PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang
amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan media komunikasi yang paling
efektif yang dipergunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan individu
lainnya. Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi pada keseharian kita sangat
bervariasi bentuknya, baik dilihat dari fungsi maupun bentuknya. Tataran
penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi tidak
lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada makna, yang merupakan
ruang lingkup dari semantik.
Dalam suatu bahasa, makna kata saling
berhubungan, hubungan ini disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud
macam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, sering kali kita
temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau
satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau
relasi kemaknaan ini menyangkut hal kelainan makna (homonimi), kegandaan makna
(polisemi), ketercakupan makna (hiponimi dan hipernimi).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
homonimia?
2.
Bagaimana
polisemi?
3. Bagaimana hiponimi dan hipernimi?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui homonimia
2.
Untuk
mendeskripsikan
3.
Untuk
mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Homonimia
Kata homonimi berasal dari dari bahasa
Yunani kuno onoma yang artinya “nama” dan hono yang artinya ‘sama’. Secara
harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”.
Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 1978:94) menyatakan bahwa homonimi
sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan
ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknya tidak sama.
Umpamanya antara kata pacar yang
berarti “inai” dengan pacar yang
berarti “kekasih”; antara kata bisa
yang berarti “racun ular” dan kata bisa
yang berarti “sanggup, dapat”. Contoh lain, antara kata baku yang berarti “standar” dengan baku yang berarti “saling”, atau
antara kata bandar yang berarti
“pelabuhan”, bandar yang berarti “parit” dan bandar yang berarti “pemegang uang dalam perjudian”.
Hubungan antara kata pacar dengan arti “inai” dan kata pacar dengan arti “kek[-asih” inilah yang disebut homonimi. Jadi,
kata pacar yang pertama berhemonimim
dengan kata pacar yang kedua. Begiru
juga sebaliknya karena hubungan homonimim ini bersifat dua arah. Dalam kasus
Bandar yang menjadi contoh di atas, homonimi itu itu terjadi pada tiga buah
kata. Dalam bahasa Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga
buah kata.
Di dalam kamus kata-kata yang berhomonimi
ini biasanya ditandai dengan angka Romawi yang diletakkan di belakang tiap kata
(entri) yang berhomonimim itu, atau juga dengan angka Arab yang diangkat
setengah opsi dan diletakkan di depan kata-kata tersebut. Di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta digunakan angka Romawi:
bandar I……….
bandar II……….
bandar III……….
bisa I……….
bisa II……….
Tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia
(1983) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1988) juga oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata-kata
yang berhomonimi itu ditandai dengan angka Arab sebagai berikut.
¹bandar……….
²bandar……….
³bandar……….
¹bisa……….
²bisa……….
Hubungan antara dua buah kata yang
berhemonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti “racun
ular’ homonym dengan kata bisa yang berarti “sanggup”, maka kata bisa yang
berarti “sanggup” juga homonym dengan kata bisa yang berarti “racun ular”.
Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi
bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi
ini.
Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi
itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang
berarti “racun ular” berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang
berarti “sanggup” berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain kata bang yang berarti “azan” berasal dari
bahasa Jawa, sedangkan kata bang
(kependekan dari abang) yang berarti “kakak laki-laki berasal dari bahasa
Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti “pangkal, pemulaan” berasal dari
bahasa Melayu, sedangkan kata asal
yang berarti “kalau” berasal dari dialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi
sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu
sedang mengukur kepala di dapur adalah homonimi dengan kata mengukur dalam
kalimat petugas agraira itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai
hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur),
sedangkan kata mengukur yang kedua
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur =
mengukur).
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi,
homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran
frase, dan tataran kalimat.
Homonimi dibagi
menjadi 4 macam, diantaranya :
1.
Homonimi
antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang
lainnya. Misalnya, antara morfem-nya pada kalimat: “ini buku saya, itu bukumu, dan yang disana bukunya” berhemonimi
dengan-nya pada kalimat “Mau belajar
tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang
ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
2.
Homonimi
antarkata, misalnya antara kata bisa yang berarti “racun ular” dan kata bisa
yang berarti “sanggup, atau dapat” seperti sudah disebutkan di muka. Contoh
lain, antara kata semi yang berarti
“tunas” dan kata semi yang berarti “setengah”.
3.
Homonimi
antrafrase, misalnya antara frase cinta
anak yang berartti “perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya” dan
frase cinta anak yang berarti “cinta
kepada anak dari seorang ibu” contoh lain, orang
tua yang berarti “ayah ibu” dan frase orang
tua yang berarti “orang yang sudah tua”. Juga antara frase lukisan Yusuf
yang berarti “lukisan milik Yusuf, dan lukisan
Yusuf yang berarti “lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti “lukisan wajah Yusuf”.
4.
Homonimi
antarkalimat, misalnya, antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti
“lurah yang baru diangkatitu mempunyai istri yang cantik”, dan kalimat Istri
lurah yang baru itu cantik yang berarti “lurah itu baru menikah lagi dengan
seorang wanita yang cantik”.
B.
Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa
juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam
bahasa indonesia memiliki makna:
1. Bagian
tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan ;
2. Bagian
dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang
penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta
api;
3. Bagian
dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan
kepala jarum ;
4. Pemimpin
atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun ;
5. Jiwa
atau orang seperti dalam kalimat setiap kepala menerima menerima bantuan.
Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki
satu makna yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan
referennya. Umpamanya makna leksikal kata kepala diatas adalah bagian tubuh
manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makna leksikal ini yang sesuai dengan
referennya (lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai
banyak unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki
komponen makna:
1.
Terletak
disebelah atas atau depan
2.
Merupakan bagian
yang penting (tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau
lengan masih bisa hidup)
3.
Berbentuk bulat.
Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna in
berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Pada frese kepala surat dan kepala
susu komponen “terletak disebalah atas” yang diterapkan sebagai makna. Pada
frase kepala paku dan kepala jarum komponen makna “berbentuk bulat”- lah yang
diterapkan sebagai makna ; sedangkan pada frase kepala kereta api komponen
makna “bagian yang terpenting”- lah yang ditetapkan sebagai makna, sebab tanpa
kepala (lokomotif) kereta api itu tidak dapat bergerak. Kita ambil contoh lain,
kata kaki yang memiliki komponen makna antara lain:
1. Anggota
tubuh manusia (juga binatang)
2. Terletak
di sebalah bawah
3. Berfungsi
sebagai penopeng untuk berdiri.
C. Hiponimi dan Hipernimi
Kata
hiponimi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu onoma berbarti ‘nama‘ dan hypo
berarti ‘dibawah‘. Jadi, secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk dibawah
nama lain‘. Secara semantik Verharr (dalam Chaer, 1978:137) menyatakan bahwa hiponemi
ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi sekiranya dapat juga frase atau
kalimat). Yang maknanya di anggap merupakan bagian dari makna dari suatu
ungkapan lain. Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab
makna tongkol berada atau termaksud dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan
tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair.
Kalau relasa antara
dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah
maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi, kata
tongkol berhiponim terhadap kata ikan ; tetapi kata ikan tidak berhiponim
terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal
ini relasi antara ikan dan tongkol ( antau jenis ikan lainnya) disebut
hipernimi. Jadi kalau tongkol berhiponi terhadap ikan, maka ikan berhipernimi
terhadap tongkol.
Contoh lain kata
bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponim terhadap kendaraan, sebab bemo adalah
salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan berhipernim terhadap kata
bemo, sebab kata kendaraan meliputi kata bemo disamping jenis kendaraan lain ( seperti becak, sepada, kereta api ). Bagaimana hubungan antara tongkol, bandeng, tenggiri, dan mujair
yang sama-sama merupakan hiponim terhadap ikan ? biasanya disebut dengan
istilah hiponim. Jadi, tongkol berkohiponim dengan tenggiri,dan bandeng dan
dengan yang lainnya.
Dalam definisi
Verhaar di atas disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk
frase dan kalimat. Tetapi kiranya sukar mencari contohnya dalam bahasa
Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah logika dan bukan
masalah linguistik. Lalu, oleh karena itu menurut Verhaar (dalam Chaer, 1978:137)
masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas
bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada dibawah makna
kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi
terhadap sejumlah kata lain yang hierarkial berada diatasnya. Umpamanya kata
ikan yang merupakan hipernimi terhadap kata tongkol, bandeng, cakalang, dan
mujair akan menjadi hiponimi terhadap kata binatang. Mengapa demikian? Sebab
yang termasuk binatang bukan hanya ikan, tetapi juga kambing, monyet, gajah,
dan sebagainya. Selanjutnya binatang ini pun merupakan hiponimi terhadap kata
makhluk, sebab yang termasuk makhluk bukan hanya mnejadi binatang tetapi juga manusia.
Konsep hiponimi dan
hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tetapi agak sukar pada kata kerja
dan kata sifat. Coba anda pikirkan mengapa?
Disamping istilah
hiponimi ada pula istilah yang disebut meronimi. Kedua istilah ini mengandung
konsep yang hamper sama. Bedanya adalah: kalau hiponimi menyatakan adamya kata
(unsur leksikal) yang maknanya berada dibawah makna kata lain, sedangkan
meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari
kata lain. Jadi, kalau dalam hiponimi dikatakan “tenggiri adalah sejenis ikan”.
Contoh lain “roda adalah bagian dari kendaraan” dan “kamar” adalah bagian dari
rumah”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Dalam pembahasan relasi
makna diatas terdapat beberapa hubungan atau relasi kemaknaan yang menyangkut
hal kelainan makna (homonimi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna
(hiponimi dan hipernimi). Homonimi itu sendiri mempunyai homonimi antarmorfem,
homonimi antarkata, homonimi antarfrase, dan homonimi antarkalimat. Hubungan
makna antar dua buah kata yang berhenonim memiliki sifat yang memiiliki sifat
yang sama yaitu berfifat dua arah. Selain kenyata-kenyataan ini, dalam hubungan
makna, ada dua bentuk yang sama tetapi maknanya berbeda, sementara ada kata
yang bentuknya berbeda-beda tetapi maknanya sama, dan ada juga kata maknanya
sama, da nada juga kata yang maknanya lebih dari satu. Dari sekian banyak
hubungan bentuk dan makna yang ada sejumlah diantara memiliki kedudukan yang
sentral didalam semantik.
B.
Saran
Walaupun penulis menginginkan kerapihan dan kesempurnaan ketika
menyusun makalah ini namun, pada kenyataannya masih banyak sekali kekurangan
yang perlu diperbaiki ulang oleh penulis. Maka dari itu, penulis sangat
berharap bahwa para pembaca selalu memberikan sebuah kritik dan saran yang
dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:
RINEKA
CIPTA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar