Berikut beberapa adab-adab menuntut ilmu:
·
Ikhlash
semata karena Allah Ta’ala dalam menuntut dan menimba ilmu.
·
Harus
mengetahui tentang keutamaan dan pentingnya ilmu syara’.
·
Berdo’a
kepada Allah agar diberikan taufiq dalam menuntut ilmu.
·
Bersemangat
untuk bersafari dalam menuntut ilmu.[1]
·
Menghadiri
halaqah-halaqah ilmu semampunya.
·
Jika
seseorang terlambat dalam menghadiri majlis ilmu, maka lebih baik baginya untuk
tidak mengucapkan salam jika hal tersebut bisa mengganggu perjalanan majlis
tersebut. Namun jika tidak memberikan pengaruh apapun maka mengucapkan salam
adalah sunnah.[2]
·
Diriwayatkan
dari Imam Ahmad rahimhullah bahwa seorang lelaki bertanya kepadanya: “Aku ingin
menuntut ilmu tapi ibuku mencegahku untuk mewujudkan keinginanku, dia ingin
agar aku menyibukkan diri dengan berdagang. Beliau menjawab: “Hendaklah dia
tetap tinggal di rumahnya, dan di kampung halamannya, serta janganlah kamu
meninggalkan menuntut ilmu”.[3]
·
Tidak
beramal dengan ilmu adalah sebab hilangnya barakah ilmu tersebut, Allah Ta’ala
telah mengecam mereka yang berkelakuan seperti ini dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لاَ تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ
أَنْ تَقُوْلُوْا مَالاَ تَفْعَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.[4]
Dari Imam Ahmad diceritakan bahwa beliau
berkata: Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam kecuali aku telah mengamalkannya, sampai aku mengetahui sebuah
hadits di mana Nabi shallallahu
alaihi wasallam berbekam dan mengupah
Abi Thaibah satu dinar maka aku memberikan orang yang membekamiku satu dinar
saat aku berbekam padanya.[5]
·
Merasa
rugi dengan kehilangan para ulama yang semasa dengan dirinya,[6] mentauladani adab dan akhlaq
mereka, Al-Khallal meriwayatkan tentang akhlaq Imam Ahmad dari Ibrahim,
menceritakan: Mereka jika mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu darinya maka
mereka terlebih dahulu melihat pada shalatnya, sifat dan penampilannya barulah
kemudian mereka menimba ilmu darinya.
·
Beradab
dan berbudi dalam menuntut ilmu.
·
Hadiri
secara terus menerus dalam majlis ilmu dan tidak malas.
·
Tidak
putus asa dan merendahkan diri, hendaklah dia mengingat firman Allah Ta’ala:وَ اللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ
تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا "Dan Allah telah
mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apapun”.[8]Terlebih jika ia merasakan kesulitan terhadap apa-apa yang
dipelajarinya.
·
Membaca
buku-buku yang memotifasi untuk menuntut ilmu, mengetahui metode yang benar
dalam menimbanya serta mengetahui kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada
dirinya.
·
Menjaga
agar selalu bergegas menghadiri majlis ilmu dan memanfaatkan waktu.
·
Mengejar
pelajaran yang tertinggal.
·
Menulis
catatan penting pada sampul luar buku atau kertas lainnya.
·
Memperhatikan
agar selalu membaca ulang catatan penting tersebut.
·
Saat
membeli buku sebaiknya seseorang membuka halamannya secara umum.
·
Tidak
melempar buku di atas tanah, seseorang telah melakukannya di hadapan Imam Ahmad
rahimahullah, akhirnya beliau marah dan berkata: Seperti inikah prilaku kita
terhadap ucapan para para ulama yang mulia”.[9]
·
Tidak
memotong pebicaraan seorang guru sampai dia selesai menerangkan masalahnya,
Imam Bukhari berkata: “Bab Man Su’ila Ilman Wa Huwa Musytagilun Fi Haditsihi
Fa Atammal Hadits” (Bab tentang orang yang ditanya masalah ilmu, sementara
dia sibuk dalam menjelaskan sesuatu maka hendaklah dia menyempurnakan
penjelasannya) kemudian beliau menyebutkan hadits bahwa seorang badui berkata
kepada Nabi shallallahu
alaihi wasallam saat beliau berkhutbah:
Kapankah hari kiamat terjadi?, namun Rasulullah tetap melanjutkan khutbahnya
sampai orang badui tersebut berpaling darinya, sehingga saat beliau
menyempurnakan khutbahnya, beliau bertanya:”Di manakah orang yang bertanya
tentang hari kiamat?”[10].
·
Ibnul
Jauzi berkata: Dan pada saat seorang penuntut ilmu tidak memahami suatu
pelajaran, hendaklah dia bersabar sampai gurunya tersebut berhenti berbicara,
lalu barulah bertanya kepada syekh dengan beradab dan cara yang lembut serta
tidak memotong penjelasan gurunya saat berbicara.[11]
·
Beradab
dalam mengajukan pertanyaan kepada guru, maka hendaklah seseorang tidak
bertanya dengan pertanyaan yang sengaja dibuat-buat dan dipaksakan, atau
mengajukan pertanyaan yang telah diketahui jawabannya dengan tujuan menyingkap
kelemahan guru atau untuk menampakkan kemampuan diri yang telah mengetahui
masalah tersebut, atau bertanya dengan suatu pertanyaan yang tidak terjadi.
·
Seorang
penuntut ilmu harus menjalankan hak ilmu di masjid.[13]
·
Seorang
penuntut ilmu menjalankan hak ilmu di rumah. Imam Bukhari rahimhullah berkata: (Bab
Ta’limur Rajul Amatahu Wa Ahlahu) lalu beliau menyebutkan sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asya’ari radhiallahu anhu berkata:
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لَهُمْ أَجْرَانِ:
رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَآمَنَ بِمُحَمَّدٍ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ إِذَا أَدَّى حَقَّ اللهِ
وَحَقَّ مَوَالِيْهِ وَرَجُلٌ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَةٌ فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ
تَأْدِيْبَهَا وَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا
فَتَزَوَّجَهَا فَلُهُ أَجْرَانِ
“Tiga
golongan akan mendapat dua pahala: Seorang lelaki dari ahli kitab yang beriman
dengan Nabinya dan beriman dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, seorang hamba sahaya yang telah menunaikan hak Allah terhadap
dirinya dan hak pemiliknya, dan lelaki yang mempunyai seorang budak perempuan
lalu dia mengajarkannya akhlak dan pendidikan yang baik kemudian
dimerdekakannya dan dinikahinya maka dia mendapat dua pahala”.[14]
·
Membaca
biografi para ulama.
·
Membaca
tentang tuntunan hukum yang berhubungan dengan beberapa musim-musim ibadah
tertentu sebelum musim tersebut tiba seperti: ramadhan dan hukum-hukum yang
berhubungan dengan puasa, sepuluh hari pertama bulan zulhijjah dan tuntunan
berkurban…”.
·
Perhatian
terhadap pembelian buku-buku yang secara khusus membahas masalah-masalah fiqh,
seperti buku yang membahas tentang sunnah-sunnah rawatib atau shalat malam dan
lain-lain…..
·
Mempunyai
prioritas dalam menuntut ilmu.
·
Memulai
dengan perkara yang terpenting, termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam memulai dengan perkara yang terpenting yang membuat dirinya
merasa terpanggil dengannya. Oleh karena itulah, saat Utban bin Malik memanggil
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan berkata kepadanya:
“Aku ingin engkau mendatangi rumahku dan shalat padanya agar tempat yang
shalatmu aku jadikan sebagai mushalla bagiku”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersama beberapa shahabat beliau begegas menuju rumahnya, lalu
saat telah sampai di rumah Utban dan meminta izin untuk masuk ternyata Utban
telah membuatkan bagi mereka makanan, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak memulai dengan menyantap makanan akan tetapi bertanya
kepadanya: “Di manakah tempat yang engkau ingin aku shalat padanya?”. Maka
Utbanpun menunjukkan tempat tersebut lalu beliau shalat padanya, kemudian
barulah dia duduk untuk menyantap makanan”.[15]
·
Waspada
terhadap sifat merasa sudah alim.
·
Memuji
Allah saat menyebut namaNya.
·
Bershalawat
kepada Nabi shallallahu
alaihi wasallam saat menyebut nama
beliau.
·
Berdo’a
agar para shahabat diredhai saat menyebut nama salah seorang dari mereka.
·
Berdo’a
saat menyebut nama para ulama (yang telah tiada) agar diberikan rahmat oleh
Allah kepada mereka.
·
Tidak
menyebutkan sebuah referensi kecuali setelah engkau membaca secara langsung apa
yang ada padanya.
·
Tidak
menisbatkan riwayat sebuah hadits kepada tokoh selain Bukahri dan Muslim jika
hadits tersebut ada di dalam kitab Bukahri dan Muslim atau tercantum pada salah
satu dari keduanya.
·
Teliti
di dalam mengambil perkataan orang lain.
·
Menisbatkan
sebuah kesimpulan tentang hal yang penting kepada pemiliknya.
·
Tidak
meremehkan sebuah kesimpulan yang penting sekalipun sedikit.
·
Waspada
terhadap sikap menyembunyikan kesimpulan yang penting.
·
Waspada
terhadap tindakan memperkuat pendapat dengan riwayat-riwayat yang lemah dan
palsu.
·
Tidak
melemahkan sebuah hadits kecuali setalah mencari dan bertanya tentang kekuatan
hadits tersebut.
·
Tidak
meremehkan masalah-masalah yang ditanyakan kepadamu, sebab hal tersebut menuntutnmu
untuk mencari dan meneliti masalah.
·
Membawa
buku kecil untuk menulis masalah-masalah dan pertanyaan yang penting.
·
Waspada
terhadap tindakan meyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mubah.
·
Tidak
menyibukkan diri dengan memperbanyak memfoto copy manuskrip-manuskrip dan
mencermati cetakan yang banyak bagi satu kitab kecuali untuk memperoleh
manfaat.
·
Mengunjungi
toko buku-toko buku untuk mengetahui buku-buku baru.
·
Menjauhi
istilah-istilah ilmiyah yang sama dalam penyebutannya.[16]
·
Membaca
buku-buku yang menjelaskan tentang makna bagi istilah-istilah yang dipakai oleh
pengarang atau menerangkan tentang metode buku tersebut dan pembahasan yang
terdapat di dalamnya.
·
Tidak
tergesa-gesa di dalam (mengklaim diri telah) memahami pembahasan, baik
pembahasan tersebut berupa tulisan yang dibaca atau sesuatu yang didengar,
Ibnul Qoyyim rahimhullah menceritakan tentang Ayyub Al-Sakhtiyani rahimhullah
bahwasanya beliau saat ditanya oleh seseorang ia berkata kepadanya: Ulangilah
pertanyaanmu!. Jika orang tersebut mengatakan pertanyaan yang sama seperti
pertanyaan yang sebelumnya maka ia menjawab pertanyaan tersebut, namun jika
tidak maka beliaupun tidak menjawabnya.[17]
·
Banyak
membaca buku-buku yang berhubungan dengan fatwa-fatwa.
·
Tidak
tergesa-gesa di dalam menolak sesuatu secara umum/mejeneralisir penolakan
·
Jelaskanlah
dengan jujur jika engkau meriwayatkan hadits dengan maknanya.[18]
·
Menjauhi
menggunakan kata-kata pujian untuk mengagungkan diri sendiri.
·
Menerima
kritik dan nasehat dengan jujur tanpa bersikap pura-pura.
·
Tidak
bersedih dengan minimnya orang yang belajar dari dirinya, dan Al-Dzahbi
meriwayatkan tentang biogarfi Atho’ bin Abi Robah bahwa tidak belajar kepada
dirinya kecuali sembilan atau delapan orang saja.[19]
·
Waspada
terhadap kegaitan menyia-nyiakan waktu untuk mencari sesuatu yang tidak
bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil dan perkara-perkara yang aneh
seperti warna anjing ashabul kahfi atau jenis pohon yang makan oleh Adam alais
salam atau ukuran panjang kapal Nabi Nuh alahissalam dan lain-lain.
·
Tidak
menyibukkan diri dengan sebuah point penting atau lintasan pikiran saat mencari
sebuah masalah.
·
Tidak
memaksakan diri memilih kata-kata yang mempunyai kedalaman makna, dan berbicaralah
dengan kata-kata yang jelas sebatas kemampuan, atau tidak menggunkan kata-kata
yang maknanya masih samar dan istilah-istilah yang asing.
·
Tidak
mengucapkan suatu jawaban tanpa ilmu atau tidak merasa sungkan dengan sebuah
pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
·
Tidak
terpengaruh dan merasa hina karena celaan seseorang kepadamu jika agamamu lurus
dan ingatlah perkataan seorang penyair:
وَإِنْ بَلَِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ فَكُنْ
كَأَنَّكَ لاَ تَسْمَعُ وَلَمْ يَقُلْ
Jika engkau diuji dengan seorang yang tidak
mempunyai (ilmu)
Bersikaplah seakan
dirimu tak mendengar dan dia tidak mengatakannya.
·
Waspada
agar tidak putus asa.
·
Menjaga
agar selalu shalat malam.
·
Meninggalkan
istirahat, omongan dan tidur yang berlebihan demi mendapat ilmu.
·
Seorang
muslim dan penuntut ilmu khususnya harus bekerja untuk:
1.
Memenuhi
hajat manusia, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah
syafa’at niscaya engkau akan diberikan pahala”.[20]
2. Menepati janji, sesungguhnya Allah telah
memuji para Nabi dan RasulNya dengan sifat ini, sebagimana disebutkan tentang
Isma’il Alahissalam: إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ
اْلوَعْد “Dia adalah seorang yang menepati janji”.[21]
3. Bersikap santun dan lembut. Firman Allah
Ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجهِلِيْنَ
“Berikanlah
maaf dan ajaklah kepada yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang
bodoh”.[22],
telah disebutkan oleh Al-Sam’ani dalam kitab Al-Ansab dan Imam Adzahabi dalam
kitab Tajridus Shahabah tentang biografi Auf bin Nu’man ia berkata: Seseorang
pada zaman jahilyah lebih senang mati kehausan dan tidak suka mengingkari
janji, dikatakan dalam sebuah sya’ir:
إِذَا قُلـْتَ فيِ شَيْئٍ
نَعـَمْ فَأَتـِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ
دَيْنٌ عَلىَ الْحُرِّ وَاجِبَةٌ
وَإِلاَّ فَقُـلْ لاَ
وَاسْـتَرِحَْ وَأَرِحْ بِهَا
لِئَـلاَّ يَقُـوْلَ النَّاسُ إِنَّكَ كَاذِبٌ
Jika anda mengatakan pada sesuatu “Ya” maka
sempurnakanlah!
Sebab kata “Ya” adalah hutang yang wajib ditunaikan seseorang.
Jika tidak, maka
katakanlah “Tidak” tenanglah dan orang lain tenang
Orang lain tidak
mengatakan kepadamu bahwa kamu bohong.
4. Merendah diri…Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَي إِلَيَّ
أَنْ تَـوَاضَـعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَـرَ أَحَـدٌ عَلىَ أَحَـدٍ وَلاَ يَبْغِي أَحَـدٌ عَلىَ أَحـدٍ
Sesungguhnya Allah
mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’ agar sesorang tidak
merasa sombong atas orang lain dan tidak pula seseorang berbuat zalim atas
orang lain”.[23]
5. Bersikap ramah terhadap orang lain dan
berlapang dada serta duduk untuk mendengarkan problema mereka.
6.
Mengingatkan
dan menasehati orang lain, telah berkata Ikrimah dari Ibnu Abbas radhillahu
anhuma: Berbicaralah kepada manusia pada setiap jum’at satu kali atau dua kali,
jika ingin menambah maka tiga kali dan janganlah engkau menjadikan orang bosan
dengan Al-Qur’an ini, dan jangan pula engkau mendatangi suatu kaum saat mereka
sedang berbicara sehingga bisa memotong pembicaraan mereka dan membuat mereka
menjadi bosan, akan tetapi dengarlah jika mereka menyuruh kamu berbicara maka
bicaralah niscaya mereka akan mendengarkan kamu sebab mereka ingin mendengar
perkataanmu, serta jauhilah bersaja’ dalam berdo’a sesungguhnya aku mengetahui
bahwa Rasulullah dan para shahabatnya tidak melakukannya.[24]
6.
Ali
bin Abi Thalib berkata: Berbicaralah kepada orang lain dengan sesuatu yang
mereka ketahui”. Hal ini menunjukkan bahwa perkara-perakara yang pengertiannya
masih samar tidak baik untuk diungkapkan pada masyarakt umum dan seharusnya
bagi seseorang untuk mengungkapkan hal-hal yang mereka ketahui. Seperti yang
katakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu Anhu: Tidaklah engkau berbicara kepada
seseorang dengan sesuatu yang tidak dijangkau oleh akal mereka kecuali akan
terjadi pada diri merka fitnah.”[25]
BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN:
- ADAB KEPADA ALLAH TA’ALA
- ADAB KEPADA RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
- ADAB SEORANG PENGAJAR AL-QUR’AN
- ADAB SEORANG PELAJAR DAN PENGAMAL AL-QUR’AN
- ADAB MEMBACA DAN PENGAJAR AL-QUR’AN
- ADAB MENUNTUT ILMU
[1] Dan di antara riwayat yang sering diucapkan oleh orang tentang bersafari dalam menununtut ilmu adalah hadits: اُطْلُبُوْا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِاالصِّيْنِ “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Riwayat ini tidak benar berasal dari Nabi saw. Ibnu Hibban berkata: riwayat tersebut bathil dan tidak mempunyai landasan, hadits ini disebutkan dihadapan Imam Ahmad rahimhullah maka beliau mengingkari riwayat ini dengan pengingkaran yang keras. Maka hendaklah kita mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tersebar banyak yang mendorong untuk menunutut dan menimba ilmu sebagai ganti dari riwayat yang bathil di atas. (Ahadits muntasyirah la tastbut anin Nabi shallallahu alaihi wasallam, Syaekh Abdul Aziz Al-Sadhan).
[2] Seperti yang diungkapkan oleh Syaekh Utsaimin rahimahullah. (Fatawa Islamiyah 1/175).
[3] Al-Adaabus Syar’iyah 2/35
[4] QS. Al-Shaf: 2-3
[5] Al-Adabus Syar’iyah 2/14. Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang seorang yang banyak menulis hadits. Beliau berkata: Hendaklah orang tersebut banyak beramal sebagaimana ia banyak menulis”.
[6] Ibnu Aqil berkata dalam kitab (Al-funun): Di antara hal yang aku dapatkan dari adab Ahmad bin Hambal radhiallahu anhu, bahwa suatu saat dia duduk bersandar, lalu disebutkan di hadapannya nama Ibnu Thamhan, maka beliau bangkit dari sandarannya, kemudian berkata: Tidak pantas bagi kita jika disebutkan nama seorang yang shaleh namun kita tetap bersandar. Al-Adabus Syar’iyah 2/145.
[7] Al-Adabusyar’iyah 2/145.
[8] QS. Al-Nahl: 78.
[9] Al-Adabus Syar’iyah: 3/389
[10] Fathul Bari 1/171
[11] Al-Adbus Syar’iyah: 2/163.
[12] Tahdzibut Tahdzib 8/274, Al-Siar 1/398.
[13] Menajdi orang yang terdahulu dalam menghadiri shalat jum’at dan berjama’ah dan…
[14] Fathul Bari 1/229.
[15] HR. Bukahri no: 425, Muslim no: 263, hadits ini telah disebutkan oleh Syaekh Utsaimin dalam kitab syarah riadhus shalihin 3/98.
[16] Seperti kata: Muttaafaq alaihi, makna yang tersebar dan dikenal untuk ungkapan tersebut adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, namun istilah muttafaq alaihi dalam kitab: Muntaqal Akhbar, karangan Majdud Din Ibnu Taimiyah bermakna hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.
[17]A’amul Muwaqi’in 2/187.
[18]Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa jika beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw, beliau merasa gentar, dan mengucapkan: “atau sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw (Jami’u bayaninl ilmi wa fadhlihi). Dibolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya, menurut pendapat jumhur, dengan syarat dia harus mengetahui apa yang diriwayatkan tersebut, dan tidak mengakibatkan adanya perubahan hukum dengan penambahan atau pengurangan. (Al-Kitabah fi ilmir riwayah hal. 295).
[19] Siar A’lamun Nubala’: 8/107.
[20] HR. Bukhari.
[21] QS Maryam: 45.
[22] QS. Al-A’raaf: 99
[23] HR. Muslim
[24] HR. Bukhari no: 6337.
[25] HR. Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar