HOME

Tampilkan postingan dengan label BERITA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BERITA. Tampilkan semua postingan

07 Februari, 2022

Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia

 

Sosiolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu mulai berkembang sejak 50 tahun terakhir. Sosiolinguistik mengkaji aspek sosial dalam bahasa dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Seharusnya sosiolinguistik ada sejak manusia memiliki bahasa, sebab tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan bahasa tanpa masyarakat (penuturnya).

Ilmu sosiolinguistik di Amerika sebagai sebuah disiplin ilmu bahasa yang interdisipliner, maka sebagai seorang sosiolinguis mereka harus mengetahui kedua disiplin ilmu utamanya, yaitu sosiologi dan linguistik, agar  kajian yang mereka lakukan menjadi sebuah kajian yang utuh. Karena sosiolinguistik sebagai sebuah komponen utama dalam disiplin ilmu linguistik. Dewasa ini sosiolinguistik mengandung beberapa topik di dalamnya, di antaranya perencanaan bahasa, studi mengenai bahasa dan jenis kelamin, variasi bahasa (dialek), register, pidgin, creol, dan lain-lain.

Posisi bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang banyak terpengaruh oleh keberadaan dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Banyak masyarakat beranggapan bahasa Inggris bernilai jual tinggi dan memiliki posisi lebih strategis dari bahasa nasional kita. Memang tak salah memelajari bahasa Inggris. Yang salah adalah dengan memelajari bahasa baru tersebut kita terkesan mengabaikan bahasa sendiri. Dalam kaitannya dengan dinamika kebahasaan, situasi ini merupakan fenomena yang wajar. Fenomena ini di dalam kajian sosiolinguistik disebut sebagai fenomena diglossia dimana suatu bahasa tergeser oleh keberadaan bahasa lainnya karena bahasa yang satu dianggap memiliki prestige yang lebih tinggi daripada bahasa yang lainnya. apalagi bahasa Indonesia telah dijadikan bahasa persatuan di Asia Tenggara.

Tentunya Indonesia menjadi sebuah ladang subur bagi kajian sosiolinguistik. Menurut peta bahasa yang diterbitkan Lembaga Bahasa Nasional pada tahun 1992 terdapat 418 Bahasa daerah di Indonesia dengan jumlah penutur berkisar antara 100 orang (Irian Jaya) sampai dengan kurang lebih 50 juta orang (bahasa jawa). Kebanyakan orang Indonesia akan mempelajari dan memakai bahasa daerah sebagai bahasa pertama, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Orang tersebut dinamakan berdwibahasa. Selain itu, masyarakat Indonesia sangat multikultur, sehingga akan terdapat banyak klasifikasi sosial yang membuat kajian sosiolinguistik menjadi menarik.

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter

 

Pernahkah kita menghitung, berapa jam setiap hari yang kita habiskan untuk menonton televisi? dan berapa jam pula yang kita habiskan untuk membaca? Tidak dapat dipungkiri, budaya menonton televisi telah mengakar di masyarakat.

perlu dipahami bahwa pembentukan karakter anak bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tontonan TV pun dapat memiliki dampak tersendiri terhadap karakter anak. Walau channel yang diberikan sebagai tontonan anak terbilang aman dan sesuai usianya, namun orangtua tetap perlu mendampingi. Dengan begitu, anak bisa memahami setiap karakter yang ada di dalam tontonan termasuk antara sifat baik atau buruk. Bukan tidak mungkin kalau karakter penjahat yang ada di dalam tontonan anak justru menarik perhatiannya. Jangan heran jika keesokan harinya, anak memiliki keinginan untuk menjadi seorang penjahat.

Bila berkaitan dengan tayangan infotainment gosip dan aib sudah jadi andalan. Kabar yang dihadirkan tak jauh dari putusnya hubungan artis karena ada orang ketiga, putusnya rumah tangga artis atau orang terkenal karena diduga ada orang ketiga, penyitaan harta artis, artis yang terkena kasus narkoba, selebriti yang menikah dengan janda kaya, dan berita lain yang esensinya sama, yaitu main-main dalam privasi dan menyebarkan gosip dan aib.

Infotainment juga dituding menjadi penyebab maraknya gaya hidup hedonistik di kalangan remaja. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi penganut pandangan ini, bersenang-senang, pesta pora, dan kesenangan adalah tujuan utama hidup, apakah itu menyenangkan orang lain atau tidak. Karena mereka berpikir bahwa hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa sangat ingin menikmati hidup.

Infotainment yang menyiarkan kehidupan glamor para selebritas memberikan dorongan kepada para remaja untuk melakukan hal yang sama. Mereka ingin meniru idola mereka dalam gaya hidup mereka, fashion mereka, dan segala sesuatu tentang idola mereka. Terkadang karena kemampuan ekonomi yang tidak mencukupi, para remaja ini mencari jalan pintas untuk memuaskan fantasi kesenangan mereka yang ia tiru dari selebriti idola mereka. Sehingga mereka terjerumus ke hal-hal negatif seperti rela menjual diri, atau menjadi pengedar narkoba.

Sebenarnya menjadi penonton juga bukan hal yang buruk. Banyak hal yang terjadi di dunia ini disaksikan oleh penonton. Permasalahannya adalah ketika kita terbiasa dengan budaya menonton, akan tercipta suatu kondisi dimana kita merasa cukup puas dengan apa yang kita lihat. Sikap pasif dan apatis yang ditimbulkan dari keseringan menonton inilah yang perlu dihindarkan.

Karena jika terlalu sering maka generasi kita berubah menjadi generasi yang vakum dan tidak produktif, karena setiap hari dihabiskan dengan menonton dan terus menonton. Akibatnya mental generasi muda kita adalah mental penonton, bukan mental pemain. Hal ini disebabkan budaya menonton menghasilkan pola pikir liner dan simplitis. Yaitu pemikiran bahwa kehidupan akan terus berjalan dengan sendirinya. Generasi kita malas bertindak, tidak terarah dan tidak memiliki gairah untuk melakukan sesuatu perubahan yang inovatif dan kreatif.

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

 

Selama ribuan tahun cerita, hiburan, dan pengetahuan disampaikan melalui lembaran buku. Tetapi dengan munculnya teknologi baru, manusia mengisahkan kenangan, penemuan, cerita, atau pun pelajaran hidup melalui berbagai media. Salah satu yang paling revolusioner adalah televisi.

Menonton dan membaca, keduanya merupakan proses reseptif, namun dalam penerapannya sering kali disalah-porsi-kan masyarakat, terutama generasi muda kita. Menonton dan membaca adakalanya sebuah proses yang saling terkait. Seseorang menjadi cerdas bukan hanya karena membaca, tetapi juga dengan pengalaman-pengalaman langsung yang bisa dilihat melalui media audio-visual. Sekali lagi, tentu saja dengan porsi yang tepat dan disesuaikan pada tingkat kebutuhan.

Saat ini, hampir setiap rumah memiliki televisi. Baik di lingkungan pedesaan, apalagi yang berada di wilayah perkotaan. Keberadaan televisi bahkan tidak mengenal status sosial. Miskin atau kaya, semuanya memerlukan televisi. Televisi seolah menjadi kebutuhan primer ketiga setelah kebutuhan sandang-pangan, sebab menonton melibatkan aktivitas pokok masyarakat setelah makan-minum. Siaran yang ditonton pun beragam, mulai dari acara musik, konser dangdut, gosip, sinetron, reality show, bahkan ajang mencari jodoh. Tontonan yang disajikan ini dapat dinikmati kapan saja dan oleh siapa saja.

Kemudahan menikmati layanan televisi dan fungsinya sebagai media hiburan, tampaknya bias menjadi dampak buruk terhadap psikologis generasi muda. Rentang usia 5-16 tahun adalah usia membaca dan menghafal, sementara usia 17 tahun keatas adalah usia berfikir dan menganalisis. Akan tetapi, dengan maraknya hiburan surplus ini banyak generasi muda lalai dan tidak mampu mengembangkan potensinya.

Hal inilah yang membuat Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara berkembang lainnya, misalnya saja Jepang. Walaupun Jepang memiliki sumber daya alam yang terbatas dan wilayah negara yang lebih sempit dibandingkan Indonesia, namun perbedaan kemajuannya sangat mencolok. Ray Bradbury, seorang penulis asal Amerika Serikat berkata “Anda tidak perlu membakar semua buku untuk menghancurkan suatu kebudayaan. Perintahkan saja orang berhenti membaca, itu sudah cukup.” Dengan kata lain, membaca merupakan simbol kemajuan peradaban suatu bangsa. Budaya membaca adalah tolak ukur kualitas bangsa, apakah bangsa itu tergolong maju atau bangsa yang primitif. Berdasarkan kepentingan itulah, membaca dijadikan indeks pembangunan yang dipakai untuk mengukur keberhasilan pembangunan sebuah Negara.

Budaya membaca membuat seseorang menjadi lebih cerdas dan berwawasan. Keterampilan membaca inilah yang menciptakan mind-set seseorang agar terbiasa bersikap kritis, kreatif, dan inovatif. Maka, tidak salah bila kita menyatakan bahwa orang yang menguasai teknologi adalah orang yang membaca, sedangkan orang yang dikuasai teknologi adalah orang yang menonton. Sebenarnya menjadi penonton juga bukan hal yang buruk. Banyak hal yang terjadi di dunia ini disaksikan oleh penonton. Permasalahannya adalah ketika kita terbiasa dengan budaya menonton, akan tercipta suatu kondisi dimana kita merasa cukup puas dengan apa yang kita lihat. Sikap pasif dan apatis yang ditimbulkan dari keseringan menonton inilah yang perlu dihindarkan.

Menonton dan membaca, keduanya merupakan proses reseptif, namun dalam penerapannya sering kali disalah-porsi-kan masyarakat, terutama generasi muda kita. Untuk itu, perlu perhatian serius dan kerjasama yang baik antara masyarakat dengan pihak pemerintah. Sampel yang paling sederhana adalah keluarga. Orang tua adalah madrasah pertama anak sebelum dia mengecap pendidikan yang sesungguhnya dibangku sekolah. Komunikasi dua arah yang baik antara kedua belah pihak dalam rangka mewujudkan generasi cerdas dan cinta membaca yang perlu dilakukan.

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

27 Januari, 2022

Kerajaan-Kerajaan Pasca Dinasti Abbasiyah

 A.    KERAJAAN KERAJAAN PASCA DINASTI ABBASIYAH

1.      DINASTI USMANIYAH DI TURKI (TURKI USMANI)

Dinasti usmaniyah merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar selain dinasti Safawiyah di Persia dan dinasti Mughal di india. Kerajaan ini berasal dari suku oghuz. suku yang dipimpin oleh ertughul ini bearasal dari daerah Mongolia yang selanjutnya berpindah karena tekanan dari bangsa Mongolia. Lalu mereka juga berpindah ke Turkistan, Persia hingga irak. Karena semakin banyaknya tekanan tekanan yang mereka terima dari bangsa Mongolia, akhirnya mereka melarikan diri guna menghindari tekanan dari bangsa Mongolia. Mereka melarikan diri kebarat ke daerah daratan asia kecil. Disana mereka mengabdi dan membantu sultan Seljuk (sultan alauddin II) melawan bizaintum hingga sultan alauddin mendapatkan kemenangannya atas bizaintum. Sebagai hadiah kepada kaum oghuz atas bantuannya melawan bizaintum, sultan aluddin menghadiahkan sebidang tanah kepada raja ertughul di asia kecil perbatasan dengan bizaintum. Itulah tanah yang nantinya akan menjada sebuah kerajaan besar yakni dinasti usmaniyah.

Tanah pemberian dari sultan alauddin tersebut kemudian diwariskan kepada putranya usman bin ertughul. Usman bin ertughul juga mengabdikan dirinya untuk sultan alauddin II dalam peperangan melawan bizaintum hingga dapat menduduki beberapa wilayah bizaintum. Setelah beberapa saat menikmati kemenangan atas bizaintum, serbuan tentara mongol telah memporak – porandakan tentara Seljuk bahkan sultan alauddin II terbunuh ditangan tentara mongol.[1]

Karena serangan dari tentara mongol tersebut membuat kerajaan Seljuk terpecah belah, dan hal itu membuat usman bin ertughul berkuasa dan menyatakan kemerdekaan atas wilayah yang didudukinya, serta mendirikan sebuah dinasti yang dinamai dinasti usmaniyah.


2.      DINASTI SAFAWIYAH DI PERSIA

Kerajaan safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan usmani. Nama safawiyah, diambil dari nama pendirinya, safi al-din (1252-1334 M), dan nama safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama it uterus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[2]

Tarekat safawiyah ini berkembang hingga menjadi seperti organisasi keagamaan dengan massa yang banyak serta doktrin yang membuat pengikutnya merasa adanya ikatan antar anggotanya dan menjadikan tarekat ini memiliki kedisiplinan disetiap anggotanya. Karena kecenderungannya seperti sebuah organisasi tarekat ini condong untuk berpolitik, hingga kecenderungan terhadap politik mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan juneid (1447 – 1460 M). dibawah kepemimpinan juneid dinasti safawi memperluas wilayahnya dengan sambil menambahkan gerakan politik dalam perluasannya tersebut. Pada saat saat perluasan wilayah terjadi konflik antara juneid dengan penguasa kara koyunlu, salah satu bangsa turki yang menempati wilayah yang akan dikuasai juneid.

Dalam konflik tersebut akhirnya juneid kalah dan diasingkan. Juneid melarikan diri ke istana uzun hasan dari kalangan suku Turki Ak Konyulu. Disitu juneid tetap merealisasikan gerakan politik terhadap suku ak konyulu tersebut. Hingga pada akhirnya juneid mampu mempersunting salah satu wanita uzun hasan untuk dijadikan istrinya yang nantinya menghasilkan anak bernama haidar.


3.      DINASTI MUGHAL DI INDIA

Dinasti mughal berasal dari tentara nomadik (penjelajah) dari Afghanistan sehingga wajar jika pemerintahan dijalankan oleh elite militer dan politisi. Mereka terdiri dari para pembesar di iran, Afghanistan, turki, dan india. Dinasti mughal didirikan oleh sultan babur. Tantangan dari raja raja hindu india begitu banyak tetapi kekuatan sultan babur dapat mengalahkan dengan kemenangan yang gemilang.[3]

Kemudian diteruskan ke putra sulungnya yang bernama sultan bumayun dan diteruskan lagi perjuangannya kepada cucunya yaitu sultan akbar yang mampu menetralisir kegoncangan social politik dalam negri jika turki usmani diibaratkan seperti mesin perang maka dinasti mughallah yang memiliki jiwa militer dan penakluk yang kuat sehngga mampu melakukan ekspansi keberbagai daerah daerah penting diindia dimana sultan akbar dapat dikalahkan dapat menguasai kebesaran kakeknya.


A.    DINASTI – DINASTI KECIL MASA PEMERINTAHAN BANI ABBAS

1.      DINASTI UMAYYAH DI SPANYOL

Penaklukan spanyol terjadi setelah mesir yang secara geografis sangat strategis dijadikan batu loncatan memasuki spanyol. Panglima tentara umayyah pertama yang masuk spanyol adalah tharif yang berhasil menyebrang dan mengalahkan tentara kerajaan visighotic yang sedang berkuasa pada saat itu.[4] Dan ekspansi selanjutnya dilanjutkan atas perintah gubernur afrika utara yang di pimpin oleh thariq ibnu ziad yang lama kelamaan bias leluasa memasuki dan menaklukan spanyol. Setelah spanyol berada ditangan tentara islam instabilitas social politik mulai terjadi baik oleh gangguan sisa sisa kekuatan spanyol pra islam maupun perebutan kekuasaan antara tentara arab (damaskus) dengan tentara barbar (afrika utara). Masalah perseteruan intern telah menyebabkan ketidakmampuan menciptakan pembangunan di spanyol sehingga Abdurrahman al-dakhildatang untuk mengakhiri konflik tersebut.

Dan pembangunan spanyol dimulai oleh amir Abdurrahman sendiri dengan membangun masjid dan lembaga ilmiah serta penataan politik. Selanjutnya digantikan oleh hisyam yang berhasil menegakkan islam sebagai hokum Negara dan masyarakat. Sedangkan hakam lebih memprioritaskan pada pembaruan bidang militer dan keprajuritan.


2.      DINASTI IDRISIYAH

Dinasti idrisi didirikan oleh seorang politisi dari kaum alawiyyin (keturunan ali bin abi thalib) yang bernama idris bin abdillah. Panji panji arab dan syiah Nampak dalam karakteristik dinasti idrisi. Dinasti ini merupakan dinasti syiah pertama dalam sejarah islam.[5] Kaum alawiyyin dan syiah sebelumnya merupakan mitra keluarga bani abbas dalam perseteruannya dengan para khalifah bani umayyah. Tetapi setelah bani abbas dapat merebut kekuasaan dari bani umayyah, kaum alawiyyi dan syiah ditinggalkan sehingga memunculkan sifat opposan terhadap khilafah abbasiyah yang seringnya terjadi pemberontakan maka kemudian dimulailah kalangan alawiyyin dan syiah semakin mendapat perlakuan yang buruk.

Banyaknya pemberontakan yang gagal maka banyak pimpinan pergerakan dan tentara yang gugur. Namun idris bin Abdullah selamat dan melarikan diri ke maroko. Karena idris pandai dalam memimpin maka dibaiat menjadi khalifah di ibukota Negara maroko. Akan tetapi khalifah harun ar-rasyid menganggap daulah bani idris sebagai ancaman, maka dari itu harun mulai menghadang gerakan para petinggi daulah bani idris, idris pun akhirnya terbunuh oleh kekuatan bani abbas tetapi anaknya melanjutkan kepemimpinan dan semakin memperjelas keberadaan dinasti idrisi sebagai dinasti berfaham syiah. Namun idrisi runtuh karena ditaklukan oleh kekuatan dinasti fathimiyah.


3.      DINASTI AGHLABIYAH

Dinasti aghlabiyah berdiri sebagai akibat ketakutan khalifah Harun al-rasyid atas rongrongan dinasti idrisiyah.[6] Dinasti aghlabiyah merupakan dinasti keluarga aghlabi yang bersuku arab. Dengan demikian status pemimpin aghlabi tidak seperi gubernur walaupun wilayah teritorialnya setingkat gubernur. Karena hak khususnya sebagai amir menyebabkan aghlabiyah menjadi penguasa di Tunisia. Hal ini tidak diartikan sebagai melemahnya khilafah abbasiyah tetapi justru sebaliknya hak hak otonom dinasti aghlabiyah dianggap penting guna menjadi benteng daulah abbasiyah di afrika utara.[7]


4.      DINASTI TULUNIYAH

Dinasti tuluniyah didirikan oleh ahmad ibnu tulun (salah seorang panglima tentara turki dikalangan istana abbasiyah). Nuansa turki begitu menonjol karena dinasti tuluniyah memang didirikan oleh klan turki yang sejak zaman al mu’tashim masuk istana Baghdad. Ahmad ibnu tulun dibesarkan dalam tradisi disiplin militer yang kuat karena ayahnya, Tulun adalah pegawai istana.[8]

Ketika situasi politik di Baghdad tidak stabil, wibawa pemerintahan merosot maka ahmad ibnu tulun memproklamirkan diri sebagai penguasa tulunyah di mesir.

Baca juga artikel yang lain:

[1] Syamsul bakri, peta sejarah peradaban islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), cetakan ke-1 135-136

[2] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003) cetakan ke-14, 138

[3] Ibid., 150

[4] Ibid., 98

[5] Ibid., 77

[6] Ibid., 82

[7] Ibid., 82

[8] Ibid., 83

26 Januari, 2022

Filsafat Kontemporer

PEMBAHASAN FILSAFAT PADA MASA KONTEMPORER

A.    Filsafat pada abad ke-17-20

Dalam abad ke–17 dan ke–18 pemikiran filsafat Barat memperlihatkan aliran–aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah–wilayah yang luas yaitu :

1.      Rasionalisme

Rasionalisme adalah aliran filsafat ilmu yang berpandangan bahwa akal adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Aliran ini menekankan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui dengan pasti tentang berbagai perkara sejak lahir. Rasionalisme juga meyakini bahwa akal sebagai sumber kebenaran satu – satunya. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak pad aide kita, dan bukan di dalam sesuatu di luar ide (kenyataan).

Sejak abad pencerahan (enlightment), rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika (mathematics rasionalism). Tokoh – tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah menjadikan sesuatu yang irasional (tidak masuk akal) menjadi rasional (tidak masuk akal). Descartes menambahkan bahwa pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Bahkan Baruch Spinoza secara lebih berani mengatakan “God exists only philosophically” (Tuhan berada dalam alam rasio), artinya eksistensi Tuhan bisa diketahui melalui pendekatan rasional.[1]

Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Produk teknologi era industry dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil besar rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.

2.      Empirisme

Empirisme adalah suatu cara yang mendasarkan perolehan pengetahuan melalui pengalaman. Aliran ini menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada yang dapat diamati dan diuji. Dengan demikian strategi utama memperoleh ilmu dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti Jhon Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme.

Menurut Agustus Comte, sejarah proses berfikir manusi amelalui tiga tahapan, yaitu tahap teologi, tahap metafikik dan tahap fisika. Pada tahap fisika inilah manusia mulai meragukan hal – hal yang bersifat teologis dan metafisik. Dengan kata lain, manusia lebih meyakini bahwa kebenaran ilmu pengetahuan adalah yang memiliki kesesuaian dengan pancaindera.

Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metiode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial.[2]

3.      Idealisme

Idealisme merupakan aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan itu adalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Idealisme adalah tradisi pemikiran yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman – pengalaman inderawi.

Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama Kristen. Selain Kristen,  pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi.

Dalam perkembangannya, aliran idealisme ini terbagi menjadi dua, yaitu :

a.       Idealisme Empiris

Idealisme empiris berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pancaindra. Tetapi teori ini tidak mampu memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hakekat.

b.      Idealisme Rasional

Idealisme rasional berpendapat bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pancaindra dan akal, tetapi pengetahuan ini masih tidak mampu memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hakekat. Setidaknya, manusia tidak akan mampu mengetahui apakah gambaran yang diberikan tentang hakekat itu sesuai atau tidak sesuai dengan sesuai dengan kenyataan. Apa yang mampu dicapai oleh idealisme rasional ini hanyalah swebatas pengetahuan tentang wujud sesuatu dan bukan pengetahuan tentang hakekatnya.[3]

Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke–19 dan ke–            20 kelihatan terpecah–pecah. Macam–macam aliran baru   bermunculan,dan yang menarik aliran–aliran ini sering terikat hanya pada satu Negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran yang   paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah:

1.      Positivisme

Aliran positivisme menyatakan bahwa ilmu adalah satu–satunya pengetahuan yang valid, dan fakta–fakta sajalah yang mungkin menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta, menolak penggunaan segala metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.

Aliran positivisme berpendapat bahwa filsafat hendaknya semata– semata berpangkal pada peristiwa positif yang dialami manusia. Positivisme adalah doktrin filsafat dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian.

Salah satu bagian dari tradisi positivisnme adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Wina’ pada awal abad ke–20.

Tokoh–tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Khun, Paul K. Fyerabend, W.V.O Quine. Pemikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metode dalam membangun pengetahuan mulai dari studi etnografi sampai penggunaan analisa statistic.[4]

2.      Eksistensialisme

Aliran yang ini berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkrit, yakni manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.[5]

3.      Pragmatisme

Aliran pragmatisme beranggapan bahwa benar dan tidaknya suatu ucapan, dali, atau teori, semata –mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam kehidupannya. Pragmatism adalah pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, Jhon Dewey, George Herberd Meat, F.C.S Schiller, dan Richard Rorty. Bagi penganut pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.

Para tokoh pragmatisme mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peirce lebih tertarik pada klarifikasi gagasan–gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa (linguistic) sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotic. James lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti kepercayaan dan nilai–nilai kemasyarakatan. Sedangkan Dewey menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek–praktek berpikir secara ktitis.

Sumbangsih paham pragmatism terhadap ilmu penfetahuan adalah terutama sikap para tokohnya yang lebih demokratis. Dalam kontek proses demokratisasi ini, pragmatisme lebih memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.[6]

4.      Marxisme

Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pemikiran-pemikiran Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori  besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai kaum Marxis.

Marxisme dianggap sebagai sistem pemikiran yang amat kaya, karena marxisme telah memadukan tiga tradisi intelektual yang masing–masing sangat berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis dan ilmu ekonomi.

Ada tiga senjata utama dalam teori marxisme, yaitu :

a.       Filsafat Materialisme Dialektika

Filsafat materialisme dialektika sebagai cara pandang terhadap dunia serta metode berpikir yang benar. Matrialisme sebagai kritik terhadap cara pandang idealisme. Dialektika sebagai kritik atas metode berfikir metafisika. Materialisme dialektika kemudian diterapkan dalam sejarah perkembangan masyarakat yang melahirkan doktrin materialisme historis. Materialism dialektika dan historis dengan demikian menjadi filsafat atau senjata berpikirnya kaum Marxis di seluruh dunia.

b.      Ekonomi Politik Marxis

Ekonomi politik Marxis sebagai pisau analisis yang membedah rahasia penghisapan sistem kapitalisme , tempat dictator borjuis melakukan penghisapan dan penindasan atas kelas buruh dalam masyarakat modern dewasa ini.

c.       Sosialisme Ilmiah

Sosialisme ilmiah adalah sebuah paparan ilmiah tentang bagaimana kelas buruh dan rakyat yang tertindas lainnya yang harus melancarakan perjuangan kelas secara revolusioner, merebut kekuasaan Negara dari tangan borjuis. Filsafat Marxisme telah mensenjatai diri kita dengan cara pandang dan metode berpikir yang maju dengan dua maksud. Pertama, memerangi aliran filsafat yang dekaden dari pikiran umat manusia. Kedua, sebagai saran untuk mencapai tatanan masyarakat komunis di masa depan.[7]


B.     Filsafat akhir abad-20 (1950 Analitis)

Filsafat analitis merupakan aliran terpenting di inggris dan amerika serikat sejak sekitar tahun 1950. Filsafat analitis (yang juga disebut analytic philosophy dan linguistic philosophy) pada dasarnya memokuskan diri pada analisis bahasa dan konsep-konsep. Tujuanya ialah mengemukakan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas. Yang cocok dengan kata lain. Filsasfat analitis merupakan suatu ungkapan yang merangkum bagi semua karya filosofis abad ke-20.[8]

Tokoh penting dalam filsafat ini adalah Bertrand Rusell, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin. Mereka mengadakan analisis bahasa untuk memulihkan penggunaan bahasa untuk memecahkan kesalahpahaman yang dilakukan oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Ludwig Wittgensteinadalah maknakata atau kalimat amat ditentukan oleh penggunaandalam bahasa, bukan logika.

Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataanya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan dan kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.

Tokoh- tokoh filsafat analitis dan pemikiranya:

1.      Gottlob Frege

Friedrich Ludwig Gottlob Frege (1848-1925) yang dikenal sebagai Gottlog Frege adalah seorang matematikawan jerman, ahli logika dan filsuf, yang membantu mendirikan matematika modern, logika, dan awal dari gerakan Analytic Philosophy. Meskipun karyanya sedikit dikenal dan hanya sedikit diterima orang-orang selama hidupnya, namun pemikiranya memiliki pengaruh fundamental dan luas terhadap filsafat abad 20.

Kemudian dia meninggalkan karyanya yang mendalam mengenai logika, tapi dia langsung mempengaruhi generasi ahli logika dan filsuf pada masa berikutnya (terutama Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan positivisme logis. Setelah kematianya, teorinya tentang logika hampir sepenuhnya digantikan menjadi bentuk-bentuk logika tradisional. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menetukan tingkat kebeneran dari suatu pernyataan.[9]

2.      Bertrand Russell

Bertrand Russell (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Selama hidupnya, ia menulis banyak buku tentang berbagai pokok antara lain filsafat, masalah-masalah moral,pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya terbesar terdapat di bidang logika matematika.

Pemikiran Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic fatcs). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivism logis pada decade 1920-1930 an.

Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran antomisme logik. Antomisme logic berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti.fakta dalam pemikiran Russell merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.

Russell berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, duniaterdiri dari fakta-fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa sahih. Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russell menekankan bahwa konsep antomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya. Karena menurutnya logikaadalah paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.[10]

3.      Ludwig Wittgenstein

Ludwig Gwittgeinstein dilahirkan di wina (Austria)pada tanggal 26 april 1889. Ia merupakan karya filsafat yang inovatif, dipengaruhi oleh G.E Moore, Bertrand Russell dan Gottlob Frege. Karya filsafat tersebut memiliki perbedaan subtansial, terutama yang berkaitan dengan objek materialnya, tetapi diuraikan dengan pemikiran yang sistematis. Filsafat analitis sendiri sebenarnya dilator belakangi oleh adanya kekacauan filsafat. Filsafat analitis sebagai objek penelitian didasarkan oleh teori G.E Moore, yaitu suatu pemikiran baru yang melakukan analisis bahasa untuk mencari maknasuatu ungkapan filsafat)Charles worth, 1959:12 dalam filsafat analitis menurut Ludwig Wittgenstein).[11]


C.     Filsafat akhir abad-20 (1960 Strukturalisasi)

Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukturalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya.

Struktualisme berkembang di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Aliran ini tersebar diberbagai bidang, yakni filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Strukturalisasi pada dasarnya menyelidiki “pattern” (pola-pola dasar yang tetap) dalam struktur bahasa, agama, sistem ekonomi, dan politik, dan dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari strukturalisasi antara lain Claude Levi-Strauss, J. Lacan dan Michel Faucault, dan lain-lain.

Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perhatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodologi yang memusatkan pada teori percakapan dan komunikasi secara umum, maka strukturalisme lebih kepada bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh strukturalisasi memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen [12]phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adalanya parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.

Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial.[13]

Baca juga artikel yang lain:

D.    Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pemikiran filsafat pada masa kontemporer terjadi pada abad ke 17 sampai sekarang dan pada saat itu banyak aliran pemikiran filsafat barat yang bertahan lama di wilayah yang luas. Ada aliran yang lebih mengunggulkan akal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (rasionalisme), ada aliran yang memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara pengalaman.(empirisme), dan ada pula aliran yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah kejadian dalam jiwa manusia (idealisme).

Pada abad ke 19 dan ke 20 kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru mulai bermunculan dan aliran-aliran ini sering terkait hanya pada satu Negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran Positivisme yang menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta. Aliran Eksistensialisme  beranggapan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkrit. Aliran Pragmatisme yang beranggapan bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut. Aliran Marxisme yakni paham yang mengikuti pemikiran-pemikiran Karl Marx.

Pada akhir abad 20 muncul pemikiran strukturalisme yang merupakan praktik signifikasi yang membangun makna sebagai hasi struktur atau reguaritas yang dapat diperkirakan dan berada diluar individu. Bersifat antihumanis karena lebih mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya.


[1]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat(Surabaya;UIN SA Press, 2014)109-111

[2]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 111-112.

[3]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 115-117.

[4]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 120-121.

[5]Ibid., 118-119.

[6]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 122-123.

[7]https://id.m.wikipedia.org/wiki/Marxisme di akses pada 15 September 2017.

[8]Misbahul Munir, Pengantar Filsafat (Surabaya: UINSA Press, 2014), 30.

[9]http://goedangbiografi.blongspot.com/2016/05/filsuf-logika-dan-analitis-gottlob.html?m=1 di akses pada 15 September 2017.

[10]http://ayinfisafat.blogspot.co.id/2015/06/atomisme-logis-bertrand-russel.html di akses pada 15 November 2017.

[11]https://www.academia.edu/9770577/Filsafat_Analitis di akses pada 15 September 2017.

[12] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, op. cit.

[13]http://sociolovers-ui.blogspot.co.id/2012/06/strukutralisme-bahasan-dalam-topik-ini.html di akses pada 15 September 2017.

Filsafat Modern

Filsafat modern adalah pembagian dalam sejarah Filsafat Barat yang menjadi tanda berakhirnya era skolastisisme.[1] Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung di abad ke-18 itu, didalamnya mengandung dua hal yang sangat penting. Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Waktu munculnya filsafat modern adalah abad ke-17 hingga awal abad ke-20 di Eropa Barat dan Amerika Utara.[2]

1.   Zaman Renaissance

Jembatan antara Abad Pertengahan dan Jaman Modern, periode antara  sekitar 1400 dan 1600,  disebut jaman ”Kelahiran Kembali”.[3] aham filsafat yang  mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme[4]

jadi ciri utama Renaissance ialah humanisme, individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaisans itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan jelas kelak pada zaman modern. Rupanya setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan menghasilkan yang positif, tetapi sekaligus yang negatif.

Jadi, Zaman Modern filsafat didahului oleh Zaman Renaisans. Sebenarnya secara esensial Zaman Renaisans itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman Modern. Ciri-ciri filsafat Renaisans ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Pada filsafatnya kita menemukan ciri-ciri Renaisans tersebut. Ciri itu antara lain ialah menghidupkan kembali rasionalisme Yunani (renaissance), individualisme, humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain. Sekalipun demikian, para ahli lebih senang menyebut Descartes sebagai tokoh rasionalisme. Penggelaran yang tidak salah, tetapi bukanlah hanya Descartes yang dapat dianggap sebagai tokoh rasionalisme. Rasionalis pertama dan serius pada zaman modern memang Descartes.

2.      Zaman Barok (Baruch de Spinoza)

Filsuf-filsuf dari Jaman barok antra lain: Rene Descartes (1596-1650), Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1710). Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi (“ratio”) manusia. Mereka semu juga ahli dalam bidang matematika.[5] Baruch de Spinoza merupakan filsuf belanda yang fenomenal setelah dia menggugat salah satu pemikiran Descartes mengenai apa sesungghunya dunia ini? Sebagai keturunan yahudi yang berpikiran bebas, ia kerap ditentang oleh sahabat-sahabatnya yang berpikiran ortodoks, hingga akhirnya dikucilkan.

Karya utama Spinoza adalah  Ethics. Secara umum buku Spinoza tersebut menggunakan metode Cartesian dan berusaha membuat hipotesis mengenai kehidupan ini bahwa ada satu subtensi dengan banyak sifat yang tak terbatas jumlhnya. Manusia dan Tuhan adalah satu subtansi meski berbeda. Inilah yang membuat orang bias menerima tapi tidak sedikit yang mampu memahami pemikiran filsafat Spinoza karena memang agak membingungkan.[6]

Spinoza memliki  sesuatu yang lain dalam benaknya , dan itu merupakan suatu detrminisme. Tetapi determinisme Spinoza tidak berkaitan langsung dengan ilmu secara khusus namun lebih tepatnya dengan apa yang barangkali  dianggap sebagai nasib.[7]Karya Ethics Spinoza yang terakhir mengulas masalah emosi. Banyak komentator yang meinggalkanya, karena tidak menambah kerangka kerja metafisik yang telah ditetapkan dibuku keduannya. Spinoza dalam buku tersebut tidak beda pendapat dengan apa yang disebut  dengan apatheia, ketidak pedulian. Diskusi moral dalam buku terseut sangat penting dan memberi kontribusi bagi khazanah filsafat.

3.      Zaman  Aufklarung

Abad ke-18  memperlihatkan perkembangan baru lagi. Setelah reformasi, setelah Renaissance dan setelah rasionalisme dari jaman Barok, manusia sekarang dianggap “Dewasa”. Periode ini dalam sejarah barat disebut “jaman pencerahan” atau “fajar budi” (dalam B.inggris, “Enlightenment”, dalam bahasa jerman, “Aufklarung”. Diantara filosof-filosof  besar pada zaman ini tersebar diberbagai Negara Eropa, di Inggris misalnya ada John Locke (1632-1704), George Berkeley (1684-1753) dan David hume (1711-1776). Di Perancis Jean Jacque Rousseu (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1778), yang menciptakan pandangan kritisisme yang merupakan sintesis dari rasionalime dan empirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari jaman modern.[8]

John Locke (1632-1704 M) adalah tokoh pembawa gerbong aliran empirisme dalam filsafat.  Yakni, sebuah aliran yang mengimani bahwa semua pikiran dan gagasan manusia berasal manusia berasal dari sesuatu yang di dapat melalui indra atau pengalaman. Locke lahir di Inggris pada 25 Agustus 1632 dan meninggal pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya dia disebut fisuf Inggris dengan pandangan empirisme.[9]

Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descartes. Baginya, pemikiran Descartes mengenai akal budi kurang sempurna. Ia menyarankan, sebagai akal budi dan spekulasi abstrak, kita harus menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui pancaindera. Ia hadir secara sposteriori. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya seperti mencium, merasa, mengecap dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana.[10]

Yang membedakan Locke dengan yang lainya adalah pemikirannya yang empiris di bangun atas dasar tunggal dan srbaguna. Semua pengalaman(pengetahuan), kata Locke bermula dari pengalaman. Pengalaman memberi kita sensasi, dan sensasi ini kita memperoleh berbagai macam ide baru yang ideal dan kompleks. Dan pemikiran kita terpengaruh oleh perasaan. Kendati Locke berbeda pandangan dengan filsuf lain,namun Locke juga menerima metafora sentral cartesian. Pembedaan antara pemikiran dan tubuh. Terbukti, dia memandang bahwa pengetahuan pertama tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran.[11]

Melalui Locke, tradisi empirisme di Inggris di mulai dan berkembang ke penjuru dunia yang semenjak era plato tradisi ini di buang di Negeri Barat. Filsafat Locke ini belakangan juga dibawa Voltaire ke Prancis. Filsafat Locke selalu menyarankan bahwa semua pengetahuan berasal dari indra. Ia juga segera di ikuti oleh uskup Irlandia George Barkeley dan filsuf Skotlandia David Hume.

Proyek epistemologis Locke mencapai puncaknya dalam positivisme. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme terutama adalah prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Seperti sudah dijelaskan di muka, empirisme mempunyai keyakinan bahwa semesta adalah sesuatu yang hadir melalui data inderawi. Karenanya pengetahuan harus bersumber dari pengalaman dan pengamatan empirik. Dan tesis ini, positivisme lantas mengembangkan klaimnya bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu yang di dasarkan pada fakta-fakta yang terukur dan pasti.[12]

Baca juga artikel yang lain:

4. Zaman Romantik

Pada zaman romantik ini merupakan rumusan pemikiran yang memperioritaskan ide-ide, berlawanan dengan “materialisme” yang memlerioritaskan dunia materia.Idealisme adalah salah satu aliran filsafat  yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi. Paham ini mengajarkan bahwa hakikat fisik adalah jiwa dan memadukan pendapat paham rasionalis.e dan paham empirisme

Setelah Kant mengetengahkan kemampuan akal manusia, maka para murid Kant tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasanya karena akal murni tidak akan dapat mengenai hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu, dicarinya suatu dasar, ya,itu suatu sisitem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan : aku sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titik tolak tersebut dipakai sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan tentang keseluruha yang ada.

Pelopor Idealisme J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).


[1] Kees Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1976) h. 42

[2]Forrest E Baird, From Plato to Derrida,(New Jersey , Upper Saddle River: Pearson Prentice Hall, 2008) h. 188

[3] Tim Reviewer MKD UINSBY Surabaya, Pengantar Filsafat, (Surabaya: UIN SA Press, 2017) h. 28

[4] ]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 109.

[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, op. cit.; dan Ali maskun, Pengantar Filsafat, op.cit.

[6] DW. Hamlyn, The Penguin History of Westrn… hlm. 148-156.

[7] DW. Hamlyn, The Penguin History of Westrn… hlm. 149-154.

[8] Harun  hadiwijoyo, sari sejarah, op. Cit,; dan Ali maksum, pengantar filsafat,op. cit

[9] Solomon,sejarah filsafat...hlm 378

[10] Donny Gahral adian ,menyoal objektifisme ilmu pengetahuan dari david hume sampai thomas kuhn, (jakarta: Teraju, 2002 hlm 49

[11]  Solomon, sejarah filsafat hal 387

[12]  Bambang  Q-ances dan Radea juli A.hambali, filsafat untuk umum  hal 337

Filsafat Kritisisme

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat atas kebenaran sesuatu atau studi yang membahas tentang fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.

Kehadiran aliran filsafat Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Pada satu  sisi aliran Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pemikiran atau pengetahuan, sedangkan aliran Empirisme berpendirian bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh yang menolak kedua pandangan tersebut adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).

Immanuel Kant berusaha menawarkan prespektif baru dan berusaha mengadakan penyelesaian permasalahan itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme atau Kontianisme. Secara harfiah kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Immanuel Kant bermaksud membeda-bedakan antar pengenalan yang murni dan tidak murni, yang tiada kepastiannya. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasannya.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari Filsafat Kritisisme ?

2.      Bagaimana biografi tokoh Filsafat Kritisisme ?

3.      Bangaimana pandangan Immanuel Kant terhadap Filsafat Kritisisme ?


C.     Tujuan  Masalah

1.      Untuk mengetahui lebih jelas pengertian dari Kritisisme

2.      Untuk mengetahui biografi tokoh Filsafat Kritisisme 

3.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant terhadap Filsafat Kritisisme tersebut


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat Kritisisme

Filsafat Kritisisme adalah filsafat yang dipelopori oleh Immanuel Kant dimana ia memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.[1]

Filsafat Immanuel Kant disebut sebagai filsafat kritis, karena pemikirannya mengkritik mengkritisi aliran filsafat sebelumnya yaitu Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Immanuel Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. karena itulah, ia menawarkan sebuah konsep ”Filsafat Kritisisme” yang merupakan sisntesis dari Rasionalisme dan Empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara.

Dengan itu, Immanuel Kant kemudian mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak Rasionalisme dan sifat sepihak Empirisme. Gagasan ini muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya, yaitu apa yang harus saya lakukan ? dan apa yang boleh saya harapkan?.[2] Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman. Sedangkan Empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa Empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Dengan kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia itu sendiri. Namun menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahiriyah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indra kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik dimana hal itu merupakan materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniyah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.[3] Immanuel Kant bermaksud mengadakan penilitian yang kritis terhadap rasio murni dan mewujudkan pemikiran tersebut kedalam beberapa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik.

Immanuel Kant tidak bermaksud mencari mana yang lebih benar dari yang lainnya. Rasionalisme lebih benar dari Empirisme kah, ataukah sebaliknya, Empirisme lebih benar dari Rasionalisme. Pemikiran monumental Kant ini hendak memadukan kedua pendapat yang awalnya bertolak belakang, menjadi sebuah paduan yang saling melengkapi. Pengetahuan adalah hasil dari perpaduan rasio yang hidup denngan dihadapkan kepada materi empirik.

Atau dengan kata lain, Kritisisme Kant sekaligus mengakhiri pendapat sebelumnya yang menganggap akal pikiran hanyalah berfugsi sebagai “container” (alat tempat menyimpan sesuatu dan bersifat pasif). Dalam Kritisisme, pengetahuan itu terkait dengan terjalinnya hubungan yang kokoh antara ide-ide (seabgai isi pokok dari pada akal pikiran), dan dunia luar pada umumnya. Akal pikiran yang dikatakan mempunyai ide-ide tertentu dalam dirinya sendiri yang dapat memaksa kita untuk menyatukan sifat-sifat dari dunia luar dalam satu kerangka keilmuan tertentu.[4]

Filsafat aliran Kritisisme ini muncul pada abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara Rasionalisme dengan Empirisme. Zaman baru ini disebut zaman percerahan (aufklarung), zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi seorang filosof Jerman Immanuel Kant mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan telah mencapai hasil yang menggembirakan. Di sisi lain filsafat jalannya tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.[5]


B.     Biografi Immanuel Kant

Immanuel Kant lahir di Konigsberg, Prusia, pada tahun 1724 dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant. Setelah itu, ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, tetapi pada tahun 1730-1740 perdangangan di Königsberg mengalami kemerosotan. Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan. Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.

Sejak kecil, Kant tidak pernah meninggalkan desa kelahirannya kecuali beberapa waktu singkat karena memberikan kuliah di desa tetangganya. Professor ini sangat doyan memberikan kuliah geografi dan etnologi. Pada tahun 1755, Kant memulai karirnya sebagai dosen swasta di Universitas Konisberg. Kemudian ia meninggalkan kedudukan itu setelah lima belas tahun. Dua kali lamarannya untuk menjadi guru besar ditolak dan akhirnya pada tahun 1770 ia diangkat menjadi professor logika dan metafisika. Setelah beberapa tahun mengajar, ia banyak melahirkan buku-buku tentang pendidikan yang berisi pendapat-pendapatnya yang sangat istimewa. [6]

Pada usia 40 tahun, ia merasa beruntung karena menyenangi metafisika ia sendiri rupanya tidak menyadari bahwa sifat-sifat metafisikawan itu sebenarnya ada pada dirinya. Sebelum tertarik pada metafisika, ia lebih dulu menyenangi pengetahuan yang bukan metafisika. Ia menulis tentang planet, gempa, api, angin, eter, gunung, bumi, etnologi, dan ratusan subjek lainnya yang tidak berhubungan dengan metafisika.

Kehidupan Kant, menurut salah seorang penulis biogafi, berlangsung menurut aturan yang tegas : bangun, minum kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu rumahnya, berjalan menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut tempat jalan-jalan sang filosof. Maka tahulah tetangganya bahwa itu berarti jam setengah empat. Ia berjalan naik-turun sepanjang musim, dan tatkala udara berkabut atau hujan, Lampe, pelayannya yang sudah tua, menjaganya dengan susah payah sambil memayunginya, seperti perlambang kebijaksanaan.

Secara fisik ia lelah, memerlukan perwatan dokter, tetapi ia hidup sampai usia delapan puluh tahun. Ia memang filosof tulen. Ia selalu berpikir lebih dahulu sebelum berbuat. Barangkali karena inilah ia membujang seumur hidup. Dua kali ia mencoba mendekati perempuan. Karena Kant terlalu memikirkan sebelum berbuat dan membutuhkan waktu yang lama membuat perempuan itu meninggalkanya dan menikah engan pemuda lain. Mungkin ia berpikiran seperti Nietzsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran sedangkan Kant pada umur dua puluh dua tahun telah menyatakan, “saya sudah menetapkan jalan yang pasti. Saya ingin belajar, tidak satu pun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu.”

Melalui berbagai kondisi ia terus menyelesaikan karya besarnya selama lima belas tahun. Selesai tahun 1781 tatkala ia berumur lima puluh tujuh tahun. Belum pernah ada orang yang matang selambat itu dan juga belum pernah ada buku sehebat itu dalam mengguncangkan dunia pemikiran.

Perkembangan filsafat Kant umumnya dibagi menjadi duaa, yakni periode pra-kritis dan periode kritis. Dalam periode pra-kritis, Kant banyak menulis mengenai filsafat ilmu alam dan metode-metodenya. Sejak muda, Kant memang telah memiliki ketertarikan pada metode ilmu alam. Ketertarikan atas metode itu terutama karena Kant yakin bahwa yang membuat ilmu-ilmu alam dapat maju secara konstan adalah metode yang digunakannya. Ilmu alam dapat dikatakan maju karena begitu sebuah teori atau hukum ditemukan, maka hukum tersebut dapat menjadi batu loncatan untuk penemuan berikutnya. Dan tidak ada lagi ahli yang kemudian membahas atau membuktikan kekeliruan hukum tersebut. hal serupa tidak terjadi pada filsafat dan metafisika. Dalam filsafat dan metafisika, begitu sebuah pendapat diajukan oleh seorang filsuf, maka ia langsung dikritik oleh filsuf lain, sehingga metafisika atau filsafat itu kelihatan tidak maju, melainkan hanya berputar-putar dalam rangkaian kritik atas kritik. Nah, Kant ingin mengakhiri rangkaian kritik atas kritik yang tanpa akhir ini, yakni dengan mencoba mmenerapkan metode ilmu alam ke bidang filsafat dan metafisika. Tujuannya jelas : agar metafisika juga dapat mencapai kemajuan seperti ilmu-ilmu alam dan matematika. Pada periode kritis-nya, Kant mulai menerapkan metode ilmu alam untuk masalah metafisika. Periode ini ditandai oleh penulisan buku Kritik atas Akal Budi Murni (KABM). Usaha untuk menerapkan metode ilmu alam inilah yang kemudian tertuang dalam buku KABM dan juga buku-buku lainnya.

Immanuel Kant menjadi tonggak filsafat Barat Modern, terutama melalui bukunya Kritik atas Akal Budi Murni(KABM). Tujuan utama Kant dalam buku ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai : Kritik terhadap akal budi murni dan kritik melalui (dengan menggunakan) akal budi murni.

Dalam buku ini, akal budi murni menjadi hakim sekaligus terdakwa. akal budi murni melakukan kritik terhadap akal budi murni melalui akal budi murni itu sendiri. KABM adalah buku yang sangat sulit dipahami dan membingungkan, sehingga seringkali pembaca pertamanya menjadi salah faham. Karena itu Kant merevisi bukunya dan kemudian ia menulis buku lain yang meringkas buku tersebut dan berjudul Prolegomena untuk setiap Metafisika di Masa Depan yang mampu menyebut dirinya sebagai ilmu.


C.     Pandangan imanuel kant terhadap filsafat hingga tercipta filsafat kritisisme

Metafisika adalah ‘ratu’ilmu - ilmu, demikianlah anggapan umum yang tersebar di antara filsuf abad pertengahan (400 – 476 AD sampai 1453 – 1517 AD) dan awal filsafat modern. Akan tetapi pernyataan tesebut kini telah banyak dikritik, terutama karena banyak klaimnya yang tidak bisa didasarkan secara memadai melalui pengalaman inderawi, sehingga, terutama dari sudut pandag sains, refleksi – refleksinya dianggap tidak ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kegelisahan tentang status metafisika memang masih menjadi perdebatan di dalam dunia filsafat, bahkan sampai sekarang. Metafisika disini bukanlah dalam arti mistik atau klenik, melainkan cabang dari filsafat yang ingin merefleksikan realitas sampai dasar terdalamnya , dan menemukan prinsip – prinsip yang menentukan “ada”-nya realitas tersebut.[7]

Perdebatan di dalam refleksi  metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada. Konsekuensinya, metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatism dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba – raba secara acak.

Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya itu, Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat.

“Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya dengan obyek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih berhasil di dalam metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa obyeklah yang harus menyesuikan diri dengan kesadaran kita…. Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”[8]

Dalam ranah filsafat, metafisika, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, mengacu pada cabang filsafat yang hendak memahami hakekat fundamental dari seluruh realitas. Hakekat itu bisa tampak bagi mata, tetapi juga bisa tidak. Metafisika berusaha mendeskripsikan realitas secara sangat mendasar (basic), sederhana (simple), dan luas, sehingga deskripsinya bisa mencakup semua hal.

Dalam konteks ini metafisikus adalah sebutan umum bagi orang yang tertarik untuk menemukan dasar dari seluruh realitas. Dan bisa dibagi setidaknya dua jenis kategori metafisikus.yang pertama adalah para materialis, yakni orang – orang yang berpendapat bahwa seluruh realitas ini sebenarnya adalah materi yang bergerak terus menerus. Sementara di sisi lain, para idealis yang berpendapat bahwa seluruh realitas terdiri dari ide – ide, pikiran, ataupun roh. Gaya berpikir ini sering juga disebut sebagai metafisika tradisinal yang bersifat dogmatis. Disebut tradisional karena cara berpikir ini banyak digunakan oleh filsuf abad pertengahan dan di awal filsafat modern, dan disebut dogmatis, karena metafisika ini mengklaim mampu mengetahui hakekat dasar dari realitas secara mutlak, serta tidak kritis terhadap batas – batas pengetauan manusia.

Salah satu filsuf yang dengan gencar mengkritik metafisika, dalam arti metafisika tradisional (traditional metaphysic), di dalam sejarah filsafat modern adalah imanuel kant. Akan tetapi menurut Karl Ameriks, proyek kritis atas metafisika yang dirumuskan oleh Kant tersebut tampak mengandung ambiguitas, bahkan sejak perumusannya dimulai.[9]

Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776) Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintetis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas. Kritiknya terhadap metafisika juga terdapat di dalam tanggapannya ini.[10]

Pencerahan adalah kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’ (Beranilah Berpikir Sendiri!). seperti dikutip oleh Gardner, Kant menulis,

“Masa di mana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa krtisme, dan untuk mengkritik apapun yang ada. Termasuk di antaranya adalahh agama dengan kesuciannya, hukum yang telah terberi dengan kemuliaannya.. haruslah mampu bertahan di hadapan ujian akal budi yang bebas dan terbuka.”

Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin, bahwa kemajuan sudah merupakan bagian inheren di dalam karakter manusia itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami dunianya melalui sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan oleh Isaac Newton (1642-1727).

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Filsafat kritisisme merupakan  filsafat yang mengkritik dua filsafat sebelumnya yaitu rasionalisme yang mengedepankan akal da empirisme yang mengedepankan pengalaman empirik. Filsafat kritisisme berpendapat bahwa dalam memperoleh sebuah ilmu kit membutuhan dua unsur yakni rasio dan pengalaman.

Filsafat kritisisme di kemukakan oleh seorang ahli filosof Immanuel Kant. Immanuel Kant lahir di Prusia, Konisberg. Sejak kecil ia sudah bergelut dengan dunia metafisika sehingga membuatnya berfikir secara kritis hingga dewasa.

Immanuel Kant selalu menekankan berfikir kritis dalam dunia metafisika. Ia juga mengatakan bahwa pencerahan adalah kemunculan manusi dari ketidak dewasaan yang dibuatnya sendiri. Hal ini mejadikan sebuah semboyan “Beranilah Berpikir Sendiri”  yang kemudian dikuatkan dengan kutipan Immanuel kant bahwa hidup harus mengkritik apapun yang ada. Termasuk di antaranya adalah agama dengan kesuciannya, hokum yang telah diberi dengan kemuliaan haruslah mampu bertahan di hadapan akal budi yang bebas dan terbuka.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir. 2002.  Filsafat Umum . Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Asmoro Ahmadi, 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Juhaya, 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: PrenadaMedia

Reza A.A Wattimena,2010.  Filsafat kritis,Iimanuel Kant, mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Imanuel Kant atas Metafisika. Surabaya :  PT Evolitera

Susanto, 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara

http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html (diakses pada 23 Oktober 2017)

http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html (diakses pada 24 Oktober 2017)


[1]Juhaya,Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. (Jakarta: PrenadaMedia, 2008), 114.

[2] Susanto,Filsafat Ilmu. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 38.

[3] http://ozziexdanuarta.blogspot.com/200/10/kritisisme-filsafat-ilmu.html

[4] http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html

[5]Asmoro Ahmadi,Filsafat Umum. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 118.

[6] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002) h.157

[7] Reza A.A Wattimena, Filsafat kritis,Iimanuel Kant, mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Imanuel Kant atas Metafisika (Surabaya, 2010, PT Evolitera) h.1

[8] Ibid. h 7-8

[9]Ibid, h 2 - 3

[10]ibid, h 8

Filsafat Abad Pertengahan

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Filsafat sebagai pandangan hidup, sangat erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Di sini filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolak ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus di capai.

Misalnya Amerika sebagai suatu bangsa menilai bahwa demokrasi sebagai pandangan hidup yang benar, maka mereka berusaha untuk membentuk pandangan hidup itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya negara-negara yang menilai sosialisme sebagai pandangan hidup, merekapun akan berupaya mewujudkan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam filsafat sosialisme dalam kehidupan di negaranya. Dan demikian pula masyarakat atau bangsa lain yang memiliki filsafat sebagai pandangan hidup.

Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantara nya adalah mengetahui sisi perspektif historisnya. Dengan demikian kamu dapat mengetahui asal dari sebuah pemikiran filsafat yang kita ketahui saat ini.

Disini kita akan membahas pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan. Dimana terdapat zaman patristik dan zaman skolastik, pemikiran filsafat pada zaman tersebut juga sangat terkenal  dan memberi inspirasi baru sampai saat ini. Dan karya-karya para tokoh filsafatnya memberi kontribusi besar bagi kehidupan kita saat ini. Permulaan abad pertengahan barangkali dapat dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M.), pengaruh agama kristen kelihatannya sudah besar; filsafatnya bersifat spiritual. Dan Augustinus yang mempunyai ajaran khas, Aquinas yang terkenal dengan 5 dalil tentang adanya Tuhan, Anselmus yang mengeluarkan istilah Credo ut intelligam (yang dapat dianggap ciri utama filasafat abad pertengahan). Karena itu sangatlah penting mengetahui pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan tersebut. Sebagai ilmu yang berharga bagi kita untuk mengetahui  lebih dalam apakah sebenarnya filsafat itu.


B.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Sejarah Pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan?

2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan penting pada masa abad pertengahan?

3.      Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan di zaman sekarang?


C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui sejarah peradaban pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan.

2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam sejarah filsafat masa abad pertengahan.

3.      Mengerti tentang pengaruh pemikiran filsafat pada abad pertengahan terhadap zaman sekarang.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pemikiran Filsafat pada Masa Abad Pertengahan

1.      Zaman Patristik atau Pemikiran Para Bapa Gereja

Patristik berasal dari kata Latin “Patres” yang berarti Bapa-bapa Gereja, ialah ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen.[1] Zaman ini muncul pada abad ke-2 sampai abad ke-7, dicirikan dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bid’ah kaum Gnosis. Bagi para Bapa Gereja, ajaran Kristen adalah filsafat yang sejati dan wahyu sekaligus. Sikap para Bapa Gereja terhadap filsafat yunani berkisar antara sikap menerima dan sikap penolakan. Penganiayaan keji atas umat Kristen dan karangan-karangan yang menyerang ajaran Kristen  membuat para Bapa Gereja awal memberikan reaksi pembelaan (apologia) atas iman Kristen dengan mempelajari serta menggunakan paham-paham filosofis.

Akibatnya, dalam perjalanan waktu, terjadilah reaksi timbal balik, kristenisasi helenisme dan helenisasi kristianisme. Maksudnya, untuk menjelaskan dan membela ajaran iman Kristen, para Bapa Gereja memakai filsafat yunani sebagai sarana (helenisme”di kristenkan”). Namun, dengan demikian, unsur-unsur pemikiran kebudayaan helenisme, terutama filsafat yunani, bisa masuk dan berperan dalam bidang ajaran iman Kristen dan ikut membentuknya (ajaran Kristen “di Yunanikan” lewat gaya dan pola argumentasi filsafat yunani). Misalnya, Yustinus Martir melihat “Nabi dan Martir” kristus dalam diri sokrates. Sebaliknya, bagi Tertulianus (160-222), tidak ada hubungan antara Anthena (simbol filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani). Bagi Origenes (185-253) wahyu illahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Menurutnya orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi gereja dan ajaran para rasul. Pada abad ke-5, Augustinus(354-430) tampil.Ajarannya yang kuat di pengaruhi neo-platonisme merupakan sumber inspirasi bagi para pemikir abad pertengahan sesudah dirinnya selama sekitar 800 tahun. Zaman Patristik ini mengalami dua tahap:[2]

a.    Permulaan agama Kristen Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat Yunani maka agama Kristen memantapkan diri Keluar memperkuat gereja dan ke dalam menetapkan dogma-dogma.

b.    Filsafat Augustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Augustianus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan.

Setelah berakhirnya zaman sejarah filsafat Barat Kuno dengan ditutupnya Akademia Plato pada tahun 529 oleh Kaisar Justinianus, karangan-karangan peninggalan para bapa gereja berhasil disimpan dan diwariskan di biara-biara zaman itu dan beratus-ratus tahun sesudahnya, praktis menjadi pusat-pusat intelektual berkat kemahiran para biarawan dalam membaca, menulis, dan menyalinnya ke dalam bahasa Latin-Yunani serta tersedianya fasilitas perpustakaan.


2.      Skolastik 800-1500

Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajaran dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.

Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata”skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.

Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diiuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contrannya untuk kemudian di temukan pemecahannya. Tuntutan ke masuk akalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.

Sesudah agustinus: keruntuhan. Satu-satunya pemukir yang tampil kemuka ialah: Skotus Erigena (810-877). Kemudian Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu.Persoalan-persoalan tentang pengertian-pengetian umum (pengaruh plato). Filsafat mengabdi pada theology yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaelardus (1079-1142). Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:

a.       Periode skolastik awal (800-1200)

Ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.

Pada periode ini, diupayakan misalnya,pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpaberdasarkan kitab suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya,logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan Pro-contra mulai berkembang(Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masa universalia dengan konfrontasi antara ”Realisme” dan ”Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoristis mengenai filsafat alam, sejarah, dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.

Pengaruh alam pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun 8000-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filusuf dan ilmuwan zaman yunani kuno. kaum intelektual dan kalangan kerajaan islam menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa yunani kedalam bahasa arab. maka, pada para pengikut islam mendatangi Eropa (melalui spanyol dan pulau sisilia). terjemahan karya-karya filusuf yunani itu, terutama karya-karya Aristoteles sampai kedunia Barat. Dan salah seorang pemikir islam adalah Muhammad Ibn Rushd (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushd, seorang filusuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara aliran neo-Platonisme dan Aristotelanisme.

Dengan demikian, pada gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani Abad Pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh dari pada sebelumnya. Hal ini semakin didukung dengan adanya biara-biara yang antara lain memang berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.

b.      Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)

Periode puncak perkembangan skolastik, dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi.[3] Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad pertengahan. Aristoteles diakui sebagai sang filusuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan yahudi. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinnya. Pada abad ke-13, dihasilkan suatu tensis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat yunani. Tokoh-tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintensis  besar ini dinamakan summa (keseluruhan).

c.       Periode Skolastik lanjut atau akhir  (abad ke-14-15)

Periode skolastik akhir abad ke-14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio member jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.

Salah seorang yang berfikir kritis pada periode ini adalah Wiliam dari Ockham (1285-1349). Anggota ordo Fransiskan ini mempertajam dan menghangatkan kembali persoalan mengenai nominalisme yang dulu pernah didiskusikan. Selanjutnya, pada akhir periode ini, muncul seorang pemikir dari daerah yang sekarang masuk wilayah Jerman, Nicolaus Cusanus (1401-1464). Ia menampilkan “pengetahuan mengenai ketidaktahuan” ala sokrates dalam pemikiran kritisnya: “aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat ku ketahui bukanlah Tuhan”. Pemikir yang memiliki minat besar pada kebudayaan Yunani-Romawi Kuno ini adalah orang yang mengatur kita memasuki zaman baru, yakni zaman modern, yang diawali oleh zaman Renaissans, zaman “kelahiran kembali” kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa mulai abad ke-16. Baru sesudah tahun 1200 filsafat berkembang kembali berkat pengaruh filsafat arab yang diteruskan ke Eropa.


B.   Tokoh-Tokoh yang Berperan Penting pada Masa Abad Pertengahan

1.   Plotinus (204-270)

Plotinus dilahirkan pada tahun 204 di Mesir, mungkin di daerah Lycopolis.[4]Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, pada seorang guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada tahun 243 ia mengikuti Raja Gordiasius III berperang melawan Persia; ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempelajari kebudayaan Parsi dan India. Akan tetapi, sebelum ia sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244, Plotinus dengan susah payah dapat melarikan diri ke Antakya (Antioch). Pada umur 40 ia pergi ke Roma. Disana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Tahun 270 ia meninggal di Minturnae, Campania, Italia.


2.   Augustinus (354-430)

Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria), pada 13 November 354.[5] Ayahnya, praticius, adalah seseorang pejabat pada kekaisaran Romawi, yang tetap kafir sampai kematiannya pada tahun 370. Ibunya, Monica, adalah penganut Kristen yang taat. Dalam bahasa Latin Augustinus dikenal dengan nama Aurelius Augustinus. Pada tanggal 28 Agustus 430, Augustinus meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang dialaminya saat perang Imperium Romawi.


3.   Anselmus (1033-11090)

Anselmus berasal dari keluarga bangsawan di Aosta, Italia, pada tahun 1033.[6] Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhan kepada Gereja. Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan ikut ambil bagian dalam perselisihan antara golongan pendeta dan orang orang sekular. Dalam seluruh hidupnya ia berusaha untuk meningkatkan kondisi moral orang-orang suci. Dalam dirinya mengalir arus mistisisme, dan iman merupakan masalah utama baginya.  


4.   Thomas Aquinas

Thomas lahir di roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga bangsawan, baik bapak maupun ibunya.[7] Pada masa mudanya dia hidup bersama pamannya yang menjadi pemimpin ordo di Monte Cassino. Ia berada disana pada tahun 1230-1239. Pada tahun 1239-1244 ia belajar di Universitas Napoli, tahun 1245-1248 di Universitas Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus. Tahun 1256 ia diberi ijazah (licentia Docendi) dalam bidang teologi, dan mengajar di Universitas Paris sampai tahun 1259. Tahun 1269-1272 ia menyusun tantangan terhadap ajaran Ibn Rusyd. Sejak tahun 1272 ia mulai mengajar di University Napoli. Ia meninggal pada tahun 1274 di Lyons.


C.     Karya-karya pada Masa Abad Pertengahan yang Berpengaruh pada Masa Zaman Modern ini.

1.      Plotinus (204-270)

Seorang filosof membangun sebuah system yang disebut neo-Platonisme.[8] Jelas ia adalah seorang metafisikawan yang besar. Pengaruhnya itu ada pada teologi Kristen, juga pada renaissance. Mungkin semua filosof yang mementingkan suara hati (iman) dapat dikatakan dipengaruhinya, seperti Goethe, Kant, dan banyak yang lain lagi. Dan teori ini berpengaruh sangat besar pada para filosof Muslim. Ajarannya tentang kebersatuan dengan Tuhan mengingatkan kita pada teor-teori yang dikembangkan oleh para sufi Muslim seperti pada Al-Hallaj, Abu Yazid Al-bisthami, Ibn al-‘Arabi, dan lain-lain.


2.      Augustinus (354-430)

Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh pada gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekuler.[9] Dalam pertarungan berbagai ideology politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatism, dan juga dalam fanatisme. Kita menghadapi konflik antar ideology yang tidak dapat disatukan.

Paham teoentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan pengetahuan duniawi, kebenciannya kepada teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagian peradaban modern. Sejak zaman Agustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif. Bagian penting dalam filsafat Agusyinus ialah pertanyaan sekalipun, umpanyan, bukan jawabannya. Kita juga sering diganggu oleh keraguan dan selalu mencari kepastian. Kita selalu ingin memperoleh norma yang dapat yang dapat mengukur tindakan-tindakan kita. Singkatnya pemikiran Agustius penting bagi manusia modern.


3.      Anselmus (1033-11090)

Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna.[10] Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tapi segala sesuatu berada di dalam Tuhan.

Ciri khas filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Ansekmus, yaitu credo ut intelligam.

Credo ut intelligam kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argument untuk memahaminya, mungkin juga untuk meneguhkan keimanan itu. Didalam ungkapan itu tersimpan juga pengertian seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini imam secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya.

Sifat ini berlawanan dengan sifat fisalfat rasional. Dalam filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan: setelah dimengerti, barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani, mengikuti jalan pikiran inilah maka saya berkesimpulan bahwa jantung filsafat Abad Pertengahan Kristen terletak pada ungkapan itu. Berdasarkan penalaran itulah maka menurut saya tokoh utama letak kekuatan filsafat Abad Pertengahan adalah St. Anselmus.

Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dapat berlaku umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan ialah bahwa kaidah ini lebih kurang dianut, juga dalam filsafat islam. Contoh yang menonjol dalan islam mislanya pada filsafat Al-Ghazali.


4.      Thomas Aquinas

Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian: pengetahuan fisika, matematika, dan metafisika.[11] Dari ketiganya metafisikalah yang lebih banyak mendapat perhatian, yang menurut pendapatnya dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi (Mayer:461).

Sehubungan dnegan teorinya diatas maka didalam filsafat Aquinas, filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akliah., sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak begitu jelas karena pengetahuan sebenarnya adalah gabungan kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi dua. Yang pertama ialah agama natural yang dibentangkan diatas akal, dan yang kedua ialah agama wahyu yang dibetangkan diatas iman.

Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah banyak berkurang.[12] Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan filsafat rasionalnya. Yang terkenal ialah beberapa pembuktian tentang adanya Tuhanyang masih dipelajari orang hingga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu. Lima dalil tentang adanya Tuhan dari Aquinas itu sebenarnya tidaklah kuat sebagaimana yang diduganya. Kelak banyak filosof yang menolaknya, terutama Kant.

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    SIMPULAN

Zaman pertengahan dibagi menjadi dua: zaman patristic dan zaman skolastik. Zaman patristic (bapa-bapa gereja) diwarnai oleh tokoh-tokoh seperti Clemens, Origenes, Gregorius, dan seterusnya. Di masa ini, filsafat menyatu dengan gereja dan mendasarkan inspirasinya dari Plotinus. Zaman skolastik terjadi sekitar tahun 1000 M. Pada zaman ini pengaruh Plotinus digeser oleh Aristoteles. Pertemuan antara filsafat Aristotelian dengan kristianitas ini melahirkan banyak filsuf kritiani, terutama terejawantah melalui perkembangan dua ordo dominan, Dominikan dan Fransiskan. Tokoh-tokoh yang penting pada masa abad pertengahan adalah Plotinus (204-270), Augustinus (354-430), Anselmus (1033-11090), Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh pada masa abad pertengahan berhasil mempengaruhi pemikiran di zaman sekarang dengan rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Ansekmus, yaitu credo ut intelligam yang kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti.


DAFTAR PUSTAKA

AM, Suhar. 2009. Filsafat Umum (Konsepsi, Sejarah, dan Aliran). Jakarta: Gaung Persada Press

Jalaluddin dan Said,  Usman. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Umam, Muhammad Helmi, dkk. 2017. Pengantar Filsafat. Surabaya: UINSA Press

Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset


[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005),  hal. 157

[2] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157

[3] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157

[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005) cet. Keempatbelas 66.

[5] Tafsir., 79.

[6] Tafsir., 95.

[7] Tafsir., 97.

[8] Tafsir., hal. 75

[9] Suhar AM, Filsafat Umum Konsep, Sejarah dan Aliran,  (Jakarta, Gaung Persada Press , 2009) hal. 210

[10] Tafsir, hal. 97

[11] Tafsir., hal. 104

[12] Tafsir., hal. 115-116

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...