BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Angkatan 66 lahir kurang lebih dua
puluh satu tahun setelah Indonesia merdeka, menurut H.B.Jassin kesusasteraan
angkatan 66 diawali dengan munculnya sajak-sajak protes terhadap kezaliman.
Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat,antara lain adanya taman
Ismail Marzuki,didirikannya penerbit Pustaka Jaya,adanya maecenas yang
stabil.Maecenas adalah sebagai pelindung seni dan kebudayaan dan pemerintah DKI
menyelenggarakan lomba menulis roman, naskah drama yang bisa merangsang
pengarang sehingga muncul kegiatan seni budaya
Dari
sinilah kami mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai angkatan 66
di Indonesia
dan segala dinamikanya
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana sejarah sastra
angkatan 66 ?
1.2.2
Apa saja ciri-ciri
sastra angkatan 66 ?
1.2.3 Siapa saja pengarang Angkatan 66 dan apa saja karyanya?
1.3 Tujuan
1.1.1
Untuk
mengetahui sejarah sastra Angkatan 66
1.1.2
Untuk
mengetahui ciri-ciri sastra Angkatan 66
1.1.3
Untuk
mengetahui para sastrawan Angkatan 66 dan karyanya
PEMBAHASAN
Sastra, Politik, dan Ideologi
Istilah angkatan 66 dikemukakan oleh kritikus H.B.Jassin
melalui sebuah bunga rampai yang terbit pada tahun 1968 yang berjudul
bangkitnya satu generasi.hubungan sastra,politik,dan ideology dan kehidupan
kesusastraan kita adalah kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhan
kesusastraan Indonesia para sastrawan menunjukkan perhatian besar dan serius
kepada soal-soal politik. Adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan sikap
mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada adanya perbedaan pendirian
politik,sudah sejak lama tampak dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Pada
awal tahun 1950 an terjadi polemik yang seru antar kelompok sastrawan penganut
paham universalisme/humanisme universal yang mebela hak hidup angkatan
45.Kelompok yang membela hak hidup angkatan 45 adalah kelompok penganut paham
universalisme,yang dianut oleh seniman-seniman dan sastrawan merdeka antara
lain H.B.Jassin,Rosihin Anwar,Muchtar Lubis,dll.Kelompok yang mengatakan bahwa
Angkatan 45 sudah mampus adalah kelompok penganut paham Realisme social yang
merupakan filsafat seni kaum komunis,yang punya semboyan seni untuk rakyat.
Penganutnya antara lain A.S.Dharta(biasa menggunakan nama samaran
Yogaswara,Klara Akustika),Buyung Saleh,Bakrie Siregar,Pramuedya Ananta
Toer,dll.
Dari polemic diatas makin tampak perbedaan
paham seni yang dianut oleh para sastrawan penganut komunisme yang punya paham
seni realisme social dengan sastrawan-sastrawan non komunis penganut paham
humanisme universal dalam lingkungan Gelanggang seniman merdeka
Manifes Kebudayaan
Dalam
bulan Mei 1961,H.B.Jassin penerbitkan majalah sastra,yang menjadi tempat
berhimpun para sastrawan nonkomunis yang tidak mengambil bagian dalam lembaga
kebudayaan yang bernaung dibawah partai politik, kelompok partai politik ini
mempertahankan otonomi seni dengan mencetuskan manifest kebudayaan yang isinya:
MANIFES KEBUDAYAAN
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia
dnegan ini mengumunkan sebuah Manifes Kebudayaan,yang menyatakan
pendirian,cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami
Bagi kami,kebudayaan adalah perjuangan
untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu
sector kebudayaan diatas sector kebudayaan yang lain. Setiap sector berjuang
bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional,kami
berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya, sebagai perjuanagn
untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa
Indonesia ditengah-tengah masyarakat namgsa-bangsa
Pancasila adalah filsafah kebudayaan kami
Manifes kebudayaan ini segera mendapat dukungan luas
dari berbagai penjuru.PKI melalui organ Lekra segera melancarkan usaha memukul
pengikut-pengikut manifes,melalui media massa,yang sebagian besar telah
dikuasainya.Oleh karena itu pada tahun 1964 Presiden Soekarno melarang manifest
Kebudayaan.
Ciri-ciri karya sastra angkatan 66
a. Menyuarakan hati nurani rakyat dalam bentuk
amanat penderitaan rakyat, anti tirani,mengikis komunisme (protes social
politik)
b. Bersifat pragmatis,romantic,idealistis.
c. Mengutamakan wawasan nasional,wawasan
internasional sebagai pembanding.
d. Tidak terikat oleh fakta seni konvensioanal
e. Bahasanya merupakan sintesa anatara bahasa
pujangga baru dengan bahasa Angakatan 45
Para Sastrawan Angkatan 66 dan Karyanya
Bur Rasuanto, lahir di Palembang, 6 April 1937. Seorang pengarang, penyair,
wartawan. Karya-karyanya yaitu Bumi yang
Berpeluh (kumpulan cerpen, 1963) dan Mereka
Akan Bangkit (kumpulan cerpen, 1963). Selain itu Bur Rasuanto juga menulis
novel Sang Ayah (1969) dan Tuyet (1978).
Goenawan Mohamad, lahir di Batang, 29 Juni 1941. Seorang penyair, esais, wartawan,
pimpinan umum majalah Tempo, penanda
tangan Manifes Kebudayaan. Kumpulan sajaknya yaitu Interlude, Parikesit (1971)
kumpulan esai Seorang Penyair Muda
Sebagai Si Malinkundang (1972) Catatan Pinggir 1 (1982), Catatan Pinggir 2 (1989),
Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari
majalah Tempo. Karyanya yang lain yaitu Asmaradana
(kumpulan puisi, 1992); “Revolusi
Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan
Kita di Serayewo (antologi puisi, 1998).
Subagio Sastrawardoyo, lahir di Madiun, 1 Februari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli
1995. Seorang penyair, pengarang, dan pernah menjadi redaktur Balai Pustaka. Ia
menulis kumpulan sajak Simphoni (1957) Daerah Perbatasan, Kroncong Motinggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1972)
Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Cerpennya Kejantanan di Sumbing meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
Supardi Djoko Damono, lahir di Solo, 20 Maret 1940. Seorang penyair, esais, dosen dan
Guru besar FSUI. Ia menulis Duka-Mu Abadi
(1969) Akuarium (1974) dan Perahu Kertas (1983) semuanya kumpulan puisi. Ia juga menerjemahkan karya Ernest
Hermingway The Old Man and The Sea
menjadi Lelaki Tua dan Laut (1973). Kumpulan esainya Novel Indonesia Sebelum Perang (1979) Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978) Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (1999).
Sapardi mengabadikan peristiwa reformasi lewat antologi puisi Ayat-ayat Api (2000).
Titie Said Sadikun, lahir di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Seorang pengarang dan wartawati.
Dia menulis kumpulan cerpen Pejuangan dan
Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku; Lembah Duka; Reinkarnasi; dan Langit
Hitam di Atas Ambarawa.
Arifin C. Noer, lahir di Cirebon, 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995.
Seorang penyair, dramawan dan sutradara. Ia menulis sajak Dalam Langgar Purwadinatan, Matahari
di Sebuah Jalan Kecil, dan Sumur
Tanpa Dasar (1975). Karyanya yang
lain yaitu: Nurul Aini (1963) dan Selamat Pagi, Jajang (1979).
Arifin C. Noer juga penulis skenario dan surtadara film, karyanya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; dan Taksi.
Film yang disutradarainya yaitu: Melawan
Badai (1974); Petualang-patualang (1978). Tahun 1972 Arifin menerima hadiah Seni dari Pemerintah dan
pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
Hartoyo Andangjaya, lahir di Solo 4 Juli 1930, meninggal di Solo pada 30 Agustus 1990. Seorang penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat. Ia menulis sajak-sajak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, dan Sebuah Lok Hitam. Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), dan Kumpulan Syair Dari Sunyi ke Bunyi (1991). Karya-karya terjemahannya yaitu: Tukang Kebun (Tagore, 1976) dan Rahasia Hati (novel Natsume Suseki, 1978). Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Slamet Sukirnanto, lahir di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi Kidung Putih (1967); Bunga Batu (1979); dan Jaket Kuning (1967). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sajak-sajaknya: Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku. Slamet menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
Mohammad Diponegoro, lahir di Jogja 28 Juni 1982, meninggal 9 Mei 1982 di kota yang sama. Seorang pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radioAustralia ini menulis cerpen berjudul Kisah Seorang Prajurit dan roman Siklus. Kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Dipoegoro juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo, lahir di Prambanan 18 Maret 1930, meinggal di Jakarta 9 April 1984.
Mengarang roman Orang Buangan (1971),
dan Perjanjian dengan Maut (1975).
Menerjemahkan apos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984)
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- MAKALAH SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
- SEJARAH SASTRA ANGKATAN 66
- MAKALAH PRAKTIK MENYIMAK KONSERVATIF
- MAKALAH RELASI MAKNA SEMANTIK
- MAKALAH PENDIDIKAN DAN TUNTUTAN ZAMAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar