BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak
masa Rasulullah SAW perhatian para sahabat dan generasi berikutnya seperti tabi’in
, tabi’ al-tabi’in, dan
generasi setelah tabi’ al-tabi’in
terhadap sunnah sangat besar. Mereka memelihara hadis dengan cara menghapal,
mengingat ber-mudhakarah, menulis, menghimpun, dan mengkodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadis.
Akan tetapi, di samping
gerakan pembinaan hadis tersebut, timbul pula kelompok minoritas atau secara
individual berdusta membuat hadis yang disebut dengan hadis maud}u’ (hadis palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi
kemudian dikatakan dari Nabi SAW.
Berbagai
motivasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik
seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik
(fitnah) antara pro-Ali dan pro
perdagangan dan lain sebagainya pada masa-masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi
hadis yang berbeda.
Kondisi hadis pada masa perkembangan sebelum pengkodifikasian dan filterisasi pernah mengalami pembauran dan kesimpangsiuaran di tengah jalan sekalipun minoritas saja. Oleh karena itu, ulama bangkit mengadakan riset terhadap hadis-hadis yang beredar dan meletakkan dasar-dasar kaidah penting yang terhimpun dalam ilmu hadis. Ilmu Hadis merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting, terutama sekali untuk mempelajari dan menguasai hadis secara baik dan tepat. Mengingat pentingnya Ilmu Hadis serta sejarah penghimpunannya, maka penulis merasa perlu mengangkatnya untuk dibahas dalam sebuah makalah yang berjudul: “Ilmu Hadis dan Sejarah Penghimpunannya”.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi ilmu hadis secara etimologis dan terminologis?
Apa objek dan kegunaan ilmu hadis?
2.
Bagaimana pembagian dan cabang ilmu hadis?
3.
Bagaimana periodesasi sejarah pertumbuhan, pembinaan dan
perkembangan ilmu hadis?
4.
Apa saja kitab-kitab ilmu hadis pada Abad IV – VI Hijriyah
dan Abad VII Hijriyah sampai sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu Hadis
1.
Pengertian Etimologis dan Terminologis
Kata ilmu hadis berasal dari bahasa
Arab ‘ilm al-hadist, yang terdiri dari kata ‘ilm dan al-hadist.
Secara etimologis, ilm’ berarti pengetahuan[1]
jamaknya ‘ulum, yang berarti al-yaqin (keyakinan) dan al-ma’rifah
(pengetahuan). Menurut ahli kalam (mutakallimun), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang
diketahui (objek pengetahuan). Tradisi di sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu
yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya dapat menemukan
atau mengetahui sesuatu.[2]
Sedangkan kata hadis, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, berasal dari bahasa Arab al-hadist berarti
baru, yaitu الحديث من الاشياء (sesuatu yang
baru), bentuk jamak hadis dengan makna ini hidath, hudatha’ dan huduth, dan antonimnya qadim (sesuatu yang lama).[3]
Di samping berarti baru, al-hadist juga mengandung arti dekat (القريب), yakni sesuatu
yang dekat, yang belum lama terjadi[4]
dan juga berarti berita (الخبر) yang sama
dengan hiddith
yaitu ما يحدث به و ينقل (sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain).[5]
Secara terminologis, hadis oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
ataupun sifat-sifatnya.[6]
Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat, tabi’at dan
tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[7]
Dari pengertian di atas, ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji
dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabi’at dan tingkah lakunya
atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Menurut Al-Suyut}i, ilmu hadis adalah,
علم
يبحث فيه كيفية اتصال الحديث برسول الله ص.م. من حيث معرفة أحوال رواتها ضبطا
وعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالا وانقطاعا وغير ذلك.[8]
Ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul
SAW. Dari segi hal-ihwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an
dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan
sebagainya.
2.
Objek dan Kegunaan Ilmu Hadis
Dalam hubungannya dengan pengetahuan
tentang hadit, ada ulama yang menggunakan bentuk ‘ulum al-hadist,
seperti ibn Shalah
(w.642 H/1246 M.)
dalam kitab nya ‘Ulum al-hadist,
dan ada juga yang menggunakan bentuk ‘ilm al-hadist, seperti Jalaluddin al-Suyut}i dalam mukaddimah kitab hadisnya, Tadrib al-Rawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu
tersebut bersangkut paut dengan hadis Nabi SAW. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim al-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/114 M)
misalnya dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-hadist mengemukakan 52 macam ilmu hadis.
Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu
hadis mencapai lebih dari seratus macam yang masing masing mempunya objek
kajian khusus sehingga biasa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.
Secara garis besar, ulama hadis
mengelompokkan ilmu hadis ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah
dan ilmu hadis dirayah.
a.) Ilmu Hadis
Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa berarti ilmu-ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara definisi tersebut adalah
definisi ibn al-Akhfani, yaitu:
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اقْوَالِ
النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا
وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا[9]
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafadh-lafadhnya .
Namun, menurut ‘Itr, definisi ini mendapat sanggahan dari
beberapa ulama hadis lainnya karena definisi ini tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Definisi ini juga
tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa
yang di nisbatkan kepada sahabat atau tabi’in sehingga pengertian hadis
yang lebih tepat, menurut ‘Itr, adalah:
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اقْوَالِ
النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وتقريرته وصفاته
وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَ[10]ا
Ilmu
yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat
Nabi SAW., periwayatanya, dan penelitian lafadh-lafadhnya.
Objek kajian ilmu hadis riwayah
adalah segalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, yang
meliputi :
1). Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan
penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
2). Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan dan
pembukuan hadis dari sudut kualitas nya, seperti tentang ‘adalah (ke-’adil-an)
sanad, syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan.
Ilmu hadis riwayah bertujuan
memelihara hadis Nabi SAW. dari kesalahan dalam proses periwayan atau dalam penulisan
dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan melalui pemahaman
terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkan nya sesuai dengan firman
Allah SWT.:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
لمن كان يرجوا الله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا. (الاحزاب: 21)
Sesungguh nya
telah ada pada diri Rasul Allah itu suri tauladan yangbaik bagi mu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.[11]
Ulama yang terkenal
dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar
Muhammad bin Syihab al-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di
Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Syuria). Dalam sejarah perkembangan hadis, al-Zuhri tercatat sebagai
ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW. Atas perintah khalifah Umar bin
Abd Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M -102 H/720 M).
Ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasul
Allah SAW., bersamaan dengan di mulai nya periwayatan itu sendiri. Sebagaimana
diketahui para sahabat menaruh perhatian tinggi terhadap hadis Nabi Muhammad
SAW. Mereka berupaya mendapat kan nya dengan menghadiri majlis Rasul Allah. Dan
mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang di sampaikan Nabi Muhammad
SAW.
Mereka juga memperhatikan dengan
seksama apa yang di lakukan Rasul Allah SAW., baik dalam beribadah maupun
aktifitas social, serta akhlaq nabi SAW. Sehari hari. Semua itu mereka pahami
dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka
menyampaikannya dengan sangat hati hati kepada sahabat lain atau tabi’in,
para tabi’in-pun
melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya dan menyampaikanya
kepada tabi’in lain atau tabi’ al tabi’in (generasi sudah
tabi’in).
Demikianlah, periwayatan dan
pemeliharaan hadis Nabi SAW. Berlangsung hingga usaha penghimpunan yang di
pelopori oleh al-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan dan pembukuan
hadis secara besar besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke 3H, seperti
imam al Buhari, imam Muslim, imam Abu daud, imam al Tirmidzi. Dan ulama-ulama hadis
lain nya melalui kitab hadis masing masing.
b.) Ilmu Hadis
Dirayah
Istilah ilmu hadit dirayah,
menurut al-Suyuthi,
muncul setelah masa al-Khatib al-Baghdadi, yaitu pada masa al-Akfani. Ilmu ini juga di kenal
dengan sebutan ilmu ushul al-hadis, ‘ulum al-hadis,
musthalah alhadis, dan qowa’id al-tahdits. [12]
Menurut ‘Izzuddin bin Jama’ah, mendefinisikan,
علم
بقوانين يعرف بها احوال السند والمتن.[13]
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman
yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.
Dari pengertian tersebut, kita bisa
mengetahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah
untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis,
sifat rawi dan lain-lain.
Sasaran ilmu hadis dirayah
adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang
turut memengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang
bersangkutan dengan sanad disebut naqd al-sanad (kritik sanad) atau kritik
ekstern. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi
(kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat sampai kepala periwayat terakhir
yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Pokok-pokok bahasan naqd al-sanad
adalah sebagai berikut:
1.)
Ittishal al-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan
adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya
(wahm) atau samar.
2.)
Tsiqat al-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat) dan tsiqah
(terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
3.)
Syadz,
yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya hadis yang
diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh periowayat-periwayat tsiqah
lainnya.
4.)
‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang
kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan ‘Illat ada kalanya terdapat juga pada
matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.[14]
Kajian terhadap masalah yang menyangkut
matan disebut naqd al- matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian
karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yaitu perkataan,
perbuatan atau ketetapan Rasul Allah SAW. Pokok pembahasannya meliputi:
a.)
Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.
b.)
Fasad al-ma’na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis
karena bertentangan dengan fakta al-hiss (indra) dan akal, bertentangan dengan
nash al-Qur’an dan bertentangan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW.
serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan.
c.)
Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang
tidak bisa dipahami berdasarkan makna yang umum dikenal.[15]
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah
adalah: 1.) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari
masa ke masa Rasul Allah SAW. sampai masa sekarang; 2.) mengetahui tokoh-tokoh
dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan
meriwayatkan hadis; 3.) menetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para
Ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut; dan 4.) mengetahui
istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam
menetapkan suatu hukum syara’.[16]
Dengan mengetahui ilmu hadis
dirayah, kita bisa mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardad (ditolak)-nya
suatu hadis. Karena dalam perkembangannya hadis Nabi SAW. telah dikacaukan
dengan munculnya ahdis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh
Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok
atau golongan.
Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah
ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu
hadis dirayah, kita dapat meneliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari
Rasul Allah SAW., yang sahih, dhaif, dan maudhu’ (palsu).
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
B.
Pembagian dan Cabang
Ilmu Hadis
1.
Pembagian kajian Ilmu Hadis
Secara garis besar, menurut kajian mutaakhirun, ilmu hadis terbagi menjadi dua,
yaitu ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah.
Ilmu hadis riwayah berkenaan
dengan riwayat hadis yang berasal dari Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, ataupun ketetapan dan sebagainya. Sedangkan ilmu hadis dirayah
berkenaan dengan kaidah-kaidah dan asas-asas yang dapat digunakan untuk
mengetahui keberadaan sanad dan matan.[17]
2.
Cabang-cabang Ilmu Hadis
Dari pembagian ilmu hadis dirayah
dan ilmu hadis riwayah itu, muncul cabang-cabang ilmu hadis lainnya.
Diantaranya cabang-cabang hadis tersebut dibagi menjadi tiga bagian, dilihat
dari segi sanad, dilihat dari segi matan dan dari segi sanad dan matan.
Disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal
pada sanad adalah: Ilmu Rijal al-hadist, Thabaqat al-Ruwah, Tarikh Rijal al-hadist
dan al-Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan antara
lain: Ilmu Gharib al-hadist, Asbab al-Wurud al-hadist, Tawarikh al-Mutun,
Nasikh wa al-Mansukh dan Talfiq al-hadist. Sedangkan ilmu-ilmu yang
berpangkal pada sanad dan matan antara lain Ilmu ‘Ilal al-hadist[18].
a.
Ilmu Rijal al-hadist
Ilmu Rijal al-hadist adalah
ilmu yang membahas hal-ihwal
dan sejarah para rawi semenjak masa sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in
dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadis. Secara
terminologis, Ilmu Rijal al-hadist adalah:
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ
الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُم[19]
“Ilmu yang membahas tentang keadaan para periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi-generasi berikutnya”.
Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
ranah kajian ilmu hadis karena kajian ilmu hadis pada dasarnya terletak pada
dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal al-hadist mengambil tempat
yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui
keadaan rawi yang mnejadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.
Bagian dari Ilmu Rijal al-hadist
ini adalah Ilmu Tarikh Rijal al-hadist. Ilmu ini secara khusus membahas
periahal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal
kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang
diriwayatkan dan murid-muridnya.,
Diantara kitab-kitab terkenal dalam
cabang ilmu hadis ini adalah al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab karya Ibnu
Abd al-Bar (w. 463 H), Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani
dan Tahdzib al-Kamal karya Abu al-Hajjaj Yusuf bin al-Zakki al-Mizzi (w.
742 H.)
b.
Ilmu Gharib al-hadist
عِلْمٌ
يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ
الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ
الْخَالِصَةِ.[20]
Ilmu
Gharib al-hadist adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang
terdapat dalam matan hadis yang sulit diketahui maknanya dan jarang terpakai
oleh umum.
Ilmu Gharib al-hadist ini
membahas lafadz yang muskil dan susunan kalimat yang sulit dipahami sehingga
orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadis.
Pada masa sesudah sahabat, yaitu pada abad
pertama dan masa tabi’in sekitar tahun 150 H., bahasa arab yang tinggi mulai
tidak dipahami oleh umum dan hanya kalangan terbatas yang memahaminya. Untuk
itu, para ahli hadis mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umum
dan kata-kata yang jarang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.
Menurut sejarah, orang yang yang
mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafadz yang gharib adalah Abu
Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210 H), kemudian dikembangkan oleh Abd
al-Hasan al-Mazini (w. 204 H).[21]
Tiga kitab gharib al-hadist
pada abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid al-Qasami ibn Sallam (w. 224 H), Ibnu
Qutaidah al-Dainuri (w. 276 H) dan al-Khaththabi (w. 378 H). Kitab lainnya
setelah itu adalah Gharib Alquran dan al-hadist susunan al-Harawi (w. 401 H)
dan al-Faiq susunan al-Zamakhsari. Kitab terbesar adalah al-Nihayah
susunan Ibn al-Athir
(w. 606 H) yang diikhtisarkan oleh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab al-Durr al-Natsir.[22]
c.
Ilmu Talfiq al-hadist
Ilmu Talfiq al-hadist
adalah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ
التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرً.[23]
Ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan
lahirnya.
Cara mengumpulkan dalam Talfiq al-hadist
ini adalah dengan men-takhsis-kan makna hadis yang ‘am (umum),
men-tasydid-kan hadis yang mutlaq, atau melihat berapa banyak
hadis itu terjadi. Para Ulama menamai ilmu hadis ini dengan Mukhtalif al-hadist.
Di antara para ulama yang merintis ilmu ini adalah al-Syafi’i (w. 204 H)
dengan kitab Mukhtalif al-hadist-nya, dilanjutkan oleh Ibn al-Qutaibah
(w. 276 H), al-Thahawi (w.321 H), Ibn al-Jauzi (w. 597 H) yang menyusun kitab al-Tahqiq,
yang di-syarah dengan baik oleh Ahmad Muhammad Syakir.[24]
d.
Ilmu Nasikh wa al-Mansukh al-hadist
Nasakh secara etimologi berarti الازالة (menghilangkan)
dan النقل (mengutip, menyalin). Sedangkan secara
terminologi adalah:
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling
bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan
sebagiannya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai ‘mansyukh’. Yang terbukti datang
terdahulu sebagai mansyukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.[25]
Ilmu ini sangat bermanfaat untuk
pengamalan hadis bila ada dua hadis maqbul yang tanakud yang tidak daoat
dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai batas pada
tingkat Mukhtalif al-hadist, kedua hadis maqbul tersebuat dapat
diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), hadis maqbul
yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua
hadis yang di-wurud-kan lebih dahulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian
(terakhir) itulah yang diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang
duluan disebut mansyukh.
Kaidah yang berkaitan dengan nasakh,
antara lain berupa cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rasul
Allah SAW. sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang
dimaksud.
Perintis ilmu ini adalah al-Syafi’i
dilanjutkan oleh Ahmad ibn Ishaq al-Dinari (w. 318 H). Kitab hadis yang disusun
tentang Nasikh dan Mansyukh Hadis, diantaranya yaitu Nasikh wa
al-Mansukh karya Qatadah bin Di’amah al-Sadusi.[26]
e.
Ilmu Asbab al-Wurud al-hadist
Definisi Ilmu Asbab al-Wurud al-hadist adalah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ ِلأَجْلِهِ
الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْه
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW. menyampaikan sabdanya dan masa-masa Nabi
menuturkannya”.[27]
Ilmu ini sangat penting untuk memahami
dan menafsirkan hadis serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan
wurud hadis tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadis, sebagaimana pentingnya asbab al-nuzul dalam
memahami Alquran.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab Asbab
al-Wurud al-hadist adalah Kaznah al-Jubari dan Abu Hafash ‘Umar ibn
Muhammad ibn Raja’ al-Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-Bayan wa al-Ta’rif
yang disusun oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Husaini (w. 1120 H).[28]
f.
Ilmu ‘Ilal al-hadist
Pengertian Ilmu ‘Ilal al-hadist
adalah:
“Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan
hadis yang berupa menyambungkan (meng-ittishal-kan) hadis yang munqathi’,
me-marfu’-kan hadis yang mauquf, atau memasukkan suatu hadis ke
hadis lain dan yang serupa dengan itu”. [29]
Abu ‘Abd Allah
al-Hakim al-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadith menyebutkan
bahwa Ilmu ‘Ilal al-hadist adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari
ilmu sahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan, illat hadis
tidak termasuk dalam bahasan jarh sebab hadis yang majruk adalah hadis
yang gugur dan tidak dipakai. Illat hadis yang banyak terdapat pada
hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang
menceritakan hadis yang mengandung illat tersembunyi. Karen illat
tersebut, hadisnya disebut ma’lul. Lebih jauh lagi, al-Hakim menyebutkan
bahwa dasar penetapan illat hadis adalah hapalan yang semprna, pemahaman
yang mendalam dan pengetahuan yang cukup.[30]
C.
Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan Ilmu Hadis
Sunnah atau hadis
sebagai dasar tasyri’ yang kedua setelah Aluran dalam sejarahnya telah melalui beberapa tahapan perkembangan yang
cukup panjang. Para ahli berbeda pendapat di dalam menentukan periodisasi
pertumbuhan dan penghimpunannya.[31]Dalam
makalah ini dijelaskan dalam tiga periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW,
sahabat dan tabi’in.
1.
Hadis pada masa Rasulullah
SAW
Seluruh perbuatan,
ucapan serta gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya. Ada suatu
keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat
Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber
hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau
mempersulit pertemuan mereka.
Ada beberapa cara
yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya,
yaitu:
a.) Melalui
para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis al- ilmi.
b.) Dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga
menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada orang lain.
c.) Cara
lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti haji wada’ dan futuh makkah.
d.)
Para sahabat dalam
menerima hadis Nabi berpegang teguh pada hafalannya, yakni menerima dengan
jalan hafalan bukan jalan menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang
Nabi sabdakan kemudian makna atau lafadz tergambar dalam dzin (benak)
mereka. Pun juga mereka menyampaikan kepada orang lain lewat hafalan pula.[32]
2.
Hadis
pada masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa
sahabat, khususnya Khulafa’ al-Ras}idun yaitu sekitar tahun 11 H sampai
40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar. Karena
pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran al-Qur’an. Periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih
dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang
menunjukan adanya masa pembatasan periwayatan (al-Tasabbut
wa al-Iqlal min al-Riwayah).[33]
Meskipun begitu Rasul
sangat memerintahkan sahabat untuk mentablighkan hadis seperti dibawah
ini:
نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ
مِنِّيْ مَقَالَتِيْ مَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا كَمَا
سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ[34].
“Mudah-mudahan Allah
mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan
dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena
banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari pada
yang mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi )
Hadis pada masa
Abu Bakar dan Umar hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila
perlu saja, belum bersifat pelajaran. Pada masa ini hadis belum diluaskan
karena beliau mengerahkan minat umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan
memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat
itu. Perkembangan hadis dan riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.
Pada masa Utsman dan
Ali hadis lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjawab semua permasalahan
dalam masyarakat dikala itu.
3.
Hadis pada masa
Tabi’in
Sesudah masa Utsman
dan Ali, timbulah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghfal hadis
serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan
untuk mencari hadis.
Pada tahun 17 H
tentara islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir.
Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara
islam menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota itu
menjadi “perguruan“ tempat mengajarkan al-Qur’an dan hadis yang menghasilkan
sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadis.
Tercatat beberapa
kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan
para tabi’in dalam mencari hadis, ialah Madinah al-Munawarah, Makkah
Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia.
Intinya pajda masa ini periwayatan hadis masih
bersifat dari mulut ke mulut (al-Musyafahat), seperti seorang murid langsung
memperoleh hadis dari guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan
selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode
sebelumnya adalah bahwa pada masa ini periwayatan hadis sudah semakin
meluas dan banyak sehingga dikenal dengan Iktsar al-Riwayah (pembanyakan
riwayat)[35]
D.
Kitab-kitab ilmu hadis
1.
Kitab-kitab ilmu hadis abad IV- VI Hijriah
Menggunakan
periodesasi Nuruddin ‘Itr, antara abad ke- IV sampai VII Hijriah adalah masa
penyusunan ilmu hadis secara komprehensif dan melimpahya kegiatan pembukuan ilmu
hadis, sehingga lahir banyak karya besar di bidang ilmu hadis pada masa ini.
Pada abad keempat Hijriah, misalnya, muncul karya-karya yang lengkap di bidang
ilmu hadis seperti al-Muhaddith al-Fas}il bayn al-Rawi wa al-Wa’i karya
al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H). kitab ini, menurut sebagian
ulama, terbilang kitab terlengkap yang paling awal di bidang ilmu hadis.[36]
Akan tetapi, karya al-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis.
Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya
merupakan kitab terlengkap yang kemudian dikembangkan oleh para ulama
berikutnya, dan diperhitungkan oleh penyusun kitab hadis ketika menyusun kitab
di bidang ini.
Pada abad keempat
ini muncul pula kitab yang secara spesifik membahas tentang hadis-hadis yang mushkil
berjudul: Mushkil al-Athar karya Abu Ja’far al-T}ahawi (w. 321 H?933 M).
Meskipun tidak membahas tentang ilmu hadis secara komprehensif, kitab ini layak
diperhitungkan karena di dalamnya dibahasa hadis-hadis yang mushkil beserta
alasan-alasannya. Demikian halnya karya al-Mu’ammar Abu al-Fad}l S}alih (w. 384
H) yang berjudul Sunan al-Tahdith yang membahas tentang illmu hadis yang
relatif lengkap merupakan karya yang dihasilkan pada abad ini. Di penghujung
abad IV Hijriah, al-Hakim Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Naysaburi (321-405 H.)
menyusun kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadith. Pada kitab ini dibahas sebanyak
52 macam pembahasan. Namun, seperti karya al-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini
menurut al-Jaziri, belum sempurna dan kurang sistematis dibandimg kitab-kitab
karya ulama berikutnya.[37]
Kitab ini kemudian disempurnakan oleh Abu Nu’aim Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Asfahani
(336-430 H) melalui kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah ‘Ulum
al-Hadith. Dalam kitab ini mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak
terdapat dalam Ma’rifah ‘Ulum al-Hadith karya al-Hakim Abu ‘Abd Allah
Muhammad al-Naysaburi.[38]
Kurang lebih setengah
abad berikutnya al-Hakim Abu ‘Amr Yusuf al-Namiri al-Qurt}ubi (368-463 H)
banyak menghasilkan karya-karya di bidang hadis dan ilmu-ilmunya. Berkenaan
dengan ilmu hadis di dalam mukadimah kitab al-Tamhid li ma fi al-Muwat}t}a’
min al-Ma’ani wa al-Asanid, al-Qurt}ubi mengumpulkan sebagian besar
kaidah-kaidah us}ul al-hadith.[39]
Kemudian kitab al-Kifayah fi Qawanin al-Riwayah disusun oleh al-Khatib
al-Baghdadi (392-463 H) merupakan kitab terlengkap di bidang ilmu hadis. Kitab
ini berisi berbagai uraian ilmu hadis dan kaidah-kaidah periwayatan. Menurut
Abu Syihab, sebagian besar kajian ilmu hadis telah disusun dalam satu kitab
ini.[40]
Al-Baghdadi juga menulis kitab al-Jami’ li Akhlaq al-Rawiwa Adab al-Sami’
yang merupakan kitab terlengkap dan terdahulu di bidang tata cara mendengarkan
dan meriwayatkan hadis serta hal-hal terkait dengan itu. Di samping itu, ia
juga mnyusun kitab Sharf As}h}ab al-Hadith dan Taqyid al-‘Ilm.
Menurut Abu Bakar ibn Nuqt}ah, sebagaimana dikutip Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, para ahli hadis setiap kali
mnyusun ilmu, setelah al-Khatib al-Baghdadi, selalu mengambil dari
kitab-kitabnya.[41]
Ulama yang
termasyhur pasca al-Khatib al-Baghdadi di bidang ilmu hadis adalah Abu al-Fad}l
‘Iyad ibn Musa al-Yas}h}abi (476-544 H), yang menyusun kitab al-Ilma’
ila< Ma’rifah Us}ul al-Riwayah wa Taqyid al-Asma’ ada pula yang
mnyebutnya al-‘Ilma’ fi D}abt} al-Riwayah wa Taqyid al-Asma’. Demikian
pula Abu Hafs} ‘Umar ibn ‘Abd al-Majid al-Mayanji (w. 580 H) menulis kitab Ma
la Yasi’u al-Muhaddith Jahluh.[42]
Demikian pula kitab al-“Ilal al-Mutanahiyah karya Abu Faraj ibn al-Jawzi
(597 H).
Kemudian banyak
bermunculan karya-karya setelah itu, yang termasyhur diantaranya karya Taqy
al-Din al-S}ahrazuri yang terkenal dengan nama Ibn al-S}alah (577-643 H) dengan
kitabnya ‘Ulum al-Hadith yang terkenal dengan Muqaddimah Ibn
al-S}alah. Kitab ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat
sekitar 27 ringkasannya.
- Kitab-kitab ilmu hadis abad VII- Sekarang
Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, setelah Ibn al-S}alah, hampir
tidak ditemukan aktivitas penyusunan ulang berdasar kitab-kitab yang sudah ada,
yaitu kitab-kitab syarah, meringkas yang panjang lebar, atau memperluas yang
ringkas, menertibkan dan lain-lain.[43] Pada masa ini, tidak ada
ijtihad baru dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmu hadis kecuali sekedar mngulas
kitan-kitab hadis yang sudah ada, berbeda dengan karya-karya ulama awal di
bidang ilmu hadis seperti kitab al-Ramahurmuzi dan al-Khatib
al-Baghdadi yang mengumpulkan materi berlimpah, yang menjadi sumber penulisan
berbagai macam karya ilmu hadis sehingga para penulis kitab ilmu hadis setelah
merak mencukupkan dengan menuturkan kaidah-kaidah yang telah mereka rumuskan.
Karya-karya yang muncul
pada masa ini diantaranya kitab Fath al-Mughith bi Sharh Alfiyah al-Hadith
karya Syam al-Din Abi Khayr Muhammad al-Sakhawi (w. 902 H), kitab Tadrib
al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi karya Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman
al-Suyut}i (849-911 H) yang merupakan syarah dari kitab Taqrib karya
Muhyi al-Din Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kedua kitab ini
mengumpulkan metode ulama mutaqaddimun dan ulama mutaakhirun
dalam kaidah-kaidah ilmu hadis.[44]
Demikian pula kitab Tajrid asma’ al-S}ah}abah karya Muhammad ibn Ahmad
al-Dhahabi (w. 748 H), Nazh al-Durar fi ‘Ilm al-Athar dan al-Tabs}irah
wa al-Tadhkirah karya Zayn al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Husayn al-‘Iraqi (w.
806 H), Nukhbar al-Fikar fi Must}alah Ahl al-Athar dan al-Nukat ‘ala
Kitab ibn al-S}alah karya Ibn Hajar al-Asqalani (852 H), Fath al-Mughith
Sharah Alfiyah al-Hadith oleh Muhammmad ibn Abd al-Rahman al-Sakhawi (w. 902 H).
Selanjutnya bermunculan kitab-kitab must}alah al-hadith baik dalam bentuk nadham, seperti kitab Alfiyah al-Suyut}i maupun nasar (prosa). Dari kedua jenis ini para ulama juga memberikan syarahnya seperti kitab Manhaj Dhawi al-Nazar karya Muhammad Mahfudh al-Trimisi, syarah kitab Mandhumah ‘Ilm al-Athar karya al-Suyut}i (w. 911 H). Kitab-kitab yang disusun setelah abad kesepuluh Hijriah diantaranya adalah al-Mandhumah al-Bayquniyah karya ‘Umar ibn Muhammad al-Bayquni (w. 1080 H) dan Tawd}ih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Andhar karya Muhammad ibn Isma’il (w. 1182 H) dan Qawaid al-Tahdith oleh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi. (w. 1332 H).[45]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Ilmu hadis adalah
ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi
baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabi’at
dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
2.
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis
ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
3.
Periodisasi pertumbuhan dan penghimpuna hadis dijelaskan dalam tiga periodisasi, yakni masa
Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya,
Bandung: Sygma, 2009.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj
al-Naqd fi Ulum al-hadist
al-Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Ichwan, Mohammad
Nor. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang:
Rasail Media Group, 2013.
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj.
al-Sunnah qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.
______(al), Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadith,
Kairo: Dar al-Fikr, 1989.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1996.
Shabbagh (al), Muhammad. al-hadist al Nabawi, Riyad}:
al-Maktab
al-Islami,
1972.
Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, Bandung:
Mimbar Pustaka, 2005.
Solahudin, M.
Agus. Ulum al-hadist, Bandung: Pustaka
Setia, 2009.
Suyut}i (al), Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr. Tadrib
al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Syihab, Muhammad ibn Muhammad Abu. al Wasith fi Ulum wa
Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Thahhan (al), Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits,
Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.
[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir,
(Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), 966, 243.
[2] Muhammad ibn Muhammad Abu
Syihab, al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, tth.),
23.
[3] Muhammad al-Shabbagh, al-hadist al Nabawi, (Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972), 13.
[4] Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah
al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nazhar,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1974), 8.
[5] Muhammad al-Shabbagh, al-hadist al Nabawi, 13.
[6] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnahqabl al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), 20.
[7] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-hadist al-Nabawi, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1997), 26.
[8] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn
Abi Bakr al-Suyut}i,
Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988),
5-6.
[9]
Jalal al-Din ‘Abd
al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 5-6.
[10] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, 26.
[11] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma, 2009), 418.
[12] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi,
Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 7.
[13] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi, 30.
[14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 77.
[15] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 78.
[16] Ibid., 79.
[17] M. Agus Solahudin, Ulum
al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 106.
[18] Ibid.
[19] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.), 224.
[20] Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), 211.
[21] M. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan BIntang, 1987), 153.
[22] M. Agus Solahudin, Ulum
al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 117.
[23] M.Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 164.
[24] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 121.
[25] Ibid., 119.
[26] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist,
120.
[27] Mahmud al-Thahhan, Taysir
Musthalah al-hadist, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.), 225.
[28] M. Agus Solahudin, Ulum
al-Hadits, 122.
[29] Ibid., 116.
[30] M. Agus Solahudin, Ulum
al-Hadihs, 116.
[31] Mohammad Nor Ichwan, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, (Semarang: Rasail Media Group,
2013), 109.
[32] Mahmud al-Thahhan, Taysir
Musthalah al-hadist, 230
[33] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist,
130.
[34] Ibid.
[35] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 133.
[36] Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 453.
[37] Ibid.
[38] Muhammad
ibn Muhammad Abu Syihab, al-Wasit}, 31.
[39] Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 455.
[40] Muhammad
ibn Muhammad Abu Syihab, al-Wasit}, 31.
[41] Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 456.
[42] Ibid.
[43] Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 456.
[44] Ibid., 457.
[45] Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 457.