HOME

07 Agustus, 2023

ADAB BERTETANGGA

 


BERIKUT BEBERAPA ADAB BERTETANGGA DALAM ISLAM;

·         Tetap memulikan tetangga dan berwasiat yang baik baginya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ اْلِجيَْرَانِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah, orang yang paling baik (prilakunya) bagi sahabatnya dan sebaik-baik tetangga adalah orang yang baik (akhlaqnya) terhadap tetangganya”. [1] Dan diharamkan berbuat zalim atasnya baik dengan perkataan dan perbuatan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ قَالُوْا مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِِ؟ قَالَ: مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman. Para shahabat bertanya siapakah mereka wahai Rasulullah? “Yaitu orang yang tidak memberikan rasa aman bagi tetangganya dari kejahatan dirinya”.[2]

·         Tetangga yang terdekat, yang rumahnya berdempetan (denganmu)  mempunyai hak yang lebih besar dari tetangga yang lebih jauh, dari Aisyah radhiallahu anha menceritakan: Aku bertanya: Wahai Rasulullah aku mempunyai dua orang tetangga, siapakah yang paling berhak aku berikan hadiahku baginya? “Kepada tetangga yang paling dekat pintunya denganmu”. Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

·         Tidak melarang tetangganya menancapkan atau mendirikan kayu pada dindingnya untuk membangun sebuah ruang atau yang lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ

“Janganlah seseorang melarang tetangganya menancapkan sebuah kayu pada dindingnya”.[4] Dengan syarat tidak memudaratkan orang lain dan tidak ada jalan lain kecuali dengan cara seperti itu, kemudian Abu Huriarah, perawi hadits berkomentar: Mengapa saya melihat kalian berpaling darinya! Demi Allah saya akan melemparnya pada pundak-pundak kalian”.

·       Diharamkan menyakiti tetangga, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:  مَنْ كَانَ يُؤْمِِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جاَرَهُ

“Barangsiapa yang beriman keapda Allah dan hari akhir maka hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya”.[5]

·         Memberinya makan dan minum dengan apa yang engkau makan dan minum.

·         Tidak menyebarkan rahasianya, menundukkan padangan di hadapan mahromnya dan memberikan hadiah baginya.

·         Memberikan ucapan selamat baginya dalam kesenangan dan menghiburnya dalam kesusahan.

·         Tidak menutup pintu bagi tetangganya. Dari Ibnu  Umar radhiallahu anhu berkata: “Sungguh telah datang kepada kita suatu zaman, di mana kita merasa bahwa tidak ada yang lebih berhak menikmati  uang dinar dan dirham yang dimilikinya dari saudaranya semuslim, namun sekarang, uang dinar dan dirham yang dimilikinya lebih dicintainya dari saudaranya semuslim” Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:      

 كَمْ مِنْ جَارٍ مُتَعَلِّقٌ بِجَارِهِ يَقُوْلُ يَارَبِّ سَلْ هذَا َأغْلَقَ عَنِّي بَابَهُ وَمَنَعَنِي فَضْلَهُ

“Sungguh banyak tetangga yang bergantung pada tetangganya, dia berkata: Wahai Tuhanku, tanyalah dia! Orang ini telah menutup pintunya dariku dan menahan kelebihan hartanya dariku”.[6]

·         Seseorang tidak sepantasnya kenyang sementara tetangganya kelaparan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَيْسَ اْلمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ

“Bukanlah seorang yang mu’min orang yang merasa kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya”.[7]

·         Tidak meninggikan bangunan tembok (melebihi bangunan rumah tetangga) sehingga tidak menghalangi sinar matahari dan hembusan angin, dan tidak pula menzaliminya dengan menghilangkan atau merubah bangunannya; sebab hal tersebut bisa menyakitinya.

·         Menasehati, mengarahkannya pada kebaikan, menyerunya pada perbuatan ma’ruf dan mencegahnya dari kemungkaran dengan penuh hikmah, mau’izhah hasanah tanpa maksud membeberkan kesalahan atau mengucilkannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya, senang dengan kekhilafannya, serta menutup diri dari kekeliruan dan kesalahannya.

·         Bersabar atas prilaku tetangga yang menyakiti dirinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ يُحِبُّ ثَلاَثَةً ويُـبْغِضُ ثَلاَثَةً –وَذَكَرَ مِنْهُمْ-رَجُلاً كَانَ لَهُ جَارٌ وَيُؤْذِيْهِ وَيَصْبِرُ عَلىَ أَذَاهُ حَتَّى يَكْفِيَهُ اللهُ إِياَّهُ يِحَيَاةٍ أَوْ مَوْتٍ

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla mencintai tiga hal dan membenci tiga hal: Di antara yang disebutkan adalah seorang lelaki yang mempunyai tetangga yang selalu menyakitinya namun dia tetap bersabar atas prilaku buruknya sampai Allah mencukupkannya dari tetangganya baik saat hidup atau setelah kematian “.[8]

·         Dibolehkan menangisi orang yang sakit, maka orang yang mati lebih utama, akan tetapi tangisan yang tidak mengarah pada meratapinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis saat masuk kepada Sa’ad bin Ubadah radhiallahu anhu saat mendapatkannya sakit.[9]

·         Berdo’a dengan kebaikan bagi orang yang sedang sakit, sebab malaikat mengaminkan atas ucapannya, seperti yang dijelaskan dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضرْتُمْ اْلَمرِيْضَ أَوْ اْلَميِّتَ فَقُوْلُوْا خَيْرًا فَإِنَّ اْلَملاَئِكَةَ يُؤَمِّنُوْنَ عَلىَ مَا تَقُوْلُوْنَ. قَالَتْ:فَلَمَّا مَاتَ أَبُوْ سَلَمَةَ أَتَتِ النَّـبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُـوْلَ اللهِ إِنَّ أَبَا سَلَمَةَ قَدْ مَاتَ قَالَ قُوْلِي: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَة. قَالَتْ فَقُلْتُ: فَأَعْقَِبَنِي اللهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ لِي مِنْهُ مُحَمَّدٌ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Apabila kalian menghadiri orang yang sedang sakit atau mati maka katakanlah yang baik, sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kalian katakan. Ummu Salamah menceritakan: Pada saat Abu Salamah meninggal dunia, dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Salamah talah meninggal dunia. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: Bacalah do’a ini:

  اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَة

(Ya Allah berikanlah ampunan bagiku dan baginya serta berikanlah bagiku ganti yang baik). Lalu Allah memberikan ganti yang lebih baik bagiku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan berdo’a bagi orang yang sakit tersebut dengan do’a yang telah disyari’atkan, seperti: 

      لاَبَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ(Tidak mengapa suci Insyallah).[10] Membaca do’a:َاللّهُم َاشْـفِ فُلاَنًا  (Ya Allah berikanlah kesembuhan bagi si fulan) dibaca 1x atau 3x.[11] Atau do’a:  أَسْأَلُ اللهَ اْلعَظِيْمَ رَبَّ اْلعَرْشَ اْلعَظِيْم َأَنْ يَشْفِيَكَ    (Aku mohon kepada Allah, Yang Maha Besar, Tuhan Arsy yang besar, agar Dia berkenan menyembuhkanmu) dibaca 7x.

·         Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit tersebut sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya pada tubuh yang sakit, lalu membaca: بِسْمِ اللهِ[12]

·         Meruqyah orang yang sakit tersebut:

-Meruqyahnya dengan Al-Mu’awwidzat, dari Aisyah, Ummul Mu’minin radhiallahau anha menceritakan bahwa apabila salah seorang keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit maka beliau meniupnya dengan membaca Al-Mu’awwidzat...([13])[14]

-Meruqyahnya dengan membaca Al-Fatihah.[15] Dan

أَذْهِبِ اْلبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِـفَاءَ إِلاَّ شِـفَاءُكَ شِـفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Hilangkanlah penyakit, wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah hanya Engkaulah yang menyembuhkan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau kehendaki kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.[16]

بِسْمِ اللهِ أُرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شـَرٍّ يُؤْذِيْكَ  مِنْ شَـرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْعَيْنٍ حَاسِدٍ اللهُ يَشْفِيْكَ بِاسْمِ اللهِ أُرْقِيْكَ

“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari setiap kejahatan yang menyakitimu, dari setiap kejahatan jiwa atau mata yang dengki, Allahlah yang menyembuhkanmu dengan nama Allah aku meruqyahmu”.[17]

·         Menjenguk seseorang tidak mesti dilakukan pada saat orang yang sakit mengetahui siapa yang menjenguknya, menjenguk seseorang disyari’atkan sekalipun orang yang sakit tersebut pingsan, demi mendapatkan keberkahan do’anya dan tangannya yang diletakkan pada tubuh orang yang sakit tersebut, lalu mengusap dan meniupnya dengan bacaan Al-Mu’awwidzat dan yang lainnya.[18] Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata: Aku ditimpa suatu penyakit lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakr datang menjengukku dengan berjalan kaki, mereka mendapatiku sedang pingsan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuangkan air wudhu’nya kepadaku, akhirnya aku tersadar dan tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada di hadapanku, aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah yang mesti aku lakukan dengan hartaku? Apakah yang mesti aku perbuat pada hartaku? Namun beliau tidak menjawabku sehingga turun ayat-ayat tentang pembagian warisan”.[19]

·         Termasuk bentuk menyerupai prilaku Yahudi dan Nashrani adalah memberikan bunga kepada orang yang sakit.

·         Mengajarkan ucapan syahadat bagi orang yang sedang sakit, saat ajal menjemput, lalu menutup matanya dan berdo’a baginya jika telah meninggal dunia.

·         Dianjurkan menjenguk orang yang sedang sakit pada permulaan sakitnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apabila sakit maka jenguklah dia”.[20]

·         Tidak dianjurkan memaksa orang yang sedang sakit untuk makan atau minum dengan makanan dan minuman tertentu.[21]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] HR. Turmudzi no: 1944.

[2] HR. Muslim no: 2625.

[3] HR. Bukhari no: 6020.

[4] HR. Bukahri no: 2463, Muslim no: 1609.

[5] HR. Bukhari no: 9018, Muslim no: 47.

[6] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 111, Alsilsilatus Shahihah no: 2646.

[7] Al-Silsilatus Shahihah no: 1/149.

[8] Dishahihkan oleh Albani dalam Shahihut Targib no: 2569.

[9] HR. Bukhari no: 1304 dan Muslim no: 924.

[10] HR. Bukahri no: 3616.

[11] HR. Bukhari 5659, Muslim no: 1628.

[12] Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Fathul Bari 10/126 diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang baik.

[13] HR. Bukhari no: 5748 Muslim no: 2192.

[14] Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat Al-falaq dan Qul a’udzu bi robbi nnas dan dijama’kan sebab jumlah minimal bagi jama’ adalah dua. Atau dijadikan bentuk jama’ karena yang dimaksud adalah kalimat yang terdapat di dalam dua surat tersebut, dan bisa jadi maksud dari Al-Muawwidzat adalah dua surat di atas ditambah dengan surat Al-Ikhlash dan inilah yang biasa terjadi. Pendapat inilah yang dipegang. Fathul Bari 7/738.

[15] HR. Bukhari no: 2276, Muslim no: 2201.

[16] HR. Bukhari no: 2276 dan Muslim no: 2201.

[17] HR. Muslim no: 2186.

[18] Fathul Bari 10/119

[19] HR. Bukhari no: 5651, Muslim no: 1616.

[20] Dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’ no: 3151.

[21] Al-Adabus Syar’iyah 2/344.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...