalam firman Allah Surah An-Nisâ’ (4) ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِي ٱليَتٰمٰى فَٱنْكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. (QS. An-nisâ (4): 3)

Ayat ini diungkapkan dalam bentuk susunan yang sangat ringkas, sehingga jawab syaratnya dibuang. Kata fankiha dala ayat ini bukanlah jawab syarat sebelumnya, sebab hal itu bisa bermakna bahwa suami tidak harus berlaku adil terhadap istrinya, yang bukan anak yatim asuhannya. Maksud ayat itu adalah “jika ada diantara kamu memelihara anak yatim, kemudian ingin menikahinnya, tetapi meraa takut kalau ia enggan memberikan mas kawin kepada anak yatimtersebut, maka janganlah menikahi anak yatim itu. Nikahilah perempuan biasa yang kamu tidak merasa enggan memberikan mas kawin kepadanya”. Hal ini dapat dipahami dari sebab nuzul ayat.

4.   Mutasyabih dari aspek makna saja , seperti ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah, keadaan hari kiamat, surga, dan neraka.

5.     Mutasyabih dari aspek lafal dan makna. Hal ini mencakup beberapa segi, yaitu sebagai berikut:

a.        dari segi kuantitas, seperti umum dan khusus. Jadi, lafal-lafal umum yang terdapat dalam suatu ayat termasuk ayat mutasyabih, sebab ia mengandung ketidak jelasan makna; apakah ia diberlakukan secara umum atau ditakhsis oleh ayat lain.

b.         Dari segi kualitas, seperti wajib dan sunnah. Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan kepada wajib,seperti yang ditunjukkan oleh kaidah ushul الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ . Akan tetapi, tidaklah semua amar (kata perintah) itu menunjukkan kepada wajib. Ungkapan amar selain dalam makna wajib, ia juga mempunyai makna irsyâd, sunnah, taswiyah, tahdîd, dan lain sebagainya. maka suatu kata perintah yang terdapat dalam Al-qur’an mempunyai beberapa kemungkinan makna. Oleh sebab itu, ungkapan perintah dalam Al-qur’an termasuk dalam kategori ayat mutasyabih, kecuali perintah tertentu yang telah disepakati maknanya sebagai wajib, seperti perintah shalat dan berwudhu sbeblum shalat. Disebabkan oleh ketidakjelasan makna suatu kata perintah, maka muncul penafsiran yang berbeda antara seorang ulama dengan ulama lainnya seperti perintah menulis dalam transaksi jual beli tidak tunai.

c.                Dari segi masa, seperti nâsikh dan mansûkh.

d.                  Dari segi syarat sah melakukan perintah yang terkandung dalam suatu ayat.Pembagian ayat mutasyâbih di atas didasarkan pada makna yang terkandung didalam ayat. Dan apabila dilihat dari aspek kemungkinan manusia mengetahui maknanya, maka mutasyâbih dapat pula dikategorikan kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1). Ayat yang tertutup kemungkinan bagi manusia mengetahui maknanya.

2).  Ayat yang dapat diketahui maksud oleh manusia.

 

C.     Perbedaan Para Ulama tentang Ayat Mutasyânih

Perbincangan di atas menunjukkan adanya dua macam konsep mutasyabih, yaitu ayat atau yang lafal yang tidak jelas atau pasti maknanya dan ayat yang tidak mampu ditangkap maknanya oleh manusia. Mengenai yang pertama, para ulama sepakat tentang kebolehan dan kemampuan manusia menangkap maknanya. Akan tetapi, mengenai yang terakhir, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama menegaskan tertutup kemungkinan  bagi manusia memahami ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong (al-hurûf al-muqaththa’ah) yang terdapat diawal surah. Manusia cukup mengimaninya saja, bagaimana maksud dan maknanya cukup diserahkan kepada tuhan saja.

Pendapat kedua menegaskan pula bahwa tidak ada ayat Alquran yang tidak mungkin dapat diketahui maknanya oleh manusia. Oleh sebab itu, mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut, termasuk di antaranya sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong yang terdapat di awal surah. Menurut mereka, AlQuran diturunkan untuk manusia maka manusia tentu harus dapat memahaminya.

Perbedaan pendapat di atas dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam memahami Surah Ali-Imran (3) ayat 7, yaitu :

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ ءَايٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتٰبِ وَأُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ  ۦ ۗ  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ  ۥٓ إِلَّا ٱللّٰهُ ۗ وَٱلرّٰسِخُونَ فِي ٱلعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ  ۦ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إلَّآ أُوْلُواْ ٱاْلأَلْبٰبِ (٧)

Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semua itu dari sisi tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Âli ‘Imrân (3) ayat 7)

Pendapat pertama memahami ayat ini bahwa “hanya Allah yang mengetahui makna ayat mutasyâbihât, orang-orang yang berilmu cukup mengimaninya saja; mereka tidak perlu mencari takwilnya”. Sedangkan pendapat kedua memahami pula bahwa “hanya Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya sajalah yang dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbihât itu”.

Berdasarkan pendapat kedua ini, maka banyak mufassir menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât seperti kata istiwâ, yad, dan wajh yang dinisbahkan kepada Tuhan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh kaum mu’tazilah dan mufassir lainnya. Termasuk di antara mereka itu kaum sufi, mereka menakwilkan huruf-huruf potong yang terdapat diawal surah, seperti Ibnu Arabi. Ia menakwilkan ayat كهيعص Kepada Kâfi (yang mencukupkan), Al-Hâdi (Yang Memberi Petunjuk), Âmin (Yang Mengamankan), ‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), dan Shâdiq (Yang Maha benar), الر ditakwilkan kepada أَنَا اللّٰهُ أَرَى (Saya Allah Melihat) dan طسم diartikan pula kepada tursina musa. Selain Ibnu Arabi, Abi Thahir bin Ya’qub dalam tafsirnya “Tanwirul miqbas min Tafsir Ibnu Abbas” juga menakwilkan huruf-huruf muqaththa’ah yang terdapat di awal surah.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh 

D.       Hikmah Ayat Mutasyâbih dalam Alquran 

Terdapat tiga hikmah atau manfaat bagi manusia ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât, yaitu sebagai berikut.

1.             Memberikan ruang gerak yang luas kepada umat islam dalam persoalan pengamalan isi Alquran. Seorang muslim tidak harus berpegang kepada makna tertentu saja, tetapi ia boleh mengamalkannya berdasarkan makna lainyang masih berhubungan dengan lafal.

2.       Memberikan kesadaran kepada manusia bahwa dirinya hamba yang lemah. Maka tidak semua permasalahan dapat dikaji,  dipahami, dan diketahui olehnya. Maka ketika berhadapan dengan ayat-ayat tersebut, seharusnya keyakinan manusia terhadap kemahabesaran Allah akan semakin bertambah.

3.          Ayat-ayat mutasyâbihât adalah salah satu uslûb yang digunakan Alquran untuk menarik perhatian manusia terhadapnya. Ia menggunakan huruf-huruf potong, misalnya, yang terdengar asing – terutama oleh masyarakat Arab dan tidak pernah terdengar kata itu sebelum turunnya Alquran. Pada mulanya perhatian tertuju kepada lafal asing tersebut, kemudian makna ayat berikutnya dan selanjutnya menimbulkan kesadaran diri atau keimanan. Maka itulah sebabnya, stelah huruf-huruf potong tersebut selalu diiringi oleh penjelasan mengenai Alquran seperti yang terlihat di awal surah Al-Baqarah (2), Âli ‘Imrân (3), Al-A‘râf (7), Yunûs (10), Hûd (11), Yusûf (12), Ar-Ra‘d (13), Ibrâhîm (14), Al-Hijr (15), dan Thâhâ (20).

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...