HOME

06 Mei, 2023

MAKALAH RELASI MAKNA SEMANTIK

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan media komunikasi yang paling efektif yang dipergunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi pada keseharian kita sangat bervariasi bentuknya, baik dilihat dari fungsi maupun bentuknya. Tataran penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi tidak lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada makna, yang merupakan ruang lingkup dari semantik.

Dalam suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, sering kali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini menyangkut hal kelainan makna (homonimi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna (hiponimi dan hipernimi).

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana homonimia?

2.      Bagaimana polisemi?

3.      Bagaimana hiponimi dan hipernimi?

C.       Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui homonimia

2.      Untuk mendeskripsikan

3.      Untuk mengetahui

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.           Homonimia

Kata homonimi berasal dari dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya “nama” dan hono yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 1978:94) menyatakan bahwa homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknya tidak sama. Umpamanya antara kata pacar yang berarti “inai” dengan pacar yang berarti “kekasih”; antara kata bisa yang berarti “racun ular” dan kata bisa yang berarti “sanggup, dapat”. Contoh lain, antara kata baku yang berarti “standar” dengan baku yang berarti “saling”, atau antara kata bandar yang berarti “pelabuhan”, bandar yang berarti “parit” dan bandar yang berarti “pemegang uang dalam perjudian”.

Hubungan antara kata pacar dengan arti “inai” dan kata pacar dengan arti “kek[-asih” inilah yang disebut homonimi. Jadi, kata pacar yang pertama berhemonimim dengan kata pacar yang kedua. Begiru juga sebaliknya karena hubungan homonimim ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi contoh di atas, homonimi itu itu terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata.

Di dalam kamus kata-kata yang berhomonimi ini biasanya ditandai dengan angka Romawi yang diletakkan di belakang tiap kata (entri) yang berhomonimim itu, atau juga dengan angka Arab yang diangkat setengah opsi dan diletakkan di depan kata-kata tersebut. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta digunakan angka Romawi:

bandar I……….

bandar II……….

bandar III……….

bisa I……….

bisa II……….

Tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu ditandai dengan angka Arab sebagai berikut.

¹bandar……….

²bandar……….

³bandar……….

¹bisa……….

²bisa……….

Hubungan antara dua buah kata yang berhemonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti “racun ular’ homonym dengan kata bisa yang berarti “sanggup”, maka kata bisa yang berarti “sanggup” juga homonym dengan kata bisa yang berarti “racun ular”.

Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi ini.

Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti “racun ular” berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti “sanggup” berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain kata bang yang berarti “azan” berasal dari bahasa Jawa, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti “kakak laki-laki berasal dari bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti “pangkal, pemulaan” berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti “kalau” berasal dari dialek Jakarta.

Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kepala di dapur adalah homonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraira itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur).

Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

Homonimi dibagi menjadi 4 macam, diantaranya :

1.    Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara morfem-nya pada kalimat: “ini buku saya, itu bukumu, dan yang disana bukunya” berhemonimi dengan-nya pada kalimat “Mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.

2.    Homonimi antarkata, misalnya antara kata bisa yang berarti “racun ular” dan kata bisa yang berarti “sanggup, atau dapat” seperti sudah disebutkan di muka. Contoh lain, antara kata semi yang berarti “tunas” dan kata semi yang berarti “setengah”.

3.    Homonimi antrafrase, misalnya antara frase cinta anak yang berartti “perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya” dan frase cinta anak yang berarti “cinta kepada anak dari seorang ibu” contoh lain, orang tua yang berarti “ayah ibu” dan frase orang tua yang berarti “orang yang sudah tua”. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti “lukisan milik Yusuf, dan lukisan Yusuf yang berarti “lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti “lukisan wajah Yusuf”.

4.    Homonimi antarkalimat, misalnya, antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti “lurah yang baru diangkatitu mempunyai istri yang cantik”, dan kalimat Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti “lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik”.

 

B.       Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa indonesia memiliki makna:

1.      Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan ;

2.      Bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api;

3.      Bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum ;

4.      Pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun ;

5.      Jiwa atau orang seperti dalam kalimat setiap kepala menerima menerima bantuan. Badannya besar tetapi kepalanya kosong.

Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Umpamanya makna leksikal kata kepala diatas adalah bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referennya (lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen  makna:

1.    Terletak disebelah atas atau depan

2.    Merupakan bagian yang penting (tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa hidup)

3.    Berbentuk bulat.

Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna in berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Pada frese kepala surat dan kepala susu komponen “terletak disebalah atas” yang diterapkan sebagai makna. Pada frase kepala paku dan kepala jarum komponen makna “berbentuk bulat”- lah yang diterapkan sebagai makna ; sedangkan pada frase kepala kereta api komponen makna “bagian yang terpenting”- lah yang ditetapkan sebagai makna, sebab tanpa kepala (lokomotif) kereta api itu tidak dapat bergerak. Kita ambil contoh lain, kata kaki yang memiliki komponen makna antara lain:

1.    Anggota tubuh manusia (juga binatang)

2.    Terletak di sebalah bawah

3.    Berfungsi sebagai penopeng untuk berdiri.

 

C.   Hiponimi dan Hipernimi

          Kata hiponimi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu onoma berbarti ‘nama‘ dan hypo berarti ‘dibawah‘. Jadi, secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk dibawah nama lain‘. Secara semantik Verharr (dalam Chaer, 1978:137) menyatakan bahwa hiponemi ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi sekiranya dapat juga frase atau kalimat). Yang maknanya di anggap merupakan bagian dari makna dari suatu ungkapan lain. Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termaksud dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair.

          Kalau relasa antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi, kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan ; tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dan tongkol ( antau jenis ikan lainnya) disebut hipernimi. Jadi kalau tongkol berhiponi terhadap ikan, maka ikan berhipernimi terhadap tongkol.

          Contoh lain kata bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponim terhadap kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan berhipernim terhadap kata bemo, sebab kata kendaraan meliputi kata bemo disamping jenis kendaraan lain ( seperti becak, sepada, kereta api ). Bagaimana hubungan antara tongkol, bandeng, tenggiri, dan mujair yang sama-sama merupakan hiponim terhadap ikan ? biasanya disebut dengan istilah hiponim. Jadi, tongkol berkohiponim dengan tenggiri,dan bandeng dan dengan yang lainnya.

          Dalam definisi Verhaar di atas disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Tetapi kiranya sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah logika dan bukan masalah linguistik. Lalu, oleh karena itu menurut Verhaar (dalam Chaer, 1978:137) masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.

          Konsep hiponimi  dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada dibawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain yang hierarkial berada diatasnya. Umpamanya kata ikan yang merupakan hipernimi terhadap kata tongkol, bandeng, cakalang, dan mujair akan menjadi hiponimi terhadap kata binatang. Mengapa demikian? Sebab yang termasuk binatang bukan hanya ikan, tetapi juga kambing, monyet, gajah, dan sebagainya. Selanjutnya binatang ini pun merupakan hiponimi terhadap kata makhluk, sebab yang termasuk makhluk bukan hanya mnejadi binatang tetapi juga manusia.

          Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tetapi agak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Coba anda pikirkan mengapa?

          Disamping istilah hiponimi ada pula istilah yang disebut meronimi. Kedua istilah ini mengandung konsep yang hamper sama. Bedanya adalah: kalau hiponimi menyatakan adamya kata (unsur leksikal) yang maknanya berada dibawah makna kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari kata lain. Jadi, kalau dalam hiponimi dikatakan “tenggiri adalah sejenis ikan”. Contoh lain “roda adalah bagian dari kendaraan” dan “kamar” adalah bagian dari rumah”.                                                                                                                         

BAB III

PENUTUP

A.      Simpulan

Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Dalam pembahasan relasi makna diatas terdapat beberapa hubungan atau relasi kemaknaan yang menyangkut hal kelainan makna (homonimi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna (hiponimi dan hipernimi). Homonimi itu sendiri mempunyai homonimi antarmorfem, homonimi antarkata, homonimi antarfrase, dan homonimi antarkalimat. Hubungan makna antar dua buah kata yang berhenonim memiliki sifat yang memiiliki sifat yang sama yaitu berfifat dua arah. Selain kenyata-kenyataan ini, dalam hubungan makna, ada dua bentuk yang sama tetapi maknanya berbeda, sementara ada kata yang bentuknya berbeda-beda tetapi maknanya sama, dan ada juga kata maknanya sama, da nada juga kata yang maknanya lebih dari satu. Dari sekian banyak hubungan bentuk dan makna yang ada sejumlah diantara memiliki kedudukan yang sentral didalam semantik.

B.       Saran

Walaupun penulis menginginkan kerapihan dan kesempurnaan ketika menyusun makalah ini namun, pada kenyataannya masih banyak sekali kekurangan yang perlu diperbaiki ulang oleh penulis. Maka dari itu, penulis sangat berharap bahwa para pembaca selalu memberikan sebuah kritik dan saran yang dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk selanjutnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: RINEKA

CIPTA.

 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...