HOME

13 April, 2022

SUNAN ABU DAWUD

 BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Banyaknya problematika di masyarakat tentang amaliyah amaliyah, ini menjadikan perlunya dasar dasar hukum yang otentik untuk di jadikan sebagai pegangan atau untuk landasan hukum, karena tidak bisa di pungkiri lagi bahwa problematika problematika di kalangan masyarakat harus terpecahkan, maka penulis tergerak untuk membahas tentang hadis hadis yang di pandang otentik oleh para ulama.

Karena juga tidak bisa di pungkiri lagi bahwa Sahih bukhari dan Muslim merupakan salah satu kumpulan kitab hadis yang isi nya merupakan kebanyakan hadis sahih. Oleh krena dua kitab ini telah ter akui di kalangan masyarakat, maka penulis ingin menyingkap kitab lain yang mungkin kualitas nya bisa di akui di kalangan ulama kalau itu ke ontentikan ber iringan degan dua kitab tersebut.

Dan setelah penulis cari cari informasi ternyata kitab ke tiga setelah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim adalah Sunan Abu Dawud.

 

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka bisa kami rumusan masalah sebagai berikut

1.      Siapakah Imam Abu Dawud?

2.      Apa sajakah karya Imam Abu Dawud?

3.      Bagaimanakah sistematika Sunan Abu Dawud ?

4.      Bagaimanakah pendapat para ulama tentang Abu Dawud?


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Biografi Imam Abu Dawud

1.  Latar Belakang Kehidupan Abu Dawud

Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’as Bin Ishaq Al-Azdy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan pada 202 H di Sijistani.[1]Suatu kota di Basrah. Sebagai ulama Mutaqaddimin yang produktif, beliau selalu memanfaatkan waktunya untuk menuntut ilmu dan beribadah. Namun sangat disayangkan, informasi kehidupan Abu Dawud di masa kecil sangat sedikit. Sedangkan masa dewasanya banyak riwayat yang mengatakan bahwa beliau termasuk ulama Hadis yang terkenal,

Abu Dawud adalah seorang perawi hadis yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadis lalu memilih dan menuliskan 4.800, di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud.[2]

 Abu Zahwu dalam kitab nya Hadith Wal Muhaddithun mengatakan bahwa Imam Abu. Dawud merupaka Imam yang paling Faqih di antara A’imah Al-Sittah setelah Imam Bukhari. [3]

Abu Dawud terlahir di tengah keluarga yang agamis. Mengawali intelektualitasnya, ia mempelajari al-Qur’an dan literatur (bahasa) Arab serta sejumlah materi lainnya sebelum mempelajari Hadis, sebagaimana tradisi masyarakat saat itu. Dalam usianya kurang lebih dua puluh tahun, ia telah berkelana ke Baghdad.[4]

Setelah dewasa, beliau melakukan rihlah dengan intensif untuk mempelajari Hadis. Ia melakukan perjalanan ke Hijaz, Syam, Irak, Jazirah Arab dan Khurasan untuk bertemu ulama-ulama Hadis.[5] Pengembaraannya ini menunjang Abu Dawud mendapatkan  Hadis sebanyak-banyaknya untuk dijadikan referensi dalam penyusunan kitab sunannya.

Pola hidup sederhana tercermin dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dari cara berpakaiannya, yaitu salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Menurutnya, lengan yang ini (lebar) untuk membawa kitab sedang yang satunya tidak diperlukan, kalau lebar berarti pemborosan. Maka tidak heran jika banyak ulama yang semasanya atau sesudahnya memberikan gelar Zaid (mampu meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi) dan Wara’ (teguh atau tegar dalam mensikapi kehidupan).[6]

Abu Dawud berhasil meraih reputasi tinggi dalam hidupnya di basrah, setelah basrah mengalami kegersangan ilmu pasca serbuan Zarji pada tahun 257 H. gubernur basrah pada waktu itu mengunjungi Abu Dawud di Baghdad untuk meminta Abu Dawud pindah ke Basrah.

Diriwayatkan oleh al-Kahttabi dari Abdillah bin Muhammad al-Miski dari Abu Bakar bin Jabir (pembantu Abu Dawud), dia berkata: “Bahwa Amir Abu Ahmad al-Muffaq minta untuk bertemu Abu Dawud, lalu Abu Dawud bertanya: “Apa yang mendorong amir ke sini?”, Amir menjadi: “Hendaknya anda mengajarkan Sunan kepada anak-anakmu”. Yang kedua tanya Abu Dawud, Amir menjawab: “Hendaknya anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan Hadis kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum”. Abu Dawud menjawab: “Permintaan kedua tidak bisa aku kabulkan, sebab derajat manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata dalam menuntut ilmu dipandang sama”. Ibnu Jabir berkata: “Sejak itulah putera-putera khalifah menghadiri majlis ta’lim, duduk bersama orang umum dan diberi tirai pemisah.”[7]

Atas permintaan Gubernur Abu Ahmad tersebut, maka Abu Dawud pindah ke Basrah dan menetap di sana hingga wafat. Pada tahun 275 H Abu Dawud al-Sijistaniy menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 73 tahun atau tepatnya pada tanggal 16 syawal 275 H di Basrah.[8]

 

2.    Guru-guru Imam Abu Dawud

Imam Abu Dawud memiliki banyak guru di antaranya ialah :

a.       Ahmad Ibn Hanbal

b.      Al-qa’abi

c.       Abu Umar al-darir

d.      Muslim Ibn Ibrahim

e.       Abdullah Ibn Raja’

f.       Abu al-walid al-tayalisi

g.      dll

 

3.    Murid-murid Imam Abu Dawud

Seperti hal nya jumlah guru gurunya, murid murid dari Imam Abu Dawud juga banyak di antaranya :

a.    Abu ‘isa al-Tirmidhi

b.    Abu Abd Al-Rahman Al-Nasa’i

c.    Abu Bakar Ibn Abu Dawud (anak nya sendiri)

d.   Abu ‘Iwanah

e.    Abu Sa’id

f.     dll

 

            B.  Karya-karya Imam Abu Dawud

1.    Karya tulis Imam Abu Dawud Di antaranya adalah:[9]

a.    Al-Marasil, kitab ini merupakan kumpulan Hadis-hadis mursal (gugur perawinya), yang disusun secara tematik, adapun jumlah hadisnya adalah 6000 Hadis

b.   Masail al-Imam Ahmad

 

c.   Al-Naskh wa al-Mansukh

 

d.   Risalah fi Wasf Kitab al-Sunan

 

e.   Al-Zuhd

 

f.     Ijabat al-Salawat al-‘Ajjuri

 

g.    As’illah Ahmad bin Hanbal

 

h.   Tasmiyah al-Akhwan

 

i.     Qaul Adar

 

j.     Al-Ba’as wa Al-Nusyur

 

k.   Al-Masa’il allati Halaf ‘Alaihi Al-Imam Ahmad

 

l.     Dala’il Al-Ansar

 

m.  Fadha’il Al-Ansar

 

n.   Musnad Malik

 

o.   Al-Du’a

 

p.   Ibtida’ Al-Wahyi

 

q.   Al-Tafarrud fi Al-Sunan

 

r.    Akhbar Al-Khawarij

 

s.    A’lam Al-Nubuwwat

 

t.    Sunan Abu Dawud

Sedangkan menurut Abu Shuhbah dalam kitab nya Fi Rihab Al-Sunnah, Kitab-kitab karya Abu Dawud ada sembilan macam yaitu[10] :

1)      Kitab al-Sunan

2)      Kitab al-Marasil

3)      Kitab al-Qadr

4)      Al-Nasikh wa al-Mansukh

5)      Fada’il al-A’mal

6)      Kitab al-Zuhd

7)      Dalail al-Nubuwwah

8)      Ibtida’ al-Wahyu

9)      Ikhbar al-Khawarij

Dari karya-karya tersebut di atas, yang paling populer adalah kitab sunan Abu Dawud. Menurut riwayat Abu Ali bin Ahmad bin ‘Amr Al-Lu’lui Al-Basri, seorang ulama’ Hadis mengatakan: ‘Hadis telah dilunakkan Abu Dawud, sebagaimana besi telah dilunakkan Nabi Daud”. Ungkapan tersebut adalah perumpamaan bagi seorang ahli Hadis yang telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.[11]

Di kalangan kritikus Hadis, Abu Dawud mendapatkan penilaian.[12]

a.   Musa bin Harun berkata: bahwa Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadis dan di akhirat untuk surga. “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia.”

b.  Abu Halim bin Hibban menyatakan bahwa Abu Dawud adalah seorang imam dunia dalam bidang fiqh, ilmu hafalan, dan ibadah. Beliau telah mengumpulkan Hadis-hadis dan tegak mempertahankan sunnah.

c.   Al-Hakim mengatakan bahwa Abu Dawud adalah imam ahli Hadis pada zamannya, tidak ada yang menyamainya.

d.  Maslahah bin Qasim mengatakan bahwa Abu Dawud adalah seorang zahid, mempunyai ilmu pengetahuan tentang Hadis, seorang Imam pada zamannya.

           Ahmad bin Muhammad bin Yasin al-Harawi menyatakan bahwa Abu Dawud adalah salah satu orang yang hafiz dalam bidang Hadis, yang memahami Hadis beserta illat dan sanadnya, dan memiliki derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, ke-sahih-an, dan ke-wara’an

 

            C.      Kitab Sunan Abu Dawud

1.      Metode Penyusunan Kitab Sunan Abu Dawud

Kitab Sunan menurut para ahli Hadis adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh, Kitab Sunan ini hanya memuat Hadis-hadis marfu’, tidak memuat Hadis manqut atau maqtu’, sebab dua macam Hadis terakhir Hadis ini disebut sunnah, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, sejarah, dan zuhud. Sebagaimana pernyataan Al-Khatani dalam kitab al-Risalah Al-Mustatrafah: “Diantara kitab-kitab Hadis adalah kitab-kitab Sunan yaitu kitab Hadis yang disusun menurut bab-bab fiqh, mula-mula dari bab taharah, salat, zakat, dan sebagainya, dan di dalamnya tidak terdapat Hadis mauquf, karena Hadis ini tidak disebut sebagai sunnah, namun hanya disebut sebagai Hadis.[13]

Oleh karena  kitab ini datang denagan membawa kumpulan tentang bab-bab Fiqh dan hadith, maka tidak mengherankan jiaka kitab ini di jadikan oleh Fuqaha’ mesir menjadi rujukan untuk pengambilan suatu dalil dan juga di gunakan untuk memutuskan suatu hukum, sampai sampai mereka berkata : sesungguh nya sdah di cukupkan - bagi para Mujtahid (dalam berijtihad) –dengan menggunakan kitab tersebut (Sunan Abu Dawud) setelah Al-Quran oleh karena sebab inilah kitab ini sangat masyhur di kalangan para Fuqaha’ karna terkumpulnya  hadis-hadis hukum di dalam nya [14]

Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di baghdad. Minat utamanya adalah Shari’at, jadi kumpulan hadisnnya berfocus murni pada hadis tentang syariat. Setiap hadis dalam kumpulanya di periksa kesesuainya dengan Al-Quran, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.[15]

Kitab Sunan Abu Dawud di akui oleh mayoritas dunia muslim sebagai salah satu kitab hadis yang paling otentik. Namun di ketahui bahwa kitab ni mengandung beberapa hadis lemah (yang sebagian di tandai oleh Imam Abu Dawud dan sebagian tidak)[16]

Metode yang dipakai oleh Abu Dawud berbeda dengan metode yang dipakai oleh ulama-ulama sebelumnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang menyusun kitab musnad dan Imam Bukhari dan Muslim yang menyusun kitabnya dengan hanya membatasi pada Hadis-hadis yang sahih saja. Adapun Abu Dawud menyusun kitabnya dengan mengumpulkan Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum (Fiqh), dan dalam menyusunnya berdasarkan urutan bab-bab fiqh. Hadis-hadis yang berkenaan dengan fada’il al-Amal (keutamaan-keutamaan amal). Dan kisah-kisah tidak dimasukkan dalam kitabnya.

 

2.  Sistematika Penyusunan Kitab

Dalam Sunan Abu Dawud, ia membagi hadisnya dalam beberapa kitab, dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Adapun perinciannya adalah 35 kitab, 1871 bab, serta 4800 Hadis. Tetapi menurut Muhammad Muhyudin Abdul Hamid, jumlanya sebanyak 5274 Hadis. Perbedaan perhitungan tersebut tidak aneh, karena Abu Dawud sering mencantumkan sebuah Hadis di tempat yang berbeda, hal ini dilakukan karena untuk menjelaskan suatu hukum dari Hadis tersebut, dan di samping itu untuk memperbanyak jalur sanad.[17]

Adapun  sistematika  (urutan)  penulisan  Hadis  dalam Sunan  Abu

Dawud menurut Zainul Arifin dalam kitabnya Studi Hadith dengan perbandingan sistematika penyusunan dalam Maktabah al-Syamilah yang telah di tahqiq oleh Imam al-Bani adalah:[18]

 

No.

 

Judul BAB

Jumlah Bab versi

Fi Rihab                     al-Sunnah

Maktabah al-Shamilah

1.

al-Taharah

159

144

2.

al-Salat

251

259

3.

al-Istisqa’

11

12

4

Salat al-Safar

20

20

5

al-Tatawwu’

27

28

6

Shahru Ramadan

10

10

7

Sujud Al-Quran

8

8

8

al-Witr

32

32

9

al-Zakat

46

47

10

al-Luqatah

20

1

11

al-Manasik

96

99

12

al-Nikah

49

50

13

al-Talaq

50

50

14

al-Saum

81

82

15

al-Jihad

170

182

16

al-Duhaya

25

21

17

al-Said

 

4

18

al-Wasaya

17

17

19

al-Faraid

18

18

20

al-Kharaj

41

41

21

al-Janaiz

80

84

22

al-‘Aiman Wa al-Nudhur

25

32

23

al-Buyu’

90

36

24

al-Ijarah

 

56

25

al-Aqdiyah

31

31

26

al-‘Ilm

13

13

27

al-Ashribah

22

22

28

al-At’imah

54

55

29

al-Tib

24

24

30

al-‘itq

15

15

31

al-Huruf wa al-Qira’at

39

1

32

al-Hamam

2

3

33

al-Libas

45

47

34

al-Tarajjal

21

21

35

al-Khatim

8

8

36

al-Fitan

7

7

37

al-Mahdi

12

1

38

al-Malahim

18

18

39

al-Hudud

38

40

40

al-Diyat

28

32

41

al-Sunnah

29

32

42

al-Adab

169

182

 

3.Contoh Hadith Dalam kitab Sunan Abu Dawud

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِى سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِىُّ صَوْتِهِ وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ». قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُنَّ قَالَ « لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ ». قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صِيَامَ شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُ قَالَ « لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ ». قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الصَّدَقَةَ. قَالَ فَهَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ « لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ ». فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ[19] »

 

            D.  Sharh Sunan Abu Dawud

Sunan Abu Dawud memiliki banyak Sharh

1.      Sharh al-tashannif al-Mufidah, Karya al-Imam Abi Sulaiman Ahmad Bin Ibrahim Bin Khitab al-Basti, yang wafat tahun 388 H. Yang juga memiliki nama lain yaitu" معالم السنن " ini merupakan Sharh pertengahan yang di dalam nya sering di gunakan sebagai pengambilan hukum dan adab.

2.      Sharh ‘aun al-Ma’bud ‘ala Sunan Abi Dawud, karya al-Imam al-syaikh Syarful al-haq yang masyhur di panggil Muhammad Ashraf Ibn ‘aly Haidar al-Sadiqy, yang wafat pada kurun ke empat Hijriyyah , Kitab ini merupakan kitab yang menyingkap sebagian lughat dan ‘ibarat yang di pandang sulit

3.      Al-Minhal al-‘Adhbu al-Maurud Sharh Sunan Abi Dawud, karya al-‘alim al-‘Arif Billah al-Syaikh Mahmud bin Muhammad Bin Khitab al-Subki ini merupakan salah satu kita Sharh dari Sunan Abu Dawud yang memiliki pembahasan yang luas, karna dalam kitab ini di jelaskan tentan Biografi perawi hadis, Penjelasan tentang lafaz dan ma’na nya, serta penjelasan tentang pengambilan tentang beberapa  hukum dan juga msalah adab, begitu juga dan kitab ini dijelaskan tentang Mukharrij Hadith yang bersangkutan selain Abu Dawud, serta menjelaskan tentang kualitas hadis yang bersangkutan apakah itu Sahih, hasan, maupun da’if[20]

 

E.  Komentar Para Ulama tentak Imam Abu Dawud

Imam Abu Dawud adalah orang yang alim dari salah satu orang alimnya agama islam baik dari segi hafalan maupun pemahaman, begitu pula dalam masalah hadis serta illat-illat nya, al-Hafidh Musa Ibn Harun berkata “Abu Dawud di ciptakan ke dunia untuk (memperjuangkan) Hadis, dan di akhirat untuk surga, saya tidak pernah melihat orang yang lebih utama daripada dia.[21]

Imam Abu Dawud adalah imam dari Imam Imam Ahlusunnah wa Al-Jama’ah yang hidup di bashrah, kota berkembangnya kelompok Qodariyah dan pemikiran Khawarij , Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah Rafidhah, Jahmiyyah serta lain-lainya. Walaupun demikian, a tetap dalam ke-istiqamah-an di atas sunnah dan membantah Qadariyah dengan kitbnya Al-Qadar. Demikian pula bantahanya atas Khawarij dalam kitabnya Akhbar Al-Khawarij dan beliau juga berani membantah pemahaman yag menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah di sampaikan oleh Rasul Allah. Tentang hal itu bisa di lihat dalam kitabnya Al-Sunan yang di dalam nya terdapat bantahan- bantahan terhadap jahmiyyah, Murji’ah, dan Mu’tazilah.[22]

BAB III

PENUTUP

Kitab Sunan menurut para ahli Hadis adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh, Kitab Sunan ini hanya memuat Hadis-hadis marfu’, tidak memuat Hadis manqut atau maqtu’, sebab dua macam Hadis terakhir Hadis ini disebut sunnah, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, sejarah, dan zuhud. Sebagaimana pernyataan Al-Khatani dalam kitab al-Risalah Al-Mustatrafah: “Diantara kitab-kitab Hadis adalah kitab-kitab Sunan yaitu kitab Hadis yang disusun menurut bab-bab fiqh, mula-mula dari bab taharah, salat, zakat, dan sebagainya, dan di dalambya tidak terdapat Hadis mauquf, karena Hadis ini tidak disebut sebagai sunnah, namun hanya disebut sebagai Hadis.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib Muhammad ‘Ajajj, Ushul al-Hadith: ‘Ilmuhu wa Musthalahuhu(Damaskus:    Dar al-Fikri, 1975)

Azami Mustafa, Ilmu Hadis, terj., (Jakarta: Lentera, 1995) 

Ash-Shiddieqi Hasbi Teungku Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith, (Semarang: Pusaka Rieky Putra, 1998)

Dilaga M. Faith Surya, Studi Kitab Hadith, (Yogyakarta: Teras, 2003)

 

Salahuddin Agus dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith, (CV Pustaka setia, Bandung 2009)

 

Mudasir, Ilmu Hadith, (Bandung: Pusaka Setia, 1999)

 

Shuhbah Abu Muhammad Muhammad, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub Al-Sihah al-Sittah, (Kitab Digital/Pdf )

 

Zahwu Abu Muhammad muhammad, Hadith wa al-Muhaddithun, (kitab Digital, Pdf)


[1] Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Ushul al-Hadith: ‘Ilmuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikri, 1975), 320

 [2] Agus Salahuddin dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith, (CV Pustaka setia, Bandung 2009), 240

 [3] Muhammad muhammad Abu Zahwu, Hadith wa al-Muhaddithun, (kitab Digital, Pdf) ,411

[4]  Mudasir, Ilmu Hadith, (Bandung: Pusaka Setia, 1999, 110

 [5]  Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Ushul, 320

[6] Mudasir, Ilmu Hadis…, 110

[7]  Ibid

[8] Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Ushul al-Hadis…, 320

[9] Mustafa Azami, Ilmu Hadis, terj., (Jakarta: Lentera, 1995), 1429

[10] Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub Al-Sihah al-Sittah, (Kitab Digital/Pdf ), 136

[11]  Ibid., 142

[12]  M. Faith Surya Dilaga, Studi Kitab Hadith, (Yogyakarta: Teras, 2003), 88

[13]  Mustafa Azami, Ilmu Hadis, 143

[14]  Muhammad muhammad Abu Zahwu, Hadith wa al-Muhaddithun, 411

[15]  Agus Salahuddin dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith, 241

[16] Ibid.

[17]  Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieq, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pusaka Rieky Putra, 1998), 88

[18]  Zainal Arifin,Studi Hadith, (Al-Muna, Surabaya, 2010), 78

[19]   سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني – مكتبه الشاملة (1 / 150)

[20]  Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub Al-Sihah al-Sittah, 143

[21]  Ibid

[22] Agus Salahuddin dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith 242

PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang Masalah

Hadith Pada abad pertama Hijriah sampai hingga akhir abad Hijriah, hadith-hadith itu berpindah dari mulut ke mulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hapalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk membukukan hadith, karna hapalan mereka terkenal kuat. Namun demikian, upaya perubahan dari hapalan menjadi tulisan sebenarnya sudah bekembang disaat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi Khalifah ke-2 juga merencana kan meghimpun hadith-hadith Rasul dalam satu kitab.

Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar Bin Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah, seorang khalifah dari Dinasti Umaiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah Al-Rasyidun yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadith karna dia khawatir para perawi yang membendaharakan hadith didalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para penghafalnya kedalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan pemalsuan hadith yang dilakukan yang dilatar belakangi oleh perbedaan politik dan perbedaan madzhab dikalangan umat islam dan semakin luasnya daerah kekuasaan islam maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat islam[1]


    B.     Rumusan Masalah

1.  Bagaiamana Situasi Politik Islam Pada Abad ke-IV hijriah?

2.   Bagaimana kegiatan keilmuan Islam pada Abad ke-IV hijriah?

3.   Bagaimana penyusunan kitab-kitab Hadith pada Abab ke-IV hijriah?

4.  Apa saja Manhaj yang dipergunakan dalam penyusunan Kitab?

5.  Apa saja Kitab-kitab terkenal Pada Abad ke-IV hijriah?


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Situasi Politik Islam Pada Abad ke-IV Hijriah

Dunia Islam sejak awal abad ke-empat hijriyah mengalami kemunduran dalam bidang politik dan menjadi negara-negara kecil yang tersebar berserakan dan terpecah belah. Daulah Bani Umayyah di Andalusia yang dipimpin Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abdul Malik Bin Marwan pada  tahun 138 H.[2]

Persoalannya karena Daulah Bani Abbas telah lemah, Bani Fatimiyah di Afrika utara telah memerdekakan diri, Daulah Ikhshidiah di Mesir sekalipun secara de jure masih di bawah kekuasaan Bani abbas namun secara de facto telah memerdekakan diri, Daulah Bani Hamdan menguasai Mousul dan Alepo dan mereka masih mengaku berafiliasi dengan Bani Abbas.

Sementara Shi’ah Zaidiyah mendirikan negara merdeka di Yaman, Daulah Samaniyah menguasai wilayah timur, Daulah Bani Buwayhid menguasai Baghdad, dan secara umum kekuasaan Bani Abbas hanya tinggal nama belaka. Keadaan politik tidak stabil, dan keadaan yang menyedihkan itu berlangsung hingga datangnya tentara Tartar yang yang dikenal dengan pasukan yang ganas dan bengis dari daratan Cina, dan juga datangnya pasukan yang dikomandani Jengis Khan. Mereka memporak-porandakan negeri-negeri Islam dalam waktu singkat, membunuh para pembesar negara hingga menguasai Baghdad, membunuh khalifah, dan kemudian menjatuh-kan khilafah Abbasiah pada tahun 656 hijrah.

Sekalipun situasi politik keadaannya menyedihkan sebagaimana disebutkan di atas, kegiatan keilmuan tidak mengalami hambatan, bahkan kegiatan keilmuan tetap eksis. Para ulama tetap melakukan perlawatan (Rihlah) mencari ilmu dari suatu negeri ke negeri yang lain, mendengarkan kitab-kitab yang dibacakan gurunya, serta mendengarkan pengajaran-pengajaran gurunya.


B.     Kegiatan Keilmuan

Pada abad ke-empat muncul gagasan bahwa para ahli hadith dalam periwayatan hadith cukup mengkaji dari apa yang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadith karya sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa Ibnu Mandah adalah pelawat terakhir dalam pencarian hadith. Mereka juga menganggap bahwa Ibnu Yunus al-Safady (w. 347 H) adalah Imam yang hafid hadith sekalipun tidak melakukan perlawatan, sehingga para ulama hadith menganggapnya sebagai ulama hadith terbesar, mereka menghormati dan mengagungkannya. Ia lebih banyak membelanjakan hartanya kepada ahli-ahli hadith dari pada kepada ahli fiqih, ahli nahwu, dan sebagainya.[3]

Usaha periwayatan hadith memang memiliki keistimewaan (maziyah) tersendiri, karena dapat memperkuat ingatan (hafalan) para muhaddith. Diantara mereka ada yang hafal ribuan hadith beserta sanadnya, padahal sanadnya sulit dan banyak yang beragam. Mereka mengatakan bahwa Ibnu Muyassir (w. 401 H) memiliki laci yang panjangnya 87 zira’ (hasta) yang memuat permulaan-permulaan hadith yang dihafal. Qadi Mousul (w.355 H) hafal 2000 hadith. Di antara mereka ada yang beribadah dengan cara membaca hadith, seperti al-Khatib al-Baghdadi membacakan kitab Sahih Bukhari kepada Karimah binti Ahmad al-Marwazi selama lima hari. Sementara muhaddith terbesar pada abad ke-empat adalah Abu al-Hasan al-Dar Qutni dan al-Hakim al-Naisaburi, dan diantara mereka berdua kiranya al-Hakim adalah yang terbesar. Al-Hakim telah menyusun peristilahan-peristilahan hadith, baik yang sahih, hasan, maupun yang da’if, yang dijadikan pokok-pokok ilmu hadith yang diaplikasikan hingga sekarang.

Abad ketiga hijrah adalah abad keemasan penyusunan kitab-kitab hadith. Pada abad tersebut telah muncul para penghafal dan imam-imam hadith, muncul juga al-Kutub al-Sittah yang sebagian besar memuat hadith-hadith sahih. Terdapat banyak perhatian ulama-ulama hadith yang membahas isnad, sejarah perawi dan kedudukannya dalam ilmu kritik hadith (al-Jarh wa al-Ta’dil). Pada abad tersebut, mereka menyusun kitab-kitab hadith tidak menukil dari kitab-kitab yang lain akan tetapi mereka menyusun hadith berdasarkan apa yang mereka hafal dari guru-guru mereka, sehingga mereka mengetahui hadith-hadith yang nilainya tinggi dan rendah, sahih dan da’if. Sedangkan ulama hadith pada abad ke-empat dan sesudahnya tinggal membukukan (menyatukan) hadith-hadith yang terpencar dalam kitab-kitab ulama pendahulunya, meringkasnya, atau mereka hanya mengurutkan dan menertibkanya.

Ulama-ulama hadith yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, Di gelari mutaqoddmin, yang mengumpulkan hadith dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara arab, persi, dan lain-lain nya.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad ke-4. Para ulama’ pada abad ke empat ini dan seterusnya di gelari Muta’akhirin. Kebanyakan hadith yang mereka kumpulkan adalah petikan dari kitab-kitab mutaqoddimin, hanya sedikit yang di kumpul-kan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.[4]

Masa ini di sebut dengan ‘ashr al-tahdzib wa al-taqrib wa al-istidrak, wa-al-jam’i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan beberapa fariasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-kutub al-sittah, al-muwaththa’ karya Malik bin Anas, dan al-musnad karya Ahmad bin Hanbal. Para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyususn kitab-kitab yang berisi pengebangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadith.

Di antara kitab yang di susun pada periode ini adalah kitab al-mustakhraj, yaitu kitab hadith yang di susun berdasarkan penulisan kembali hadith-hadith yang terdapat dalam kitab lain kemudian penulis kitab itu mencantum kan sanad dari dirinya sendri.[5] Misal nya, kitab Mustakhraj ShahihAl-Bukhari, antara lain; kitab al-Mustakhraj karya al-isma’ili (w.371 H), kitab al-Mustakhraj karya al-Ghithrifi (w.377 H), dan kitab al-Mustakhraj karya Ibn Abi Zuhl (w.378), kitab Mustakhraj shahih Muslim antara lain al-Mustakhraj karya Abu ‘Awanah al-asfarayani (w. 316 H), al-Mustakhraj karya al-Humairy (w. 311 H), dan al-Mustakhraj karya Abu Hamid Al-Harawi (w. 355 H).[6] Demikian pula kitab al-Mustadrak, yaitu kitab yang sebagian hadith nya  disusun  dengan menyusulkan hadith-hadith yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadith yang lain. Namun, dalam menulis hadith –hadith susulan itu, penulis kitab itu mengikuti persyaratan periwayatan hadith yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut.[7] Misalnya al-Hakim al-Naysabuburi (w. 405 H), penulis kitab al-Mustarak ‘ala al-Sha-hihayn yang berisi hadith hadith yang di nilainya sahih yang tidak termuat dalam kitab Shahih bukhari dan Shahih Muslim.

Kitab-kitab al-Zawaid juga termasuk salah satu kitab katagori ini, yaitu kitab yang di susun  dengan menghimpun hadith-hadith tambahan dalam suatau kitab yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lainya.[8] Misalnya kitab Misbah al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majah karya Al-Busyari (w.840 H) yang mengandung hadith hadith yang hanya di tulis oleh Ibn Majah (w. 273 H) dalam kitab Sunan-nya, tetapi tdak terdapat dalam kitab kitab yang lain, yaitu  Shahih bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa’i.[9]

Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, Kekuatan Kekuatan dari luar islam sudah mulai menggeliat. Hal ini di buktikan dengan di kuasainya Bayt al-Maqdis di yerussalem oleh tentara Salib dan puncak nya baghdad runtuh oleh serangan jengis Khan.[10]

Pada masa ini bukan berarti tidak ada lagi ulama yang menyusun kitab-kitab hadith sahih. Di antara ulama ada yang melakukan penyusunan hadith sahih, seperti Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban (w. 354 H.), dengan karyanya Sahih Ibn Hibban. Menurut sebagian ulama, kitab sahih ini kualitasnya lebih baik dari kitab sahih karya Ibnu Majah. Berikutnya ialah Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq Ibn Huzaimah al-Sullami al-Naisaburi yang dikenal dengan sebutan Ibnu Huzaimah dengan karyanya Sahih Ibn Huzaimah, kemudian Abu Abdillah Ibn Muhammad Abdillah al-Naisaburi atau yang dikenal dengan al-Hakim al-Naisaburi (312-405 H.) dengan karyanya al-Sunan al-Kubra.[11]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


C.    Penyusunan Kitab-kitab Hadith pada Abad ke-IV Hijriah

Penyusunan kitab-kitab Hadith setelah abad ketiga hijriyah lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan (tadwin) terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-Kutub al-Sittah, Muwatta’ Malik bin Anas, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab jawami’ (mengumpulkan kitab-kitab hadith menjadi satu karya), kitab sharah (kitab komentar dan uraian), kitab mukhtasar (kitab ringkasan), mentakhrij (mengkaji sanad dan mengem-balikan kepada sumbernya), menyusun kitab atraf, dan penyusunan hadith untuk kitab-kitab tertentu.[12]

Diantara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Furrat (w.414 H), ada yang mengumpulkan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh Abd. al-Haq Ibn Abd. al-Rahman al-Asbili yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Kharrat (w. 583 H), al-Fairuz Abadiy, dan Ibn al-Asirt al-Jazari. Ulama-ulama yang mengumpulkan kitab-kitab hadith mengenai hukum diantaranya ialah al-Dar al-Qutny, al-Baihaqy, Ibn al-Daqiq al-‘Id, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi.[13]

Masa perkembangan hadith pada masa ini cukup lama, mulai abad keempat hijrah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad keenam hijrah.

Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al Muktas him. Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu Khan, Cucu dari Jengis Khan. Kegiatan para Ulama Hadith tetap berlangsung sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadith-hadith yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadith yang dihimpun pada periode ini diantaranya adalah

1.  Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah.(313 H)

2.  Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)

3.  Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)

4.   Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.

5.   Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abad Al Wahid alMaqdisi.

Setelah Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.[14]


 D.    Manhaj Yang Dipergunakan Dalam Penyusunan Kitab.

Di samping nama-nama kitab yang telah disebutkan di atas, para ulama hadith pada abad IV-VI hijriah dalam penyusunan kitab-kitab hadith menggunakan manhaj (metode) antara lain; al-Atraf ( الأَطْرافْ ), al-Ma’ajim ( الَمعَاجِمْ ), al-Mustadrakat ( الُمسْتَدْرِكِاتْ ), dan al-Musannafat ( المُصَنَّفَاْت ).

1.    al-Atraf ( الأطراف ).

Al-Atraf adalah jenis kitab-kitab yang disusun sebagai kumpulan hadith-hadith Nabi. Yang dimaksud dengan al-atraf adalah kumpulan hadith-hadith dari berbagai kitab induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadith-hadith yang diriwayatkan oleh setiap sahabat.

Penyusunnya dengan menyebutkan beberapa kata atau pengertian yang menurutnya dapat mengantarkan pemahaman kepada hadith yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya terkadang ada yang ditulis sebagian saja, dan ada juga yang ditulis lengkap. Hal ini dimaksudkan agar dapat dijadikan studi komparatif sanad dalam memperjelas seluk beluk sanad.

Sebagai contoh, bila terdapat sebuah kitab kumpulan potongan hadith-hadith dari al-Kutub al-Sittah berarti kitab tersebut mencakup hadith-hadith yang diriwayatkan oleh setiap sahabat yang tercantum dalam al-Kutub al-Sittah tersebut. Pedoman penulisannya adalah potongan matan hadith atau pengertian yang menunjukkan maksud hadith, sekalipun redaksinya tidak terdapat kesamaan. Seluruh hadith dicantumkan berikut sanad-sanadnya melalui setiap sahabat dalam al-Kutub al-Sittah. Menelusuri seluruh isi berarti telah menelusuri isi al-Kutub al-Sittah (kitab-kitab induk yang enam).

Sudah jelas bahwa kitab al-Atraf banyak membantu penelitian mengenai sanad, terutama memperjelas keterputusan, memperjelas kesamaran, dan membedakan sanad yang terlalaikan, dan manfaat-manfaat yang lain. Mengenai kegunaan di bidang matan, kitab-kitab al-Atraf kurang banyak berfungsi kecuali bila telah merujuk kitab-kitab hadith induk.

Kitab-kitab yang berjenis al-Atraf antara lain :

a.    Atraf al-Sahihain, karya al-Hafiz Imam Abu Mas’ud Ibrahim Ibn Muhammad Ibn   Ubaid al-Dimasqi (w. 400 H.).

b.      Atraf al-Sahihain, karya al-Hafiz Imam Khalf Ibn Hamdun al-Wasiti (w. 401 H.).

c.     Atraf al-Kutub al-Sittah, karya al-Hafiz Syams al-Din Abu al-Fadl Muhammad Muhammad Ibn Tahir Ibn Muhammad al-Maqdisi yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Qaysarani (w. 507 H.).

d.     al-Ishraf ‘Ala Ma’rifat al-Atraf, karya al-Hafiz Abu al-Qasim Ali Ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasqi, yang digelari dengan Siqat al-Din yang dikenal dengan sebutan Ibn Asakir (w. 571 H.) yang menghimpun bagian-bagian hadith dalam kitab Sunan al-Arba’ah.

e.  Tuhfat al-Ashraf bi Ma’rifat al-Atraf, karya al-Hafiz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn Abdirrahman al-Mizzi (w. 742 H) yang menghimpun bagian-bagian hadith dalam al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab lain yang setaraf, yaitu Muqaddimah Sahih Muslim, Marasil Abu Dawud, ‘Ilal wa al-Sama’il karya Turmuzi, ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah karya Nasa’i.[15]


2.      al-Ma’ajim ( المعاجم )

Al-Ma’ajim adalah bentuk jamak dari kata Mu’jam. Pengertian Mu’jam menurut istilah muhaddithin adalah sebuah kitab yang memuat hadith-hadith yang diurutkan berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadith, negeri-negeri hadith, atau lainnya. Pada umumnya urutan nama-nama di dalamnya berdasarkan urutan huruf mu’jam atau alfabet.

Kitab-kitab yang berjenis mu’jam antara lain, al-Mu’jam al-Kabir, karya Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H.). Kitab tersebut memuat musnad-musnad sahabat yang diurutkan sesuai dengan urutan huruf mu’jam ( kecuali musnad Abu Hurairah). Mu’jam tersebut memuat 60.000 hadith.

Ibnu Dahiyah mengatakan bahwa mu’jam tersebut adalah mu’jam terbesar di dunia, dan apabila disebutkan kata mu’jam maka yang dimaksudkan adalah mu’jam tersebut. Apabila bermaksud menyebutkan mu’jam selain mu’jam tersebut maka harus disebutkan identitas mu’jam yang dimaksudkan.

Masuk dalam katagori ini juga adalah al-Mu’jam al-Ausat, karya al-Tabarani. Dalam mu’jam tersebut ia mengurutkan nama-nama gurunya yang jumlahnya kurang lebih 2000 orang, dan mu’jam tersebut memuat 3000 hadith.(1) al-Mu’jam Saghir, karya al-Tabarani. Ia mentakhrij hadith yang dimuat dalam mu’jam tersebut dari 1000 gurunya. Ia hanya mencantumkan satu hadith dari masing-masing guru.(2) Mu’jam al-Sahabah, karya Ahmad Ibn Lal al-Hamdani (w. 398 H.).(3) Mu’jam al-Sahabah, karya Abu Ya’la Ahmad Ibn ‘Ali al-Musili ( 307 H.).


3.      al-Mustadrakat ( المستدركات ).

al-Mustadrakat adalah bentuk jamak dari al-Mustadrak. al-Mustadrak adalah menyusun kitab hadith dengan cara menyusulkan hadith-hadith yang tidak tercantum dalam suatu kitab tertentu namun dalam menuliskan hadith-hadith susulan penulis mengikuti persyaratan periwayatan hadith yang dipakai oleh kitab tersebut.

Contoh kitab yang berjenis al-Mustadrak adalah al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihain karya Abu Abdillah al-Hakim (w. 405 H.). Dalam kitab tersebut, al-Hakim menulis dan menyusun hadith-hadith yang tidak tercantum dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, namun ia mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadith yang ditentukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Jadi hadith-hadith yang terdapat dalam kitab-kitab mustadrak tidak terdapat dalam kitab asalnya.

Dalam kitab al-mustadrak ini, al-Hakim menyusun tiga kelompok hadith; Hadith-hadith shahih yang mengikuti persyaratan periwayatan Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau mengikuti persyaratan salah satu dari keduanya, yang tidak ditakhrij oleh keduanya.

Hadith-hadith shahih menurut kriterianya sendiri, sekalipun tidak mengikuti persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau tidak mengikuti persyaratan salah satu dari keduanya. Itulah hadith-hadith yang menurutnya dianggap sebagai Shahih al-Isnad. Hadith-hadith yang menurut dia tidak shahih tetapi ia terus terang memberi penjelasan ketidak shahihan hadith tersebut (al-Thahhan, 1991:102).

Menurut al-Thahhan, Al-Hakim terlalu mudah dalam membuat kriteria-kriteria keshahihan hadith, sehingga kriteria keshahihannya patut kita tinggalkan. Akan tetapi menurut pandangan al-Zahabi, ia menetapkan sebagian kriteria yang ditawarkan Al-Hakim dan menolak sebagian yang lain, sementara juga diam (tidak memberi komentar) dalam beberapa hal. Oleh karena itu hadith-hadith yang disusun Al-Hakim perlu dibahas dan diteliti ulang.


4.      al-Mushannafat ( المصنفات )

Mushannaf menurut ahli hadith adalah kitab hadith yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih, yang memuat hadith-hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dengan kata lain, musannaf adalah kitab hadith yang memuat hadith-hadith Nabi, ucapan-ucapan sahabat, fatwa tabi’in, dan kadang-kadang juga fatwa atba’ al-tabi’in yang berkaitan dengan masail fiqhiyyah.

Ada beberapa perbedaan Mushannaf dan Sunan, bahwa Mushannaf itu disusun memuat hadith-hadith marfu’, mauquf, dan maqtu’. Adapun al-Sunan disusun memuat hadith-hadith marfu’ saja. Kalaupun ada hadith selain hadith marfu’ maka jumlahnya sedikit sekali, karena hadith-hadith mauquf dan maqtu’ menurut muhaddithin tidak dinamakan sunan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut di atas maka antara mushannaf dan sunan sama. Kitab-kitab yang berjenis mushannafat antara lain ;

a. Al-Musannaf, karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin AbiSyaibahal-Kufy.

b. Al-Musannaf, karya Abu Bakar Abdul Razaqbin Hammam al-Shan’ani.

c. Al-Musannaf, karya Bahaqi al-Din bin Makhlad al-Qurthubi.

d. Al-Musannaf, karya Abu Sufyan Waki’ Ibn Al-Jarrah al-Kufy.

e. Al-Musannaf , karya Abu Salamah Hammad bin salamah al-Bashri (Al- Thahhan).[16]


E.     Kitab-kitab terkenal Pada Abad ke-IV Hijriah

1.    Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)

2.    Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)

3.    Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)

4.    Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)

5.    Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)

6.    At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)

7.    As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)

8.    Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)

9.    As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)

10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)

11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M).


BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan.

            Saat masa kholifah khurosidin, sejarah perkembangan periwayatan haditsnya itu belum begitu berkembang dan kelihatannya berusaha membatasinya, karena pada masa ini yang menjadi fokus utama para sahabat adalah pemeliharaan dan penyebarlan Al Quran, namun meskipun pada masa ini para sahabat lebih memusatkanperhatiannya itu terhadap al quran, tetapi bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadits, akan tetapi dalam meriwayatkannya itu mereka menerapkan prosudural sangat ketat dan sangat berhati-hati. `           

Dan memasuki tahun 41 H- akhir abad 1 H, wilayah isalam mengalami pertumbuhan pesat yakni menyebar ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Sehingga pada masa ini penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar), dan pada masa periode ini pun terjadi berbagai konflik politik, sehingga menjadikan banyak munculnya pemalsuan hadits, yang mana terjadi pemalsuan hadits tersebut terjadi karena kepentingan politik orang yang tak suka atas kepemerintahan yang sedang berkuasa.

Lalu ketika memasuki awal abad II H, dan ke kholifahannya di pimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, sejarah perkembangan hadits memasuki masa penulisan dan pembukuan (Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin). Dan latar belakang Kholifah umar bin abdul aziz untuk pembukuan hadits tersebut adalah karena para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzah.

Kemudian setelah memasuki awal abad III H sampai akhir abad III H, perkembangan hadits memasuki masa penyaringan seleksi ketat terhadap hadits itu sendiri. Dan pada masa periode ini muncul para tokoh ahli ilmu hadits, salah satunya seperti imam al bukhori.

Dan saat memasuki pada masa awal IV H, sampai pada masa jatuhnya wilayah Baghdad pada tahun 656 H, sejarah perkembangan hadits memasuki masa penyususnan kitab-kitab koleksi, sehingga pada periode abad ini pun munculdiantaranya kitab Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah dan At-Taqsim wa Anwa’, susunan Ibnu Hibban

Lalu yang terakhir masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umumya itu yang terjadi pada tahun 656 H dan seterusnya


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuthi.  Tarikh Khulafa’, Terj. Samson Rahman,  ( Jakarta timur : Pustaka Al-Kautsar 2012).

Solahuddin, M, Agus. Ulum al-Hadith . (Bandung : Pustaka Setia 2009).

Idri. Studi Al-Hadith . (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2010)

al-Khatib Muhammad ‘Ajjaj  al-Sunnah Qabl al-Tadwin,  (Dar al-Fikr, 1981)

al-Salih Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, ( Ttp. : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988)

 Abu Zahu Muhammad, al-Hadith wa al-Muhaddithun, ( Mesir : Matba’ah Misr, tt.),

Amin Ahmad, Zuhr al-Islam, Juz II, ( ttp. : tp., tt.),


[1]. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin, (Qahirah:Dar al-Fikr, 1981), hlm, 340

[2] Al-Suyuthi,  terjemah Tarikh Khulafa’, (jakarta timur-Pustaka Al-Kautsar 2012), 588

[3] Muhammad Muhammad Abu Zahu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, ( Mesir : Matba’ah Misr, tt.), hlm, 421

[4]Agus Solahuddin dan Agus suyadi, Ulumul hadis, (Bandung-Pustaka setia,2009 ), 45

[5]Muhyi al-Din Ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Tasyir Li ma’rifah Sunan Al-Basyir al-Nadzir,(Beirut: Dar Al-utub al’arabi, 1985 M), 112

[6] Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah  al-asanid, (Beirut :Dar al-Qu’an al-Karim, 1979 M ), 71

[7] Mahmud al-Thahan, Tasyir,72

[8] Ibid 73

[9] Ibid 74

[10] Muhammad muhammad Abu Zahw, hadits wal muhadditsun, hlm 422

[11] Ibid, hlm, 422

[12] Subhi a l-Salih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, ( Ttp. : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988), hlm, 48

[13] Ibid, hlm, 51

[14] Ibid, hlm, 67

[15] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz II, ( ttp. : tp., tt.), hlm, 46-47.

[16] Ibid, hlm, 212

10 April, 2022

Kisah-Kisah Teladan Nabi Ulul Azmi

 

Di antara semua Nabi dan Rasul Allah terdapat lima Rasul yang memiliki kelebihan istimewa yang disebut ulul azmi. Di artikel ini akan memaparkan kisah-kisah Nabi Ulul Azmi tersebut.

Manusia sebagai khalifah di bumi bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Dalam melakukan amal perbuatan, manusia tentu membutuhkan sosok-sosok yang mampu dijadikan teladan. Allah memberikan keteladanan kepada manusia-manusia pilihan yang disebut sebagai nabi dan rasul. Tentu semua nabi dan rasul Allah mencontohkan  keteladanan, lebih-lebih dalam bersabar.


Pengertian Nabi dan Rasul Ulul Azmi

Sebelum membahas kisah teladan Nabi Ulul Azmi, perlu terlebih dahulu mengetahui makna kata nabi, rasul dan ulul azmi. Menurut Al-Alusi, dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani mengatakan bahwa nabi adalah seorang yang menerima wahyu dari Allah untuk dirinya sendiri dan rasul wajib menyampaikan wahyu tersebut.

Sedangkan menurut Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf, nabi merupakan seorang yang diutus Allah untuk menyeru kepada manusia supaya mengikuti syariah yang terdahulu dan rasul memiliki kitab dan syariah tersendiri. Dari pengertian tersebut, rasul memiliki tanggung jawab yang lebih dari pada nabi.

Kata ulul azmi secara bahasa yaitu pemilik keteguhan hati.  Menurut al-Thabary istilah ini bermakna  nabi-nabi yang mempunyai kesabaran dan keuletan dalam menghadapi berbagai cobaan ketika menyampaikan amr ma’ruf nahi munkar. Mereka yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad.  Berikut adalah kisah-kisah teladan nabi ulul azmi;

 

1. Nabi Nuh

Ibnu Katsir menulis kisah-kisah nabi dalam kitabnya Qishashul Anbiya. Ia menyebut bahwa Nabi Nuh diutus kepada kaum Bani Rasib. Kaum ini termasuk kaum yang sulit diajak menyembah Allah. Mereka menyembah patung atau berhala. Nabi Nuh disebutkan memiliki umur 980 tahun dan 500 tahunnya digunakan untuk berdakwah. Sayangnya hanya sedikit kaumnya yang mau mengikuti. Anaknya Kan’an dan istrinya Wali’ah pun turut membangkang. Hingga suatu ketika Nabi Nuh diutus untuk membuat kapal, sebagai tempat penyelamatan.

Ketika membuat kapal, Nabi Nuh masih dicaci bahkan dianggap gila karena tidak mungkin ada banjir besar. Akhirnya, Nabi Nuh yang telah menahan kesabaran itu pun berdoa agar melenyapkan kaumnya. Doa itu terkabul dan seluruh kaumnya hanyut binasa ditelan banjir, termasuk anak istrinya.

 

2. Nabi Ibrahim

Ada kisah-kisah keteladanan Nabi Ibrahim dalam menjalani amr ma’ruf nahi munkar. Pertama saat mengajak kaumnya meninggalkan berhala dan meminta menyembah Allah Swt. Nabi Ibrahim menyampaikan bahasa yang santun, meskipun juga Sang ayah tidak mau mengikutinya.

Kedua, kesabaran saat mendapat perintah menyembelih anak kesayangannya, Nabi Ismail. Ia begitu patuh dan akhirnya diganti dengan domba dari surga. Ketiga keteladanan saat dibakar oleh Raja Namrud. Nabi Ibrahim dengan kesabaranya mampu bertahan di tengah kobaran api, dan api itu pun terasa dingin.

 

3. Nabi Musa

Kisah keteladanan Nabi Musa berawal dari saat masih lahir di era kepemimpinan Raja Firaun yang kejam. Atas dasar ramalan bahwa akan lahir bayi laki-laki yang kelak akan menumbangkan Sang Raja, Firaun menyuruh untuk membinasakan bayi laki-laki yang lahir saat itu. Ibu Musa, Yukabad tidak ingin bayinya dibunuh, sehingga ia menghanyutkannya di sungai Nil.

Kemudian Musa ditemukan oleh keluarga Firaun. Bahkan atas permintaan  istrinya, Firaun mencari wanita untuk menyusui anak temuan itu.  Allah menyelematkan anak itu dan kembali di persusuan Yukabad.

Musa kemudian tumbuh cerdas dan tekun berdakwah. Ia selalu berhadapan dengan para penyihir istana dan selalu ada mu’jizat yang menyertainya. Hingga akhir dari perjuangan Nabi Musa adalah menyebrang di laut merah. Dan pasukan Firaun binasa.

 

4. Nabi Isa

Kisah Nabi Isa Diangkat ke Langit

Kelahiran Nabi Isa mengajarkan bahwa jika Allah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin. Kisah-kisah ketedalanan Nabi Isa bermula saat lahir dari seorang yang masih suci bernama Maryam. Maryam yang penuh kesabaran dan keikhlasan merawat Nabi Isa dimudahkan Allah atas segala perlakuan masyarakat kepadanya.

Hingga muncul berbagai kemukjizatan dan berhasil merawat Nabi Isa hingga dewasa. Kemudian Nabi Isa diangkat menjadi Nabi pada umur 30 tahun kepada Bani Israil. Namun cobaan terus berdatangan. Saat itu ada salah satu pengikutnya yang berkhianat, namanya Yahuza. Sewaktu Nabi Isa bersembunyi dari serangan musuh, Yahuza melaporkan tempat tersebut dan berbalik menyerang Nabi Isa.

Akhirnya ketika Nabi Isa hendak ditangkap dan disalib oleh pasukan musuh, wajah Yahuza berubah mirip dengan Nabi Isa dan terbunuh di persaliban.

 

5. Nabi Muhammad

Cerita keteladanan Nabi Muhammad sangatlah banyak. Karena perilakunya merupakan perilaku yang agung, seperti ayat wa innaka la’ala khuluqin adhim.  Salah satu kisahnya yang penuh kesabaran yaitu saat bersama nenek pembenci Muhammad.

Suatu ketika nenek yang penuh dengan kepayahan dan lemah karena memikul beban berat, dibantu oleh Nabi Muhammad. Nenek itu pun senang hati menyambutnya. Namun, sepanjang perjalanan sang Nenek itu selalu memeperingati pemuda yang membantunya, agar menjauhi sosok yang bernama Muhammad.

Nabi Muhammad terus mendengarkan ocehan Nenek itu dan tidak marah. Hingga akhirnya di penghujung jalan, Sang Nenek menanyakan nama pemuda yang membantunya itu. Ia pun menjawab ‘’Muhammad’’. Akhirnya Nenek itu masuk agama Islam.

Di atas tadi contoh kisah-kisah keteladanan Nabi Ulul Azmi yang penuh kesabaran. Semoga kita semua bisa meneladani kesabaran dan kebaikannya dengan tindakan nyata.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Kisah Nabi Muhammad SAW Dari Lahir Sampai Wafat

 

Siapa yang tahu tentang sejarah Nabi Muhammad SAW? Nabi Muhammad SAW adalah tokoh penting dalam sejarah agama Islam. Hingga saat ini umatnya di seluruh penjuru dunia mengagumi kisah nabi Muhammad SAW. Beliau adalah suri tauladan bagi umat muslim hingga saat ini dan hari akhir nanti.

Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup, penyempurna ajaran Allah SWT yang telah disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya. Ssebagai nabi terakhir, perjalanan Nabi Muhammad tak lepas dari upaya menyeru seluruh umat manusia agar beribadah kepada Allah SWT dan menunjukkan mereka jalan yang lurus dalam urusan dunia maupun akhirat.

Seperti nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu dan mukjizat yang luar biasa dari Allah SWT. Dan itu adalah kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman bagi umat muslim.

Selain wahyu dan mukjizat, kisah Nabi Muhammad SAW yang lain juga tidak kalah menarik untuk disimak. Mulai dari kelahiran beliau, hingga kisah meninggalnya kekasih dan utusan mulia Allah SWT ini. Berikut ini kisah Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan hikmah dan semoga dapat menjadi contoh dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Rasulullah SAW lahir pada Tahun Gajah yaitu tahun dimana pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah Habasyah ingin merobohkan Ka’bah yang diperkirakan terjadi pada 12 Rabiul Awal. Dengan kebesaran-Nya, Allah SWT menghentikan pasukan tersebut dengan mengirimkan burung-burung ababil untuk menjatuhkan batu-batu yang membawa wabah penyakit. Kisah Nabi Muhammad ini terdapat di Al-Quran, Surat Al Fil yang artinya pasukan gajah.

Di tahun inilah, Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah dan dibesarkan sebagai anak yatim karena Abdullah, ayah Nabi Muhammad, wafat sebelum Rasulullah SAW lahir. Beberapa tahun setelah menghabiskan waktu dengan ibunya, Aminah, Nabi Muhammad SAW kemudian dibesarkan oleh kakeknya yaitu Abdul Muthalib.

Sayangnya, umur kakeknya pun juga hanya sebentar. Setelah dua tahun dibesarkan oleh kakeknya, Abdul Mutholib meninggal pada umur Rasul yang kedelapan dan Nabi diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Abu Thalib dikenal dengan orang yang dermawan walaupun hidupnya fakir atau tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Hanya dengan keadaan tersebut, Nabi Muhammad SAW dapat berkembang dan tumbuh dengan pamannya.

 

Nabi Muhammad SAW Mendapatkan Wahyu Pertama

Sebelum menjadi seorang Rasul, Nabi Muhammad telah mendapatkan beberapa karunia istimewa dari Allah seperti wajahnya yang bersih dan bersinar yang mengalahkan sinar bulan, tumbuh suburnya daerah tempat Halimah (ibu yang menyusui Nabi) padahal tadinya gersang dan kering, dan lain sebagainya. Itulah tanda-tanda kebesaran Allah yang menandakan akan datangnya nabi yang terakhir yang memiliki kedudukan yang tertinggi nantinya.

Pada saat Rasul ingin mendapatkan wahyu pertamanya, Rasul mendapatkan sebuah mimpi Malaikat Jibril menghampirinya. Rasul pun menyendiri di Gua Hira tepatnya di sebelah atas Jabal Nur. Disitulah Rasul diperlihatkan bahwa mimpinya adalah benar.

Malaikat Jibril pun datang kepada Rasul dan turunlah wahyu yang pertama yang ia bawakan dari Allah SWT dalam Surat Al ‘Alaq yang artinya,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq, 1-4)

Walaupun Nabi merasa ketakutan, disitulah kisah Nabi Muhammad sebagai rasul dimulai. Disitulah tempat datangnya Nabi yang terakhir yang akan membawa kedamaian untuk seluruh umat.

 

Berdakwah secara Rahasia

Setelah mendapatkan wahyu yang pertama, Nabi kemudian melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Adapun orang-orang yang menjadi pengikut pertamanya adalah Khadijah, Abu Bakar Al-Shiddiq dan Zaid bin Haritsah, Ummu Aiman, Ali bin Abu Thalib, dan Bilal bin Rabah.

 

Allah Memerintahkan Dakwah secara Terang-Terangan

Setelah beberapa tahun melakukan dakwah secara diam-diam, turunlah perintah Allah SWT dalam surat al-hijr ayat 94 dan memerintahkan Nabi untuk berdakwah secara terang-terangan.

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

Artinya:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”

 

Perintah Berzakat di Zaman Rasulullah

Pada zaman Rasulullah SAW di tahun pertama di Madinah itu, Nabi dan para sahabatnya beserta segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Mekah ke Madinah) masih dihadapkan kepada bagaimana menjalankan usaha penghidupan di tempat baru tersebut.  Hal ini dikarenakan, selain memang tidak semua di antara mereka orang yang berkecukupan, kecuali Usman bin Affan, semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki juga ditinggal di Mekah.

Saat kondisi kaum Muslimin sudah mulai sejahtera, tepatnya pada tahun kedua Hijriyah, barulah kewajiban zakat diberlakukan. Nabi Muhammad SAW langsung mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadli di Yaman. Rasul pun memberikan nasihat kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli kitab beberapa hal, termasuk menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan,

“Sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda mereka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka,”

sebagai kepala negara saat itu, ucapan Rasul langsung ditaati oleh seluruh umat muslim tanpa ada perlawanan.

Harta benda yang dizakati di zaman Rasulullah SAW yakni, binatang ternak seperti kambing, sapi, unta, kemudian barang berharga seperti emas dan perak, selanjutnya tumbuh-tumbuhan seperti syair (jelai), gandum, anggur kering (kismis), serta kurma. Namun kemudian, berkembang jenisnya sejalan dengan sifat perkembangan pada harta atau sifat penerimaan untuk diperkembangkan pada harta itu sendiri, yang dinamakan “illat”. Berdasarkan “Illat” itulah ditetapkan hukum zakat.

Prinsip zakat yang diajarkan Rasulullah SAW adalah mengajarkan berbagi dan kepedulian, oleh sebab itu zakat harus mampu menumbuhkan rasa empati serta saling mendukung terhadap sesama muslim. Dengan kata lain, zakat harus mampu mengubah kehidupan masyarakat, khususnya umat muslim.

 

Kurban di Zaman Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW melaksanakan kurban saat melakukan haji Wada di Mina. Pada saat itu Rasulullah SAW menyembelih 100 ekor unta. Beliau menyembelih sendiri sebanyak 63 ekor unta, sementara sisanya disembelih oleh Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah. Seluruh hewan kurban tersebut disembelih setelah Shalat Idul Adha (QS. Al-Hajj [22]: 36).

Dalam surah Al-Hajj [22] ayat 36 tersebut dijelaskan tentang jenis hewan yang dijadikan kurban, tujuan dari berkurban, cara menyembelih hewan kurban, waktu memakan daging kurban, dan orang-orang yang dapat memakan daging kurban.

 

Peristiwa Isra Mi’raj

Pada tahun kesebelas era Nabi Muhammad SAW terjadi peristiwa yang menyedihkan. Tahun ini sering disebut dengan tahun kesedihan karena pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah wafat pada tahun tersebut.

Setelah peristiwa tersebut, Allah kemudian mengutus Malaikat Jibril untuk mendampingi Rasul dalam melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang disebut dengan Isra yang dimana setelah itu Rasulullah melakukan perjalanan kembali dari Masjidil Aqsa ke langit ke tujuh yang disebut sebagai Mi’raj. Disitulah, Rasulullah mendapatkan perintah sholat 5 waktu yang wajib dikerjakan seluruh umat Islam.

Selain itu ada beberapa hal yang perlu sahabat telisik lebih dalam kisah Nabi Muhammad Dibalik Peristiwa Isra Miraj yang Jarang Diketahui.

 

Mukjizat Nabi Muhammad

1. Turunnya Al-Quran

Turunnya Al-Quran saat Nabi Muhammad sedang menyendiri di Goa Hira adalah mukjizat terbesar dan kekal. Mengutip dari Huzaemah Tahido Yanggo selaku Rektor IIQ Jakarta, Al-Qur’an bukan saja untuk mematahkan segala bantahan dan argumen kaum musyrikin kepada kebenaran wahyu yang dibawah Rasulullah Muhammad Saw, tetapi ia juga ditujukan kepada seluruh umat manusia.

2. Membelah Bulan

Rasululllah menerima mukjizat ini saat orang-orang kafir menentang dirinya. Untuk menunjukkan kenabiannya, Rasulullah membelah bulan di depan mereka semua.

3. Menyembuhkan Sakit Mata

Sebelum menaklukan Benteng Khaibar, Ali bin Abi Thalib yang menjadi pemegang bendera mengalami sakit mata. Nabi Muhammad menyembuhkan mata Ali dengan meludahinya. Atas izin Allah, Ali dapat melihat dengan jernih.

 

Wafatnya Nabi Muhammad SAW

Pada saat sahabat Abu Bakar sedang tidak di Madinah, terjadi sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan dimana Nabi Muhammad SAW wafat. Pada saat Abu Bakar diberitahu, beliau segera datang ke rumah Aisyah. Beliau mengucapkan,

“Ketahuilah, barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad kini telah mati, dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tetap senantiasa hidup tidak akan pernah mati.”

Kemudian beliau membacakan firman Allah SWT,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

Artinya:

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar: 30)

 

Siapa Sahabat Nabi Muhammad yang Dermawan?

Sahabat adalah seseorang yang menjadi tempat aman untuk berbagi suka dan duka. Definisi sahabat bagi Nabi Muhammad adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan Islam.

Sahabat nabi adalah orang-orang berprestasi untuk urusan dunia dan akhirat. Mereka terus menebar kebaikan dan pengorbanan sampai akhir hayatnya. Hal ini terlihat dari minat para sahabat untuk bidang filantropi atau wakaf sosial. Begini kisahnya!

1. Abu Bakar As-Shidiq

Di mana ada Nabi Muhammad, di situ ada Abu Bakar. Mereka bersahabat bukan hanya untuk senang-senang, akan tetapi juga membuat kolaborasi apik untuk wakaf. Dalam kisah Nabi Muhammad semasa, beliau pernah mendapatkan hibah berupa tanah yang merupakan milik anak yatim dari Bani Najjar.

Melansir dari Tabung Wakaf, hibah tersebut Rasulullah tolak karena Rasulullah tidak mungkin mengambil hak anak yatim begitu saja. Beliau memutuskan untuk membelinya saja dengan harga 10 Dinar, lalu Abu Bakar As-Shidiq yang membayarnya.

Tanah wakaf tersebut digunakan untuk perluasan Masjidil Haram. Ekspansi dilakukan karena jumlah muslim semakin bertambah hingga masjid diperluas menjadi 50×50 meter. Dalam sejarah, bukan hanya kolaborasi Nabi Muhammad dan Abu Bakar untuk wakaf tanah perluasan masjid, tetapi juga saudagar kaya raya Abdurrahman bin Auf.

 

2. Umar bin Khattab

Umar bin Khattab tampak luar merupakan sosok tegas dan tegar, namun lembut di dalam hatinya. Ia mewakafkan tanah di khaibar untuk disulap menjadi kebun kurma produktif pada tahun ke 7 hijriyah. Walaupun ia menyukai tanah tersebut, tanpa berat hati ia mewakafkan tanahnya dan hasil kebun ia sedekahkan kepada fakir miskin, hamba sahaya, fisabilillah, atau orang-orang yang membutuhkan.

 

3. Utsman bin Affan

Utsman bin Affan adalah sahabat nabi yang terkenal dermawan dan senang berbagi. Selain berjasa dalam membentuk mushaf yang rapi, ia gemar membuat kebaikan berkelanjutan, seperti wakaf sumur yang masih hidup hingga sekarang. Awal mulanya, ia melakukan wakaf sumur saat Madinah mengalami musim panceklik.

Saat kota sedang kesulitan air bersih, satu-satunya sumber air yang tersisa dimiliki oleh seorang Yahudi, yaitu sumur Raumah. Rasa air dari sumur tersebut mirip dengan air zamzam yang ada di Mekkah.

Masyarakat pun rela antri untuk membeli air bersih dari yahudi. Melihat kondisi tersebut, Rasulullah bersabda:

“Wahai Sahabatku, siapa saja di antara kalian yang menyumbang kan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapatkan surgaNya Ta’ala” (HR. Muslim).

Usman segera menemui pemilik sumur untuk berbicara dan tawar menawar. Awalnya, yahudi enggan untuk menjual sumur karena asset tersebut merupakan mata pencariannya. Supaya empu sumur tetap hidup berkecukupan, Utsman pun menawar untuk membeli setengah sumur.

Sang Yahudi pun sepakat. Akan tetapi, karena kebutuhan yang tinggi, Utsman pun menawar lagi untuk membeli seluruh sumur. Atas kesepakatan harga, yahudi pun setuju untuk menjual seluruh sumurnya. Semua orang dapat menggunakan air secara gratis, termasuk Yahudi sebagai sang empu sumur.

Lingkungan di Sekitar Sumur Tumbuh Subur

Kehadiran sumur menjadi berkah bagi seluruh masyarakat karena air melimpah ruah. Lingkungan di sekitar sumur juga ditumbuhi 1.500 pohon kurma yang hasilnya layak dijual ke pasar. Sampai sekarang, hasil dari kebun kurma dikelola dan diawasi oleh Departemen Pertanian Arab Saudi.

Sebagian dari keuntungan digunakan untuk membiayai anak-anak yatim atau fakir miskin. Lalu, sebagian disimpan di rekening khusus atas nama Utsman bin Affan. Saking melimpah, surplus digunakan untuk membeli tanah di kawasan elite untuk membangun hotel pariwisata di dekat Masjid Nabawi.

 

4. Ali bin Abi Thalib

Sahabat adalah sosok yang hadir saat suka dan duka. Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi Muhammad yang belajar tentang islam sejak usia dini. Salah satu bentuk pengorbanannya yaitu Ali menyamar menjadi Nabi Muhammad dengan tidur di atas tempat tidurnya saat Rasulullah hijrah.

Saat kaum kafir Quraisy ingin menyerang, ternyata mereka menemukan Ali yang berada di tempat tidur. Sontak, para penyerang merasa sia-sia menunggu semalaman untuk membunuh Nabi Muhammad. Mereka pun meninggalkan Ali yang juga kaget melihat para pemberontak.

Supaya tidak ketahuan, Ali menyusul hijrah ke Madinah sendirian selang tiga hari pasca penyerangan. Ia bersembunyi pada siang hari, lalu melanjutkan perjalanan pada malam hari. Itu adalah bentuk kesetiaan Ali terhadap Rasulullah.

 

5. Talhah bin Ubaidillah

Semasa hidupnya, Nabi Muhammad dikelilingi oleh sahabat yag dermawan, seperti Talhah bin Ubaidillah. Ia mewakafkan harta berupa kebun miliknya sendiri. Kalau beliau terlalu memikirkan duniawi, ia bisa saja menjual kebun Bairuha dengan harga sangat mahal. Akan tetapi, Abu Thalhah bukanlah sosok tamak.

Ia tanpa ragu berwakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam. Ia memutuskan utnuk berwakaf saat mendengar ayat dari surat Ali Imron ayat 92:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

Ayat ini memacu motivasinya untuk menjemput kehidupan akhirat yang bahagia. Maka dari itu, ia tidak ragu berwakaf atas nama Allah dan Rasulullah SAW.

Jika punya sahabat yang baik, jangan dijauhi, tapi dekati. Karena pasti ia memiliki petunjuk baik untuk kita.

Itulah ringkasan cerita kehidupan Nabi Muhammad yang wajib kita ketahui, terutama kita sebagai umat muslim. Semoga dengan mengetahui Rasulullah SAW ini kita dapat belajar lagi dan menjadikannya sebagai pedoman hidup kita, salah satunya ketika berzakat.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Cara Menghitung Zakat Mal

 

Pengertian zakat mal yaitu zakat yang dikeluarkan dari hasil barang yang dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, atau dikuasai. Pengertian mal sendiri menurut bahasa yaitu harta yang dimiliki oleh manusia. Nah, amil yang menerima dana zakat mal akan menyalurkan kepada 8 golongan yang berhak menerima zakat.

Allah swt mewajibkan kita mengeluarkan zakat mal apabila syarat wajibnya telah terpenuhi. Zakat mal -zakat selain zakat fitrah- pada dasarnya terdiri dari berbagai macam jenis zakat. Masing-masing memiliki ketentuan yang berbeda-beda. Adapun macam-macam zakat mal antara lain: zakat emas, perak dan sejenisnya, zakat pertanian dan perkebunan, zakat perniagaan, zakat peternakan serta zakat pertambangan. Termasuk juga zakat penghasilan.

Hanya saja, untuk konteks indonesia, istilah zakat mal identik dengan zakat harta kekayaan berupa tabungan, uang, perdagangan atau pun emas dan perak.

Untuk zakat emas, perak, uang dan perdagangan, nishabnya adalah senilai dengan 85 gram emas. Emas yang menjadi standar adalah emas murni. Sedangkan nilai zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen.

Sebagai ilustrasi, misalnya bapak A memiliki uang atau emas senilai 80 juta. Ia juga memiliki aset lancar perniagaan senilai 20 juta. Jadi, total kekayaan yang sejenis nilainya adalah : 100 juta. Ini artinya, harta tersebut telah mencapai nishab 85 gram emas.

Cara menghitung zakatnya Rp100.000.000 x 2,5 % = 2. 500.000 rupiah.

 

1.         Cara Menghitung Zakat Mal

Untuk zakat mal, baik perdagangan, peternakan, emas, perak, surat berharga dan tabungan, dikeluarkan sekali setiap tahun. Berbeda dengan zakat pertanian, dikeluarkan setiap kali panen dan mencapai nishab (653 kg beras).

Adapun unsur-unsur yang perlu dihitung dalam zakat mal adalah: jumlah uang yang dimiliki, emas atau perak, tabungan, surat berharga, piutang serta asset yang diperjual belikan (bila ada). Harta sejenis, dalam penghitungan nishabnya diakumulasikan menjadi satu. misalnya; emas, harta perniagaan, surat hutang, tabungan dan sejenisnya dihitung menjadi satu. Begitu pula pertanian yang sejenis dan panen dalam waktu berdekatan dihitung menjadi satu untuk memenuhi nishab. misalnya, beras ketan dan beras biasa, penghitungan pencapaian nishabnya menjadi satu. begitu pula sapi dan kerbau.

Adapun terkait dengan menghitung zakat mal, apabila nilai akumulasi kekayaan wajib (emas, tabungan, surat berharga dan tabungan) mencapai 85 gram emas atau senilai dengannya, dikeluarkan zakatnya 2,5 persen.

 

2.         Cara Menghitung Zakat Penghasilan atau Zakat Profesi (al-mal al-mustafad)

Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, sejenisnya.

Dalam terminologi klasik, jenis imbalan seperti ini disebut dengan u’thiyat. Pada perkembangannya, para pekerja dan pemilik keahlian ini justru memperoleh upah atau pendapatan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bertani, beternak, atau berdagang. Oleh karena itu, sangat tepat jika zakat diwajibkan kepada para pekerja yang mendapat upah dan gaji sebagaimana diwajibkan kepada petani dan pedagang. Dalam Q.S Al Baqarah: 267, Allah SWT mengisyaratkan bahwa zakat dikenakan kepada apa yang diusahakan (Al Kasbu).

Pendapat terkait zakat penghasilan ini dijelaskan juga oleh beberapa ulama di antaranya: Syekh Wahbah az-Zuhaili di dalam al-Fiqh al-Islami, Syekh Yusuf al-Qardawi di dalam Fiqhuz Zakah, Syekh Abdurrahman al-Juzairi di dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dan yang lainnya.

·           Ketentuan dan Tata Cara Perhitungan Zakat Profesi

Secara garis besar, terdapat tiga pendekatan: (1) dianalogikan zakat emas dan perak, (2) dianalogikan zakat pertanian, dan (3) dianalogikan pada dua hal sekaligus (qiyas syabah).

Kementrian Agama RI telah menetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No 31 tahun 2019 bahwa;

1. Nisab zakat penghasilan senilai 85 gram emas

2. Kadar zakat pendapatan dan jasa 2,5%

Ditunaikan pada saat penghasilan diterima (Q.S Al An’am: 141), dengan ketentuan harga emas terbaru.

Misalnya, harga emas per 11 Mei 2020 adalah Rp. 900.000., maka nishab zakat profesi Rp. 76.500.000., pertahun atau Rp. 6.375.000., perbulan. Sehingga bagi orang muslim yang memiliki penghasilan atau upah ( take home pay) lebih dari Rp. 6.375.000., perbulan, ia sudah wajib zakat penghasilan.

 

3.         Cara Menghitung Zakat Perniagaan (Tijarah)

Zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan dari harta niaga. Sedangkan harta niaga adalah harta atau aset yang diperjualbelikan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian maka dalam harta niaga harus ada 2 motivasi:

1. Motivasi untuk berbisnis (diperjualbelikan) dan

2. Motivasi mendapatkan keuntungan

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Al Baqarah: 267)

Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Artinya:

“Dari Samurah bin Jundub Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla memerintahkan kami untu mengeluarkan sedekah (zakat) dari barang yang kami sediakan untuk perniagaan.” (HR. Abu Daud no. 1587, Baihaqi 4/141-147)

Perhitungan Zakat Perniagaan:

Modal diputar + keuntungan + piutang) – (hutang Jatuh tempo) x 2,5% = Zakat

 

4.         Cara Hitung Zakat An’am (Ternak)

Dalil yang menunjukkan adanya kewajiban zakat binatang ternak adalah hadis Nabi riwayat al-Bukhari dari Abī Żar, sebagai berikut:

مامن رجل تكون له ابل أوبقرأوغنم لا يؤ دّى حقّهاإلاّأوتي بهايوم القيامة اعظم ماتكون وأسمنه تطؤه بأخفافهاتنطحه بقرونها كلمّاجازت أخراهاردّت عليه اولاهاحتّى يقض بين النّاس(H.R Bukhari)

 

Dari hadis tersebut di atas, jumhur ulama sepakat bahwa binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah unta, sapi, kerbau dan kambing (dan sejenisnya).

 

·           Ketentuan Zakat An’am

Harta (hewan ternak) yang akan dizakati adalah 100% milik sendiri, bukan hasil utang atau ada hak orang lain dialamnya.

Mencapai haul. Hewan ternak baru boleh dibayar zakatnya jika masa kepemilikan sudah mencapai haul (satu tahun).

Dirawat dan digembalakan. Maksudnya sengaja diurus sepanjang tahun untuk memperoleh susu, daging, dan hasil pengembangbiakannya.

Hewan tidak dipakai untuk membajak sawah, mengangkut barang, atau menarik gerobak. Ketentuan ini tertuang dalam sabda Rasul SAW yang artinya:

“Tidaklah ada zakat untuk sapi yang digunakan bekerja.” (HR Abu Daud dan Daruqutni)

 

·           Nishab dan Kadar

Ø  Kambing, Biri-Biri dan Domba

a. Nisab 40 – 120 ekor, haul 1 tahun, kadar zakat 1 ekor umur 1 tahun

b. Nisab 121- 200 ekor, haul 1 tahun, kadar zakat 2 ekor

selanjutnya tiap tambahan 100 ekor, kadar zakatnya tambah 1 ekor umur 1 tahun.

 

Ø  Sapi dan Kerbau

a. Nisab 30 ekor, haul 1 tahun, kadar zakat, 1 ekor umur 1 tahun

b. Nisab 40 ekor, haul 1 tahun, kadar zakat, 1 ekor umur 2 tahun

selanjutnya setiap bertambah 30 ekor zakatnya bertambah 1 ekor umur 1 tahun dan setiap bertambah 40 ekor, zakatnya tambah 1 ekor umur 2 tahun.

Sedangkan ternak lainnya seperti ayam, bebek, burung, ikan, dan lainnya tidak ditetapkan berdasarkan jumlah (ekor) namun skala usaha.

 

5.         Cara Hitung Zakat Saham

Zakat saham ditetapkan berdasarkan kesepakatan para ulama pada Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H) bahwa hasil dari keuntungan investasi saham wajib dikeluarkan zakatnya.

·           Azas Pendekatan Zakat Saham

Ø  Nishab zakat saham diqiyaskan dengan zakat maal/tijarah, yaitu senilai 85 gram emas.

Ø  Haul zakat saham dihitung per annual report

Ø  Zakat kepemilikan saham awal/ pra initial public offering (IPO) masih disatukan dengan zakat maal lain yang dimiliki oleh muzakki pada haul periode tertentu

Ø  Saham yang dimiliki dihitung atas dasar ” book value” ditambah nilai deviden

Ø  Saham yang dijual (divestasi) dihitung berdasarkan ” intrinsic value ” dikeluarkan pada periode transaksi.

Ø  Cara menghitung zakat zaham pun sama dengan cara menghitung zakat maal yaitu menggunakan rumus sebagai berikut:

2,5% x Jumlah harta yang tersimpan selama 1 tahun (nilai saham + deviden)


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...