BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Jaminan (Kafalah)
Jaminan dalam syariah disebut al-kafalah
(guaranty). Al-kafalah berasal dari
kata ka-fa-la (menanggung) merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Kafalah juga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Pada dasarnya akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan
yang bisa dijalankan oleh perusahaan atau lembaga keuangan syari’ah, seperti
bank syari’ah, pegadaian syari’ah.
Kafalah mempunyai beberapa sinonim, antara lain hamalah, damanah, dan za’amah. Kafalah secara etimologi menurut
Ibnu Abidin adalah sama dengan al-dammu yang berarti memlihara atau menanggung.
Hal ini bisa dilihat dala firman Allah surat Ali Imron (3) ayat 37 yang artinya
“Allah menjadikan Zakariya sebagai pemeliharaannya.”[1]
Al-Haskafi mendefinisikan kafalah
sebagai jaminan yang diberikan seseorang kepada orang lain terkait dengan jiwa
atau harta yang di ghasab dan
sejenisnya.
Kalangan Malikiyyah, Syafi’iyah dan Hanbali mendefinisikan kafalah sebagai jaminan yang diberikan
seseorang kepada orang lain yang mempunyai tanggung jawab menunaikan hak
membayar hutang.[2] Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No. 11/DSN/MUI/VI/2000 mendefinisikan kafalah sebagai jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul’anhu, ashil).
Kafalah di dunia perbankan syariah dikenal sebagai Bank Garansi (BG), yaitu
jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya
kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi
kewajibannya.
Dalam pemberian garansi, bank biasanya meminta setoran jaminan sejumlah
jaminan tertentu dari total nilai objek yang dijaminkan. Disamping itu, bank
memungut biaya sebagai ju’alah dan
juga biaya administrasi.
B.
Landasan
Hukum Kafalah
Landasan
hukum kafalah berasal dari Al-quran,
sunnah, dan kesepakatan para ulama’. Adapun landasannya sebagai berikut:
a.
Al-qur’an[3]
Firman
Allah dalam Q.S. Yusuf (12) : 72
زَعِيمٌ بِهِۦ
وَأَنَا۠ بَعِيرٍ حِمْلُ بِهِۦ جَآءَ
وَلِمَن ٱلْمَلِكِ صُوَاعَ نَفْقِدُ
قَالُوا۟
72.
Orang yang berteriak dan kawan-kawannya berkata kepada saudara-saudara Yusuf,
"Kami kehilangan penakar milik Raja yang biasa digunakan untuk menakar
bahan makanan. Siapapun yang menyerahkan penakar milik Raja itu sebelum kami
melakukan pemeriksaan akan mendapatkan imbalan berupa bahan makanan sebanyak
satu muatan seekor unta. Dan aku menjamin hal itu pasti akan
didapatkannya."
Firman
Allah Q.S. Al-Maidah (5) : 2
وَالْعُدْوَانِ الْاِثْمِ عَلَ تَعَاوَنُوْا وَلَا وَالتَّقْوٰىۖ الْبِرِّ عَلَى وَتَعَاوَنُوْا
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Dalam
sabda Rosulullah SAW:
“Allah
menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”
Hadis
Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan diantara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram , dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat ynag
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
c. Ijma’
Ulama
dan kaum muslim bersepakat bahwa kafalah
dibolehkan karena masyarakat membutuhkan
akad semacam ini. Ada dua alasannya, yaitu:
1. Dapat
membantu meringankan beban debitur, dan
2. Dapat
membantu kreditur, karena dengan adanya jaminan kreditur tidak lagi khawatir
debitur tidak mampu membayarnya.
C. Jenis-jenis Kafalah
Mnurut
Syafi’I Antonio, jenis-jenis kafalah
yaitu:
a. Kafalah
bin nafs
Merupakan
akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh, dalam
praktik perbankan bentuk kafalah bin nafs adalah seorang nasabah yang
mendapat penbiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau
pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun,
tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika
nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
b. Kafalah
bin maal
Kafalah
bin maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c. Kafalah bit-taslin
Jenis
kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat
dilaksakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama
dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan bagi bank
dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee)
kepada nasabah itu.
d. Kafalah
al-munjazah
Adalah
jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan
tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam
bentuk perfonce bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim dikalangan
perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad.
e. Kafalah
al-muallaqoh
Bentuk
jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh
industry perbankan maupun asuransi.[4]
D. Syarat
dan rukun kafalah
1. Pihak Penjamin (Kafiil)
a. Baligh
(dewasa) dan berakal sehat.
b. Berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak
Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a. Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b. Dikenal oleh penjamin.
3. Pihak
Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a. Diketahui
identitasnya.
b. Dapat
hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c. Berakal
sehat.
4. Obyek
Penjaminan (Makful Bihi)
a. Merupakan
tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan.
b. Bisa
dilaksanakan oleh penjamin.
c. Harus
merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan.
d. Harus
jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e. Tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan)[5]
E. Contoh
Penerapan Jaminan pada Bank Syariah
Jaminan
diperlukan selain sebagai pemenuhan atas ketentuan Undangundang perbankan, juga
merupakan salah satu kontra garansi atas kemungkinan terjadinya resiko yang
harus ditanggung oleh pihak bank, menurut pandangan Islam jaminan merupakan
ketentuan yang disyariatkan (Al-Baqarah 283)7 , dapat disimpulkan dari ayat
diatas bahwa resiko adalah sesuatu yang harus diperhitungkan karena bank
sebagai lembaga intermediasi tidak hanya mengelola
dana yang ada padanya tapi juga perlu diingat dana tersebut termasuk didalamnya
dana masyarakat yang harus dikembalikan, selain nantinya akan menjadi alat
pemenuhan kewajiban jika nasabah tidak mampu membayar kewajibannya, jaminan
juga dapat menjadi tolak ukur kredibilitas dan bonafiditas dari penerima
pembiayaan, semakin baik jumlah jaminan yang diberikan, maka secara umum, akan
semakin baik pula kredibilitas dan bonafiditas penerima pembiayaan, kemudian
dalam pelaksanaan parakteknya, jaminan merupakan sikap wujud saling
mempercayai, karena pada hakikatnya jaminan adalah jarring penguat kedua belah
pihak, jika jaminan ditetapkan dalam hukum Islam, sementara bagi nasabah itu
adalah sebagai manifestasi dari komitmen.
Dalam bentuknya
jaminan dapat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perorangan atau kebendaan,
jaminan perorangan adalah bentuk penjaminan dimana hadirnya pihak ketiga
sebagai penjamin pemenuhan kewajibankewajiban penerima biaya terhadap pemberi
biaya, sedangkan jaminan kebendaan dapat berupa harta dan kekayaan baik benda
maupun hak kebendaan, secara fisik jaminan juga merupakan pengaman, karena sertifikasi
tanah yang dijaminkan yang tentu saja akan disimpan dengan aman oleh pihak
bank, dimana jika nantinya terjadi missal banjir,gempa, kebakaran, atau hilang
,dsb, maka pihak bank akan bertanggung jawab.
Jaminan menurut prioritasisasinya terbagi
menjadi dua, yaitu jaminan utama dan jaminan tambahan, pengertian universal
dari jaminan utama dari pembiayaan adalah kelayakan usahanya sendiri, kelayakan
usaha pada umumnya dinilai berdasarkan cashflow dari sebuah kegiatan usaha
biasanya dilihat dari Debt Repayment Capacity (DRC), yaitu kemampuan membayar
kewajiban lainnya, sedangkan jaminan tambahan adalah ketika bank menilai
cashflow nasabah adalah kurang, maka bank akan memperhatikan aspek lain seperti
yang tertuang dalam teori 5C (5C (character, condition, capacity, capital, dan
collateral).
Pada umumnya
untuk seluruh jenis pembiayaan, jaminan tambahan itu dapat berupa benda
bergerak seperti sepeda motor, mobil dan benda tidak bergerak seperti rumah,
bangunan lainnya dan tanah, tentunya tidak semua jenis
dari kriteria barang tersebut dapat dijadikan jaminan, sudah pasti akan
dilakukan tinjauan likuiditas dari barang jaminan tersebut, dalam menilai
jaminan tambahan pihak bank menggunakan pendekatan Nilai Pasar Wajar (NPW) yang
bisaa di hitung dengan (Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan nilai likuidasi (NL)
yang bisaanya dihitung berdasarkan presentasi tertentu dari NPW, jika terpaksa
harus menggunakan jaminan sebagai pelunasan, juga bukan berarti seluruh nilai
jaminan digunakan sebagai pelunasannya, hanya terbatas sisa pinjaman yang belum
dibayar, jika masih tersisa maka bank akan mengembalikan nilainya kepada
nasabah.
Sedangkan untuk
jenis-jenis kontrak yang diaplikasikan dengan akad kafalah, tidak hanya sekedar
penjaminan ketika melakukan pembiayaan saja, tapi juga pada bentuk produk lain,
misal untuk penggunaan L/C, Syariah Card, Bank Garansi dimana bank bertindak
sebagai penjamin dan mendapatkan ujrah atas itu yang tentu saja disebabkan
adanya tanggung jawab dan beban biaya kerja yang harus di keluarkan, terlepas
dari peran bank sebagai lembaga keuangan, akad kafalah juga di gunakan oleh
biadng usaha asuransi syariah, dimana pihak asuransi bertindak sebagai
penjamin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Jaminan
(kafalah) dalah syariah sama halnya dengan hukum positif yaitu jaminan atau
tangguhan atau garansi yang diberikan oleh satu orang kepada pihak lain, dimana
pihak yang menjamin memilii rasa tanggung jawab untuk melunasi utangnya kepada
pihak yang menjamin.
2.
Landasan
hukumnya terdapat dalam Al-quran, sumah dan ijma’
3.
Jenis-jenis
kafalah ada lima, yaitu:
a. Kafalah
bin nafs
b. Kafalah
bin maal
c. Kafalah bit-taslin
d. Kafalah
al-munjazah
e. Kafalah
al-muallaqoh
4.
Syarat
dan rukun kafalah, yaitu:
Pihak Penjamin (Kafiil)
c. Baligh
(dewasa) dan berakal sehat.
d. Berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
Pihak Orang yang berutang (Ashiil,
Makfuul ‘anhu)
c. Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
d. Dikenal oleh penjamin.
Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul
Lahu)
d. Diketahui
identitasnya.
e. Dapat
hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
f.
Berakal sehat.
Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
f.
Merupakan
tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan.
g. Bisa
dilaksanakan oleh penjamin.
h. Harus
merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan.
i.
Harus jelas
nilai, jumlah dan spesifikasinya.
j.
Tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan)
Daftar Pustaka
UU No.
21 Tahun 2008 membedakan investasi dengan pembiayaan. Pembiayaan dalam Pasal 1
butir 25,
Abdul
Ghofur Anshory, Penerapan Prinsip Syariah
dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 196.
Imam Mustofa, Fikih
Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), 219
Muhammad Syafi’ Antonio, Bank
Syariah dan Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 123
Waldi Nopriansyah, S.H.I., M,S,I., Hukum
Bisnis di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 66-67
- Makalah Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Dasar Umum Bisnis Islam
- Sejarah Bahasa Indonesia
- Makalah Tentang Sistem Barter
- Makalah Hadis-Hadis Tentang Etika Bisnis Dalam Islam
- Makalah Hukum Jaminan Dalam Bank Syari’ah
- Pengertian Kebenaran
- Makalah Tentang Mudharabah
[1] Imam Mustofa, Fikih Muamalah Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Press, 2016), 219
[2] Ibid, 220
[3] Al-qur’an
[4] Muhammad Syafi’ Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, (Jakarta:
Gema Insani, 2001), 123
[5] Waldi Nopriansyah,
S.H.I., M,S,I., Hukum Bisnis di
Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 66-67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar