BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ilmu hadis merupakan ilmu
yang selalu berkembang dari masa ke masa. Ketika zaman Rasulullah, para sahabat
dilarang untuk menulis hadis. Lalu datang masa di mana para sahabat sudah
menyebar ke berbagai negera. Ditambah lagi situasi politik yang kacau sehingga hadis-hadis
banyak dipalsukan hanya untuk kepentingan golongan tertentu dan menguatkan
ideologinya.
Selanjutnya umat Islam sadar
akan pentingnya pengodifikasian hadis, sehingga hadis-hadis dari Rasulullah,
sahabat maupun tabi‘in bisa
terbukukan dan bisa menjadi rujukan umat Islam.
Perkembangan hadis pun tidak
hanya berhenti pada riwayat hadis saja, karena itu muncullah ilmu hadis dirayah
yang membahas macam-macam hadis, jarh wa ta’dil sampai pada ‘ibarah
yang digunakan dalam ulumul hadis.
Tentunya perkembangan hadis
semacam ini sangatlah menarik untuk dikaji dan diteliti, tidak lain tujuannya
untuk melindungi sunnah yang merupakan pondasi dasar.
B. RUMUSAN
MASALAH
a.
Definisi kodifikasi hadis dan
perbedaannya dengan penulisan hadis:
1.
Pengertian kodifikasi secara
bahasa dan istilah
2.
Perbedaan kodifikasi (al-tadwin),
penulisan (al-kitabah), dan penyusunan (al-tasnif)
3.
Kekeliruan dalam memeahami
istilah kodifikasi (al-tadwin), penulisan (al-kitabah), dan
penyusunan (al-tasnif)
b.
Langkah-langkah kodifikasi
1.
Kodifikasi hadis dari sumber
primer
2.
Kodifikasi hadis dari sumber
sekunder dan tersier
3.
Kodifikasi hadis dari
kitab-kitab hadis
c.
Sejarah kodifikasi hadis:
-
Kodifikasi hadis abad kedua
hijriyah
Penentu
kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya:
a)
‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz dan
kebijakannya
b)
Abu bakar ibn Muhammad ibn
Hazm dan kiprahnya
c)
Muhammad ibn Shihab al-Zuhri
dan aktifitas kodifikasinya
-
Kodifikasi hadis abad ketiga
hijriyah
Kiprah ulamahadis lain sampai masa al-Nasa’i dan seterusnya
-
Kodifikasi hadis abad keempat
sampai ketujuh hijriah
-
Kodifikasi hadis abad ketujuh
hijriyah sampai sekarang
d.
Faktor-faktor pendorong
kodifikasi hadis:
1.
Faktor internal
2.
Faktor eksternal
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut bahasa تدوين berasal dari دَوَّنَ – يُدَوِّنُ yang berarti كتب
(menulis) dan سجل
(mencatat)[1].
Sedangkan dalam Mu’jam al-Wasit adalah جمعها وترتيبها (mengumpulkan dan mengurutkan)[2].
Sedangkan menurut terminologi
dalam ilmu hadis adalah proses pengumpulan dan penyusunan hadis yang secara resmi didasarkan perintah khalifah,
bukan (penulisan) yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di
masa-masa sebelumnya.
Sementara itu terdapat
perbedaan antara kodifikasi (al-tadwin), penulisan (al-kitabah),
dan penyusunan (al-tasnif), yaitu:
a.
Al-Kitabah artinya penulisan, yaitu penulisan hadis
secara pribadi. Ketika itu para penulis hadis mengkhususkan tulisannya untuk
diri sendiri, dikarenakan ada larangan dari Rasulullah untuk menulis hadis.
Sebagian sahabat pun sudah menulis hadis sebagaimana riwayat berikut:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِى
وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّى إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ
Abu Hurairah berkata,
"Tidaklah ada seorangpun dari sahabat Nabi yang lebih banyak hadisnya
dibandingkan aku, kecuali 'Abdullah bin 'Amr. Sebab ia bisa menulis sedang saya
tidak."[3]
b.
Al-Tasnif artinya
penyusunan atau klasifikasi[4]. Menurut
istilah mengandung makna usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadis (kitab hadis) dengan membubuhi keterangan
mengenai arti kalimat yang
sulit-sulit dan memberi interpretasi
sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan
atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadis lain, dengan ayat-ayat al-Qur’an
atau dengan ilmu-ilmu lain maka disebut dengan ilmu Sharh dan meringkas.
al-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad
periodisasi klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadis .
c.
Mengutip dari Qamus al-Muhit, Fairuz Abadi mengatakan bahwa: “Tadwin secara bahasa adalah مجتمع الصحف (kumpulan
sahifah).[5]Menurut
Dr. Muhammad Ibn Mathar Al-Zahrani tadwin adalah :
تقييد
المتفرق المشتت، وجمعه في ديوان أو كتاب تجمع فيه الصحف
“Mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan).”[6]
Terkadang ada kesalahpahaman
seseorang yang menganggap bahwa pembukuan, penulisan dan penyusunan adalah hal
yang sama. Padahal hal tersebut sangat berbeda sekali. Tidak hanya secara
pengertian saja, bahkan masanya pun juga berbeda. Kitabah hadis sudah
ada sejak Nabi,
kemudian masa pembukuan dimulai ketika zaman ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan tasnif
jauh setelahnya.
Jika ada yang meragukan hadis dengan alasan pada zaman Rasulullah saw hadis tidak dibukukan, maka ibn Hajar menjawab: “Memang hadis Nabi pada zaman Sahabat, maupun kibar tabi‘in belum dibukukan, hal tersebut dikarenakan dua sebab: Yang pertama pada awalnya para sahabat dilarang untuk menulis hadis pada zaman Rasul, sebagaimana dijelaskan di dalam Sahih Muslim karena ditakutkan tercampur dengan al-Quran. Yang kedua para sahabat terkenal dengan kekuatan hafalannya, juga pada waktu tersebut kebanyakan kurang pandai menulis.”[7]
B. SEJARAH
KODIFIKASI HADIS
I. Kodifikasi hadis abad kedua hijriyah, serta penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya.
Shaikh Khusyu’i
Khusyu’i dalam Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah[8]menjelaskan
bahwa usaha kodifikasi hadis sudah ada semenjak zaman ‘Umar ibn Khattab dan ‘Abdul
‘Aziz ibn Marwan (ayah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz) sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat berikut:
-
Usaha ‘Umar untuk membukukan hadis:
أخبرنا خلف بن سعيد، نا عبد الله بن
محمد، نا أحمد بن خالد، نا إسحاق بن إبراهيم، نا عبد الرزاق، نا معمر، عن الزهري،
عن عروة، أن عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- أراد أن يكتب السنن فاستفتى أصحاب النبي
-صلى الله عليه وسلم- في ذلك، فأشاروا عليه بأن يكتبها، فطفق عمر يستخير الله فيها
شهرًا، ثم أصبح يومًا وقد عزم الله له فقال: إني كنت أريد أن أكتب السنن وإني ذكرت
قومًا كانوا قبلكم كتبوا كتبًا فأكبوا عليها وتركوا كتاب الله، وإني والله لا أشوب
كتاب الله بشيء أبدًا
Telah menceritakan kepada kami Khalaf ibn Sa‘id, telah menceritakan
kepada kami ’Abdullah ibn Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn
Khalid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami ’’Abdu al-Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma‘mar, dari
al-Zuhri dari ’Urwah
bahwa sesungguhnya ‘Umar ibn Khattab ingin menulis sunnah
maka dia meminta fatwa dari para sahabat tentang hal tersebut. Mereka
mengisyaratkan untuk menulis hadis tersebut. Maka ‘Umar mulai istikharah
selama sebulan lamanya, (sampai) suatu hari Allah sudah menetapkan hatinya dan mengatakan: “Sesungguhnya
aku ingin menulis sunnah, dan aku ingat akan suatu kaum sebelum kalian
menulis buku, maka mereka menekuni hal tersebut dan meninggalkan kitabullah
(al-Quran). Dan aku bersumpah tidak akan mencampurkan kitabullah
dengan suatu apapun selamanya.[9]
-
Usaha ’Abdul ’Aziz ibn
Marwan ibn al-Hakam al-Umawi
عن الليث، حدثني يزيد بن أبي حبيب، أن
عبد العزيز بن مروان كتب إلى كثير بن مرة، وكان قد أدرك بحمص سبعين بدريا.
Dari Laith, telah menceritakan kepadaku
Yazid ibn Abi Habib, sesungguhnya ’Abdul’Aziz ibn Marwan menulis kepada Kathir ibn Murrah, waktu itu
sudah mencapai 70 bulan purnama[10]
-
‘Umar ibn ’Abdul’Aziz memerintahkan
ibn Shihab al-Zuhri dan Abu Bakr ibn Hazm untuk melakukan
kodifikasi hadis.
-
Perintah kepada Abu Bakr ibn
Hazm dan kiprahnya.
وَكَتَبَ عُمَرُ
بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ
حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوسَ
الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ
يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا
‘Umar ibn ’Abdul’Aziz menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm: “Lihatlah kepada hadis
Rasulullah dan tulislah. Sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan ulama.
Dan janganlah terima sebuah hadis kecuali yang berasal dari Rasulullah.
Sebarkanlah ilmu dan buatlah majelis-majelis ilmu sampai orang yang tidak
berilmu menjadi berilmu. Sesunguhnya ilmu tidak akan musnah sampai menjadi
rahasia (orang bakhil akan ilmu).[11]
Dijelaskan pula oleh Imam Bukhari melalui riwayat dari ’Abdullah ibn
Dinar bahwa ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz memerintahkan
demikian, hanya saja lafadznya sampai dengan ذهاب العلماء.
Terdapat sebuah riwayat dari Muhammad ibn Hasan dalam Muwatta’ Imam Malik, “Telah
menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa‘id,
bahwa ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz telah
mengirim surat kepada Abu Bakar ibn ’Amru ibn
Hazm: “Telitilah hadis Rasulullah, lalu tuliskanlah padaku. Sesungguhnya aku
takut akan kehilangan ilmu dan para ulama”.[12]
-
Perintah kepada Muhammad ibn Shihab al-Zuhridan aktifitas kodifikasinya.
Imam al-Zuhry disebut
sebagai orang pertama yang menaruh pondasi ilmu hadis, yaitu qawa’id dan
dawabit ilmu hadis. Tetapi qawa’id dan dawabit yang ada
pada masa tersebut hanya tersimpan di dalam dada mereka (tidak tertulis),
dengan bukti tidak ditemukannya satu buku pun yang dibuat oleh ulama pada zaman
tersebut. Sedangkan Imam Shafi‘i merupakan orang pertama yang menulis tentang
hadis (meskipun masih tercampur dengan pembahasan selain ulum hadis).[13]
Ibn Hajar menjelaskan dalam Fath-nya bahwa ibn Shihab adalah
orang pertama yang membukukan hadis atas perintah ‘Umar bin ’Abdul
’Aziz,
sebagaimana dalam riwayat Muhammad ibn Hasan dari Malik: “Orang pertama yang
membukukan ilmu (hadis) adalah ibn Shihab al-Zuhri”. Ibn Shihab
berkata: “Umar ibn ’Abdul’Aziz telah memerintahkan kepada kami untuk
mengumpulkan hadis, lalu kami tulis menjadi buku, dan kami kirimkan ke seluruh
negara muslim”[14]
Dalam hal ini Muhammad
Rashid Rida berpendapat bahwa sebenarnya orang yang pertama kali membukukan
hadis adalah Khalid ibn Ma‘dan al-Hamsi dengan alasan bahwa Khalid telah
mengumpulkan ilmunya di dalam satu kitab yang selalu terjaga bersamanya. Dan
Khalid meninggal tahun 103 atau 104 H. Hal tersebut dijawab Ajjaj al-Khatib
dengan alasan sebagai berikut apabila yang dimaksud Rashid Rida adalah tadwin
shakhsi (pembukuan pribadi) maka yang lebih dahulu adalah para sahabat.
Karena sahabat ada yang menulis hadis dan menjaga kitabnya, seperti ibn ‘Umar.
Oleh karenanya anggapan bahwa Khalid orang yang pertama membukukan hadis dengan
alasan yang diungkapkan Rashid Rida tidaklah tepat.[15]
Kemudian para ulama mengumpulkan hadis berbentuk jawami’, musannafat
dan muwatha’ seperti:
-
Jami’ Ma’mar ibn Rasyid (w. 154
H)
-
Jami’ Sufyan al-Tsauri (w. 161
H)
-
Jami’ Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198
H)
-
Mushannaf Hammad ibn Salamah (w. 167
H)
-
Muwatha’ Imam Malik (w. 179
H)
Muwatha’ Imam
Malik merupakan karya yang paling prestisius waktu itu, sampai-sampai Imam
Syafi’i mengatakan:
ما
على ظهر الأرض كتاب بعد كتاب الله أصح من كتاب مالك
“Tidak ada buku di muka bumi ini yang lebih sahih setelah Alquran dari kitab (Muwatta’) Imam Malik”.[16]
Tapi hadis yang sudah dibukukan waktu itu tidak hanya hadis yang
sampai pada Rasulullah SAW saja, melainkan juga hadis yang sampai pada sahabat (mauquf)
dan tabi‘in (maqtu‘).
Pada masa ini juga muncul
kebutuhan untuk jarh wa ta‘dil dikarenakan
banyaknya shuyukh yang da‘if dari segi
hafalan maupun termasuk ahlu al-ahwa’ wa al-bida’. Oleh karenanya para ulama
hadis tidak mengambil hadis dari orang yang tidak dikenal (sebagai ahli hadis).
Diriwayatkan Imam Muslim dalam muqaddimah shahihnya dari Abu al-Zinad
عن أبي الزناد
قال: أدركت بالمدينة مائة كلهم مأمون ما يؤخذ عنهم الحديث يقال: "ليس من
أهله"
Aku bertemu dengan seratus orang di Madinah, semuanya aman (perangainya
baik), namun tidak diambil satupun hadis dari mereka. Dikatakan: “Mereka bukan
ahli hadis”.[17]
Ulama yang ahli dalam jarh wa ta’dil , diantaranya: Syu‘bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H) dan Sufyan al-Thauri, ‘Abdurrahman ibn Mahdi (w. 198 H)
Pada masa ini juga muncul
kitab yang khusus membahas mukhtalaf al-hadith, diantaranya: Ikhtilaf
al-Hadith karya
Imam Shafi‘i, Ikhtilaf al-Hadith karya ‘Ali ibn al-Madini dan Ta’wil Mukhtalaf
al-Hadith karya
ibn Qutaibah.[18]
II. Kodifikasi Hadis Abad Ketiga Hijriyah
Datang paling awal adalah masanid,
yaitu metode pengumpulan hadis urut berdasarkan nama sahabat, musnad yang
terkenal pada masa ini adalah musnad Ahmad ibn Hanbal.
Kemudian datang setelahnya Imam Bukhari, yang melihat akan pentingnya
pengumpulan hadis sahih secara khusus. Lalu hadis-hadis tersebut dibagi sesuai
dengan bab, untuk memudahkan dalam mencari hadis tersebut juga dalam menentukan
hukum fiqh. Maka dibuatlah al-Jami‘ al-Sahih. Kemudian
diikutilah oleh imam kutub sittah (kecuali Nasai) yang merupakan
murid-muridnya, dengan menggunakan metode serupa. Meskipun penulis kitab sunan
tidak mensyaratkan hadis tersebut dengan derajat sahih. Begitulah madrasah al-Bukhari
mempunyai peran vital terhadap perkembangan ilmu hadis. Kemudian
diikuti oleh ibn Khuzaimah (w. 311 H) dan ibn Hibban (w. 354 H).[19]
Ilmu rijal al-hadith juga berkembang pada masa ini dengan
dikarangnya Tarikh al-Rijal oleh Yahya ibn Ma‘in (w. 234 H) dan Muhammad
ibn Sa‘d (w. 230 H) dengan Tabaqatnya. Serta Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dengan al-‘Ilal wa Ma‘rifatu
al-Rijal dan al-Nasikh wa
al-Mansukh. Tak kalah hebat, Ali ibn ’Abdullah al-Madini (w. 234 H) yang
merupakan guru dari Imam Bukhari, mengarang berbagai macam kitab dalam ilmu hadis
hingga mencapai 200 buku. Sehingga dikatakan tidak ada cabang ilmu dalam ilmu hadis
kecuali beliau telah menulisnya.Lalu imam Tirmidzi (w. 279 H) membuat al-‘Ilal al-Saghir.
Didalamnya dibahas hal-hal penting tentang jarhwata‘dil, maratibu al-ruwwat, adab
al-tahammul wa al-ada’, riwayah bi al-ma’na, hadith mursal, ta‘rif hadith
hasan, ta‘rif hadith gharib dan sebagainya.[20]
Pada
abad ini juga disebut dengan masa keemasan hadis (العصر الذهبي). Salah satu buktinya adalah
dibuatnya buku yang selalu jadi rujukan umat Islam sedunia, yaitu kutub al-sittah:
a.
Sahih Bukhari oleh Abu
‘Abdullah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari (w.256 H) atau yang lebih dikenal
dengan Imam Bukhari
b.
Sahih Muslim oleh
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (w.261 H)
c.
Sunan Abi Dawud oleh Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H)
d.
Sunan Ibni Majah oleh Abu’Abdullah Muhammad ibn Yazid atau yang lebih
dikenal dengan ibn Majah.
e.
Sunan al-Tirmidhi oleh Abu’Isa Muhammad ibn ’Isa al-Tirmidhi (w. 279 H)
f.
Sunan al-Nasa’i oleh Abu’Abdurrahman Ahmad ibn Shu’aib al-Nasa’i (w. 303 H)[21]
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
II. Kodifikasi hadis abad keempat sampai ketujuh hijriah
Pada abad inilah mulai
muncul ilmu hadis dirayah atau yang lebih dikenal dengan ilmu mustalah
al-hadith. Oleh karenya muncullah: Al-Muhaddith al-Fasil baina al-Rawi
wa al-Wa‘i karangan al-Qadi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H). buku
ini merupakan buku pertama mustolahal-hadith.[22]
Kemudian muncullah buku mustalah
yang di
dalamnya membahas semua jenis-jenis hadis (penyempurnaan kaidah-kaidah yang ada
dalam mustalah hadis), Diantaranya:
1.
Ma‘rifat al-‘Ulum al-Hadith karya
Hakim Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Abdullah al-Naisaburi (w. 405 H). Di dalamnya
dibahas 52 macam pembahasan ulum al-hadith.
2.
Al-Mustakhraj
karangan al-Asfahani (w. 430 H). Menyempurnakan pembahasan ulumul hadis dalam
kitab Hakim, oleh karenanya disebut mustakhraj.
3. Al-Kifayah fi ’ilmi
al-Riwayah oleh al-Khatib al-Baghdadi
(w. 463 H)
4. Al-’Ilma’ fi Usuli
al-Riwayah wa al-Sama‘ karangan
al-Qadi ‘Iyadl ibn Musa (w. 544 H)
5.
Ma la yasa’ al-Muhaddith
jahluhu karangan al-Mayanji (w. 580 H).[23]
Selain itu, muncul pula kitab hadis yang disebut dengan mustadrak,
yaitu kitab yang berisi hadis-hadis yang sesuai dengan syarat dari kitab
tertentu, dimana hadis tersebut belum diriwayatkan dalam kitabnya. Diantaranya Mustadrak
ala al-Sahihain karya al-Hakim dan Mustadrak Dar al-Qutniyang
terkenal dengan al-Ilzamat.[24]
III. Kodifikasi hadis abad ketujuh hijriyah sampai sekarang
Syaikh Nuruddin ‘itr
menjelaskan bahwa pada masa ini tashnif buku mustalah hadis telah
lengkap, mulai dari macam-macamnya sampai pada pembahasa detail beberapa
masalah ilmu hadis. Muncullah kitab mustholah yang masyhur “Ulumul Hadis” karya
ibn Salah. Kitab ini menyempurnakan kitab mustalah hadis sebelumnya. Oleh
karenanya kitab ini menjadi bahan rujukan dari buku-buku ilmu hadis yang dibuat
setelahnya. Diantaranya:
1.
Al-Irshad
karangan Imam Nawawi (w. 676 H). Merupakan ringkasan dari buku ibn Salah.
Kemudian Imam Nawawi juga mengarang al-Taqrib
2.
Al-Tabsiroh wa al-Tadhkirah karya
al-Iraqi (w. 806 H). Berisi mandhumah 1000 bait yang merujuk kepada buku
ibn Solah ditambah ta‘qib dalam beberapa masalah penting.
3.
Nukhbat al-Fikr dan Nuzhat
al-Nazar karya ibn Hajar (w. 852 H)
4.
Tadrib al-Rawi karya
Imam Suyuti (w. 911 H) merupakan sharh dari taqrib al-Nawawi,
dimana taqrib merupakan mukhtasar dari kitab ibn Solah.[25]
Pada masa ini telah
lengkap jenis (nau‘) tentang Ulum al-Hadith, maka muncul banyak
karya tentang penelitan dan pengembangan dari kitab-kitab hadis terdahulu
seperti majami‘, zawa’id dan atraf. Selain
itu juga muncul berbagai macam karya seperti kitab hadis yang meringkas
kitab-kitab terdahulu (seperti Mukhtasar Kitab al-Khilafiyyat li al-Baihaqi),
kumpulan hadis Ahkam (seperti Bulughul Maram karya ibn Hajar),
kitab Mu‘jami (seperti Jam‘u al-Jawami‘ dan Jami‘ al-Saghir),
kitab Sharh (seperti Fathu al-Bari dan ‘Umdatu al-Qari)[26]
Lalu datang masa setelahnya yaitu masa rukud wa jumud (diam).
Artinya tidak ada ijtihad, tetapi hanya sebatas mendiskusikan ibarah yang ada
pada kitab-kitab sebelumnya. Diantaranya adalah:
1.
Al-Manzumah al-Baiquni karya
al-Baiquni (w. 1080 H)
2.
Taudihu al-Afkar karya
al-San‘ani (w. 1182)[27]
Selanjutnya adalah masa kontemporer, dimana banyak muncul shubhat
tentang sunnah Rasulullah. Para ulama hadis pun mengarang buku untuk melindungi
sunnah, diantaranya:
1.
Qawa‘idu al-Tahdith karya
Jamaluddin al-Qasimi
2.
Mafatihu al-Sunnah karya
‘Abdul ‘Aziz al-Khuli. Membahas tentang sejarah hadis.
3.
Al-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tashri‘al-Islami karya Mushtofa al-Siba‘i.[28]
C. FAKTOR-FAKTOR
PENDORONG KODIFIKASI HADIS
Secara umum, faktor-faktor
pendorong kodifikasi hadis dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Faktor internal
a.
Melemahnya daya hafal umat
Islam
b.
Sanad semakin panjang
dikarenakan semakin jauh dengan zaman sahabat.
c.
Semakin banyak para perawi
hadis. Dimana para sahabat merawikan hadis kepada sejumlah tabi‘in. Lalu
mereka menyebar ke negara-negara muslim, maka semakin banyak hadis. Maka timbul
banyak celah dan ‘illah baik yang terlihat maupun tidak terlihat.[29]
2.
Faktor eksternal
Sebuah bencana yang besar menimpa kaum muslimin, yaitu ketika masa amirul
mu’minin ke-empat, ‘Ali bin Abi Talib. Peta perpolitikan umat islam sangat
kacau, belum lagi memakan korban jiwa dan harta yang pastinya tidak sedikit.
Awalnya pihak yang bersekutu hanya memperebutkan kekhalifahan saja.
Tapi seiring berjalannya waktu, bergeser ke ranah shari‘ah dan ‘aqidah
dengan membuat hadis maudu‘ (palsu) dengan jumlah yang banyak. Tidak
lain tujuannya hanyalah untuk membenarkan ideologi dan golongan mereka.
Sejarah terus berjalan dan semakin memprihatinkan dengan
terbunuhnya Husain bin AbiTalib dalam peristiwa Karbala (Tahun 61 H / 681 M). Beban berat dipikul para
sahabat kecil (sighor al-tabi‘in) sehingga kebanyakan dari mereka
mengambil sikap tidak mau menerima hadis baru.
Masa terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz. Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah[30].
Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis.
Karena ia meyadari bahwa para perawi
hadis makin lama semakin banyak yang meninggal. Apabil hadis-hadis tersebut
tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping
itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai daIam persoalan kekhalifahan
menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis palsu untuk memperkuat
pendapatnya. kebutuhan masyarakat luas untuk mengetahui hadis sudah tidak bisa
dipungkiri.
D. METODE
PENYUSUNAN HADIS
Menurut sumbernya,
langkah-langkah kodifikasi hadis bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
1. Kodifikasi hadis dari
sumber primer, yaitu mengumpulkan hadis yang sanadnya langsung dari Rasulullah
tanpa perantara media yang lain. Dari metode yang pertama ini maka muncullah:
a.
Kitab yang di dalamnya berisi
hadis-hadis dan disusun urut berdasarkan bab. Kelebihan dari metode ini adalah
untuk memudahkan dalam mencari hadis dalam permasalahan tertentu, sedangkan
kekurangannya adalah setiap orang yang ingin merujuk pada kitab tersebut harus
mempunyai pengetahuan (ذوقعلمي) tentang hadis yang ingin dicari. Dari metode ini maka
dibuatlah:
-
Al-Jawami’ (jama’
dari jami‘), yaitu kitab yang disusun urut bab yang tidak hanya
berisi hadis-hadis tentang ahkam. Bahkan Imam Bukhari juga memasukkkan
pembahasan masalah tafsir dalam kitabnya. Contohnya adalah al-Jami’ al-Sahih
li al-Bukhari(dikenal dengan Sahih Bukhari) dan al-Jami’
al-Sahih li al-Muslim (dikenal dengan Sahih Muslim).[31]
·
Al-Sunan, kitab yang disusun
sesuai urutan bab yang di dalamnya hanya terdapat ahadith ahkam (hadis
tentang hukum-hukum). Diantaranya: Sunan al-Tirmidhi, Sunan Abi Daud, Sunan
al-Nasa’idanSunan ibn Majah.[32]
·
Musannafat (jama‘
dari Musannaf): Kitab yang disusun penulisnya dengan sanadnya sendiri
tersambung ke Rasulullah, Sahabat, Tabi‘in dan setelahnya, urut bab fiqh,
seperti:Musannaf‘Abdu al-Razaq ibn Himam al-Son‘ani (w. 211 H) dan Musannaf
Abu Bakr ibn Abi Shaibah (w. 235 H).[33]
b.
Kitab yang didalamnya berisi
hadis-hadis yang disusun urut berdasarkan nama sahabat. Metode ini sangat cocok
untuk melihat berapa jumlah riwayat seorang sahabat dari Nabi. Penyusunan buku
semacam ini, terbagi menjadi dua jenis:
·
Masanid (jama‘
dari musnad), yaitu kitab yang disusun urut berdasarkan sahabat, sesuai
huruf hijaiyyah, atau urut orang pertama yang masuk islam, atau nasab yang
mulia, atau kabilah. Biasanya hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tersebut
tidak tersusun rapi. Hadis dalam musnad ini tidak mempunyai derajat yang sama.
Di dalamnya terdapat hadis sahih, hasan, da‘if. Salah satu
musnad yang paling fenomenal adalah musnad Ahmad ibn Hanbal (w.
241 H).[34] Khabib al-Baghdadi mengatakan bahwah tartib orang
pertama yang masuk Islam adalah yang lebih disukai.[35]
c.
Mu‘jam, yaitu kitab
yang disusun urut berdasarkan sahabat, atau shuyukh, atau negeri (buldan).
Baik itu diurutkan berdasarkan yang lebih dahulu meninggal, atau hija’iyyah,
atau abjad, atau kemulian, atau tingginya ilmu. Tetapi yang lebih umum urut
berdasarkan huruf hija’iyyah. Salah satu mu’jam yang sangat terkenal
adalan ma‘ajim al-Thalathah li al-Tabrani.[36]
d.
Al-Ajza’, yaitu
kitab yang di dalamnya berisi hadis yang diriwayatkan dari orang tertentu. Baik
itu dari kalangan sahabat ataupun setelahnya. Seperti: Juz Hadith Abu Bakr,
JuzHadithMalik. Terkadang ajza’ hadis diletakkan pada judul
tertentu, seperti: Juz al-Qira‘ah khalfa Imam al-Bukhari.[37]
2. Kodifikasi hadis dari sumber sekunder dan
tersier
a.
Kitab yang di dalamnya berisi
hadis-hadis dan disusun urut berdasarkan bab. Dari metode ini, maka dibuatlah
penyusunan buku sebagai berikut:
·
Mustadrak, yaitu
kitab yang berisi hadis-hadis yang sesuai dengan syarat dari kitab tertentu,
dimana hadis tersebut belum diriwayatkan dalam kitabnya. Salah satu mustadrak
yang paling terkenal adalah mustadrak ala al-sahihain li al-Hakim al-Naisaburi.
·
Mustakhrajat, yaitu
meriwayatkan hadis dalam sebuah buku seorang Imam dengan sanad penulis sendiri
(bukan sanad dari buku tersebut). Contoh: Fulan ingin mengarang mustakhraj
dari Sahih Bukhari, maka fulan menulis hadis dari Sahih Bukhari tapi
menggunakan sanad fulan sendiri. Imam Suyuti mengatakan: “Mustakhraj
tidak hanya dikhususkan untuk sahihain saja. Muhammad ibn ‘Abdi al-Malik
ibn Ayman telah membuat mustakhrajsunan Abi Dawud, Abu ‘Ali al-Tusitelah
membuat mustakhraj sunan al-Tirmidhi, dan Abu Na‘im telah membuat mustakhraj
al-Tauhid karya ibn Khuzaimah.[38]
b.
Zawaid, yaitu
kitab yang di dalamnya berisi hadis zaidah (tambahan) dalam sebagian
kitab hadis terhadap kitab hadis yang lain. Contoh:Majma‘ zawaid wa manba’
al-fawa’id karya Hafidz Nuruddin ’Ali ibn Abu Bakr al-Haithami (w. 807 H).
Di dalamnya berisi hadis zaidah atas kutub sittah yang diambil dari 6
sumber buku hadis, yaitu: Musnad Imam Ahmad, musnadAbu Ya’la
al-Mausili, musnad al-Bazzar dan 3 ma‘ajim Tabrani.[39]
c.
Al-Mashikhat.
Penulis
mengumpulkan hadis-hadis urut nama gurunya. Baik itu bertemu langsung, ataupun
dari kitabnya. Sedangkan sanadnya disandarkan kepada gurunya. Contohnya: al-Irad
li nabdhati al-Mustafad min al-Riwayah wa al-Asanid dan fihrisat al-Imam
Abi Bakr Muhammad ibn Khair.[40]
3. Kodifikasi hadis dari
kitab-kitab hadis:
Kitab yang disusun
berdasarkan urut nama sahabat.
·
Atraf Penulis
terkadang menyebutkan ujung sebuah matan yang menunjukkan kepada hadis
tersebut. Kemudian menyebutkan sanadnya dalam maraji‘ yang diambilnya
(terkadang menyebut sanad secara lengkap dan terkadang meringkasnya).
Dengan metode ini, akan mudah melihat jumlah
hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dengan begitu memudahkan untuk
melihat derajat sebuah hadis tersebut, apakah mutawatir, masyhur, ‘aziz,
atau gharib.Contoh atraf diantaranya:
-
Tuhfatu al-Ashraf bi
ma‘rifati al-Atraf karya Imam Abi al-Hajjaj Yusuf ibn
’Abdurrahman al-Mizzi (w. 742). Kitab ini merupakan kumpulan dari kutub
sittah dan sebagian tambahan yang diambil dari: Muqaddimah Sahih Muslim,
al-Marasil li Abi Dawud al-Sijistani, al-’Ilal al-Saghir li al-Tirmidhi,
al-Shama’il li al-Tirmidhi dan ’amalu al-Yaum wa al-Lailah li al-Nasa’i.
-
Dakha’ir al-Mawarith fi al-Dalalah ala Mawadi‘i al-Hadithkarya Shaikh ’Abdu al-Ghani al-Nablisi.
Kitab ini mengumpulkan kutub sittah dan Muwatta’[41]
·
Al-Majami’(مجاميع)
atau musannafat al-Jami‘ah, yaitu kitab yang berisi kumpulan hadis yang
diambil dari beberapa buku
dan disusun menurut urutan tertentu, sepertu urut bab atau yang lain.[42] Susunan al-Majami’ ada 2
macam:
a.
Urut bab, seperti: Kanzu
al-’Ummal karya Sheikh al-Muhaddith ‘Ali ibn Hisam al-Muttaqi al-Hindi (w.
975 H). Mengambil hadis dari berbagai macam buku, mencapai 93 kitab.
b.
Urut huruf mu’jam, seperti: al-Jami‘
al-Soghir karya Imam Suyuti (w. 911 H). Kitab aslinya adalah Kanz al-‘Ummal.
·
Kitab takhrij, yaitu kitab
yang ditulis berisi takhrij hadis dalam sebuh buku tertentu. Contoh: Nasbu
al-Rayah li ahadithi al-Hidayah karya Imam Hafidz Jamaluddin al-Zaila‘i
al-Hanafi (w. 762 H). Di dalamnya berisi takhrij hadis dalam kitab Hidayah
fi Fiqhi al-Hanafi karya ’Ali ibn Abu Bakr al-Marghinani (w. 593 H), salah
seorang faqih ternama madznab Hanafi.[43]
·
Al-Ta’lif al-Mu‘jami, yaitu kitab yang mengumpulkan kitab-kitab hadis
terdahulu dan diurutkan berdasarkan mu‘jam, seperti: Jam‘u al-Jawami‘,
al-Jami‘ al-Saghir karya Imam Suyuti.[44]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah hadis Nabi telah melewati perjalanan panjang, dimana
setiap periode mempunyai jasa begitu besar terhadap penyebaran dan perkembangan
hadis sebelum sampai dalam keadaan baik ketangan kita sekarang ini. Oleh karena
itu dari pembahasa-pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal
diantaranya:
1.
Adanya larangan dan perintah
menulis hadis oleh nabi pada priode awal yang terkesan sangat rancu dan
bertolak belakang, bukanlah merupakan nas-nas yang saling
bertentangan. Sebenarnya larangan menulis hadis pada priode nabi bersifat umum,
karena sabdanya memang ditujukan kepada para sahabat pada umumnya. Namun
diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik hafalannya, dan ada yang
bagus tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, rasulullah memberi izin
khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan akan situasi,
kondisi dan sifat pribadi sahabat.
2.
Kegigihan para sahabat,
tabi’in, dan tabi‘-tabi‘in dalam menjaga, melestarikan, dan menyebarkan
dua wasiat yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis sehingga
sampai kepada generasi sesudahnya.
3.
Dalam setiap perubahan
dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih sempurna.
4. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan mengajarkannya kepada generasi-sesuadah kita.
DAFTAR PUSTAKA
A‘zami, Mustafa, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa
Tarikhu Tadwinihi (t.t.: t.p., t.th.)
Abadi, Fairuz, Qamus al-Muhit. Beirut: Muassasah
al-Risalah, 2005.
Athqalani (al), Ibnu Hajar, Nukat ‘ala Kitabi ibn
Salah, Ahmad: Dar al-’Abduyah, Cetakan 3, 1994 M / 1415 H.
Bar (al), Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdu, Jami’ banani
al-‘ilm wa fadhlihi, Mesir: Dar ibn
al-Jauzi.
Bukhari (al), Muhammad ibn Isma‘il, Shahih
Bukhari, Stuttgart:
Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.
Hajjaj, Muslim ibn, Sahih Muslim. Stuttgart: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.
Hakami (al), ibn Ahmad, Dalil Arbabi al-Falah li
Tahqiqi Fanni al-Istilah, Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1993.
‘Itr,
Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadits, Suriah: Dar al-Fikr, 1981.
‘Imarah, Mustafa Muhammad Abu, “Manahij al-Muhaddithin
min Muntasafi al-Qarn al-Rabi’ ila Muntasafi al-Qarn al-Sabi”, dalam Mausu‘ah
Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.
Khatib (al), Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa
Mustalahuhu. Suriah: Dar al-Fikr, 2006.
Khushu‘i (al), Khushu‘i Khushu‘i Muhammad, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo:
Diktat Azhar, 2009.
Majma’ al-Lughohal-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith,
Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2004.
Malik,
Imam, Muwatha’,, Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.
Mubarakfuri (al), Muhammad ’Abdurrahman ibn ’Abdurrahim,
Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadhi. Suriah: Dar Fikr, t.th..
Muttalib, Rif‘at Fauzi ‘Abdul, “Manahij al-Muhaddithin
min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir al-Hijri”,
dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.
Rushd, Abu
al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn, al-Mudawwanah al-Kubra li al-Imam al-Malik.
Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1994.
Suyuti (al), Abu Bakar Jalaluddin, Tadrib rawi,
Riyadh: Dar al-‘Asimah, 2003.
Shahin, Marwan Muhammad Mustafa, “Sunnah Abad ke-III H
Sampai Awal Abad ke-IV”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo:
Wizaratu al-Auqaf, 2009.
Warson,
Ahmad, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, t.th..
Zahrani (al), Muhammad ibn Matar, Tadwin al-Sunnah
al-Nabawiyyah. Riyad:Dar al-Hijrah li al-Nasr wa al-Tauzi‘, 1996.
Zain, Musa Farhat, “al-Kutub al-Sunnah wa manzilatuha
baina kutub al-hadis”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo:
Wizaratu al-Auqaf, 2009.
[1]
Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif,
t.th.), 435.
[2]
Majma’ al-Lughoh al-‘Arabiah, Mu’jam al-Wasith (Mesir: Maktabah
al-Syuruq al-Dauliyah, Cetakan 4, 2004 M / 1425 H), 305.
[3] Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih (German: Maknaz al-Islami, 2010), 113.
[4]Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, 798.
[5]Fairuz Abadi, Qamus al-Muhit (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 2005), 1197
[6] Muhammad ibn Matar al-Zahrani, Tadwin
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Riyad:Dar al-Hijrah li al-Nasr wa
al-Tauzi‘, 1996), 74
[7]Mustafa A‘zami, Dirasat fi al-Hadith
al-Nabawiwa Tarikhu Tadwinihi (t.t.: t.p., t.th.), 72.
[8]Khushu‘i Khushu‘i Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah
al-Nabawiyyah (Kairo: Diktat Azhar, 2009), 280.
[9] Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdu al-Bar, Jami’ banani
al-‘ilm wa fadhlihi, (Mesir: Dâr Ibn al-Jauzy), juz 1, hal. 275
[10] Khushu‘i Khushu‘i Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah,
280.
[11]Muhammad
ibn Isma‘il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, hal. 28.
[12]Ibn Hajjaj al-Hakami, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi
Fanni al-Istilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1993) , 4.
[13]‘Itr,
Manhaju al-Naqd, 60.
[14]Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah, 281.
[15]Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith
‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Suriah: Dar al-Fikr, 2006), 134.
[16] Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Rushd, al-Mudawwanah al-Kubra li al-Imam al-Malik (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 1994), 41. Lihat juga: Muhammad ’Abdurrahman ibn ’Abdurrahim
al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadhi, (Suriah: Dar al-Fikr,
t.th.), 173.
[17] Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah
Maknaz Islamy, 2000), 9.
[18] Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah, 98.
[19]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 61.
[20]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 61
[21] Musa Farhat Zain, “al-Kutub al-Sunnah wa manzilatuha
baina kutub al-hadis”, Dalam Mausu’ah Ulumil Hadis asy Syarif, 849.
[22]Marwan Muhammad Mustafa Shahin, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV””, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif (Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009), 918.
[23]‘Itr, Manhaj al-Naqd , 63.
[24] Mustafa Muhammad Abu ‘Imarah, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Rabi’ ila Muntasafi al-Qarn al-Sabi”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 922.
[25] ‘Itr, Manhaju al-Naqd, 67.
[26]Rif‘at Fauzi ‘Abdul Muttalib, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 983.
[27]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 69.
[28]‘Itr,
Manhaj al-Naqd,70.
[29]Ibid., 58.
[30]Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuti,Tadrib al-Rawi, Juz
1 (Riyad: Dar al-‘Asimah, 2003 M), 117.
[31]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 198.
[32]Ibid., 199.
[33]Marwan Muhammad Mustafa Shahin, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 891.
[34]‘Itr, Manhaj al-Naqd, 201.
[35]Muhammad ibn Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah, 100.
[36]Marwan Muhammad Mustafa Shahin, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 897.
[37]‘Itr, Manhaj al-Naqd, 209.
[38]Mafwan Muhammad Mustafa Shahin, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV”, Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 894.
[39]Rif‘at Fauzi ‘Abdul Muttalib, “Manahij
al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir
al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 973. Lihat juga: ‘Itr, Manhaj al-Naqd,
206.
[40] ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 210.
[41]‘Itr, Manhaju al-Naqd, 202.
[42]Rif‘at Fauzi ‘Abdul Muttalib, “Manahij
al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir
al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 968.
[43]‘Itr, Manhaj al-Naqd, 207.
[44]Rif‘at Fauzi ‘Abdul Muttalib, “Manahij
al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir
al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum
al-Hadith al-Sharif, 986.