HOME

05 Maret, 2022

HADIS SAHIH DAN PROBLEMATIKANYA

 

BAB I

PENDAHULUAN

     A.    Latar Belakang

Seluruh Ulama ahl al-ra’yi maupun Ahl-al-Athar sepakat menetapkan Hadis sebagai penjelas dari Al-qur’an, begitu pula Ahli ‘aql dan ahli naql dalam Islam telah sepkat bahwa hadis (sunah) dasar bagi umat Islam, dan umat diperintahkan untuk mengikutinya sebagaimana mengikuti al-Qur’an.[1]

Oleh karena itu hadis seyogyanya haruslah terjaga dengan rapi baik dalam kualitas maupun kuantitasnya , karena dengan menjaga hadis itulah sama seperti halnya kita menjaga dan mensucikan agama Islam.

Dari latar belakang inilah pemakalah memiliki kesenangan untuk menyusun suatu makalah yang harapan kami dengan makalah ini kita akan sedikit terbantu dalam memahami hadis terlebih dalam memahami hadis sahih, karena hadis sahihlah merupakan bentuk kerja keras para ulama terdahulu dalam menjaga hadis Nabi.

    B.      Rumusan Masalah

1.      Apa definisi dan kriteria hadis sahih menurut bahasa dan istilah?

2.  Apa perbedaan kriteria hadis sahih dalam kitab sahih Bukhari sahih Muslim dan kitab lainnya?

            3. Apa yang di maksud hadis Shahih li dati dan Shahih li ghairih ?

            4. Bagaimana kehujjahan hadis sahih?


BAB II

PEMBAHASAN

 A.    Hadis Shahih dan Problematikanya

1.      Definisi dan kriteria hadis sahih

Shahih menurut lughat adalah lawan dari saqim, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasul Allah SAW, atau sahabat, atau tabi’in, bukan hadis yang shadh (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebab kan cacat dalam penerimanya.[2]

Ulama hadis  hanya mengkaji Rasulullah  , dari posisi beliau sebagai imam  (Pemimpin) yang memberi petunjuk berdasarkan pemberitahuan Allah SWT, bahwa beliau adalah teladan dan panutan kita. Sehubungan itu mereka menukil segala hal yang berhubungan dengan diri beliau, meliputi perjalanan , akhlak, tabiat, khabar, ucapan, dan perbuatan beliau, baik yang menetapkan hukum shara’ ataupun tidak[3].

Dalam definisi lain, hadis sahih adalah

مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَصِلٌ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلِ وَلَا شَاذٍ

Hadis yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanad nya bersambung, tidak ber’illat , dan tidak janggal.[4]

 

Adapun menurut Abu Amr Ibn Al-Salah yang di maksud hadis sahih ialah


الحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ اْلمسْنِدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ  بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّلًا

Hadis sahih adalah musnad yang sanad nya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dabit sampai ujungnya, tidak shadh dan tidak mu’allal (terkena ilat).[5]

 

       Definisi Ibn Al-Salah ini kemudian di ringkas oleh imam Al-Nawawi sebagai berikut

هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعُدُوْلِ الضَّابِطُوْنَ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلَا عِلَّةٍ

Hadis sahih adalah hadis yang muttasil sanad nya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dabit tanpa shadh dan ‘illat.[6]

       Yang di maksud orang-orang adil lagi dabit adalah para perawi dalam sanad itu, yakni di riwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit (pula) dari awal sampai akhirnya.

       Hadis ahad yang telah di akui kesahihanya dengan yaqin oleh sebagian ulama’ ialah hadis-hadis Shahih al-Bukhari dan hadis-hadis Sahih al-Muslim[7]. Dari uraian singkat itu jelaslah bahwa hadis sahih harus memenuhi lima syarat :

a). Sanad Bersambung (Ittisal al-Sanad)

       Yang di maksud dengan sanad bersambung adalah tiap tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai ahir sanad hadis itu, Persambungan sanad itu terjadi semenjak mukharrij hadith (penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi. Dengan kata lain, sanad hadis bersambung sejak sanad pertama (mukharrij hadith) sampai sanad terahir (kalangan sahabat) hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada periwayat pertama (kalangan sahabat) sampai periwayat terahir (mukharrij hadith )[8]

       Dengan syarat ini, di kecualikan hadis munqoti’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas, dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttasil ini[9].

       Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja penelitian berikut :

1)                  Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang di teliti.

2)                  Mempelajari sejarah hidup masing masing rawi

3)                  Meneliti kata kata yang menghubungkan antara para rawi yang terdekat dengan sanad.[10]

       Hadis yang sanad nya bersambung, di kalangan ulama hadis dinilai dengan sebutan yang beragam. Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H/1072 M) menamainya sebagai hadis musnad. Hadis musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadis yang di sandarkan kepada Nabi (sebagai hadis marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttasil) dan adapula yang terputus (munqati’). Pendapat ini menurut al-Sakhawi (w.902 H/1947 M), merupakan pendapat yang di ikuti oleh mayoritas ulama’ hadis. Dengan demikian, menurut kebanyakan ulama’ hadis, hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadis marfu’ belum tentu hadis musnad. Hadis marfu’ dapat di sebut sebagai hadis musnad bila seluruh rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal hingga akhir.

       Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini di kenal pula istilah hadis muttasil atau mawsul. Menurut Ibn al-Salah dan al-Nawawi, yang di maksud dengan hadis muttasil dan mawsul adalah yang brsambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. M.Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadis muttasil atau mawsul ada yang marfu’(di sandarkan pada Nabi), ada yang mawquf (di sandarkan pada sahabat), an ada pula yang maqtu’ (disandarkan pada tabi’in). Jika di bandingkan dengan hadis musnad maka dapat di nyatakan bahwa hadis musnad pasti muttasil atau mawsul, tetapi tidak semua hadis muttasil itu musnad.[11]

       Dengan kata lain, ketersambungan hadis muttasil atau mawsul tidak bisa di jadikan sebagai patokan penentuan kesahihan suatu hadis, berbeda dengan ketersambungan hadis musnad, karena hadis muttasil atau mawsul ada yang tersambung sampai Nabi, ada yang hanya tersambung pada sahabat saja bahkan ada pula yang sampai pada tab’in sehingga di balik ketersambungan sanad itu ada kemungkinan terdapat keterputusan informasi dari Nabi (pada hadis mawquf dan maqtu’). Berbeda dengan dengan hadis musnad yang di pastikan ketersambungan sanad nya sampai Nabi, sehingga dapat dijadikan patokan untuk kriteria sanad bersambung sebagaimana dijelaskan di atas.

       Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:[12]

1)       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang di teliti.

2)      Mempelajari sejarah hidup masing masing periwayat yang di lakukan :

(a)      Melalui kitab-kitab rijal al-hadith, misalnya kitab tahdhb al-Kamal karya al-Mizzi, tahdhb al-tahdhb karya Ibn Hajar al-‘Asqolani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad Ibn Ahmad al-Dhahabi.

(b)      Hal itu di maksudkan untuk

(1)   Apakah setiap periwayat dalam sanad itu di kenal sebagai orang yang thiqah (adil dan dabit ), serta tidak suka melakukan tadlis (menyembunyikan cacat), yang di maksud adil adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasihan, dan hal-hal yang menjatuhkan keperawianya. Sedang kan yang di maksud dengan dabit adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya[13].

(2)   Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan guru murid dalam priwayatan hadis.

(c)    Meneliti kata kata  (adah al-tahammul wa ada’ al-hadith ) yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata kata atau metode yang di pakai dalam sanad  berupa : haddathani, haddathana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna dan sebagai nya.

Antara masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut al-tahammul wa ada’ al-hadith[14].

Melalui beberapa langkah di atas dapat di ketahui apakah sanad suatu hadis di nyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu di ketahui apakah para periwayat di pastikan benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat sebelumnya yang di ketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru murid, atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.

 

b) . Periwayat Bersifat ‘adil

            Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadis disebut ‘adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beraga islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat. Ibn al-Salah menetakan lima kriteria seorang periwayat di sebut ‘adil, yaitu beraga islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat fasik. Pendapat serupa juga di sampaikan oleh al-Nawawi. Sementara itu Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa sifat ‘adil dimiliki seorang periwayat hadis yang taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya syirik, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat fasik.[15]

Menurut al-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa[16], Taqwa ialah tidak mengerjakan maksyiat, syirik, fasiq, dan bid’ah[17].

Berdasarkan pernyataan para ulama di atas di ketahui berbagai kriteria periwayat hadis di nyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah :

1)      Beragama islam

2)      Baligh

3)      Berakal

4)      Takwa

5)      Memelihara muru’ah

6)      Teguh dalam beragama

7)      Tidak berbuat dosa besar

8)      Tidak berbuat maksiat

9)      Tidak berbuat bid’ah

10)  Tidak berbuat fasik.

Dari sekian kriteria di atas kemudian di ringkas menjadi empat kriteria, yaitu

(a)  Beragama Islam

(b)  Mukallaf

(c)  Melaksanakan ketentuan agama

(d) Memelihara Muru’ah[18].

Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadis, para ulama hadis telah menetapakan beberapa cara, yaitu : Pertama. Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik Ibn Anas dan Sufyan al-Tsauri tidak di ragukan ke-’adil-annya. Kedua. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Ketiga. Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini di tempuh apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[19]

Ketiga cara di atas di prioritaskan dari urutan yang pertama kemudian yang berikutnaya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadis dapat di ketahui melalui popularitas keutamaanya di kalangan para ulama. Jika seorang periwayat hadis terkenal dengan keutamaanya seperti Malik Ibn Anas dan Sufyan al-Tsauri, maka di pastikan ia bersifat ‘adil, namun berdasar penilaian para kritikus periwayat hadis di ketahui bahwa ia bersifat ‘adil. Maka di tetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi bila terjadi perbedaan pendapat tentan ‘adil tidak nya seseorang periwayat hadis, maka di gunakanlah kaidah kaidah al-jarh wa al-ta’dil

Ketiga cara tersebut tidak dapat di balik penggunaanya, dalam arti seorang periwayat hadis yang terkenal ‘adil tidak dapat di nilai dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat para kritikus periwayat maupun berdasar penetapan kaidah  al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas keadilan didahulukan sebab kulitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara kedua yang hanya di nyatakan atau di saksikan oleh satu atau beberapa orang saja. Demikian pula seorang periwayat hadis yang dinilai ‘adil  oleh seseorang atau beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka pendapat itu yang di gunakan, bukan dengen menerapkan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Sebab. Para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas periwayat  hadis yang mereka nilai. Kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan  bila ternyata terjadi perbedaan pendapat di kalangan kritikus seorang periwayat hadis. [20]

 

c) Periwayat Hadis Bersifat Dabit

 Untuk hadis sahih, para periwayatnya berstatus dabit sedangkan hadis hasan di antara periwayatnya ada yang kurang dabit. Yang di maksut dengan dabit, adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalanya yang kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkanya kembali ketika meriwayatkanya[21]. Secara sederhana kata dabit dapat diartikan dengan kuat hafalan[22].

 Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-dabit-an terkit dengan kualitas intelektual. Antara sifat ‘adil dan sifat dabit terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya jujur, amanah (dapat di percaya), dan objektif tidak dapat di terima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya, orang yang ampu memelihara, hafal, dan paham terhadap informasi yang di ketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikanya tidak dapat di percaya. Karena itu, oleh para ulama hadis keadilan dan ke-dabit-an periwayat hadis kemudian di jadikan satu dengan istilah thiqah.  Jadi, periwayat yang thiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dabit.

Di kalangan ulama, pengertian dabit dinyatakan dengan redaksi beragam. Ibn Hajar al-‘Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang di sebut dabit adalah orang yang kuat hafalanya tentang apa yang telah di dengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki.

Muhammad Abu Zahrah berpendapat, seseorang disebut dabit apabila mampu mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian menghafal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal dengan sempurna, sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik.

Kalau seorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatanya itu sanggup di keluarkan kapan dan di mana saja di kehendaki, orang itu dinamakan dabt sadri, kemudian kalau apa yang di sampaikan itu berdasar pada buku catatanya, maka ia disebut dabt kitab.[23]

Sementara itu, Subhi al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dabit adalah orang yang mendengarkan riwayat hadis sebagaimana  seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu  sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[24]

Berdasar beberapa yang di kemukakan para ulama hadis di atas. M . Syhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dabit adalah:

Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis yang telah di dengar (diterimanya). Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar  (diterimanya), dengan kemungkinan pertimbangan bahwa :

1)   Apabila para periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang di terimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu.

2)   Yang di pentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalanya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkanya. Pertimbangan pertama tidak cukup kuat karna orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu, menurutnya pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dabit-an  periwayat menurut sebagian ulama di atas.

Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadis yang telah di dengar  (diterimanya). Kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat di sebut sebagai orang yang dabit, meskipun ada ulama yang mendasarkan ke-dabit-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadis dengan baik dapat disebut dabit, dan jika disertai dengan pemahaman terhadapnya, maka tingkat ke- dabit-annya lebih tinggi daripada periwayat tersebut.[25]

Ketiga, periwayat yang mampu menyampaikan riwayat yang telah di hafal dengan baik :

1)      Kapan saja menghendakinya.

2)      Sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Kemampuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat , sehingga ia di sebut seorang yang dabit, adalah tatkalah periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini di maksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab lainya[26].

Periwayat hadis yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau sebab yang lain, Sa’id Ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id Ibn ‘Arubah, Rabi’ah al-Ra’i Ibn ‘Abd al-Rahman,. Periwayat yang mengalami kemampuan hafaln tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dabit sampai saat sebelum mengalami perubahan, sedangkan sesudah mengalami perubahan di nyatakan tidak dabit. [27]

Sebagaimana halnya periwayat yang ‘adil, periwayat yang dabit dapat di ketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dabit-an periwayat hadis menurut brbagai pendapat ulama adalah

1)      Ke-dabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama

2)      Ke-dabit-an periwayat dapat di ketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah di kenal ke-dabit-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah

3)      Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap di nyatakan dabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dabit[28].

Kualitas ke-dabit-an periwayat dengan periwayat lain tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dabit-an, ada yang hanya dabit saja bahkan ada yang kurang dabit serta tidak dabit. Seorang perwayat yang di sebut sempurna ke-dabit-annya (tamm al-dabit ) apabila ia hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya, mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan paham dengan baik hadis yang dihafalnya itu. Seorang periwayat disebut dabit saja apabila hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.

Hadis yang di sampaikan oleh periwayat yang demikian, dilihat dari segi ke-dabit-annya dapat di kelompokkan pada hadis sahih, disamping tentunya jika terpenuhi kriteria hadis sahih yang lain. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang kurang dabit dapat dikelompokkan pada hadis hasan. Periwayat disebut tidak dabit apabila tidak hafal terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruhan dalam meriwayatkan hadis dan hadis yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis da’if.

                       

Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


                   d) Terhindar dari shadh (Kejanggalan)

         Secara bahasa shadh merupakan isim fa’il dari shadhdha yang berarti menyendiri (infarada) seperti kata اَلْمُنْفَرِدُ عَنِ الْجُمْهُوْرِ  Sesuatu yang menyendiri terpisah dari mayoritas). Menurut istilah ulama hadis, shadh adalah  hadis yang diriwayatkan oleh periwayat thiqah dan bertentangan dengan periwayat yang lebih thiqah. Pendapat ini di kemukakan oleh al-Syafi’i dan di ikuti oleh kebanyakan ulama hadis.

          Sedangkan menurut Nur al-Din Itr, terhindar shadh adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya[29], disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam kedabitan, atau adanya segi-segi tarjih yang lain[30].

      Menurut al-Shafi’i, suatu hadis yang dinyatakan mengandung shadh apabila diriwatkan oleh seorang periwayat yang thiqah dan bertentangan denga hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga thiqah. Suatau hadis tidak dinyatakan mengandung shadh bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah sedangkan periwayat thiqah yang lain tidak meriwayatkanya. Berbeda dengan itu al-Hakim al-Naysaburi menyatakan bahwa hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah, tetapi tidak ada periwayat thiqah lainya yang meriwayatkanya.[31]

 

          e) Terhindar dari ‘illat

     Adanya hadis tersebut terhindar dari ‘illat qadihah, (illat yang mencacatkanya). Seperti memursalkan yang maushul, me-muttasil-kan yang munqati’ ataupun me-marfu’-kan yang mauquf.[32]

     Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihanya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut[33].

Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak sahih, maka hadis itu dinamakan hadis mu’allal, yakni hadis yang mengandung ‘illat . Kata mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah (ia mencacatkanya). Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat. Kesalahan baca, penyakit, dan keburukan.

 Menurut istilah ahli hadis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis. Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis yang menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.    

 

2.     Perbedaan kriteria hadis sahih dalam kitab sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab hadis lain;

a)      Imam al-Bukhari

Nama lengkapnya adalah Abu’abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari. Ia dilahirkan pada bulan Syawal 194 H di negeri Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah sehingga lebih di kenal dengan nama Al-Bukhari[34]

Sejak kecil ia telah menunjukkan kecerdasanya, ia hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak, kemudian menghafalkan hadis dari gurunya di Bukhara.[35]

Imam Bukhari adalah salah satu tokoh yang memilki hafalan dan keteguhan ingatan yang sangat kuat. Sumber-sumber yang menyebutkan biografi beliau semuanya menyebutkan hal ini. Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa heran bahwa majlis Imam Bukhari di baghdad dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.

Pada ahir hayat beliau Imam bukhari keluar menuju Khartank suatu tempat berjarak dua farsakh dari Samarkand. Di sanalah beliau wafat pada tanggal 30 Ramadhan 256 H.[36]

Imam Bukhari meninggalkan sekitar dua puluh karya dalam bidang hadis, ilmu-ilmunya dan tokoh-tokohnya serta ilmu ke-Islaman lainya. Yang terpopuler adalah al-Jami’ al-Sahih, yang lebih di kenal dengan sebutan Sahih Bukhari.

Sahih Bukhari di anggap sebagai karya pertama yang memuat hadis sahih saja. Imam Bukhari menghimpun 9082 buah hadis di dalamnya –dengan pengulangan di dalam nya- yang beliau pilih dari enam ratus ribu hadis. Dengan segenap upaya dan dalam waktu yang lama, kurang lebih enam belas tahun, beliau menyusun karya itu sampai muncul seperti yang kita lihat sekarang. Beliau tidak meletakkan satu hadis pun kecuali shalat dua rakaat terlebih dahulu. Dalam hal ini beliau mengatakan : “Aku jadikan ia sebagai hujjah antara diriku dengan Allah SWT”.

Kitab Bukhari itu telah didengar oleh kurang lebih sembilan puluh ribu orang pada masanya.[37]

1)        Syarat Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya

Al-Bukhari berkata : “Dahulu kami pernah berada di samping Ishaq bin Rahawaih, Ia berkata “Alangkah baiknya jka engkau himpun suatu kitab khusus untuk Sunnah Nabi, yang Sahih” . Kemudian al-Bukhari berkata “Pesan itu begitu membekas dalam hatiku, maka mulailah aku melangkah menyusun al-Jami’ al-Sahih[38].

Imam Bukhari tidak menyebutkan secara tegas syarat yang beliau terapkan dalam mentakhrij hadis-hadis dalam kitabnya itu. Akan tetapi ulama’ menggalinya dari metode yang beliau tempuh. Orang yang meneliti dengan cermat akan memukan, bahwa beliau memilih perawi-perawi yang telah terkenal ‘adil dabit dan teguh. Tak seorang alim pun tak mengetahui hal ini, yakni metode spesifik yang beliau tempuh dalam kitab itu yang mengindikasikan kekuatan hafalan, keluasan ilmu dan kemampuan istinbat beliau.

Dalam penyusunan kitab sahih  nya Imam bukhari tidak merasa cukup dengan kesejamanan (mu’asarah) perawi dengan gurunya, tetapi mengharuskan adanya pertemuanantara keduanya, meski hanya sekali. Dari sinilah, Ulama mengatakan Imam Bukhari memiliki dua syarat, yaitu syarat mu’asyarah (Kesejamanan) dan syarat liqa’ (bertemunya perawi dengan gurunya)[39]

Berdasarkan kriteria kriteria itulah para Imam, yang klasik maupun modern, menilai bahwa kitab bukhari merupakan kitab hadis yang paling sahih. Bahkan merupakan kitab paling sahih setelah al-Qur’an. Para Ahli sepakat bahwa hadis muttasil yang marfu’ berstatus sahih dan di terima oleh umat.[40]

 

b)      Imam  Muslim

Nama lengkapnya adalah Al-Imam  Abu Husain Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi al-Naisaburi. ia di lahirkan pada tahun 204 hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan di makamkan di Naisaburi. Ia juga sudah belajar hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al-Bukhari dan ulama lain selain mereka. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat, yang paling bermanfaat adalah kitab sahih nya yang di kenal dengan Sahih Muslim.[41]

Para tokoh ilmu memujinya. Abu Zur’ah dan Abu Hatim mendahulukanya di atas para imam semasanya[42].

Imam muslim menyusun kitab nya itu dari tiga ratus ribu hadis yang di dengarnya langsung. Untuk menyeleksinya, beliau menghabiskan waktu sekitar lima belas tahun. Dalam hal ini Imam Muslim mengatakan “Aku tidak meletakkan suatu hadis pun dalam kitabku ini kecuali dengan Hujjah, dan aku tidak menggugurkan suatu hadispun dari kitabku ini kecuali dengan hujjah pula”.  Di tempat lain beliau mengatakan “Tidaklah semua hadis sahih yang ada pada ku aku letakkan letakkan dalam kitab ku ini. Aku hanya meletakkan yang di sepakati kesahihanya oleh ulama”. Maksudnya hadis sahih yang memenuhi syarat yang telah di sepakati oleh para ulama.[43]

Selain hadis hadis yang terulang, jumlah hadis yang ada pada sahih Muslim ada 3030 buah hadis, dan bila di hitung berdasarkan sanad sanad yang beragam mencapai sekitar sepuluh ribu hadis

1)      Syarat Imam Muslim Dalam kitab Sahih nya.

Setelah membicarakan syarat Imam bukhari dalam kitab Sahihnya, maka saatnya kita membicarakan syarat Imam Muslim. Tak seorang pun di antara keduanya yang menyebut secara tegas syarat yang keduanya terapkan. Ulama menggali syarat keduanya melalui metode takhrij keduanya, patut saya tegaskan di sini, bahwa masing masing men-takhrij hadis yang memenuhi syarat kesahihan, yakni muttasil sanad nya, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil lagi dabit dari perawi lain yang ‘adil lagi dabit pula, dari awal sampai akhir sanadnya tanpa shudhudh dan tanpa ‘illat.

Al-Nawawi berkata “Para ulama sepakat atas ke agunganya, keimananya, ketinggian martabatnya, kecerdasanya, dan kepeloporanya dalam dunia perhadisan ini[44].

Imam Muslim berbeda dengan Imam bukhari dalam hal, Imam muslim menghukumi snanad mu’an’an sebagai muttasil dan hal ini beliau sebutkan secara tegas dalam muqaddimah Sahihnya. Beliau berpendapat, bahwa kesejamanan cukub bisa menjadikan suatu riwayat diterima secara ‘an’anah, meski tidak ada riwayat yang falid bertemunya perawi dengan gurunya. Sedang Imam Bukhari tidak menilainya sebagai muttasil, kecuali ada riwayat yang valid bahwa keduanya pernah bertemu. Imam Muslim menilai bahwa perawi thiqah  tidak akan meriwayatkan kecuali dari orang yang ia dengar dari orang itu. Dan ia tidak akan meriwayatkan dari orang itu, kecuali hadis-hadis yang di dengarnya.

Kesimpulannya adalah bahwa Imam Muslim merasa cukup dengan kesejamanan antara perawi dengan gurunya (‘an’anah ), sedangkan Imam Bukhari tidak merasa cukup dengan kesejamanan (mu’asarah), tetapi mensyaratkan adanya pertemuan antara keduanya, meski hanya sekali.

       Intinya bahwa syarat yang di gunakan oleh Imam Muslim itu tidak menurunkan kualitas kitabnya, meskipun harus diakui bahwa syarat Imam Bukhari lebih ketat. Namun yang jelas keduanya mentakhrij hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat kesahihan.[45]

 

c)      Imam Abu Daud al-Sijistani

Beliau adalah Sulaiman Ibn Al-‘As’at Ibn Ishaq al-Azdiy al-Sijistaniy, penulis kitab terpopuler. Beliau lahir tahun 202 H dan telah mulai belajar sejak berusia dini. Kemudian beliau mengembara ke Hijaz, Syam, Irak, Mesir, al-Jazair, dan Khurasan. Beliau berguru kepada imam-imam terkemuka, antara lain Abu Amr adh-dharir, al-Qa’nabiy, Abu Al-Walid ath-Tayalisiy, Sulaiman ibn Harb Imam Ahmad Ibn Hambal dll.[46]

Abu Daud  meninggalkan banyak karya, Khususnya dalam bidang hadis dan sebagaian  ilmu syari’ah pada umumnya. Karya-karya beliau mencapai dua belas karya. Yang termasyhur adalah kitab sunan.

Abu Daud menjelaskan metode yang beliau gunakan dalam kitab sunan itu. Beliau mengatakan “saya menyebut hadis sahih dan yang serupa dengannya. Dan yang terlalu da’if akan saya jelaskan”. Lebih lanjut beliau mengatakan “ Dalam kitab sunan yang saya susun ini tidak ada satu hadis pun yang berasal dari perawi yang matruk. Bila ada hadis yang munkar, maka saya akan menjelaskan bahwa ia munkar,dan memang dalam bab tertentu tidak ada lainya, selain hadis itu.

Dengan demikian, Abu Daud mentakhrij dalam kitabnya itu yang sahih dengan yang lainnya. Beliau juga menjelaskan bahwa di dalam nya ada yang sangat da’if[47] 

 

d)   Imam Tirmidhi

Beliau adalah Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah al-Tirmidhi. Beliau lahir pada tahun 209 H, Di desa “buj”, wilayah tirmidh tepi sungai jihun. Beliau telah memulai menuntut ilmu sejak dini. Untuk itu, beliau melakukan pengembraan ilmiah ke Irak, Hijaz, Khurasan, dan lain-lain. Beliau berhasil bertemu dengan imam-imam dan syaikh-syaikh hadis, mendengar dan meriwayatkan dari mereka. Yang terpopuler antara lain Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Daud. Beliau juga mendengar dari sebagian guru mereka, seperti Quthaibah Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Basyar dan lain-lain. Banyak ahli ilmu yang meriwayatkan dari beliau.

Imam Tirmidhi meninggalkan banyak karya dalam biang hadis dan yang lain. Karya yang terpopuler adalah dalam bidang hadis yang berjudul Al-jami’  yang lebih di kenal dengan Sunan Al-Tirmidhi . Ia termasuk karya yang paling banyak mengandung faedah dan paling sedikit pengulangannya. Kitab ini lebih di kenal dengan sebutan Sunan Tirmidhi,  di samping di kenal pula dengan sebutan “Jami’ Al-Tirmidhi”. Sebagian ulama bersikap longgar dengan memberikan sebutan “Al-Jami’ Al-Sahih”  untuknya.

Imam Tirmidhi di dalam kitab itu mentakhrij hadis-hadis Shahih, hasan. da’if, gharib, dan mu’allal dengan menyebutkan ‘illatnya. Di samping itu, beliau juga menyebutkan hadis munkar dengan memberika penjelasan alasanya.[48]

 

            B.     Macam-macam hadis sahih

Para Ulama hadis membagi hadis sahih menjadi dua macam yaitu hadis sahih li dhatih dan hadis sahih li ghairih. Hadis sahih li dhatih adalah hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis sahih yang lima sebagaimana di jelaskan sebelumnya. Hadis sahih kategori ini telah di himpun oleh para mudawwin hadis seperti al-Bukhari dalam kitab nya sahih al-Bukhari. Muslim Ibn al-Hajjaj dalam Sahih Muslim, Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Ahmad bin Hambal Dalam Musnad Ahmad, dan lain sebagainya.[49]

Hadis sahih li ghairih. Aadalah hadis yang kesahihanya di bantu dengan adanya hadis yang lain. Pada mulanya hadis kategori in memiliki kelemahan berupa periwayat yang kurang dabit, sehingga di nilai tidak memenuhi syarat  untuk di kategorikan sebagai hadis sahih. Tetapi, setelah di ketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas sahih. Maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi sahih. Dengan kata lain, hadis sahih lighairih pada asalnya adalah hadis hasan yang ada hadis sahih dengan matan yang sama, maka hadis hasan tersebut naik menjadi hadis sahih.

1)    Contoh Hadis sahih li dhatih

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ /اللهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ ( صحيح البخاري :5971 )

Meriwayatkan kepada kami Qutaibah Bin Sa’id, Ia berkata “meriwayatkan kepada kami jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’Qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata : Datang kepada Rasul Allah seorang laki laki ia bertanya  “Ya Rasul Allah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan ku yang baik” Rasul Allah menjawab “Ibu mu” Orang itu bertanya  “kemudian siapa”? Rasul Allah menjawab “Ibu mu” Orang itu bertanya lagi “kemudian siapa”? Rasul Allah menjawab “Ibu mu” Orang itu kembali bertanya “kemudian siapa”? Rasul Allah menjawab “kemudian Bapak mu”[50]. (Sahih Bukhari : 5971)

            Sanad hadis di atas bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dabit dari orang yang semisalnya. Al-Bukhari dan Muslim adalah dua orang Imam yan agung dalam bidang ini. Dan guru mereka, Qutaibah bin Said, Adalah orang yang thiqah dan Thabt serta berkedudukan tinggi. Jarir adalah putera Abdul Hamid, seorang rawi yang thiqah dan sahih kitabnya. Umarah Bin Al-Qa’Qa’ juga seorang yang thiqah Demikian pula Abu Zur’ah al-Tabi’i Ia Adalah Putera ‘amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.

            Para perawi dalam sanad di atas seluruhnya orang thiqah dan di pakai berhujah oleh para imam. Untaian sanad di atas telah di kenal di kalangan muhaddithin, dan padanya tidak terdapat hal hal yang janggal. Demikian pula matan hadis tersebut sesuai dengan dalil dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadis tersebut termasuk hadis yang sahih dengan sendirinya (sahih li dhatih)[51] 

2)    Contoh hadis sahih li ghairih.

حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة (سنن الترمذي : 22)[52]

Nabi berkata “Seandaianya saya tidak (dianggap) mempersulit umatku, niscaya aku akan  memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat. (Suan Al-Tirmidhi : 22)

       Muhammad Ibn ‘Amr ‘Alqamah termasuk perawi yang terkenal jujur, tetapi tidak termasuk ahlul Itqan (mereka yang memiliki hafalan yang kuat). Sehingga ada yang menilainaya Da’if dari sisi hafalan namun yang lain menilainya Thiqah dari sisi kejujurannya. Jadi hadis ni termasuk hadis hasan li datih dan sahih lighairi. Karena ia hadis in juga di riwayatkan dari guru Muhammad Ibn ‘Amr dari guru-gurunya melalui jalur lain. Ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, yaitu Al-A’raj, Sa’id al-Maqbariy, Ayahnya dan lain lain.

Berikut Hadis penguat dari jalur lain.

وحدثني عن مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك (الموطأ :145)[53]

Nabi berkata “Seandianya saya tidak (dianggap) mempersulit umatku, niscaya aku akan  memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.  (Al-Muata’ : 145)

 

    C.    Sanad yang paling sahih dan silsilah al-dzahab.

Karena tingkat kekuatan sanad-sanad hadis berfariasi, maka sebagian ulama menetapkan sebagian sanad sebagai sanad yang paling tinggi secara mutlak, sehingga mereka berkata “sanad ini adalah sanad yang paling sahih” yakni apabila di bandingkan dengan seluruh sanad yang lain.[54]

Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi Dan Ibn Al-Salah tidak membenarkan menilai suatu (sanad) hadis dengan  assahu al-Asanid,  atau menilai suatu (matan) hadis dengan assahu al-asanid secara mutlak, yakni tanpa menyandarkan pada hal yang mutlak.

Penilaian  assahu al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya di khususkan kepada sahabat tertentu, misalnya assahu al-asanid dari Abu Hurairah r.a, atau di khusus kan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya assahu al-Asanid dari penduduk Madinah, atau di khususkan dalam masalah tertentu, jika hendak menilai matan suatu hadis, misalnya assahu al-asanid dalam bab wudhu’ atau masalah mengangkat tangan dalam berdoa.

Contoh assahu al-Asanid yang muqayyad tersebut adalah :

1.      Sahabat tertentu yaitu :

a.       ‘Umar Ibn Al-Khattab r.a, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn shihab Al-Zuhri dari salim Ibn ‘Abdullah bin ‘Umar, dari ayahnya (‘Abdullah bin ‘Umar), dari kakeknya (‘Umar Ibn Al-Khattab).

b.      Ibn ‘Umar r.a adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar r.a)

c.       Abu Hurairah r.a yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn Shihab Al-Zuhri dari Ibn Al-Musyyab dari Abu Hurairah r.a

2.      Penduduk kota tertentu yaitu :

a.       Kota Makkah, Yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Uyainah dari ‘Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdillah r.a

b.      Kota Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Isma’ilbin Abi Hakim  dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah r.a

Contoh assahu al-Asanid yang mutlak seperti:

1.      Jika menurut Imam Bukhari, Yaitu malik, Nafi’, dan Ibn Umarr.a

2.      Jika menurut Ahmad Bin Hanbal. Yaitu al-Zuhri, Salim bin ‘Abdillah, dan ayahnya (‘Abdillah ibn ‘Umar)

3.      Jika Menurut Imam Al-Nasa’i, yaitu ‘Ubaidillah Ibn ‘Abbas dan ‘Umar Bin Khattab r.a[55]

 

D.   Kehujjahan Hadis sahih

Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan sesuatu hadis ialah memeriksa, apakah hadis tersebut maqbul, boleh kita ber-hujjah dengannya[56]. Kalau mardud, tidak dapatlah kita i’tiqad-kan dan tidak dapat pula kita amal-kan. Kemudian apabilah telah nyata hadis tersebut maqbul. Hendaknya kita periksa, apakah ada mu’arid (padanan) nya yan berlawanan maknanya. Jika terlepas dari pertentangan makna kita namai dia muhkam[57].

Para ulama sepakat bahwa hadis sahih dapat di jadikan hujjah untuk menetapkan syari’at islam baik hadis itu ahad terlebih yang mutawatir. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal hadis sahih yang ahad di jadikan hujjah di bidang aqidah. Perbedaan terjadi karena perbedaan penilaian mereka tentang hadis sahih yang ahad itu berstatus atau berfaedah qat’i (pasti) sebagaimana hadis mutawatir, atau berfaedah zanni (samar).

Ulama yang memahami bahwa hadis sahih yang ahad sama dengan hadis sahih yang mutawatir, yakni berstatus qat’i, berpendapat bahwa hadis ahad dapat di jadikan hujjah di bidang aqidah. Tetapi bagi ulama yang yang menilainya berstatus danni, menyatakan bahwa hadis sahih yang ahad tidak bisa di jadikan hujjah di bidang aqidah.

            Dalam hal ini, para ulama terbagi pada beberapa pendapat :pertama, Sebagin ulama memandang bahwa hadis sahih tidak berstatus qat’i sehingga tidak dapat di jadikan hujjah untuk mnetapkan persoalan aqidah. Kedua, sebagian ulama hadis sebagaiman dinyatakan oleh al-Nawawi, berpendapat bahwa hadis-hadis sahih riwayat al-Bukharidan Muslim berstatus qat’i. Ketiga, Sebagian Ulama, antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis sahih berstatus qat’i tanpa di bedakan apakah di riwayatkan oleh kedua ulama tersebut  atau bukan. Menurut Ibn Hazmm tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkanya. Semua hadis, jika memenuhi syarat kesahihannya, adalah sama dalam statusnya sebagai hujjah.[58]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Sebuah hadis bisa dikatakan sahih jika memenuhi persyaratan persyartan hadis sahih yang lima. Untuk mengtahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

1.       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang di teliti.

2.      Mempelajari sejrah hidup masing masing periwayat yang di lakukan :

a.       Melalui kitab-kitab rijal al-hadith, misalnya kitab tahdhb al-Kamal karya al-Mizzi, tahdhb al-tahdhb karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabi.

b.      Hal itu di maksudkan untuk

1)      Apakah setiap periwayat dalam sanad itu di kenal sebagai orang yang thiqah (adil dan dabit ), serta tidak suka melakukan tadlis (menyembunyikan cacat)

2)      Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan guru murid dalam periwayatan hadis.

3)      Meneliti kata kata  (adah al-tahammul wa ada’ al-hadith ) yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata kata atau metode yang di pakai dalam sanad  berupa : haddathani, haddathana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna dan sebagai nya.

DAFTAR PUSTAKA

Ajaj, Muhammad Al-Khatib Usul Al-Hadith, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1998

-------------------------------------, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema Insani             Press,1999)

Anas,  Malik Ibn, Muwatta’.

Bukhari Sahih Bukhari.

Idri, Studi Hadith, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010

Nuruddin Itr, Ulum Al-Hadith, Bandung, PT Remaja Rosdakarya 2012

Habshy, Muhammad Al-Shidiqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith Semarang Pustaka Rizqi Putra                     2009

Sholahudin, Muhammad Agus & Suyadi, Agus, Ulum Al-Hadith, Bandung, Pustaka setia.

Tirmidhi Sunan Al-Tirmidhi.

[1] Muhammad Hasbi Al-Sidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. (t.t.: Pustaka Rizki Putra, 2009) 127.

[2] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith ( t.t.: Pustaka Setia, 2009), 141.

[3] Ajjaj al-Khatib, Hadis Nabi Sebelum Di Bukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema Insani Press,1999), 36.

[4] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith, 141

[5] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, (Gaya Media Pratama,1998), 276.

[6] Ibid., 276.

[7] Al-Sidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 166.

[8] Idri, Studi Hadis, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), 160.

[9] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276

[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143

[11] Idri, Studi Hadis, 161.

[12] Ibid., 162.

[13] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276

[14] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143

[15] Idri, Studi Hadis,163

[16] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, 142

[17] Muhammad habsi Al-Sidiqie, Sejarah & pengantar Ilmu Hadis, 177

[18] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142

[19] Idri, Studi Hadis,163.

[20] Idri, Studi Hadis,164.

[21] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits al-Nabawi, (PT Remaja Rosda Karya: Bandung, 2012), 241.

[22] Idri, Studi Hadis,164.

[23] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142-143

[24] Idri, Studi Hadis,165

[25] Ibid., 165.

[26] Ibid., 165.

[27] Ibid., 165.

[28] Ibid., 165.

[29] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi, 242

[30] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, 145

[31] Idri, Studi Hadis,169

[32] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 277

[33] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,143

[34] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith, 230

[35] Nur al-Din Itr, Ulumul Hadis,235

[36] ‘Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, (Gaya media Pratama,1998), 281

[37] Ibid, .281.

[38] Nur al-Din Itr, Ulumul Hadis, 254.

[39] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith. 282.

[40] Ibid., 282.

[41] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith. 234.

[42] Nur al-Din Itr, Ulumul Hadis, 255.

[43] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith,.283.

[44] Nur al-Din Itr, Ulumul Hadis, 255.

[45] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith. 284.

[46] Ibid., 287.

[47] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith. 287.

[48] Ibid. 288.

[49] Idri, Studi Hadis, (Kencana Prenada Media Group,2010) 172-173

[50] Imam Al-Bukhari Sahih Bukhari.

[51] Nur Al-din Itr, Ulum Al-Hadith (PT.Remaja Rosda Karya 2012) 244.

[52] Al Tirmidhi Sunan Al-Tirmidhi,.34.

[53] Malik Ibn Anas, Muwatta’, .66.

[54] Nur Al-din Itr, Ulum Al-Hadith . 248

[55] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith,.94-95

[56] Tengku Muhammad Hasbi al-Siddiqiy. 167.

[57] Ibid.167.

[58] Idri, Studi Hadis,.175

Kehujjahan Hadis Sahih

 

Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan sesuatu hadis ialah memeriksa, apakah hadis tersebut maqbul, boleh kita ber-hujjah dengannya[1]. Kalau mardud, tidak dapatlah kita i’tiqad-kan dan tidak dapat pula kita amal-kan. Kemudian apabilah telah nyata hadis tersebut maqbul. Hendaknya kita periksa, apakah ada mu’arid (padanan) nya yan berlawanan maknanya. Jika terlepas dari pertentangan makna kita namai dia muhkam[2].

Para ulama sepakat bahwa hadis sahih dapat di jadikan hujjah untuk menetapkan syari’at islam baik hadis itu ahad terlebih yang mutawatir. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal hadis sahih yang ahad di jadikan hujjah di bidang aqidah. Perbedaan terjadi karena perbedaan penilaian mereka tentang hadis sahih yang ahad itu berstatus atau berfaedah qat’i (pasti) sebagaimana hadis mutawatir, atau berfaedah zanni (samar).

Ulama yang memahami bahwa hadis sahih yang ahad sama dengan hadis sahih yang mutawatir, yakni berstatus qat’i, berpendapat bahwa hadis ahad dapat di jadikan hujjah di bidang aqidah. Tetapi bagi ulama yang yang menilainya berstatus danni, menyatakan bahwa hadis sahih yang ahad tidak bisa di jadikan hujjah di bidang aqidah.

            Dalam hal ini, para ulama terbagi pada beberapa pendapat :pertama, Sebagin ulama memandang bahwa hadis sahih tidak berstatus qat’i sehingga tidak dapat di jadikan hujjah untuk mnetapkan persoalan aqidah. Kedua, sebagian ulama hadis sebagaiman dinyatakan oleh al-Nawawi, berpendapat bahwa hadis-hadis sahih riwayat al-Bukharidan Muslim berstatus qat’i. Ketiga, Sebagian Ulama, antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis sahih berstatus qat’i tanpa di bedakan apakah di riwayatkan oleh kedua ulama tersebut  atau bukan. Menurut Ibn Hazmm tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkanya. Semua hadis, jika memenuhi syarat kesahihannya, adalah sama dalam statusnya sebagai hujjah.[3]

Baca Juga Artikel yang lainya :


DAFTAR PUSTAKA

Idri, Studi Hadith, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010

Habshy, Muhammad Al-Shidiqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith Semarang Pustaka Rizqi Putra 2009


[1] Tengku Muhammad Hasbi al-Siddiqiy. 167.

[2] Ibid.167.

[3] Idri, Studi Hadis,.175

Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab

 

Karena tingkat kekuatan sanad-sanad hadis berfariasi, maka sebagian ulama menetapkan sebagian sanad sebagai sanad yang paling tinggi secara mutlak, sehingga mereka berkata “sanad ini adalah sanad yang paling sahih” yakni apabila di bandingkan dengan seluruh sanad yang lain.[1]

Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi Dan Ibn Al-Salah tidak membenarkan menilai suatu (sanad) hadis dengan  assahu al-Asanid,  atau menilai suatu (matan) hadis dengan assahu al-asanid secara mutlak, yakni tanpa menyandarkan pada hal yang mutlak.

Penilaian  assahu al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya di khususkan kepada sahabat tertentu, misalnya assahu al-asanid dari Abu Hurairah r.a, atau di khusus kan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya assahu al-Asanid dari penduduk Madinah, atau di khususkan dalam masalah tertentu, jika hendak menilai matan suatu hadis, misalnya assahu al-asanid dalam bab wudhu’ atau masalah mengangkat tangan dalam berdoa.

Contoh assahu al-Asanid yang muqayyad tersebut adalah :

1.      Sahabat tertentu yaitu :

a.       ‘Umar Ibn Al-Khattab r.a, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn shihab Al-Zuhri dari salim Ibn ‘Abdullah bin ‘Umar, dari ayahnya (‘Abdullah bin ‘Umar), dari kakeknya (‘Umar Ibn Al-Khattab).

b.      Ibn ‘Umar r.a adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar r.a)

c.       Abu Hurairah r.a yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn Shihab Al-Zuhri dari Ibn Al-Musyyab dari Abu Hurairah r.a

2.      Penduduk kota tertentu yaitu :

a.       Kota Makkah, Yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Uyainah dari ‘Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdillah r.a

b.      Kota Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Isma’ilbin Abi Hakim  dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah r.a

Contoh assahu al-Asanid yang mutlak seperti:

1.      Jika menurut Imam Bukhari, Yaitu malik, Nafi’, dan Ibn Umarr.a

2.      Jika menurut Ahmad Bin Hanbal. Yaitu al-Zuhri, Salim bin ‘Abdillah, dan ayahnya (‘Abdillah ibn ‘Umar)

3.      Jika Menurut Imam Al-Nasa’i, yaitu ‘Ubaidillah Ibn ‘Abbas dan ‘Umar Bin Khattab r.a[2]

Baca Juga Artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA

Ajaj, Muhammad Al-Khatib Usul Al-Hadith, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1998

-------------------------------------, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema                     Insani Press,1999) 

Anas,  Malik Ibn, Muwatta’.
Bukhari Sahih Bukhari.
Idri, Studi Hadith, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010

Nuruddin Itr, Ulum Al-Hadith, Bandung, PT Remaja Rosdakarya 2012

Habshy, Muhammad Al-Shidiqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith Semarang Pustaka Rizqi Putra                     2009

Sholahudin, Muhammad Agus & Suyadi, Agus, Ulum Al-Hadith, Bandung, Pustaka setia.

Tirmidhi Sunan Al-Tirmidhi..


[1] Nur Al-din Itr, Ulum Al-Hadith . 248

[2] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith,.94-95

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...