HOME

06 Maret, 2023

MAKALAH TENTANG MUDHARABAH

 Pengertian Mudharabah, dasar hukum, jenis-jenis, rukun dan syarat, dan konsep bagi hasil dalam mudharabah

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis.Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen.Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah.

Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan.Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001).Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.

Konsep ini terdapat unsur keadilan, di mana tidak ada suatu pihak yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara pemilik dana dan pengelola dana. Distribusi pembagian hasil usaha hanya didasarkan pada aqad mudharabah, di mana pembagian hasil usaha didasarkan pada nisbah yang telah disepakati di awal akad. Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan konsekuensi bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari kesepakatan) maka pihak penyedia dana akan menanggung kerugian manakala mudharib akan menanggung kerugian managerial skill dan waktu serta nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya.[1]

 Pihak yang melakukan perhitungan distribusi hasil usaha adalah “selalu mudharib”, karena salah satu aturan dalam prinsip mudharabah mutlaqah pemilik dana memberi kuasa penuh kepada mudharib untuk mengelola dana untuk mendapatkan hasil usaha.[2]

 

 

 

B.     Rumusan Masalah

a.       Apa pengertian mudharabah?;

b.      Apa dasar hukum mudharabah?;

c.       Apa saja jenis-jenis mudharabah?;

d.      Apa saja rukun dan syarat mudharabah?;

e.       Bagaimana konsep bagi hasil dalam mudharabah?.

 

C.    Tujuan

a.       Untuk mengetahui pengertian mudharabah;

b.      Untuk mengetahui dasar hukum mudharabah;

c.       Untuk mengetahui jenis-jenis mudharabah;

d.      Untuk mengetahui rukun dan syarat mudharabah;

e.       Untuk konsep bagi hasil dalam mudharabah.

 


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dhard, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional ada beberapa akad yang bida dilaksanakan oleh LKS salah satunya Fatwa DSN-MUI NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang mudharabah. Pembiayaan mudharabah yang diatur oleh DSN-MUI tentu saja sesuai dengan syariah yaitu, Alqur’an, surat 73, ayat 20, menyatakan:[3]

….وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ….

20.  ….dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah….

Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal)yang menyediakan seuruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib) keuntungan usaha didapatkan dari akad mudharabah di bagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (prosesntase).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud mudharabah adalah akad antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak yang lain sebagai pelaksana modal atau seseorang yang ahli dalam berdagang untuk mengoperasionalkan modal tersebut dalam usaha-usaha produktif dan keuntungan dari usaha tersebut dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Jika terjadi kerugian, maka kerugian ditanggung oleh pemberi modal, sedangkan bagi pihak pelaksana modal kerugiannya adakah kehilangan waktu, pikiran dan jerih payah yang telah dicurahkan serta manajerial.[4]

 

 

B.     Dasar Hukum Mudharabah

Secara umum kegiatan mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melaksanak usaha. Hal ini ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah di syaratkan dalam islam berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

1)      Al-Qur’an

وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ

“...dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...” (Q.S Al-Muzzammil : 20) Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari Q.S alMuzzammil : 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ١٠

 “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT...” (Q.S Al-Jumu’ah : 10) }

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ

“Tidak ada dosa (halangan bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu...” (Q.S Al-Baqarah : 198)

Q.S al-Jumu’ah : 10 dan Q.S al-Baqarah : 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.[5]

2) Al-Hadits

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Syayidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)

عَنْ صُهَيْبٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( ثَلَاثٌ فِيهِنَّ اَلْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ اَلْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ, لَا لِلْبَيْعِ ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ

“Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda,“ Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah) (Mardani, 2012 : 196).

Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib Radhiyallahu Anhu,

ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُوَإِخْلاَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِاَلْبَيْعُاِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ،

“Ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk di jual” (HR Ibnu Majah) (Mardani, 2012 : 194).

3) Ijma Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.

4) Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat (penyiram) mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put perkebunan (pertanian). Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul maal) dianalogikan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogikan dengan pengusaha (entrepreneur).[6] Mengingat dasar hukum muqasat lebih valid dan tegas yang diambil dari sunnah Rasulullah Saw, maka metodologi qiyas dapat dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah (Dimyauddin Diuwani, 2008 : 227).

C.  Jenis-jenis al-Mudharabah

Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis : mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.

1)      Mudharabah muthlaqah

Transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahubul maal dan mudharib yang cakupnya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan ifal ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.[7]

2)      Mudharabah muqayyadah

Mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqoh yaitu mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Jenis mudharabah ini terbatas, sehingga sering disebut Restricted Investment Account (RIA).

Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak dimana shahib al mal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si mudharib, hal ini disebabkan karena ciri khas mudharabah zaman dahulu yakni berdasarkan hubungan langsung dan personal yang melibatkan kepercayaan (amanah) yang tinggi. Bentuk mudharabah ini disebut mudharabah muthlaqah, atau dalam bahasa inggrisnya dikenal sebagai Unrestricted Investment Account (URIA). Namun demikian, apabila dipandang perlu, shahib al-mal boleh menetapkanbatasan-batasan atau syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian. Syarat-syarat atau batasan-batasan ini harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila si mudharib melanggar batsan-batsan ini, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Jenis mudharabah muqayyadah (mudaharabah terbatas, atau dalam bahasa inggrisnya, restricted investment account). Jadi pada dasarnya, terdapat dua bentuk mudharabah, yakni muthlaqah dan muqayyadah.[8]

 

D.    Rukun dan Syarat Mudharabah

1.      Rukun Mudharabah

Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata searti dengannya. Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut ulama Malikiyah bahwa rukun mudharabah terdiri dari : Ra’sul mal (modal), al-‘amal (bentuk usaha), keuntungan, ‘aqidain (pihak yang berakad). Adapun menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah rukun mudharabah ada enam yaitu : a. Pemilik dana (shahibul mal) b. Pengelola (mudharib) c. Ijab qabul (sighat)d. Modal (ra’sul mal) e. Pekeraan (amal) f. Keuntungan atau nisbah46 Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu : a. Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani) b. Modal (ma’qud alaih) c. Shighat (ijab dan qabul ) Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa rukun pada akad mudharabah pada dasarnya adalah:

a. Pelaku (shahibul mal dan mudharib)→Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, dimana ada yang bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) dan yang lainnya menjadi pelaksana usaha (mudharib).

b. Obyek mudharabah ( modal dan kerja) → Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyertakan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.[9]

c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul) →Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan kerja.

d. Nisbah keuntungan→Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad mudharabah. Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh shahibul mal ataupun mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari penyertaan modalnya, sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya.

2. Syarat Mudharabah

Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

a.       Shahibul mal dan mudharib → Syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil.50 Hal itu karena mudharib berkerja atas perintah dari pemilik modal dan itu mengandung unsur wakalah yang mengandung arti mewakilkan. Syarat bagi keduanya juga harus orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dan tidak ada unsur yang menggangu kecapakan, seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain itu, jumhur ulama juga tidak mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam, karena itu akad mudharabah dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-muslim.[10]

 

E.     Konsep Bagi Hasil dalam Mudharabah

1)      Konsep Nisbah Laba

Sebagai sebuah kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Mudharabah memerlukan beberapa kesepakatan kedua pihak antara lain mengenai manajemen mudharabah. Ketika mudharabah telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerjasama mudharabah maka saat itulah ia mulai mengelola modal shahibul maal. Pengelolaan usaha tersebut membutuhkan kreatifitas dan ketrampilan tertentu yang kadang-kadang hanya mudharib sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu, kebebasan mudharib dalam merencanakan, merancang dan mengatur usaha merupakan faktor yang menentukan.[11]

Pembahasan paling menarik dalam mudharabah adalah sistem bagi hasilnya. Karena termasuk dalam persyaratan utama untuk melaksanakan mudharabah adalah adanya pembagian hasil usaha atau keuntungan, jika perkonsingan tersebut berhasil dan begitu juga dengan ketentuan penanggung kerugian, jika mudharabah tersebut bangkrut.[12]

Menurut ketentuan Islam, pembagian keuntungan yang berlaku dari tiap-tiap kontrak usaha yang dibuat berbeda-beda antara satu kontrak dengan yang lainnya. Walaupun berbeda namun tidak terlepas dari asas kesepakatan bersama dan tidak saling mendhalimi. [13]

Jika kontrak kerja yang dibuat itu berupa murni (pihak yang berkongsi sama-sama memberikan modal dan sama-sama mengelolahnya) maka nisbah keuntungan kedua pihak adalah ditentukan dari besar modal yang diberikan. Jika besar modal yang diberikan itu sama dengan pihak lainnya maka besarnya nisbah keuntungan adalah sama. Namun jika salah satu pihak lebih banyak sumbangan tenaganya dalam usaha tersebut maka diperbolehkan nisbah keuntungan tersebut lebih besar dari pihak yang sedikit tenaganya. Inilah keadilan yang diinginkan dalam Islam. [14]

Pembagian nisbah keuntungan pada kontrak mudharabah disyaratkan bahwa bagi hasil harus seadil-adilnya dan berdasarkan atas kesepakatan bersama. Diantara bagi hasil menurut syariah adalah:[15]

1.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan. Tidak boleh pembagian hasil keuntungan dengan menyebut jumlah nominal uang.[16]

2.      Kesepakatan ratio prosentase harus dicapai melalui negosiasi antara pihak yang berkongsi dan dinyatakan dalam kontrak kerja.

2)      Profit and loss Sharing, Revenue Sharing dan Profit Sharing

Konsep profit and loss sharing, dimana untung rugi dari sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang berkongsi. Ketentuan diatas merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah yang tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia modern.[17]

Jika suatu usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka dari itu kontrak ini menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu prosentase hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba.[18]

Reveneu sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional. Konsep reveneu sharing adalah besaran yang diacu pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi. Hal itu berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika mendapat laba kotor dari usaha. Jadi biaya operational dibebankan kepada mudharib atau pekerja. Hal itu sangat merugikan bagi mudharib, karena dia harus menanggung biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul maal.[19]

Bentuk pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara reveneu dan biaya operasional untuk suatu produksi. Baik konsep reveneu sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang terjadi pada bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.[20]

Disinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama, bukan untuk keuntungan satu pihak.[21] Prinsip syariah yang berdasarkan bagi hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha atau bisnis anatara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolahnya yaitu yang disebut sebagai mudharib.[22]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

  1. Makalah Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Dasar Umum Bisnis Islam
  2. Sejarah Bahasa Indonesia
  3. Makalah Tentang Sistem Barter
  4. Makalah Hadis-Hadis Tentang Etika Bisnis Dalam Islam
  5. Makalah Hukum Jaminan Dalam Bank Syari’ah
  6. Pengertian Kebenaran
  7. Makalah Tentang Mudharabah

 

Bab III

Penutup

Kesimpulan

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.

Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Rukun-rukun mudharabah yaitu pemilik modal (shahibul mal), pengelola(mudharib); objek yang diakadkan (modal, jenis usaha, keuntungan), dan shigat (akad).

Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung kepada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya.  Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh(batal), bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak berhakmengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modaltersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dantanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab.

 

Daftar pustaka

Antonio, Muhammad Syafi’i. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Veresia Grafika.

Wiroso. 2005. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sa’diyah, Mahmudatus. 2019. Fikih Muamalah II. Jawa Tengah: UNISNU PRESS.

Yazid, Muhammad.2017.  Fiqh Muamalah Ekonomi Islam. Surabaya: IMTIYAZ.

http://eprints.walisongo.ac.id/. Diakses 07 April 2020. Pukul 20.57 WIB

http://repository.uin-suska.ac.id/. Diakses 07 April 2020. Pukul 20.57 WIB



[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: PT. Veresia Grafika, 1992, Hal. 21.

[2] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, Hal. 88 -89.

[3]H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 151.

[4]Mahmudatus Sa’diyah, Fikih Muamalah II, (Jawa Tengah: UNISNU PRESS, 2019), hlm 61-63.

[5]http://repository.ump.ac.id/ hlm 11-13.

[6]Ibid. hlm 13-14.

[7]Ibid. hlm 14-15.

[8]http://repository.uin-suska.ac.id/ hlm 25-26.

[9]http://eprints.walisongo.ac.id/ hlm 28-30.

[10]Ibid. hlm 30-31.

[11] Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 1. Dikutip dari: H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 159.

[12] H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 161.

[13] Ibid;161.

[14] Ibid;161.

[15] H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 162.

[16] Ibid;162.

[17] Ibid;164.

[18] Ibid;164.

[19] Ibid;167.

[20] H. Muhammad Yazid, Fiqh Muamalah Ekonomi Islam, (Surabaya: IMTIYAZ, 2017), hlm 167.

[21] Ibid;167.

[22] Ibid;167-168.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...