Pengertian Mudharabah, dasar hukum, jenis-jenis, rukun dan syarat, dan konsep bagi hasil dalam mudharabah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian
merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang
dianggap dapat mendukung aspek keadilan.Keadilan merupakan aspek mendasar dalam
perekonomian Islam (Antonio, 2001).Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam
suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah
satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.
Konsep ini terdapat unsur keadilan, di mana tidak ada
suatu pihak yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara pemilik
dana dan pengelola dana. Distribusi pembagian hasil usaha hanya didasarkan pada
aqad mudharabah, di mana pembagian hasil usaha didasarkan pada nisbah yang
telah disepakati di awal akad. Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut
merupakan konsekuensi bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari kesepakatan)
maka pihak penyedia dana akan menanggung kerugian manakala mudharib akan
menanggung kerugian managerial skill dan waktu serta nisbah keuntungan bagi
hasil yang akan diperolehnya.[1]
Pihak yang
melakukan perhitungan distribusi hasil usaha adalah “selalu mudharib”, karena
salah satu aturan dalam prinsip mudharabah mutlaqah pemilik dana memberi kuasa
penuh kepada mudharib untuk mengelola dana untuk mendapatkan hasil usaha.[2]
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa
pengertian mudharabah?;
b.
Apa dasar hukum mudharabah?;
c.
Apa
saja jenis-jenis mudharabah?;
d.
Apa saja rukun dan syarat mudharabah?;
e.
Bagaimana konsep bagi hasil dalam mudharabah?.
C.
Tujuan
a.
Untuk
mengetahui pengertian mudharabah;
b.
Untuk
mengetahui dasar hukum mudharabah;
c.
Untuk
mengetahui jenis-jenis mudharabah;
d.
Untuk mengetahui rukun dan syarat mudharabah;
e.
Untuk konsep bagi hasil dalam mudharabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah
berasal dari kata dhard, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Menurut Fatwa
Dewan Syariah Nasional ada beberapa akad yang bida dilaksanakan oleh LKS salah
satunya Fatwa DSN-MUI NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang mudharabah. Pembiayaan
mudharabah yang diatur oleh DSN-MUI tentu saja sesuai dengan syariah
yaitu, Alqur’an, surat 73, ayat 20, menyatakan:[3]
….وَاٰخَرُوْنَ
يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ….
20. ….dan yang lain
berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah….
Secara
teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana
pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal)yang menyediakan
seuruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib)
keuntungan usaha didapatkan dari akad mudharabah di bagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah
(prosesntase).
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud mudharabah adalah akad antara dua
pihak, pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak yang lain sebagai
pelaksana modal atau seseorang yang ahli dalam berdagang untuk
mengoperasionalkan modal tersebut dalam usaha-usaha produktif dan keuntungan
dari usaha tersebut dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Jika terjadi
kerugian, maka kerugian ditanggung oleh pemberi modal, sedangkan bagi pihak
pelaksana modal kerugiannya adakah kehilangan waktu, pikiran dan jerih payah
yang telah dicurahkan serta manajerial.[4]
B.
Dasar Hukum Mudharabah
Secara umum
kegiatan mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melaksanak usaha. Hal ini
ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah di syaratkan dalam islam berdasarkan pada
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
1)
Al-Qur’an
وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ
يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ
“...dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT...” (Q.S Al-Muzzammil : 20) Yang menjadi
wajhud-dilalah atau argumen dari Q.S alMuzzammil : 20 adalah adanya kata
yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu
perjalanan usaha.
فَاِذَا
قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ
اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ١٠
“Apabila telah ditunaikan shalat maka
bertebarlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT...” (Q.S Al-Jumu’ah
: 10) }
لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ
“Tidak ada dosa (halangan bagi kamu untuk mencari karunia
Tuhanmu...” (Q.S Al-Baqarah : 198)
Q.S al-Jumu’ah
: 10 dan Q.S al-Baqarah : 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan
upaya perjalanan usaha.[5]
2) Al-Hadits
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Syayidina Abbas bin Abdul
Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia
mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang
bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat
tersebut kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR
Thabrani)
عَنْ
صُهَيْبٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( ثَلَاثٌ
فِيهِنَّ اَلْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ
اَلْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ, لَا لِلْبَيْعِ ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ
بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
“Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda,“ Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah) (Mardani, 2012 :
196).
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib Radhiyallahu
Anhu,
ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُوَإِخْلاَطُ
الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ: اَلْبَيْعُاِلَى أَجَلٍ،
وَالْمُقَارَضَةُ،
“Ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan,
memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk di
jual” (HR Ibnu Majah) (Mardani, 2012 : 194).
3) Ijma Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah
berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu
Ubaid.
4) Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan mudharabah dengan
mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi musaqat, yaitu bagi hasil yang umum
dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama
dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan merawat isi
perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat (penyiram) mendapatkan bagi
hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put perkebunan
(pertanian). Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul maal) dianalogikan dengan
pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogikan dengan pengusaha
(entrepreneur).[6]
Mengingat dasar hukum muqasat lebih valid dan tegas yang diambil dari sunnah
Rasulullah Saw, maka metodologi qiyas dapat dapat dipakai untuk menjadi dasar
diperbolehkannya mudharabah (Dimyauddin Diuwani, 2008 : 227).
C. Jenis-jenis al-Mudharabah
Secara umum,
mudharabah terbagi menjadi dua jenis : mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
1)
Mudharabah muthlaqah
Transaksi
mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahubul maal dan mudharib
yang cakupnya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,
waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali
dicontohkan dengan ungkapan ifal ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul
maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.[7]
2)
Mudharabah muqayyadah
Mudharabah
muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqoh yaitu mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Jenis mudharabah ini
terbatas, sehingga sering disebut Restricted Investment Account (RIA).
Pada
prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak dimana shahib al mal tidak menetapkan
restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si mudharib, hal ini disebabkan karena
ciri khas mudharabah zaman dahulu yakni berdasarkan hubungan langsung dan
personal yang melibatkan kepercayaan (amanah) yang tinggi. Bentuk mudharabah
ini disebut mudharabah muthlaqah, atau dalam bahasa inggrisnya dikenal sebagai
Unrestricted Investment Account (URIA). Namun demikian, apabila dipandang
perlu, shahib al-mal boleh menetapkanbatasan-batasan atau syarat-syarat
tertentu guna menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian. Syarat-syarat atau
batasan-batasan ini harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila si mudharib
melanggar batsan-batsan ini, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul. Jenis mudharabah muqayyadah (mudaharabah terbatas, atau dalam bahasa
inggrisnya, restricted investment account). Jadi pada dasarnya, terdapat dua
bentuk mudharabah, yakni muthlaqah dan muqayyadah.[8]
D.
Rukun dan Syarat Mudharabah
1.
Rukun Mudharabah
Akad mudharabah
memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama guna menentukan sahnya
akad tersebut, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah
adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang menunjukkan ijab dan qabul dengan
menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata searti dengannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut ulama Malikiyah
bahwa rukun mudharabah terdiri dari : Ra’sul mal (modal), al-‘amal (bentuk
usaha), keuntungan, ‘aqidain (pihak yang berakad). Adapun menurut ulama
Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukkan
makna ijab dan qabul itu. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah rukun mudharabah
ada enam yaitu : a. Pemilik dana (shahibul mal) b. Pengelola (mudharib) c. Ijab
qabul (sighat)d. Modal (ra’sul mal) e. Pekeraan (amal) f. Keuntungan atau
nisbah46 Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga,
yaitu : a. Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani) b. Modal (ma’qud alaih)
c. Shighat (ijab dan qabul ) Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa
rukun pada akad mudharabah pada dasarnya adalah:
a. Pelaku (shahibul mal dan mudharib)→Dalam akad mudharabah harus
ada dua pelaku, dimana ada yang bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal)
dan yang lainnya menjadi pelaksana usaha (mudharib).
b. Obyek mudharabah ( modal dan kerja) → Obyek mudharabah merupakan
konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal
menyertakan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha
menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa
bentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang
diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management
skill, dan lain-lain.[9]
c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul) →Persetujuan
kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum
(saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan
perannnya untuk mengkontribusikan kerja.
d. Nisbah keuntungan→Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus
dalam akad mudharabah. Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh
shahibul mal ataupun mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari penyertaan
modalnya, sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya.
2. Syarat Mudharabah
Syarat-syarat
sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri.
Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Shahibul mal dan mudharib → Syarat keduanya adalah harus mampu
bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil.50 Hal itu karena mudharib
berkerja atas perintah dari pemilik modal dan itu mengandung unsur wakalah yang
mengandung arti mewakilkan. Syarat bagi keduanya juga harus orang yang cakap
untuk melakukan perbuatan hukum, dan tidak ada unsur yang menggangu kecapakan,
seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain itu, jumhur ulama juga tidak
mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam, karena itu akad mudharabah
dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-muslim.[10]
E.
Konsep Bagi
Hasil dalam Mudharabah
1) Konsep Nisbah Laba
Sebagai sebuah kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam
proses dan bersatu dalam tujuan. Mudharabah
memerlukan beberapa kesepakatan kedua pihak antara lain mengenai manajemen mudharabah. Ketika mudharabah telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerjasama mudharabah maka saat itulah ia mulai
mengelola modal shahibul maal.
Pengelolaan usaha tersebut membutuhkan kreatifitas dan ketrampilan tertentu
yang kadang-kadang hanya mudharib
sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu, kebebasan mudharib dalam merencanakan, merancang dan mengatur usaha merupakan
faktor yang menentukan.[11]
Pembahasan paling menarik dalam mudharabah adalah sistem bagi hasilnya.
Karena termasuk dalam persyaratan utama untuk melaksanakan mudharabah adalah
adanya pembagian hasil usaha atau keuntungan, jika perkonsingan tersebut
berhasil dan begitu juga dengan ketentuan penanggung kerugian, jika mudharabah
tersebut bangkrut.[12]
Menurut ketentuan Islam, pembagian keuntungan yang berlaku dari tiap-tiap
kontrak usaha yang dibuat berbeda-beda antara satu kontrak dengan yang lainnya.
Walaupun berbeda namun tidak terlepas dari asas kesepakatan bersama dan tidak
saling mendhalimi. [13]
Jika kontrak kerja yang dibuat itu berupa murni (pihak yang berkongsi
sama-sama memberikan modal dan sama-sama mengelolahnya) maka nisbah keuntungan
kedua pihak adalah ditentukan dari besar modal yang diberikan. Jika besar modal
yang diberikan itu sama dengan pihak lainnya maka besarnya nisbah keuntungan
adalah sama. Namun jika salah satu pihak lebih banyak sumbangan tenaganya dalam
usaha tersebut maka diperbolehkan nisbah keuntungan tersebut lebih besar dari
pihak yang sedikit tenaganya. Inilah keadilan yang diinginkan dalam Islam. [14]
Pembagian nisbah keuntungan pada kontrak mudharabah disyaratkan bahwa bagi
hasil harus seadil-adilnya dan berdasarkan atas kesepakatan bersama. Diantara
bagi hasil menurut syariah adalah:[15]
1. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang
mungkin dihasilkan. Tidak boleh pembagian hasil keuntungan dengan menyebut
jumlah nominal uang.[16]
2. Kesepakatan ratio prosentase harus dicapai melalui negosiasi antara pihak
yang berkongsi dan dinyatakan dalam kontrak kerja.
2) Profit and loss Sharing, Revenue Sharing dan Profit Sharing
Konsep profit and loss sharing,
dimana untung rugi dari sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang
berkongsi. Ketentuan diatas merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad
mudharabah yang tergolong dalam
kontrak investasi dalam dunia modern.[17]
Jika suatu usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan
didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka
dari itu kontrak ini menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan
nisbah saja, yaitu prosentase hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba.[18]
Reveneu sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional.
Konsep reveneu sharing adalah besaran
yang diacu pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan
produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi. Hal itu
berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika mendapat laba kotor
dari usaha. Jadi biaya operational dibebankan kepada mudharib atau pekerja. Hal
itu sangat merugikan bagi mudharib,
karena dia harus menanggung biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul maal.[19]
Bentuk pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara reveneu dan biaya operasional untuk suatu produksi. Baik konsep reveneu sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang
terjadi pada bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.[20]
Disinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan
bersama, bukan untuk keuntungan satu pihak.[21] Prinsip syariah yang
berdasarkan bagi hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad
kerjasama usaha atau bisnis anatara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolahnya yaitu
yang disebut sebagai mudharib.[22]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- Makalah Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Dasar Umum Bisnis Islam
- Sejarah Bahasa Indonesia
- Makalah Tentang Sistem Barter
- Makalah Hadis-Hadis Tentang Etika Bisnis Dalam Islam
- Makalah Hukum Jaminan Dalam Bank Syari’ah
- Pengertian Kebenaran
- Makalah Tentang Mudharabah
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut. Rukun-rukun mudharabah yaitu pemilik modal (shahibul mal),
pengelola(mudharib); objek yang diakadkan (modal, jenis usaha, keuntungan), dan
shigat (akad).
Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya
perbedaan-perbedaan keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam
mudharabah (qiradh) juga tergantung kepada keadaan.
Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas
izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari pemilik barang
tersebut dalam pengelolaannya. Jika pemilik modal meninggal dunia,
maka mudharabah menjadi fasakh(batal), bila mudharabah telah fasakh, maka
pengelola modal tidak berhakmengelola modal mudharabah lagi. Jika
pengelola bertindak menggunakan modaltersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa
pemilik modal telah meninggal dantanpa izin para ahli waris, maka perbuatan
seperti ini dianggap sebagai ghasab.
Daftar pustaka
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1992. Apa
dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Veresia Grafika.
Wiroso. 2005. Penghimpunan Dana dan
Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Sa’diyah, Mahmudatus. 2019. Fikih Muamalah II. Jawa Tengah: UNISNU PRESS.
Yazid, Muhammad.2017. Fiqh Muamalah Ekonomi
Islam. Surabaya:
IMTIYAZ.
http://eprints.walisongo.ac.id/. Diakses 07 April 2020. Pukul 20.57 WIB
http://repository.uin-suska.ac.id/. Diakses 07 April 2020. Pukul 20.57 WIB
[1]
Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan
Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: PT. Veresia Grafika, 1992, Hal. 21.
[2]
Wiroso, Penghimpunan Dana dan
Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2005, Hal. 88 -89.
[3]H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 151.
[4]Mahmudatus Sa’diyah, Fikih Muamalah II, (Jawa Tengah: UNISNU PRESS, 2019), hlm 61-63.
[5]http://repository.ump.ac.id/ hlm 11-13.
[6]Ibid. hlm 13-14.
[7]Ibid. hlm 14-15.
[8]http://repository.uin-suska.ac.id/ hlm 25-26.
[9]http://eprints.walisongo.ac.id/ hlm 28-30.
[10]Ibid. hlm 30-31.
[11]
Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), hal. 1. Dikutip dari: H. Muhammad
Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 159.
[12]
H. Muhammad Yazid,
Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 161.
[13]
Ibid;161.
[14]
Ibid;161.
[15]
H. Muhammad
Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 162.
[16]
Ibid;162.
[17]
Ibid;164.
[18]
Ibid;164.
[19]
Ibid;167.
[20] H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah
Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 167.
[21] Ibid;167.
[22] Ibid;167-168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar