HOME

22 Januari, 2022

Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat

 

A.       Akhlak pribadi sebagai makhluk

Kenyaataan di jagad  dunia) membuktikan bahwa ada kekuatan yang tidak Nampak. Dia mengatur dan memelihara alam semesta ini. Juga dialah yang menjadi sebab adannya semua ini. Dalam pengaturan alam semesta ini terlihat ketertiban, dan ada suatu peraturan yang beganti-ganti dan gejala datang dengan keteraturannya.

Manusia sebagai bagian kecil dari ciptaanya, sangat berhutang budi dengan segala yang hidup di dunia ini. Manusia dilebihkan oleh-nya berupa akal pikiran dibanding makhluk lainnya dengan daya pikir, manusia bisa memilih perbuatan yang baik dan buruk. Disamping juga kenikmatan yang diberikan oleh “sang pencipta” kepada manusia berupa hidup ini, kesehatan, perasaan, dan kesenangan yang bermacam-macam. Semua kenikmatan tersebut, bukan berarti “sang pencipta” mempunyai maksud kepada manusia supaya membalas  dengan sesuatu, tetapi Allah Memerintahkan manusia agar senantiasa beribadah kepadannya. Kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, tergantung kepada izin dan ridha Allah. Dan untuk itu Allah memberikan ketentuan agar umat manusia dapat mencapainnya. Maka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat itu dengan sendirinya kita harus mengikuti ketentuan-ketentuan dari Allah SWT.

Dari segi kemanusiaan, sebagai manusia yang normal yang mempunyai sifat kemanusiaan, harus tahu berterima kasih kepada pihak yang telah memberikan jasa. Kita akan disebut orang yang “tidak tahu diri”, kalua kita ditolong seseorang, kemudian orang itu tidak terima kasih apalagi malah orang lain itu kita marahi. Kalau kita ditolong oleh orang lain dalam hidup kita ini, maka sewajarnyalah kalau kita berterima kasih kepada orang yang telah memberi pertolongan itu.

Maka hal itu akan timbul dari dalam hati bagaimana dapat membalas jasa atau membalas budi kepada orang yang telah memberi pertolongan itu. Maka akan timbul di dalam hati bagaimana membalas budi kepada orang yang telah memberi tolong itu tadi. Kalau kita tidak dapat memberikan balasan budi yang sepadan, sekurang-kurangnya akan mengatakan terima kasih dengan perbuatan yang hormat. Menunjukkan betapa berterima kasihnya dan keinginan membalas budi walaupun tidak terbalas oleh dirinya, dia mengharapkan mudah-mudahan dibalas kebaikannya itu dengan pahala yang berlipat oleh tuhan.

Sifat berterima kasih kepada orang yang telah berjasa kepada dirinya adalah sifat kemanusiaan, yang sesuai degan bisikan hati nurani setiap orang. Dari tindakan moral inilah kemudian timbul adat adat-istiadat, sopan santun, dan tata Susila.

Karena itulah kirannya sangat wajar dan seharusnya, apabila setiap anak harus hormat dan berbudi pekerti baik kepada orang tuaannya, seseorang harus berbudi baik kepada temannya. Seorang atasan berterima kasih dan berbudi pekerti baik kepada bawahannya, karena telah  memberikan jasa bantuan kelancaran programnnya. Bawahan harus berterima kasih kepada atasannya. Karena bimbingan dan kebijaksanaannya. Apa yang telah kita terima dari Allah SWT. Sungguh tidak dapat dihitung dan tidak dapat dinilai dengan materi banyaknya. Dan kalau kita menghitungnya, karena terlalu amat sangat banyaknya.

Firman Allah:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nahl :18)

Secara moral manusiawi, manusia mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai khalayaknya, yang telah memberi kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

Berdasarkan hadist kewajiban manusia kepada Allah garis besarnya ada dua: 1) Mentauhidkan-Nya yakni tidak memusyrikkan-Nya kepada sesuatu apapun, 2) Beribadat kepada-Nya. Orang yang demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat ganda yang tak terduga banyaknya oleh manusia.

Dalam al-Qur’an kewajiban manusia ini diformulasikan dengan Iman dan Amal Saleh. Sebagaimana tercantum didalam firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِجَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.(Qs Al Bayinnah:7-8)

Beriman dan beramal shaleh itu dalam istilah lain disebut takwa, yang diperintahkan Allah kepada hambanya, sebagaimana firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Qs Ali Imron: 102)

Dalam Al-Qur’an surat al Baqarah ayat 177, iman dan amal saleh, yang disebut takwa itu diperinci lagi dengan firmannya:

 لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Qs Al Baqarah 177)

Dalam ayat ini tersebut diatas iman dan amal shaleh, yang disebut takwa dengan perincian:

1.    Iman kepada Allah

2.    Kepada akhirat

 

B.    Akhlak pribadi sebagai anggota masyarakat

Pokok utama kerasulan nabi Muhammad Saw. Adalah menyempurnakan akhlak yang mulia. Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan yang terpuji dikalangan orang-orang (masyarakat) yang bertaqwa. Disamping terpuji berdasarkan norma-norma yang ditetapkan Allah SWT. Ayat yang digunakan

Dasar adalah surat al-ahzab ayat 21 dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama) di masyarakat terutama didalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga, dan lingkungkan masyarakat.

Tolong menolong untuk kebaikan dan takwa kepada Allah adalah perintah Allah, yang dapat ditarik hukum wajib kepada setiap kaum muslimin dengan cara sesuai dengan keadaan obyek, orang yang bersangkutan, Allah berfirman dalam Qur’an surat al-maidah ayat 2

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Kewajiban tolong-menolong bukan hanya dari segi moril, melainkan juga dalam segi materi, yang bersifat kebutuhan pokok manusia yang bersifat dari (yang tidak boleh tidak) untuk menjaga kelestarian hidup manusia.

Jangankan nyawa manusia yang harus ditolong dan diselamatkan dalam ajaran islam, nyawa binatangpun harus ditolong dan diselamatkan.

Kewajiban muslim terhadap muslim lainnya yaitu ada 6 yaitu apabila engkau berjumpa maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila ia mengundang kau hendaklah kau menepatinnya, apabila ia meminta nasihat kepada engkau maka nasihatilah, apabila ia bersin kemudian mengucapkan hamdalah hendaklah engkau ucapkan tasymith (yarhamukAllah) : apabila ia sakit hendaklah menjenguknya dan apabila ia meninggal dunia hendaklah melayatnya dan mengantarkan ke pemakamannya. (HR.Bukhori)

Dalam surat at-taubah ayat 100

a.         Tata cara berbahasa

Setiap muslim dan semua orang diperintahkan untuk  selalu berbahasa dengan Bahasa yang jelas dan baik, Bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara, sesuai tingkat usia. Masyarakat, dan tingkat kedudukannnya. Didalam islam menunjukkan bahwa “Bahasa menunjukkan takwa”.

          Umat islam didalam pergaulan hidup masyarakat harus dapat berbahasa dengan Bahasa yang sopan, Bahasa yang mudah dimengerti. Penggunaan Bahasa bermacam-macam baik pada anak-anak, remaja, atau dewasa.

b.        Tata cara salam

Setiap masyarakat, agama dan bangsa memiliki tata cara memberi salam, sebagaimana juga dengan islam ”salam” telah menempati kedudukan sendiri dalam islam.

          Sebagai landasan salam dalam firman Allah surat An-nur ayat 27:

“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninnya.yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu (selalu) ingat,

Salam adalah penganjuran bagi orang yang hidup dimasyarakat atau rumah sendiri. Dan bila dilihat dari jauh “salam” meningkatkan kepedulian social dan hadist rasulullah diriwayatkan syekh hani dan imam muslim untuk menumbuhkan cinta dikalangan umat muslim hendaknya mereka saling memberi salam. Perkataan salam dalam islam jelas:Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

c.         Tata cara di majelis pertemuan

Pertama kali harus memberi salam, kemudian baru duduk setelah di sediakan, jangan sekali-kali menggeser tempat duduk milik orang lain, jangan menggunakan Bahasa yang dapat menyinggung orang lain. ketikaingin meninggalkan minta izin terlebih dahulu dan bacalah doa kafaratul majelis.

d.        Tata cara memberi ucapan selamat:

1.      Dalam rangka acara pernikahan

2.      Dalam rangka kelahiran seorang bayi kepada ibunnya

3.      Kembalinya seorang musafir

4.      Pulangnya seseorang dari jihad

5.      Sekembalinya dari haji

6.      Pada hari raya idul fitri dan idul adha

7.      Ketika seseorang mendapat kenikmatan tertentu seperti kenaikan pangkat, mendapat hadiah apa saja yang membuat seseorang merasakan kebahagiaan.

e.         Tata cara takziah

Takziah dilakukan jamaah (masyarakat) dalam rangka meringankan beban lahir batin bagi keluarga yang dapat musibah maka sikap dan tindakan tersebut dapat menentramkan hati mereka. Tata cara takziah antara lain:

1.      Mengucapkan perkataan yang pernah diucapkan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya

2.      Memberi makan keluarga yang terkena musibah

3.      Menunjukkan rasa bela sungkawa

4.      Memberi nasihat yang baik-baik.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

20 Januari, 2022

Maha Penyembuh

ASY-SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH DASAR PENETAPAN

Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahîh. Yakni, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota) keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya membaca (doa):

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allâh, Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)[1]

Juga dalam hadits shahîh yang lain, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tentang ruqyah (doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas Radhiyallahu anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.

Berdasarkan hadits-hadits ini, para Ulama menetapkan nama asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) sebagai salah satu dari nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah. Di antara Ulama yang menetapkannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah[3] , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn [4] , Syaikh ‘Abdur Razzâq al-Badr [5] dan lain-lain.

MAKNA ASY-SYAFI Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas (sembuh) dari penyakit [6] . Sedangkan Imam Fairûz Abâdi rahimahullah mengatakan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah obat penyembuh [7] . Sementara al-Halîmi rahimahullah menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia [8] . Maka, nama Allâh Azza wa Jalla asy-Syâfi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin.

Dia Azza wa Jalla lah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allâh Azza wa Jalla semata, maka tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) kecuali Dia Azza wa Jalla, sebagaimana ucapan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang dinukil dalam al-Qur`ân:

 وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku [asy-Syu’arâ/26:80]

Maksudnya, jika aku ditimpa suatu penyakit, maka tidak ada satu pun yang sanggup menyembuhkanku selain Allâh Azza wa Jalla , dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya dapat mendatangkan kesembuhan bagiku[9] . Makna inilah yang diisyaratkan dalam doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu” [10].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH ASY-SYAFI

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan makna doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini (terdapat) tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya) dan rahmat-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-satunya asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Maka, ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya alam beribadah), (sifat) ihsân (kebaikan) dan rububiyah-Nya”[11].

Al-Halîmi rahimahullah berkata: “Dalam berdoa, diperbolehkan mengucapkan: “Wahai asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), wahai al-Kâfi (Yang Maha Pemberi kecukupan), karena Allâh Azza wa Jalla Dialah yang menyembuhkan dada (hati) manusia dari syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan, juga dari (sifat) dengki dan khianat, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu selain-Nya dan tidak ada yang (pantas) diseru dengan nama ini (asy-Syâfi) kecuali Dia”[12].

Allâh Azza wa Jalla Dialah Yang Maha Menyembuhkan segala macam penyakit manusia, dan tidak ada kesembuhan bagi mereka kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Kesembuhan dari Allâh Azza wa Jalla ada dua macam: 1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit hati manusia 2. Kesembuhan fisik, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit fisik [13]. Kedua macam penyembuhan ini tercakup dalam keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali Dia (juga) menurunkan obat (penyembuh) bagi penyakit tersebut”[14].

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dua macam kesembuhan ini dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tentang penyembuhan yang pertama, yaitu penyembuhan penyakit hati manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur`ân) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah : “Allâh Azza wa Jalla menjadikan al-Qur`ân bagi kaum Mukminin sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allâh mencukupi orang-orang yang beriman (melalui nasehat) dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan pada al-Qur`ân suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian [al-Isrâ/17:82]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menuturkan: “Arti ‘al-Qur`ân sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’: al-Qur`ân akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur`ân akan menyembuhkan semua (penyakit) tersebut…”[16]. Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’ân sebagai petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla untuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “al-Qur`ân adalah penyembuh yang hakiki dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan (dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur`ân) itu tergantung dari (sejauh mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang benar) darinya”[17] . Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih. Misalnya, hadits riwayat Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu tentang beberapa orang Sahabat Radhiyallahu anhum yang melakukan safar (perjalanan), lalu mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, kemudian kepala suku perkampungan tersebut sakit karena disengat binatang buas. Salah seorang Sahabat Radhiyallahu anhu mengobatinya dengan membaca surat al-Fâtihah, maka serta merta orang tersebut sembuh total, Lalu mereka diberi hadiah beberapa ekor kambing. Sepulang dari perjalanan tersebut, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun membenarkan perbuatan mereka seraya bersabda: “Dari mana kamu mengetahui bahwa surat al-Fâtihah adalah ruqyah (doa/zikir untuk penyembuhan)?”, bahkan kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari hadiah kambing tersebut”[18].

Juga hadits riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, jika ditimpa sakit, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-mu’awwidzât (surat al-Falaq dan an-Nâs) untuk diri beliau sendiri dan meludah sedikit. Lalu, ketika sakit beliau sudah parah, akulah yang membacakannya untuk beliau dan aku mengusap dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya”[19] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH ASY-SYAFI

Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan manusia di dunia dan akhirat.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20]. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya pada hari Kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ﴿٨٨﴾إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Hari (Kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allâh dengan hati yang bersih [asy-Syu’arâ/26: 88-89].

Artinya, hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla), keraguan, dan mencintai keburukan, serta lebih suka bertahan dengan perbuatan bid’ah dan maksiat[21] . Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allâh Azza wa Jalla.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allâh Azza wa Jalla, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allâh Azza wa Jalla, (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus/pembersihan jiwa)”[22].

Maka Allâh Azza wa Jalla Dialah satu-satunya yang maha mampu membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Azza wa Jalla adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal, mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal dari Allâh Azza wa Jalla, yaitu doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللََّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَاوَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

Ya Allâh, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya [23]

Baca juga artikel yang lain:

PENUTUP

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Azza wa Jalla berkenan memberikan kesembuhan dari penyakit lahir dan batin bagi kita sehingga dapat mencapai kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.

Footnote

[1]. HR. al-Bukhâri no. 5311 dan Muslim no. 2191

[2]. Majmuu’ul Fatâwâ 2/380

[3]. Zâdul Ma’âd 4/172

[4]. Al-Qawâ’idul Mutslâ hlm. 42

[5]. Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 287

[6]. An-Nihâyah fi Ghariibil Hadits wal Atsar” (2/1189).

[7]. Al-Qâmuusul Muhiith” (hal. 1677).

[8]. Al-Minhâju fî Syu’abil Imân 1/209

[9]. Tafsir Ibnu Katsir” (3/450).

[10]. Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 287

[11]. Zâdul Ma’âd 4/172

[12]. Al-Minhâj fî Syu’abil Imân 1/209

[13]. Syarhu Asmâillâhil Husnâ hlm. 115

[14]. HR. al-Bukhâri no. 5354

[15]. Tafsîr ath-Thabari 1/67

[16]. Tafsir Ibnu Katsir 3/83

[17]. Ighâtsatul Lahfân min Mashâyidisy Syaithân 1/44

[18]. HR. al-Bukhâri no. 2156 dan Muslim no. 2201

[19]. HR. al-Bukhâri no. 4728 dan Muslim no. 2192

[20]. HR. al-Bukhâri no. 52 dan Muslim no. 1599

[21]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 593

[22]. Ighâtsatul Lahfân hlm. 132 – Mawâridul Amân

[23]. HR. Muslim no. 2722


Gembira dengan Kelahiran Anak

 

JERITAN PERTAMA KETIKA BAYI BARU LAHIR

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

صِيَاحُ الْمَوْلُوْدِ حِيْنَ يَقَعُ، وفي روايَةٍ يُولَدُ، نَزْغَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ

“Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan” [1] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ إِلاَّ نَخَسَهُ الشَّيْطَانُ فَيَسْتَحِلُ صَارَخًا مِنَ نَخْسَةِ الشَّيْطَانَ إِلاَّ ابْنُ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ

“Tidak ada seorang anakpun yang lahir melainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaithan itu kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam)”

Kemudian Abu Hurairah berkata : Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi).

 وَإِنِّي أُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari syaitah yang terkutuk” [2]

Anak kecil ini belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. [3] Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya.

Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini harus dihalangi, karena itulah syari’at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Tuhannya. Kami akan mengumpulkan semua tahapan kehidupan manusia secara ringkas. Sejak anak manusia belum melewati tujuh hari pertama dari umurnya, penetap syaria’at telah menerangkan jalan-jalan penjagaan bagi anak tersebut dan menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya dilakukan sepanjang tujuh hari (dari awal kelahiran anak) Maka siapa yang mencintai anaknya dan ingin menjaganya dari syaitan, hendaklah ia mengikuti metodenya sayyidil mursalin dan beliau bagi kita adalah sebaik-baik pemberi nasihat.

Beliau sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar Al-ghifari Radhiyallahu ‘anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan sayapnya di udara melainkan beliau sebutkan ilmunya kepada kami”. Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِبُ مِنَ الْجَنَّة وَيُبَاعِدُ عَنِ النَّارِ إلَّا وَقَدْ بُيِنَ لَكُمْ

“Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan pada kalian” [4] Termasuk upaya penjagaan terhadap anak dari gangguan syaithan adalah doa seorang suami ketika mendatangi istrinya.

 بِسْــــمِ اللهِ اَللّهُـــمَّ جَانِبْـنَا الشَّيْــطَانَ وَ جَانِبِ الشَّيْــطَانَ مَا رَزَقْتَـنَا

“Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami” Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu maka syaitan tidak akan membahayakannya selamanya” [5]

KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK

Al-Qur’an telah menyebutkan kabar gembira tentang kelahiran anak dalam banyak ayat dalam rangka mengajarkan kaum muslimin tentang kebiaasaan ini, karena padanya ada pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati-hati kaum muslimin. [6] Allah Ta’ala berfirman.

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan kelahiran seorang anak yang bernama Yahya” [Maryam/19 : 7]

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ

“Maka berilah kabar gembira padanya dengan kelahiran anak yang sangat penyabar” [Ash-Shafaat/37 : 101]

قَالُوا لَا تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ

“Mereka (para malaikat) berkata : Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim” [Al-Hijr/15 : 53]

 فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ

“Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh” [Ali-Imran/3 : 39]

Seharusnya kita kaum muslimin mencintai kebaikan bagi saudara-saudara kita. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka dan turut sedih dengan kesedihan mereka. jika kita memang orang muslim yang sebenar-benarnya, maka kita merasa seperti satu jasad. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka semua anggota lainnya terpanggil untuk bergadang dan merasa demam. Sebagaimana hal ini dimisalkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya. Akan tetapi di mana kita dari hal yang demikian itu? Sementara permusuhan dan kebencian telah menyala-nyala di kalangan kaum muslimin sendiri dan hasad menjalar di tengah mereka dan kebaikan telah menipis. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.

UCAPAN SELAMAT DAN KETERANGAN SALAF TENTANGNYA

Tidak ada satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah mengucapkan selamat bagi keluarga yang kelahiran. Yang ada hanyalah atsar yang diriwayatkan dari tabi’in, di antaranya.

1. Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang ucapan selamat tersebut ; “Bagaimana cara aku mengucapkannya ?” Kata Al-Hasan: Ucapkanlah.

 جَعَلَهُ اللّهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةٍ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [7]

2. Dari Hammad bin Ziyad ia berkata : “Ayyub As-Sikhtiyani bila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang kelahiran anak ia berkata :

 جَعَلَهُ اللّهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةٍ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [8]

Atsar semisal ini jauh lebih baik dibanding ucapan selamat yang banyak diamalkan manusia pada hari ini. Namun bersamaan dengan itu kita tidak boleh melazimkan ucapan selamat ini (seperti tersebut dalam atsar di atas), berbeda bila ada satu hadits (yang shahih) yang menerangkan tentangnya. Dan kita tidak menjadikan ucapan tersebut seperti dzikir-dzikir yang tsabit dalam As-Sunnah (yakni kita tidak terus menerus mengamalkannya karena tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan hal ini). Siapa yang mengucapkannya kadang-kadang maka tidak apa-apa dan siapa yang tidak mengucapkannya maka tidak ada masalah.

Baca juga artikel yang lain:

______

Footnote

[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3248), Muslim (15/128 Nawawi) dan At-Thabrani dalam As-Shaghir (29), dan riwayat yang lain darinya dan Ibnu HIbban (6150-6201-6202)

[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3/110 –As-Sindi), Muslim (15/128 Nawawi) dan Abu Ya’la 5971]

[3]. Lihat Syrahu Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi tentang hadits ini (15/129-130)

[4]. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1647) dan Ash-Shaghir (1/268), Ahmad dalam Al-Musnad (5/153-162) baris pertama darinya

[5]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/228 Fathul Bari), Muslim (10/1434 Nawawi) dan selain keduanya.

[6]. Dinukil dari kitab Ukhti Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludikil Jadid, penulis Nasyat Al-Mishri

[7]. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du’a (2/1243) dengan sanad yang rijalnya (rawi-rawinya) tsiqah (orang kepercayaan) selain syaikhnya (gurunya) At-Thabrani yakni Yahya bin Utsman bin Shalih, kata Al-Hafidh tentangnya : “Ia shaduq, tertuduh tasyayyu’ (kesyiah-syiahan), dan sebagian ulama menganggapnya layyin (lemah) karena keadaannya yang meriwayatkan dari selain asalnya”. Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (9/175) : “Aku menulis (hadits) darinya dan juga ayahku, dan mereka memperbincangkannnya”. Dalam Al-Mizan, Ad-Dzahabi berkata : “Ia shaduq Insya Allah’.Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/17) : “Dia tsiqah dan padanya ada perbincangan”. Kami katakan : orang yang semisal Yahya ini haditsnya tidak turun dari derajat Hasan.

[8]. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du’a (2/1244) dengan sanad yang lemah. Namun atsar yang lemah ini mendukung atsar sebelumnya. Wallahu a’lam

Nabi Berdakwah Ke Thaif

 

Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah Radhiyallahu anha, gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin meningkat. Kaum Quraisy tak peduli dengan kesedihan yang tengah menghinggapi diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga akhirnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan keluar dari Mekkah untuk menuju Thaif.

 Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap penduduk Thaif mau menerimanya. Harapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tinggal harapan. Penduduk Thaif menolak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencemoohnya, bahkan mereka memperlakuan secara buruk terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kenyataan ini sangat menggoreskan kesedihan dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun kembali ke Mekkah dalam keadaan sangat sedih, merasa sempit dan susah. Keadaan ini diceritakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami-Pen.) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril q , lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” [1] Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].

Begitulah sambutan penduduk Thaif. Penolakan mereka saat itu sangat mempengaruhi jiwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliaupun bersedih. Namun kesedihan ini tidak berlangsung lama. Karena sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Mekkah, saat melakukan perjalanan kembali dari Thaif, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pertolongan Allah Azza wa Jalla. Pertolongan ini sangat berpengaruh positif pada jiwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengurangi kekecewaan karena penolakan penduduk Thaif, sehingga semakin menguatkan tekad dan semangat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan din (agama) yang hanif ini.

PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Pertongan pertama datang saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Qarnuts-Tsa’âlib atau Qarnul-Manazil.[2] Allah Azza wa Jalla mengutus Malaikat Jibril Alaihissallam bersama malaikat penjaga gunung yang siap melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perlakuan buruk penduduk Thaif. Namun tawaran ini diabaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkeinginan melampiaskan kekecewaaan atas penolakan penduduk Thaif. Justru sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan agar dari penduduk Thaif ini terlahir generasi bertauhid yang akan menyebarkan Islam. Inilah akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teramat agung. Saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu membalas perlakuan buruk dari kaumnya, namun justru memberikan maaf dan mendoakan kebaikan. Demikian ini selaras dengan beberapa sifat beliau yang diceritakan dalam al-Qur’ân, seperti sifat lemah lembut,[3] kasih sayang, dan sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya.[4]

Kemudian pertolongan dan dukungan yang kedua, yaitu saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di lembah Nakhlah, dekat Mekkah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal disana selama beberapa hari. Pada saat itulah Allah Azza wa Jalla mengutus sekelompok jin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5] Mereka mendengarkan al-Qur`ân dan kemudian mengimaninya. Peristiwa itu disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam dua surat, yaitu al-Ahqâf dan al-Jin ayat 1 hingga 15. Allah berfirman dalam surat al-Ahqâf/46 ayat 29-31:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ ﴿٢٩﴾ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿٣٠﴾ يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur`ân, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur`ân) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.

Kedua peristiwa di atas meningkatkan optimisme Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga bangkit berdakwah dengan penuh semangat tanpa peduli dengan berbagai penentangan yang akan dihadapinya.

PERLINDUNGAN AL MUTH’IM BIN ‘ADIY

Setelah kembali ke Mekkah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlindungan dari al-Muth’im bin ‘Adiy, sehingga kaum kafir Quraisy tidak leluasa mengganggunya. Al-Muth’im memiliki dua jasa sangat besar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertama, ia memiliki peran dalam perusakan kertas perjanjian pemboikotan yang ditempelkan di dinding Ka’bah. Kedua, ia memberikan perlindungan saat kaum Quraisy berusaha mengusir dan mengganggu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jasa al-Muth’im ini selalu diingat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seusai mengalahkan kaum kafir Quraisy dalam Perang Badr, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda perihal para tawanan:

 لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Seandainya al-Muth’im bin Adiy masih hidup, lalu dia mengajakku berbicara tentang para korban yang mati ini (maksudnya, meminta Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan mereka, Pen.), maka tentu aku serahkan mereka kepadanya.[6]

PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS

1. Prioritas dakwah Rasulullah terhadap tokoh kabilah Tsaqif di Thaif kala itu merupakan bukti pentingnya menyampaikan dakwah kepada para tokoh panutan manusia.

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap sabar menghadapi perlakuan buruk para penentangnya. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan siksa kepada mereka. Namun sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah, dan Allah Azza wa Jalla memperkenankan doa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

3. Perjumpaan jin dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di lembah Nakhlah merupakan bukti, bahwa jin itu ada dan mereka itu juga mukallaf .[7] Di antara jin ada yang beriman, dan ada juga yang kafir.

4. Berimannya sekelompok jin tersebut merupakan hiburan bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setelah mendapatkan perlakuan buruk dari penduduk Thaif.

5. Dalam kisah rihlah (perjalanan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Thaif dan penderitaan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam alami terdapat pelajaran bagi para da’i. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggung derita, maka begitu juga para da’i. Oleh karena itu, pada da’i wajib mempersiapkan diri, karena dakwah merupakan jalan para nabi dan orang-orang shalih. Juga dikarenakan tuntutan hikmah Allah Azza wa Jalla bahwa din ini tidak akan dimenangkan kecuali dengan amalan dan usaha keras manusia.

Baca juga artikel yang lain:

Footnote

[1]. Dua gunung besar di Mekkah, yaitu Gunung Abu Qubais dan Gunung Qu’aiqi’an. Ada juga yang mengatakan Gunung Abu Qubais dan Gunung al-Ahmar. Lihat footnote as-Siratun-Nabawiyyah fî Dhau’il Mashadiril-Ashliyyah, hlm. 228.

[2]. Tempat miqat penduduk Najd.

[3]. Lihat Qs ‘Ali ‘Imran/3 ayat 159

[4]. Lihat Qs at-Taubah/9 ayat 128.

[5]. Kedatangan sekelompok jin ini juga diceritakan dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari. Lihat Fathul-Bâri (18/314, no. 4921) dan Imam Muslim (1/331, no. 449). Ibnu Hajar t membawakan beberapa dalil yang mendukung pendapat Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’ad yang menyatakan, bahwa peristiwa kedatangan para jin ini terjadi saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari Thaif

[6]. HR Imam al-Bukhari. Lihat Fathul-Bâri 12/226-227, no. 3139

[7]. Terkena kewajiban syariat.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...