BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seluruh Ulama ahl al-ra’yi maupun Ahl-al-Athar sepakat
menetapkan Hadis sebagai penjelas dari Al-qur’an, begitu pula Ahli ‘aql
dan ahli naql dalam Islam telah sepkat bahwa hadis (sunah) dasar bagi umat
Islam, dan umat diperintahkan untuk mengikutinya sebagaimana mengikuti al-Qur’an.[1]
Oleh karena itu hadis seyogyanya haruslah terjaga
dengan rapi baik dalam kualitas maupun kuantitasnya , karena dengan menjaga hadis
itulah sama seperti halnya kita menjaga dan mensucikan agama Islam.
Dari latar belakang inilah pemakalah memiliki kesenangan untuk menyusun suatu makalah yang harapan kami dengan makalah ini kita akan sedikit terbantu dalam memahami hadis terlebih dalam memahami hadis sahih, karena hadis sahihlah merupakan bentuk kerja keras para ulama terdahulu dalam menjaga hadis Nabi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dan kriteria hadis sahih
menurut bahasa dan istilah?
2. Apa perbedaan kriteria hadis sahih
dalam kitab sahih Bukhari sahih Muslim dan kitab lainnya?
3. Apa
yang di maksud hadis Shahih li dati dan Shahih li ghairih
?
4.
Bagaimana kehujjahan hadis sahih?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi dan kriteria hadis sahih
Shahih menurut lughat adalah lawan dari saqim, artinya
sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih
adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi
cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasul Allah SAW, atau
sahabat, atau tabi’in, bukan hadis yang shadh (kontroversi) dan
terkena ‘illat yang menyebab kan cacat dalam penerimanya.[2]
Ulama hadis hanya mengkaji Rasulullah , dari posisi beliau sebagai imam (Pemimpin) yang memberi petunjuk berdasarkan
pemberitahuan Allah SWT, bahwa beliau adalah teladan dan panutan kita.
Sehubungan itu mereka menukil segala hal yang berhubungan dengan diri beliau,
meliputi perjalanan , akhlak,
tabiat, khabar, ucapan, dan perbuatan beliau, baik yang menetapkan hukum shara’ ataupun
tidak[3].
Dalam definisi lain, hadis
sahih adalah
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَصِلٌ السَّنَدِ غَيْرُ
مُعَلَّلِ وَلَا شَاذٍ
Hadis yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil,
sempurna ingatannya, sanad nya bersambung, tidak ber’illat ,
dan tidak
janggal.[4]
Adapun menurut Abu Amr Ibn Al-Salah yang di maksud hadis
sahih ialah
الحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ اْلمسْنِدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ
إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا
مُعَلَّلًا
Hadis sahih adalah musnad yang sanad nya muttasil melalui
periwayatan orang yang adil lagi dabit sampai ujungnya, tidak shadh dan tidak mu’allal (terkena
ilat).[5]
Definisi Ibn
Al-Salah ini kemudian di ringkas oleh imam Al-Nawawi sebagai berikut
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعُدُوْلِ الضَّابِطُوْنَ
مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلَا عِلَّةٍ
Hadis sahih adalah hadis yang muttasil sanad nya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dabit tanpa shadh dan ‘illat.[6]
Yang di
maksud orang-orang adil lagi dabit adalah para
perawi dalam sanad itu, yakni di riwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit
(pula) dari awal sampai akhirnya.
Hadis ahad yang telah di akui kesahihanya
dengan yaqin oleh sebagian ulama’ ialah hadis-hadis Shahih
al-Bukhari dan hadis-hadis Sahih al-Muslim[7]. Dari
uraian singkat itu jelaslah bahwa hadis sahih harus memenuhi lima
syarat :
a). Sanad Bersambung (Ittisal al-Sanad)
Yang di maksud dengan sanad bersambung
adalah tiap tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis
dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai
ahir sanad hadis itu, Persambungan sanad itu terjadi semenjak mukharrij
hadith (penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai pada
periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis yang
bersangkutan dari Nabi. Dengan kata lain, sanad hadis bersambung sejak
sanad pertama (mukharrij hadith) sampai sanad terahir (kalangan sahabat)
hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada
periwayat pertama (kalangan sahabat) sampai periwayat terahir (mukharrij
hadith )[8]
Dengan syarat ini, di kecualikan hadis munqoti’,
mu’dhal, mu’allaq, mudallas, dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi
kriteria muttasil ini[9].
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya
suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja penelitian
berikut :
1)
Mencatat semua
nama rawi
dalam sanad
yang di teliti.
2)
Mempelajari
sejarah hidup masing masing rawi
3)
Meneliti kata
kata yang menghubungkan antara para rawi yang terdekat dengan sanad.[10]
Hadis yang sanad nya bersambung,
di kalangan ulama hadis
dinilai dengan sebutan yang beragam. Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H/1072 M)
menamainya sebagai hadis musnad. Hadis musnad menurut Ibn ‘Abd
al-Barr, adalah hadis yang di sandarkan kepada Nabi (sebagai hadis
marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttasil)
dan adapula yang terputus (munqati’). Pendapat ini
menurut al-Sakhawi (w.902 H/1947 M), merupakan pendapat yang di ikuti oleh
mayoritas ulama’ hadis. Dengan demikian, menurut kebanyakan ulama’ hadis,
hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya,
sedangkan hadis marfu’ belum tentu hadis musnad. Hadis
marfu’ dapat di sebut sebagai hadis musnad bila seluruh
rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal hingga akhir.
Berkaitan dengan ketersambungan
sanad ini di kenal pula istilah hadis muttasil atau mawsul. Menurut
Ibn al-Salah dan al-Nawawi, yang di maksud dengan hadis muttasil
dan mawsul adalah yang brsambung sanadnya, baik persambungan itu sampai
kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. M.Syuhudi Ismail
menyimpulkan bahwa hadis muttasil atau mawsul ada yang
marfu’(di sandarkan pada Nabi), ada yang mawquf (di sandarkan pada
sahabat), an ada pula yang maqtu’ (disandarkan pada tabi’in).
Jika di bandingkan dengan hadis musnad maka dapat di nyatakan
bahwa hadis musnad pasti muttasil atau mawsul, tetapi
tidak semua hadis muttasil itu musnad.[11]
Dengan kata
lain, ketersambungan hadis muttasil atau mawsul tidak bisa
di jadikan sebagai patokan penentuan kesahihan suatu hadis,
berbeda dengan ketersambungan hadis musnad, karena hadis muttasil
atau mawsul ada yang tersambung sampai Nabi, ada yang hanya
tersambung pada sahabat saja bahkan ada pula yang sampai pada tab’in sehingga
di balik ketersambungan sanad itu ada kemungkinan terdapat keterputusan informasi
dari Nabi (pada hadis mawquf dan maqtu’). Berbeda dengan
dengan hadis musnad yang di pastikan ketersambungan sanad nya
sampai Nabi, sehingga dapat dijadikan patokan untuk kriteria sanad
bersambung sebagaimana dijelaskan di atas.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis,
menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian
sebagai berikut:[12]
1)
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad yang di teliti.
2)
Mempelajari sejarah hidup masing masing periwayat yang di lakukan :
(a)
Melalui kitab-kitab rijal al-hadith, misalnya
kitab tahdhb al-Kamal karya al-Mizzi, tahdhb al-tahdhb karya Ibn
Hajar al-‘Asqolani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad Ibn Ahmad al-Dhahabi.
(b)
Hal itu di maksudkan untuk
(1)
Apakah setiap periwayat dalam sanad itu di kenal sebagai
orang yang thiqah (adil dan dabit ), serta tidak suka melakukan tadlis
(menyembunyikan cacat), yang di maksud adil adalah orang yang lurus
agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasihan, dan hal-hal yang
menjatuhkan keperawianya. Sedang kan yang di maksud dengan dabit adalah
orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika
mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya[13].
(2)
Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat
dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan
guru murid dalam priwayatan hadis.
(c)
Meneliti kata kata
(adah al-tahammul wa ada’ al-hadith ) yang menghubungkan antara
para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata kata atau
metode yang di pakai dalam sanad berupa
: haddathani, haddathana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna dan
sebagai nya.
Antara masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam
sanad itu benar benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara
sah menurut al-tahammul wa ada’ al-hadith[14].
Melalui beberapa langkah
di atas dapat di ketahui apakah sanad suatu hadis di nyatakan bersambung
atau tidak. Ketersambungan sanad itu di ketahui apakah para periwayat di
pastikan benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat
sebelumnya yang di ketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru murid,
atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.
b) . Periwayat Bersifat ‘adil
Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria
periwayat hadis disebut ‘adil. Al-Hakim berpendapat bahwa
seseorang disebut ‘adil apabila beraga islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat. Ibn al-Salah menetakan lima
kriteria seorang periwayat di sebut ‘adil, yaitu beraga islam, baligh,
berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat fasik. Pendapat serupa
juga di sampaikan oleh al-Nawawi. Sementara itu Ibn Hajar al-Asqalani
menyatakan bahwa sifat ‘adil dimiliki seorang periwayat hadis
yang taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya
syirik, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat fasik.[15]
Menurut al-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertindak takwa[16], Taqwa
ialah tidak mengerjakan maksyiat, syirik, fasiq, dan bid’ah[17].
Berdasarkan pernyataan para ulama di atas di ketahui
berbagai kriteria periwayat hadis di nyatakan ‘adil. Secara
akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah :
1)
Beragama islam
2)
Baligh
3)
Berakal
4)
Takwa
5)
Memelihara muru’ah
6)
Teguh dalam beragama
7)
Tidak berbuat dosa besar
8)
Tidak berbuat maksiat
9)
Tidak berbuat bid’ah
10)
Tidak berbuat fasik.
Dari sekian kriteria di
atas kemudian di ringkas menjadi empat kriteria, yaitu
(a)
Beragama Islam
(b)
Mukallaf
(c)
Melaksanakan ketentuan agama
(d) Memelihara Muru’ah[18].
Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadis,
para ulama hadis telah menetapakan beberapa cara, yaitu : Pertama.
Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis.
Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik Ibn Anas dan Sufyan
al-Tsauri tidak di ragukan ke-’adil-annya. Kedua. Penilaian dari
para kritikus periwayat hadis. Ketiga. Penerapan kaidah al-jarh
wa al-ta’dil. Cara ini di tempuh apabila para kritikus periwayat hadis
tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[19]
Ketiga cara di atas di prioritaskan dari urutan yang
pertama kemudian yang berikutnaya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadis
dapat di ketahui melalui popularitas keutamaanya di kalangan para ulama. Jika
seorang periwayat hadis terkenal dengan keutamaanya seperti Malik Ibn
Anas dan Sufyan al-Tsauri, maka di pastikan ia bersifat ‘adil, namun
berdasar penilaian para kritikus periwayat hadis di ketahui bahwa ia
bersifat ‘adil. Maka di tetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan
tetapi bila terjadi perbedaan pendapat tentan ‘adil tidak nya seseorang
periwayat hadis, maka di gunakanlah kaidah kaidah al-jarh wa
al-ta’dil
Ketiga cara tersebut tidak dapat di balik penggunaanya,
dalam arti seorang periwayat hadis yang terkenal ‘adil tidak
dapat di nilai dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat para
kritikus periwayat maupun berdasar penetapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas
keadilan didahulukan sebab kulitas seorang periwayat yang dinilai demikian
tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak,
berbeda dengan cara kedua yang hanya di nyatakan atau di saksikan oleh satu
atau beberapa orang saja. Demikian pula seorang periwayat hadis yang
dinilai ‘adil oleh seseorang atau
beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka
pendapat itu yang di gunakan, bukan dengen menerapkan kaidah al-jarh wa
al-ta’dil. Sebab. Para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas
periwayat hadis yang mereka
nilai. Kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyata terjadi perbedaan pendapat di
kalangan kritikus seorang periwayat hadis. [20]
c) Periwayat Hadis Bersifat Dabit
Untuk hadis sahih, para
periwayatnya berstatus dabit sedangkan hadis hasan di
antara periwayatnya ada yang kurang dabit. Yang di maksut dengan dabit,
adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat
menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalanya yang kuat maupun
dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkanya kembali ketika meriwayatkanya[21]. Secara
sederhana kata dabit dapat diartikan dengan kuat hafalan[22].
Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi,
maka ke-dabit-an terkit dengan kualitas intelektual. Antara sifat ‘adil
dan sifat dabit terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang ‘adil
dengan kualitas pribadinya bagus misalnya jujur, amanah (dapat di percaya),
dan objektif tidak dapat di terima informasinya apabila ia tidak mampu
memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya, orang yang ampu
memelihara, hafal, dan paham terhadap informasi yang di ketahuinya tetapi kalau
ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikanya tidak
dapat di percaya. Karena itu, oleh para ulama hadis ke’adilan dan
ke-dabit-an periwayat hadis kemudian di jadikan satu dengan
istilah thiqah. Jadi, periwayat
yang thiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dabit.
Di kalangan ulama,
pengertian dabit dinyatakan dengan redaksi beragam. Ibn Hajar
al-‘Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang di sebut dabit
adalah orang yang kuat hafalanya tentang apa yang telah di dengar dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki.
Muhammad Abu Zahrah
berpendapat, seseorang disebut dabit apabila mampu mendengarkan
pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian
menghafal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal dengan sempurna, sehingga
mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik.
Kalau seorang mempunyai
ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan
ingatanya itu sanggup di keluarkan kapan dan di mana saja di kehendaki, orang
itu dinamakan dabt sadri, kemudian kalau apa yang di sampaikan itu
berdasar pada buku catatanya, maka ia disebut dabt kitab.[23]
Sementara itu, Subhi
al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dabit adalah orang yang mendengarkan
riwayat hadis sebagaimana
seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara
sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat
mendengar riwayat itu sampai
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[24]
Berdasar beberapa yang di
kemukakan para ulama hadis di atas. M . Syhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dabit adalah:
Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis
yang telah di dengar (diterimanya). Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat
memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimanya), dengan kemungkinan
pertimbangan bahwa :
1)
Apabila para periwayat telah hafal dengan baik riwayat
yang di terimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah
dihafalnya itu.
2)
Yang di pentingkan bagi seorang periwayat adalah
hafalanya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkanya. Pertimbangan
pertama tidak cukup kuat karna orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu,
menurutnya pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dabit-an periwayat menurut sebagian ulama di atas.
Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadis yang
telah di dengar (diterimanya). Kemampuan
hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat di sebut sebagai orang yang dabit,
meskipun ada ulama yang mendasarkan ke-dabit-an bukan hanya pada
kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Dengan kata
lain, periwayat yang hafal terhadap hadis dengan baik dapat disebut dabit,
dan jika disertai dengan pemahaman terhadapnya, maka tingkat ke- dabit-annya
lebih tinggi daripada periwayat tersebut.[25]
Ketiga, periwayat yang mampu menyampaikan riwayat yang telah di
hafal dengan baik :
1)
Kapan saja menghendakinya.
2)
Sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang
lain.
Kemampuan hafalan yang
dituntut dari seorang periwayat , sehingga ia di sebut seorang yang dabit, adalah
tatkalah periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia
menghendakinya. Kriteria ini di maksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu
dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu
banyak yang dihafal, atau karena sebab lainya[26].
Periwayat hadis
yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau sebab yang lain,
Sa’id Ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id Ibn ‘Arubah, Rabi’ah al-Ra’i Ibn ‘Abd
al-Rahman,. Periwayat yang mengalami kemampuan hafaln tetap dinyatakan sebagai
periwayat yang dabit sampai saat sebelum mengalami perubahan, sedangkan
sesudah mengalami perubahan di nyatakan tidak dabit. [27]
Sebagaimana halnya
periwayat yang ‘adil, periwayat yang dabit dapat di ketahui
melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dabit-an periwayat hadis
menurut brbagai pendapat ulama adalah
1)
Ke-dabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan
kesaksian ulama
2)
Ke-dabit-an periwayat dapat di ketahui juga
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah di kenal ke-dabit-annya, baik kesesuaian itu
sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah
3)
Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap di
nyatakan dabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika
ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut
dabit[28].
Kualitas ke-dabit-an periwayat dengan periwayat lain
tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dabit-an, ada yang hanya dabit
saja bahkan ada yang kurang dabit serta tidak dabit. Seorang
perwayat yang di sebut sempurna ke-dabit-annya (tamm al-dabit ) apabila
ia hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya, mampu menyampaikan
dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan paham
dengan baik hadis yang dihafalnya itu. Seorang periwayat disebut dabit
saja apabila hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan
mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang
lain.
Hadis yang di sampaikan oleh periwayat yang demikian, dilihat
dari segi ke-dabit-annya dapat di kelompokkan pada hadis sahih,
disamping tentunya jika terpenuhi kriteria hadis sahih yang lain.
Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang kurang dabit dapat
dikelompokkan pada hadis hasan. Periwayat disebut tidak dabit apabila
tidak hafal terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami
kekeliruhan dalam meriwayatkan hadis dan hadis yang
diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis da’if.
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
d) Terhindar dari shadh (Kejanggalan)
Secara
bahasa shadh merupakan isim fa’il dari shadhdha yang
berarti menyendiri (infarada) seperti kata اَلْمُنْفَرِدُ عَنِ الْجُمْهُوْرِ Sesuatu yang menyendiri terpisah
dari mayoritas). Menurut istilah ulama hadis, shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
thiqah dan bertentangan dengan periwayat yang lebih thiqah.
Pendapat ini di kemukakan oleh al-Syafi’i dan di ikuti oleh kebanyakan ulama hadis.
Sedangkan menurut Nur
al-Din Itr, terhindar shadh adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan
dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya[29],
disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam kedabitan, atau adanya segi-segi
tarjih yang lain[30].
Menurut al-Shafi’i, suatu hadis yang
dinyatakan mengandung shadh apabila diriwatkan oleh seorang periwayat
yang thiqah dan bertentangan denga hadis yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang juga thiqah. Suatau hadis tidak dinyatakan
mengandung shadh bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah
sedangkan periwayat thiqah yang lain tidak meriwayatkanya. Berbeda
dengan itu al-Hakim al-Naysaburi menyatakan bahwa hadis shadh
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah, tetapi
tidak ada periwayat thiqah lainya yang meriwayatkanya.[31]
e)
Terhindar dari ‘illat
Adanya hadis
tersebut terhindar dari ‘illat qadihah, (illat
yang mencacatkanya). Seperti memursalkan yang maushul, me-muttasil-kan
yang munqati’ ataupun me-marfu’-kan yang mauquf.[32]
Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas
dari cacat kesahihanya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat
samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak
menunjukkan adanya cacat tersebut[33].
Jika dalam sebuah hadis
terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak sahih, maka hadis
itu dinamakan hadis mu’allal, yakni hadis yang mengandung ‘illat
. Kata mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah
(ia mencacatkanya). Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat. Kesalahan
baca, penyakit, dan keburukan.
Menurut istilah ahli hadis, ‘illat berarti
sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis. Ibn al-Shalah,
al-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadis yang menyebabkan hadis
yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.
2.
Perbedaan kriteria hadis sahih dalam kitab sahih
al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab hadis lain;
a)
Imam al-Bukhari
Nama lengkapnya adalah
Abu’abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah
Al-Bukhari. Ia dilahirkan pada bulan Syawal 194 H di negeri Bukhara, Uzbekistan, Asia
Tengah sehingga lebih di kenal dengan nama Al-Bukhari[34]
Sejak kecil ia telah
menunjukkan kecerdasanya, ia hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak, kemudian
menghafalkan hadis dari gurunya di Bukhara.[35]
Imam Bukhari adalah salah
satu tokoh yang memilki hafalan dan keteguhan ingatan yang sangat kuat.
Sumber-sumber yang menyebutkan biografi beliau semuanya menyebutkan hal ini.
Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa heran bahwa majlis Imam Bukhari di
baghdad dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Pada ahir hayat beliau
Imam bukhari keluar menuju Khartank suatu tempat berjarak dua farsakh dari Samarkand. Di sanalah beliau wafat pada tanggal 30
Ramadhan 256 H.[36]
Imam Bukhari meninggalkan
sekitar dua puluh karya dalam bidang hadis, ilmu-ilmunya
dan tokoh-tokohnya serta ilmu ke-Islaman lainya. Yang terpopuler adalah al-Jami’ al-Sahih, yang
lebih di kenal dengan sebutan Sahih Bukhari.
Sahih Bukhari di anggap sebagai karya pertama yang memuat hadis
sahih saja. Imam Bukhari menghimpun 9082 buah hadis di dalamnya
–dengan pengulangan di dalam nya- yang beliau pilih dari enam ratus ribu hadis.
Dengan segenap upaya dan dalam waktu yang lama, kurang lebih
enam belas tahun, beliau menyusun karya itu sampai muncul seperti yang kita
lihat sekarang. Beliau tidak meletakkan satu hadis pun kecuali shalat
dua rakaat terlebih dahulu. Dalam hal ini beliau mengatakan : “Aku jadikan ia
sebagai hujjah antara diriku dengan Allah SWT”.
Kitab Bukhari itu telah didengar
oleh kurang lebih sembilan puluh ribu orang pada masanya.[37]
1)
Syarat Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya
Al-Bukhari berkata :
“Dahulu kami pernah berada di samping Ishaq bin Rahawaih, Ia berkata “Alangkah
baiknya jka engkau himpun suatu kitab khusus untuk Sunnah Nabi, yang Sahih”
. Kemudian al-Bukhari berkata “Pesan itu begitu membekas dalam hatiku, maka
mulailah aku melangkah menyusun al-Jami’ al-Sahih[38].
Imam Bukhari tidak
menyebutkan secara tegas syarat yang beliau terapkan dalam mentakhrij hadis-hadis
dalam kitabnya itu. Akan tetapi ulama’ menggalinya dari metode yang beliau
tempuh. Orang yang meneliti dengan cermat akan memukan, bahwa beliau memilih perawi-perawi
yang telah terkenal ‘adil dabit dan teguh. Tak seorang alim
pun tak mengetahui hal ini, yakni metode spesifik yang beliau tempuh dalam
kitab itu yang mengindikasikan kekuatan hafalan, keluasan ilmu dan kemampuan istinbat
beliau.
Dalam penyusunan kitab sahih nya Imam bukhari tidak merasa cukup dengan
kesejamanan (mu’asarah) perawi dengan gurunya, tetapi mengharuskan
adanya pertemuanantara keduanya, meski hanya sekali. Dari sinilah, Ulama
mengatakan Imam Bukhari memiliki dua syarat, yaitu syarat mu’asyarah (Kesejamanan)
dan syarat liqa’ (bertemunya perawi dengan gurunya)[39]
Berdasarkan kriteria
kriteria itulah para Imam, yang klasik maupun modern, menilai bahwa kitab
bukhari merupakan kitab hadis yang paling sahih. Bahkan merupakan
kitab paling sahih setelah al-Qur’an. Para Ahli sepakat bahwa hadis muttasil
yang marfu’ berstatus sahih dan di terima oleh umat.[40]
b)
Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah
Al-Imam Abu Husain Muslim Al-Hajjaj
Al-Qusyairi al-Naisaburi. ia di lahirkan pada tahun 204 hijriah dan meninggal
dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan di makamkan di
Naisaburi. Ia juga sudah belajar hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari
dan pernah mendengar dari guru-guru Al-Bukhari dan ulama lain selain mereka. Ia
juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat, yang paling
bermanfaat adalah kitab sahih nya yang di kenal dengan Sahih Muslim.[41]
Para tokoh ilmu memujinya.
Abu Zur’ah dan Abu Hatim mendahulukanya di atas para imam semasanya[42].
Imam muslim menyusun kitab
nya itu dari tiga ratus ribu hadis yang di dengarnya langsung. Untuk
menyeleksinya, beliau menghabiskan waktu sekitar lima belas tahun. Dalam hal
ini Imam Muslim mengatakan “Aku tidak meletakkan suatu hadis pun dalam
kitabku ini kecuali dengan Hujjah, dan aku tidak menggugurkan suatu hadispun
dari kitabku ini kecuali dengan hujjah pula”.
Di tempat lain beliau mengatakan “Tidaklah semua hadis sahih
yang ada pada ku aku letakkan letakkan dalam kitab ku ini. Aku hanya meletakkan
yang di sepakati kesahihanya oleh ulama”. Maksudnya hadis sahih
yang memenuhi syarat yang telah di sepakati oleh para ulama.[43]
Selain hadis hadis yang terulang, jumlah hadis yang ada pada sahih Muslim ada 3030 buah hadis, dan bila di hitung berdasarkan sanad sanad yang beragam mencapai sekitar sepuluh ribu hadis
1)
Syarat Imam Muslim Dalam kitab Sahih nya.
Setelah membicarakan
syarat Imam bukhari dalam kitab Sahihnya, maka saatnya kita membicarakan syarat Imam Muslim.
Tak seorang pun di antara keduanya yang menyebut secara tegas syarat yang
keduanya terapkan. Ulama menggali syarat keduanya melalui metode takhrij
keduanya, patut saya tegaskan di sini, bahwa masing masing men-takhrij hadis
yang memenuhi syarat kesahihan, yakni muttasil sanad nya,
diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil lagi dabit dari perawi lain
yang ‘adil lagi dabit pula, dari awal sampai akhir sanadnya tanpa
shudhudh dan tanpa ‘illat.
Al-Nawawi berkata “Para
ulama sepakat atas ke agunganya, keimananya, ketinggian martabatnya,
kecerdasanya, dan kepeloporanya dalam dunia perhadisan ini[44].
Imam Muslim berbeda dengan
Imam bukhari dalam hal, Imam muslim menghukumi snanad mu’an’an sebagai muttasil
dan hal ini beliau sebutkan secara tegas dalam muqaddimah Sahihnya.
Beliau berpendapat, bahwa kesejamanan cukub bisa menjadikan suatu riwayat
diterima secara ‘an’anah, meski tidak ada riwayat yang falid bertemunya
perawi dengan gurunya. Sedang Imam Bukhari tidak menilainya sebagai muttasil,
kecuali ada riwayat yang valid bahwa keduanya pernah bertemu. Imam Muslim
menilai bahwa perawi thiqah tidak
akan meriwayatkan kecuali dari orang yang ia dengar dari orang itu. Dan ia
tidak akan meriwayatkan dari orang itu, kecuali hadis-hadis yang di dengarnya.
Kesimpulannya adalah bahwa
Imam Muslim merasa cukup dengan kesejamanan antara perawi dengan gurunya (‘an’anah
), sedangkan Imam Bukhari tidak merasa cukup dengan kesejamanan (mu’asarah),
tetapi mensyaratkan adanya pertemuan antara keduanya, meski hanya sekali.
Intinya bahwa syarat yang di gunakan
oleh Imam Muslim itu tidak menurunkan kualitas kitabnya, meskipun harus diakui
bahwa syarat Imam Bukhari lebih ketat. Namun yang jelas keduanya mentakhrij hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat kesahihan.[45]
c)
Imam Abu Daud al-Sijistani
Beliau adalah Sulaiman Ibn
Al-‘As’at Ibn Ishaq al-Azdiy al-Sijistaniy, penulis kitab terpopuler. Beliau
lahir tahun 202 H dan telah
mulai belajar sejak berusia dini. Kemudian beliau mengembara ke Hijaz, Syam, Irak, Mesir, al-Jazair, dan Khurasan. Beliau berguru kepada imam-imam terkemuka,
antara lain Abu Amr adh-dharir, al-Qa’nabiy, Abu Al-Walid ath-Tayalisiy,
Sulaiman ibn Harb Imam Ahmad Ibn Hambal dll.[46]
Abu Daud meninggalkan
banyak karya, Khususnya dalam bidang hadis dan sebagaian ilmu syari’ah pada
umumnya. Karya-karya beliau mencapai dua belas karya. Yang termasyhur adalah kitab sunan.
Abu Daud menjelaskan metode yang beliau gunakan dalam kitab
sunan itu. Beliau mengatakan “saya menyebut hadis sahih dan yang
serupa dengannya. Dan yang terlalu da’if akan saya jelaskan”. Lebih
lanjut beliau mengatakan “ Dalam kitab sunan yang saya susun ini tidak ada satu
hadis pun yang berasal dari perawi yang matruk. Bila ada hadis
yang munkar, maka saya akan menjelaskan bahwa ia munkar,dan
memang dalam bab tertentu tidak ada lainya, selain hadis itu.
Dengan demikian, Abu Daud mentakhrij dalam kitabnya itu yang sahih
dengan yang lainnya. Beliau juga menjelaskan bahwa di dalam nya ada yang sangat
da’if[47]
d)
Imam Tirmidhi
Beliau adalah Abu Isa
Muhammad Ibn Isa Ibn Surah al-Tirmidhi. Beliau lahir pada tahun 209 H, Di desa
“buj”, wilayah tirmidh tepi sungai jihun. Beliau telah memulai menuntut
ilmu sejak dini. Untuk itu, beliau melakukan pengembraan ilmiah ke Irak, Hijaz,
Khurasan, dan lain-lain. Beliau berhasil bertemu dengan imam-imam dan
syaikh-syaikh hadis, mendengar dan meriwayatkan dari mereka. Yang
terpopuler antara lain Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Daud. Beliau juga
mendengar dari sebagian guru mereka, seperti Quthaibah Ibn Sa’id, Muhammad Ibn
Basyar dan lain-lain. Banyak ahli ilmu yang meriwayatkan dari beliau.
Imam Tirmidhi meninggalkan
banyak karya dalam biang hadis dan yang lain. Karya yang terpopuler adalah dalam bidang hadis
yang berjudul Al-jami’ yang lebih
di kenal dengan Sunan Al-Tirmidhi . Ia termasuk karya yang paling banyak mengandung faedah
dan paling sedikit pengulangannya. Kitab ini lebih di kenal dengan sebutan Sunan
Tirmidhi, di samping di kenal pula
dengan sebutan “Jami’ Al-Tirmidhi”. Sebagian ulama bersikap longgar
dengan memberikan sebutan “Al-Jami’ Al-Sahih” untuknya.
Imam Tirmidhi di dalam
kitab itu mentakhrij hadis-hadis Shahih, hasan. da’if, gharib,
dan mu’allal dengan menyebutkan ‘illatnya. Di samping itu,
beliau juga menyebutkan hadis munkar dengan memberika penjelasan
alasanya.[48]
B.
Macam-macam hadis sahih
Para Ulama hadis membagi hadis sahih
menjadi dua macam yaitu hadis sahih li dhatih dan hadis sahih
li ghairih. Hadis sahih li dhatih adalah hadis yang memenuhi
kriteria-kriteria hadis sahih yang lima sebagaimana di jelaskan
sebelumnya. Hadis sahih kategori ini telah di himpun oleh para mudawwin
hadis seperti al-Bukhari dalam kitab nya sahih al-Bukhari. Muslim
Ibn al-Hajjaj dalam Sahih Muslim, Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Ahmad
bin Hambal Dalam Musnad Ahmad, dan lain sebagainya.[49]
Hadis sahih
li ghairih. Aadalah hadis yang kesahihanya di bantu dengan
adanya hadis yang lain. Pada mulanya hadis kategori in memiliki
kelemahan berupa periwayat yang kurang dabit, sehingga di nilai tidak
memenuhi syarat untuk di
kategorikan sebagai hadis sahih. Tetapi, setelah di ketahui ada hadis
lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas sahih. Maka hadis
tersebut naik derajatnya menjadi sahih. Dengan kata lain, hadis sahih
lighairih pada asalnya adalah hadis hasan yang ada hadis
sahih dengan matan yang sama, maka hadis hasan tersebut naik
menjadi hadis sahih.
1)
Contoh Hadis
sahih li dhatih
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ
بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ /اللهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ ( صحيح البخاري :5971 )
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah Bin Sa’id, Ia berkata “meriwayatkan kepada kami jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’Qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata : Datang kepada Rasul Allah seorang laki laki ia bertanya “Ya Rasul Allah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan ku yang baik” Rasul Allah menjawab “Ibu mu” Orang itu bertanya “kemudian siapa”? Rasul Allah menjawab “Ibu mu” Orang itu bertanya lagi “kemudian siapa”? Rasul Allah menjawab “Ibu mu” Orang itu kembali bertanya “kemudian siapa”? Rasul Allah menjawab “kemudian Bapak mu”[50]. (Sahih Bukhari : 5971)
Sanad hadis di atas
bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dabit dari orang yang
semisalnya. Al-Bukhari dan Muslim adalah dua orang Imam yan agung dalam bidang
ini. Dan guru mereka, Qutaibah
bin Said, Adalah orang yang thiqah dan Thabt serta berkedudukan
tinggi. Jarir
adalah putera Abdul Hamid, seorang rawi yang thiqah dan sahih
kitabnya. Umarah
Bin Al-Qa’Qa’ juga seorang yang thiqah Demikian pula Abu Zur’ah
al-Tabi’i Ia Adalah Putera ‘amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.
Para perawi dalam sanad
di atas seluruhnya orang thiqah dan di pakai berhujah oleh para imam. Untaian
sanad di atas telah di kenal di kalangan muhaddithin, dan padanya tidak
terdapat hal hal yang janggal. Demikian pula matan hadis tersebut sesuai
dengan dalil dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadis tersebut
termasuk hadis yang sahih dengan sendirinya (sahih li dhatih)[51]
2)
Contoh hadis sahih li ghairih.
حدثنا أبو
كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل
صلاة (سنن الترمذي : 22)[52]
Nabi berkata “Seandaianya saya tidak (dianggap) mempersulit umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat. (Suan Al-Tirmidhi : 22)
Muhammad Ibn ‘Amr ‘Alqamah termasuk perawi yang terkenal jujur, tetapi tidak termasuk ahlul Itqan (mereka yang memiliki hafalan yang kuat). Sehingga ada yang menilainaya Da’if dari sisi hafalan namun yang lain menilainya Thiqah dari sisi kejujurannya. Jadi hadis ni termasuk hadis hasan li datih dan sahih lighairi. Karena ia hadis in juga di riwayatkan dari guru Muhammad Ibn ‘Amr dari guru-gurunya melalui jalur lain. Ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, yaitu Al-A’raj, Sa’id al-Maqbariy, Ayahnya dan lain lain.
Berikut Hadis penguat dari jalur lain.
وحدثني عن مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي
هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم
بالسواك (الموطأ :145)[53]
Nabi berkata “Seandianya saya tidak (dianggap)
mempersulit umatku, niscaya aku akan
memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat. (Al-Muata’ : 145)
C.
Sanad yang paling sahih dan silsilah al-dzahab.
Karena tingkat kekuatan sanad-sanad hadis
berfariasi, maka sebagian ulama menetapkan sebagian sanad sebagai sanad yang
paling tinggi secara mutlak, sehingga mereka berkata “sanad ini adalah sanad
yang paling sahih” yakni apabila di bandingkan dengan seluruh sanad yang
lain.[54]
Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi Dan Ibn Al-Salah tidak
membenarkan menilai suatu (sanad) hadis dengan assahu al-Asanid, atau menilai suatu (matan) hadis
dengan assahu al-asanid secara mutlak, yakni tanpa menyandarkan pada hal
yang mutlak.
Penilaian assahu
al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya di
khususkan kepada sahabat tertentu, misalnya assahu al-asanid dari Abu
Hurairah r.a, atau di khusus kan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya assahu
al-Asanid dari penduduk Madinah, atau di khususkan dalam masalah tertentu,
jika hendak menilai matan suatu hadis, misalnya assahu al-asanid dalam
bab wudhu’ atau masalah mengangkat tangan dalam berdoa.
Contoh assahu al-Asanid yang muqayyad tersebut
adalah :
1. Sahabat tertentu yaitu :
a. ‘Umar Ibn Al-Khattab r.a,
yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn shihab Al-Zuhri dari salim Ibn ‘Abdullah bin ‘Umar,
dari ayahnya (‘Abdullah bin ‘Umar), dari kakeknya (‘Umar Ibn Al-Khattab).
b. Ibn ‘Umar r.a adalah yang
diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar r.a)
c. Abu Hurairah r.a yaitu
yang diriwayatkan oleh Ibn Shihab Al-Zuhri dari Ibn Al-Musyyab dari Abu
Hurairah r.a
2.
Penduduk kota tertentu yaitu :
a.
Kota Makkah, Yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Uyainah
dari ‘Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdillah r.a
b.
Kota Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Isma’ilbin Abi
Hakim dari Abidah bin Abi Sufyan dari
Abu Hurairah r.a
Contoh assahu
al-Asanid yang mutlak seperti:
1.
Jika menurut Imam Bukhari, Yaitu malik, Nafi’, dan Ibn
Umarr.a
2.
Jika menurut Ahmad Bin Hanbal. Yaitu al-Zuhri, Salim bin ‘Abdillah, dan ayahnya
(‘Abdillah ibn ‘Umar)
3.
Jika Menurut Imam Al-Nasa’i, yaitu ‘Ubaidillah Ibn ‘Abbas
dan ‘Umar Bin Khattab r.a[55]
D.
Kehujjahan Hadis
sahih
Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan
sesuatu hadis ialah memeriksa, apakah hadis tersebut maqbul, boleh
kita ber-hujjah dengannya[56]. Kalau mardud,
tidak dapatlah kita i’tiqad-kan dan tidak dapat pula kita amal-kan.
Kemudian apabilah telah nyata hadis tersebut maqbul. Hendaknya
kita periksa, apakah ada mu’arid (padanan) nya yan berlawanan maknanya.
Jika terlepas dari pertentangan makna kita namai dia muhkam[57].
Para ulama sepakat bahwa hadis sahih dapat
di jadikan hujjah untuk menetapkan syari’at islam baik hadis itu ahad
terlebih yang mutawatir. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal hadis
sahih yang ahad di jadikan hujjah di bidang aqidah.
Perbedaan terjadi karena perbedaan penilaian mereka tentang hadis sahih
yang ahad itu berstatus atau berfaedah qat’i (pasti) sebagaimana hadis
mutawatir, atau berfaedah zanni (samar).
Ulama yang memahami bahwa hadis sahih yang ahad
sama dengan hadis sahih yang mutawatir, yakni berstatus qat’i,
berpendapat bahwa hadis ahad dapat di jadikan hujjah di bidang
aqidah. Tetapi bagi ulama yang yang menilainya berstatus danni,
menyatakan bahwa hadis sahih yang ahad tidak bisa di jadikan
hujjah di bidang aqidah.
Dalam hal ini, para ulama terbagi
pada beberapa pendapat :pertama, Sebagin ulama memandang bahwa hadis
sahih tidak berstatus qat’i sehingga tidak dapat di jadikan
hujjah untuk mnetapkan persoalan aqidah. Kedua, sebagian ulama hadis
sebagaiman dinyatakan oleh al-Nawawi, berpendapat bahwa hadis-hadis
sahih riwayat al-Bukharidan Muslim berstatus qat’i. Ketiga, Sebagian
Ulama, antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis sahih
berstatus qat’i tanpa di bedakan apakah di riwayatkan oleh kedua ulama
tersebut atau bukan. Menurut Ibn Hazmm
tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang
meriwayatkanya. Semua hadis, jika memenuhi syarat kesahihannya,
adalah sama dalam statusnya sebagai hujjah.[58]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebuah hadis bisa dikatakan sahih jika
memenuhi persyaratan persyartan hadis sahih yang lima. Untuk mengtahui
bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail,
ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
1.
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad yang di teliti.
2.
Mempelajari sejrah hidup masing masing periwayat yang di
lakukan :
a.
Melalui kitab-kitab rijal al-hadith, misalnya kitab tahdhb
al-Kamal karya al-Mizzi, tahdhb al-tahdhb karya Ibn Hajar al-‘Asqalani,
dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabi.
b.
Hal itu di maksudkan untuk
1)
Apakah setiap periwayat dalam sanad itu di kenal sebagai
orang yang thiqah (adil dan dabit ), serta tidak suka melakukan tadlis
(menyembunyikan cacat)
2)
Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat
dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan
guru murid dalam periwayatan
hadis.
3) Meneliti kata kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadith ) yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata kata atau metode yang di pakai dalam sanad berupa : haddathani, haddathana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna dan sebagai nya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaj, Muhammad Al-Khatib Usul Al-Hadith, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1998
-------------------------------------, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema Insani Press,1999)
Anas, Malik Ibn,
Muwatta’.
Bukhari Sahih
Bukhari.
Idri, Studi Hadith, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010
Nuruddin Itr, Ulum Al-Hadith, Bandung, PT Remaja Rosdakarya 2012
Habshy, Muhammad Al-Shidiqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith Semarang Pustaka Rizqi Putra 2009
Sholahudin, Muhammad Agus & Suyadi, Agus, Ulum Al-Hadith, Bandung, Pustaka setia.
[1] Muhammad Hasbi Al-Sidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. (t.t.: Pustaka Rizki Putra, 2009) 127.
[2] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith ( t.t.: Pustaka Setia, 2009), 141.
[3] Ajjaj
al-Khatib, Hadis Nabi Sebelum Di Bukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema
Insani Press,1999),
36.
[4] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith, 141
[5] ‘Ajaj
Al-Khatib, Usul Al-Hadith, (Gaya Media Pratama,1998), 276.
[6] Ibid., 276.
[7] Al-Sidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 166.
[8] Idri, Studi
Hadis, (
Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), 160.
[9] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276
[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143
[11] Idri, Studi Hadis, 161.
[12] Ibid., 162.
[13] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276
[14] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143
[15] Idri, Studi Hadis,163
[16] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, 142
[17] Muhammad habsi Al-Sidiqie, Sejarah & pengantar Ilmu Hadis, 177
[18] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142
[19] Idri, Studi Hadis,163.
[20] Idri, Studi Hadis,164.
[21] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits al-Nabawi, (PT Remaja Rosda Karya: Bandung, 2012), 241.
[22] Idri, Studi Hadis,164.
[23] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142-143
[24] Idri, Studi Hadis,165
[25] Ibid., 165.
[26] Ibid., 165.
[27] Ibid., 165.
[28] Ibid., 165.
[29] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi,
242
[30] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, 145
[31] Idri, Studi Hadis,169
[32] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 277
[33] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,143
[34] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith, 230
[35] Nur al-Din
Itr, Ulumul Hadis,235
[36] ‘Ajaj Al-Khatib, Usul
Al-Hadith, (Gaya media Pratama,1998), 281
[37] ‘Ibid, .281.
[38] Nur al-Din Itr, Ulumul Hadis, 254.
[39] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith. 282.
[40] Ibid., 282.
[41] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith. 234.
[42] Nur al-Din
Itr, Ulumul Hadis, 255.
[43] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith,.283.
[44] Nur al-Din Itr, Ulumul Hadis, 255.
[45] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith. 284.
[46] Ibid., 287.
[47] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith. 287.
[48] Ibid. 288.
[49] Idri,
Studi Hadis, (Kencana Prenada Media Group,2010) 172-173
[50] Imam
Al-Bukhari Sahih Bukhari.
[51] Nur Al-din Itr, Ulum Al-Hadith (PT.Remaja Rosda Karya 2012) 244.
[52] Al Tirmidhi
Sunan Al-Tirmidhi,.34.
[53] Malik Ibn Anas, Muwatta’, .66.
[54] Nur
Al-din Itr, Ulum Al-Hadith . 248
[55] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith,.94-95
[56] Tengku Muhammad Hasbi al-Siddiqiy. 167.
[57] Ibid.167.
[58] Idri,
Studi Hadis,.175