HOME

03 Maret, 2023

MAKALAH HUKUM JAMINAN DALAM BANK SYARI’AH

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.       Pengertian Hukum Jaminan (Kafalah)

Jaminan dalam syariah disebut al-kafalah (guaranty). Al-kafalah berasal dari kata ka-fa-la (menanggung) merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Pada dasarnya akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan yang bisa dijalankan oleh perusahaan atau lembaga keuangan syari’ah, seperti bank syari’ah, pegadaian syari’ah.

Kafalah mempunyai beberapa sinonim, antara lain hamalah, damanah, dan za’amah. Kafalah secara etimologi menurut Ibnu Abidin adalah sama dengan al-dammu yang berarti memlihara atau menanggung. Hal ini bisa dilihat dala firman Allah surat Ali Imron (3) ayat 37 yang artinya “Allah menjadikan Zakariya sebagai pemeliharaannya.”[1]

Al-Haskafi mendefinisikan kafalah sebagai jaminan yang diberikan seseorang kepada orang lain terkait dengan jiwa atau harta yang di ghasab dan sejenisnya.

Kalangan Malikiyyah, Syafi’iyah dan Hanbali mendefinisikan kafalah sebagai jaminan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang mempunyai tanggung jawab menunaikan hak membayar hutang.[2] Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 11/DSN/MUI/VI/2000 mendefinisikan kafalah sebagai jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul’anhu, ashil).

Kafalah di dunia perbankan syariah dikenal sebagai Bank Garansi (BG), yaitu jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam pemberian garansi, bank biasanya meminta setoran jaminan sejumlah jaminan tertentu dari total nilai objek yang dijaminkan. Disamping itu, bank memungut biaya sebagai ju’alah dan juga biaya administrasi.

B.       Landasan Hukum Kafalah

Landasan hukum kafalah berasal dari Al-quran, sunnah, dan kesepakatan para ulama’. Adapun landasannya sebagai berikut:

a.         Al-qur’an[3]

Firman Allah dalam Q.S. Yusuf (12)  : 72

زَعِيمٌ بِهِۦ وَأَنَا۠ بَعِيرٍ حِمْلُ بِهِۦ جَآءَ وَلِمَن ٱلْمَلِكِ صُوَاعَ نَفْقِدُ قَالُوا۟

72. Orang yang berteriak dan kawan-kawannya berkata kepada saudara-saudara Yusuf, "Kami kehilangan penakar milik Raja yang biasa digunakan untuk menakar bahan makanan. Siapapun yang menyerahkan penakar milik Raja itu sebelum kami melakukan pemeriksaan akan mendapatkan imbalan berupa bahan makanan sebanyak satu muatan seekor unta. Dan aku menjamin hal itu pasti akan didapatkannya."

Firman Allah Q.S. Al-Maidah (5) : 2

وَالْعُدْوَانِ  الْاِثْمِ عَلَ تَعَاوَنُوْا وَلَا   وَالتَّقْوٰىۖ الْبِرِّ عَلَى وَتَعَاوَنُوْا

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. 

b.      As-sunnah

Dalam sabda Rosulullah SAW:

“Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin Auf:

“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram , dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali  syarat ynag mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

c.       Ijma’

Ulama dan kaum muslim bersepakat bahwa kafalah dibolehkan karena  masyarakat membutuhkan akad semacam ini. Ada dua alasannya, yaitu:

1.      Dapat membantu meringankan beban debitur, dan

2.      Dapat membantu kreditur, karena dengan adanya jaminan kreditur tidak lagi khawatir debitur tidak mampu membayarnya.

C.       Jenis-jenis Kafalah

Mnurut Syafi’I Antonio, jenis-jenis kafalah yaitu:

a.       Kafalah bin nafs

Merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh, dalam praktik perbankan bentuk kafalah bin nafs adalah seorang  nasabah yang mendapat penbiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.

b.      Kafalah bin maal

Kafalah bin maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.

c.        Kafalah bit-taslin

Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan   bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.

d.      Kafalah al-munjazah

Adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk perfonce bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad.

e.       Kafalah al-muallaqoh

Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh industry perbankan  maupun asuransi.[4]

D.       Syarat dan rukun kafalah

1.      Pihak Penjamin (Kafiil)

a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.

b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

2.      Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)

a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.

b.       Dikenal oleh penjamin.

3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)

a.       Diketahui identitasnya.

b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.

c.       Berakal sehat.

4.      Obyek Penjaminan (Makful Bihi)

a.       Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.

b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin.

c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.

d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.

e.      Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan)[5]

E.       Contoh Penerapan Jaminan pada Bank Syariah

Jaminan diperlukan selain sebagai pemenuhan atas ketentuan Undangundang perbankan, juga merupakan salah satu kontra garansi atas kemungkinan terjadinya resiko yang harus ditanggung oleh pihak bank, menurut pandangan Islam jaminan merupakan ketentuan yang disyariatkan (Al-Baqarah 283)7 , dapat disimpulkan dari ayat diatas bahwa resiko adalah sesuatu yang harus diperhitungkan karena bank sebagai lembaga intermediasi tidak hanya mengelola dana yang ada padanya tapi juga perlu diingat dana tersebut termasuk didalamnya dana masyarakat yang harus dikembalikan, selain nantinya akan menjadi alat pemenuhan kewajiban jika nasabah tidak mampu membayar kewajibannya, jaminan juga dapat menjadi tolak ukur kredibilitas dan bonafiditas dari penerima pembiayaan, semakin baik jumlah jaminan yang diberikan, maka secara umum, akan semakin baik pula kredibilitas dan bonafiditas penerima pembiayaan, kemudian dalam pelaksanaan parakteknya, jaminan merupakan sikap wujud saling mempercayai, karena pada hakikatnya jaminan adalah jarring penguat kedua belah pihak, jika jaminan ditetapkan dalam hukum Islam, sementara bagi nasabah itu adalah sebagai manifestasi dari komitmen.

Dalam bentuknya jaminan dapat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perorangan atau kebendaan, jaminan perorangan adalah bentuk penjaminan dimana hadirnya pihak ketiga sebagai penjamin pemenuhan kewajibankewajiban penerima biaya terhadap pemberi biaya, sedangkan jaminan kebendaan dapat berupa harta dan kekayaan baik benda maupun hak kebendaan, secara fisik jaminan juga merupakan pengaman, karena sertifikasi tanah yang dijaminkan yang tentu saja akan disimpan dengan aman oleh pihak bank, dimana jika nantinya terjadi missal banjir,gempa, kebakaran, atau hilang ,dsb, maka pihak bank akan bertanggung jawab.

 Jaminan menurut prioritasisasinya terbagi menjadi dua, yaitu jaminan utama dan jaminan tambahan, pengertian universal dari jaminan utama dari pembiayaan adalah kelayakan usahanya sendiri, kelayakan usaha pada umumnya dinilai berdasarkan cashflow dari sebuah kegiatan usaha biasanya dilihat dari Debt Repayment Capacity (DRC), yaitu kemampuan membayar kewajiban lainnya, sedangkan jaminan tambahan adalah ketika bank menilai cashflow nasabah adalah kurang, maka bank akan memperhatikan aspek lain seperti yang tertuang dalam teori 5C (5C (character, condition, capacity, capital, dan collateral).

Pada umumnya untuk seluruh jenis pembiayaan, jaminan tambahan itu dapat berupa benda bergerak seperti sepeda motor, mobil dan benda tidak bergerak seperti rumah, bangunan lainnya dan tanah, tentunya tidak semua jenis dari kriteria barang tersebut dapat dijadikan jaminan, sudah pasti akan dilakukan tinjauan likuiditas dari barang jaminan tersebut, dalam menilai jaminan tambahan pihak bank menggunakan pendekatan Nilai Pasar Wajar (NPW) yang bisaa di hitung dengan (Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan nilai likuidasi (NL) yang bisaanya dihitung berdasarkan presentasi tertentu dari NPW, jika terpaksa harus menggunakan jaminan sebagai pelunasan, juga bukan berarti seluruh nilai jaminan digunakan sebagai pelunasannya, hanya terbatas sisa pinjaman yang belum dibayar, jika masih tersisa maka bank akan mengembalikan nilainya kepada nasabah.

Sedangkan untuk jenis-jenis kontrak yang diaplikasikan dengan akad kafalah, tidak hanya sekedar penjaminan ketika melakukan pembiayaan saja, tapi juga pada bentuk produk lain, misal untuk penggunaan L/C, Syariah Card, Bank Garansi dimana bank bertindak sebagai penjamin dan mendapatkan ujrah atas itu yang tentu saja disebabkan adanya tanggung jawab dan beban biaya kerja yang harus di keluarkan, terlepas dari peran bank sebagai lembaga keuangan, akad kafalah juga di gunakan oleh biadng usaha asuransi syariah, dimana pihak asuransi bertindak sebagai penjamin.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

 

1.      Jaminan (kafalah) dalah syariah sama halnya dengan hukum positif yaitu jaminan atau tangguhan atau garansi yang diberikan oleh satu orang kepada pihak lain, dimana pihak yang menjamin memilii rasa tanggung jawab untuk melunasi utangnya kepada pihak yang menjamin.

2.      Landasan hukumnya terdapat dalam Al-quran, sumah dan ijma’

3.      Jenis-jenis kafalah ada lima, yaitu:

a.      Kafalah bin nafs

b.      Kafalah bin maal

c.        Kafalah bit-taslin

d.      Kafalah al-munjazah

e.       Kafalah al-muallaqoh

4.      Syarat dan rukun kafalah, yaitu:

Pihak Penjamin (Kafiil)

c.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.

d.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)

c.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.

d.       Dikenal oleh penjamin.

Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)

d.      Diketahui identitasnya.

e.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.

f.        Berakal sehat.

Obyek Penjaminan (Makful Bihi)

f.        Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.

g.       Bisa dilaksanakan oleh penjamin.

h.      Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.

i.         Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.

j.        Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan)

 

 

Daftar Pustaka

 

UU No. 21 Tahun 2008 membedakan investasi dengan pembiayaan. Pembiayaan dalam Pasal 1 butir 25,

Abdul Ghofur Anshory, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 196.

Imam Mustofa, Fikih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), 219

Muhammad Syafi’ Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 123

Waldi Nopriansyah, S.H.I., M,S,I., Hukum Bisnis di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 66-67

 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

  1. Makalah Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Dasar Umum Bisnis Islam
  2. Sejarah Bahasa Indonesia
  3. Makalah Tentang Sistem Barter
  4. Makalah Hadis-Hadis Tentang Etika Bisnis Dalam Islam
  5. Makalah Hukum Jaminan Dalam Bank Syari’ah
  6. Pengertian Kebenaran
  7. Makalah Tentang Mudharabah


[1] Imam Mustofa, Fikih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), 219

[2] Ibid, 220

[3] Al-qur’an

[4] Muhammad Syafi’ Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 123

[5] Waldi Nopriansyah, S.H.I., M,S,I., Hukum Bisnis di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 66-67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...