Nasikh mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan. Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis.
Nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang pertama.
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
a) Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b) Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c) Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.
1) Rukun Nasakh
a) Adat nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b) Nwsikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah.
c) Mansykh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d) Mansykh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
2) Syarat Nasakh
a) Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c) Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d) Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
3) Macam Nasakh
a) Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
b) Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.
c) Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perempuan tua yang telah menikah.
d) Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang akan berbicara kepada Nabi.
e) Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan 10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari A’isyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
f) Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulam Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
4) Pembagian Naskh
a) Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur.
b) Dalam undang-undang modern banyak juga terjadi, misalnya suatu undang-undang ditegaskan berlakunya untuk mengakhiri berlakunya undang-undang terdahulu yang sama materinya.
c) Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing, misalnya suatu nash positif dan yang lain negative, sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat pada ahli waris dinasakh oleh ayat mewaris.
a) Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.
b) Nasakh juz’i, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang dicakup oleh nash kedua. Contohnya ayat had qadzab dengan ayat li’an karena dalam ayat qadzab dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam umum ayat qadzab.
5) Cara Mengetahui
a) Nash yang secara lahirnya menunjukkan yang satu menjadi nasikh terhadap yang lain. Firman Allah dalam QS. Al Baqarah (2): 187,
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.”
Ayat tersebut berarti menasakh hukum sebelumnya tentang tidak bolehnya bersetubuh, makan dan minum di malam hari.
b) Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Hal itu mendorong arti bahwa nasikhnya hukum ijma’ tetapi adalah nash juga, sedangkan ijma’ hanya memberi petunjuk mengenai nash mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda. Bila yang datang kemudian itu disebut nasikh dan yang terdahulu itu disebut mansukh.
6) Kategori Nasakh
a) Nasakh di mana ayatnya diubah dan hukumnya juga diubah. Maksudnya, secara tekstual ayat tersebut diganti, dan hukumnya juga diganti.
Contoh untuk kategori pertama (nasakh dalam sisi tekstual/ayatnya, sedangkan hukumnya masih berlaku), yaitu:
Menurut suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada satu ayat di Surah al-Ahzab yang menyatakan, jika ada orang berzina, sedangkan orang tersebut sudah atau pernah menikah, maka orang tersebut harus dirajam.
Ayat ini kemudian diangkat oleh Allah dan dihapus keberadaannya, sehingga tekstualnya menjadi tidak ada tapi hukumnya masih tetap berlaku. Mengapa bisa demikian? Karena diganti oleh ayat lain pada Surat An-Nuur ayat 2, yaitu: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nuur: 2)
Maksud ayat ini (QS. An-Nuur: 2) adalah, bahwa jika ada yang berzina, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali. Ini di antara hukum-hukum yang realitas terjadi, sehingga terlalu sulit untuk mengingkari adanya nasakh dan mansukh di dalam ayat tersebut. Ayatnya sudah tidak ada, tetapi hukumnya masih tetap diberlakukan oleh Rasulullah, bahkan hingga akhir zaman nanti.
b) Ayatnya diganti, tetapi hukumnya masih tetap berlaku.
Untuk kategori kedua, yaitu yang lafaz dan hukumnya dua-duanya dicabut. Contohnya adalah sebagai berikut:
Sayyidatuna Aisyah menyatakan, bahwa Rasulullah pernah mendiktekan ayat Al-Qur’an kepada mereka ketika itu, bahwa orang yang menyusui dan disusui akan mempunyai hubungan nasab sebagaimana ibu dan anak kandung minimal sepuluh kali. Tetapi ternyata ayat ini dicabut oleh Allah, termasuk juga hukumnya. Sebagai gantinya, sekali saja menyusui sepanjang itu sudah mengenyangkan, maka sudah dianggap memiliki hubungan nasab. Yang jelas hukum yang sepuluh kali itu dicabut.
c) Ayatnya masih ada di dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya kemudian dinyatakan sudah kadaluwarsa. Jenis ketiga ini yang paling banyak di dalam Al-Qur’an.
Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah (QS. Mujadilah : 12) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menfadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 yang artinya “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul ? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadilah: 13).
7) Contoh-Contoh Naskh
a. Firman Allah:
“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115) kemudian dinasakh oleh :
“Maka palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram” (QS. Al-Baqarah :144). Telah dikatakan, dan inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
b. Firmah Allah:
“ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yang itu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)…” (QS. Al-Baqarah: 240). Ayat ini dinasakh oleh:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah: 234). Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar, dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedang ayat kedua berkenaan dengan masalah ‘iddah. Dengan demikian maka tak ada pertentangan antara kedua ayat itu.
c. Firman Allah:
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapt mengalahkan dua ratus orang musuh…” (QS.Al-Anfal: 65). Ayat ini dinasakh oleh ayat berikutnya :
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Ia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang” (QS. Al-Anfal: 66).
d. Firman Allah:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat…”(QS. At-Taubah: 41). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya: “Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah dan atas orang-orang yang sakit…” (QS. At-Taubah: 91), dan oleh firman-Nya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)…” (QS. At-Taubah: 122).
8) Hikmah adanya Nasikh dan Mansykh
a) Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
b) Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
Baca juga artikel yang lain:
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
- Qira’atul Qur’an
- Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
- Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
- Kodifikasi Al-Qur'an
- Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
- Muhkam dan Mutasyabih
- Mafhum Mukhalafah
- Mantuq dan Mafhum
- I'jazul Qur'an
- Nasikh dan Mansukh