HOME

24 Maret, 2022

Realitas Kisah Dalam Al-Qur'an

 

Secara dogmatis, kisah dalam al-Quran adalah suatu kisah yang benar, dan periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allahlah yang menceritakan kisah itu dan benar-benar menyaksikan. Ia juga telah mentakdirkan, peristiwa-peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan, kehendak  takdir-Nya. Sebagaimana firman Allah, bahwa kisah itu tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan keraguan[1]. Disamping kisah dalam al-Quran adalah benar, Allah memberikan penilaian juga sebagai kisah terbaik[2]. Walaupun kisah dalam al-Quran disebut sebagai kisah yang pasti benar dan terbaik, Allah juga menyuruh kita untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa atas kisah-kisah, Allah juga menyuruh kita untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa atas kisah-kisah al-Quran[3]. Lebih lanjut menurut M. Baqir Ash Shadr, bahwa al-Quran mendesak manusia agar secara tuntas memeriksa peristiwa-peristiwa sejarah dan merenungkannya, agar menemukan hukum alam dan kecenderungan-kecenderungan serta norma-norma sejarah[4]. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali, bahwa kisah dalam al-Quran pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya pendidikan psikologi tetapi juga aspek rasio. Rasio manusia terbatas dari berbagai bentuk keterpasungan warisan lama yang menyesatkan. Oleh karena itu, memahami kisah dalam al-Quran perlu penelitian lebih dalam.[5]

Dengan demikian sebenarnya kisah-kisah al-Quran sangat realistis, asal saja mampu menempatkan pendekatan yang sesuai untuk memahami kisah antara logika perasaan yang menguasai kisah itu dan logika fikiran dalam memilih peristiwa-peristiwa dan pengurutannya. Berkaitan dengan hal ini, menurut Shalah al Khalidy bahwa rasionalitas Islam adalah Rasionalitas Ilmiah Ghaibiyah bukan Rasionalitas Materialistik yang mengingkari adanya yang gaib. Seorang muslim sejati adalah orang yang beriman bahwa al-Quran adalah Kalamullah dan suci dari pemberian artistik yang tidak memperhatikan sejarah. Kisah Qurani tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian kata-kata indah dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.[6]

Lebih lanjut, untuk menghindari kesalahpahaman memahami kisah dalam al-Quran berikut akan penulis uraikan beberapa prinsip sebagai manhaj untuk mencermati kisah dalam al-Quran. Dalam hal ini, penulis mengutip pendapat Shalah Al Khalidy, pertama, ia termasuk gaib dimasa lampau, kedua, kita tidak hadir ditengah-tengah mereka, ketiga, tidak mengetahui mereka kecuali Allah, keempat, janganlah kita menanyakan tentang orang-orang terdahulu kepada seorangpun kepada ahli kitab, kelima, jangan kita mengikuti apa yang kita tidak mengetahui pengetahuan tentangnya, keenam, jika datang kepada kita seorang fasik membawa berita maka kita harus memeriksa dulu[7].

Bukti sejarah yang dapat kita lihat sampai sekarang dan masih tetap eksis adalah adalah baitullah Ka’bah serta runtutan ritual ibadah Haji yang dilaksanakan di Mekkah, yang kebanyakan diambil dari kisah nabi Ibrahim dan keluarganya. Selain itu, sudah banyak video-video yang memperlihatakan kepada kita peninggalan dari para Nabi terdahulu, seperti penayangan “Jejak Rosul” yang dapat kita saksikan di setiap bulan Ramadhan, serta bukti-bukti arkeolog lain yang telah banyak ditemukan.[8]

Fakta lain, Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang di identifikasikan sebagai bangsa ‘Ad dalam kisah al-Quran, al-Mu’tafikat yang di identifikasikan sebagai kota-kota palin, Sodom dan Gomorah yang merupakan kota-kota wilayah Nabi Luth. Kemudian berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Fir’aun yang dikisahkan dalam al-Quran. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk di deteksi sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj  dan kisah Ratu Saba.[9]


Baca artikel lain yang berkaitan;


[1] Lihat Surat Ali Imran :62

[2] Lihat Surat Yusuf : 10

[3] Lihat Surat Muhammad : 10

[4] M. Baqir Ash Shadr, Trends of History in Quran, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), 87.

[5] Syeikh Muhammad Al Ghazali, Kayfa Nata’amal Ma’al Quran, (Bandung: Mizan, 1996),  68.

[6]Shalah Al Khalidy, Ma’a his Sabiqiin fil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 36-40.

[7]Ibid, 41-46

[8] M. Baqir Ash Shadr, Trends of History in Quran, 93.

Shadr(al), M. Baqir. Trends of History in Quran. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.

[9] Ibid, 94.

Perbedaan Kisah Dalam Al Qur'an Dengan Yang Lainnya

Kisah-kisah al-Quran memiliki karakteristik yang berbeda dengan kisah atau cerita pada umumnya. Karena  kisah yang dituturkan dalam al-Quran secara kualitatif memiliki keunggulan dan karakter yang paling bagus dibandingkan dengan cerita-cerita yang muncul dikalangan manusia secara umum. Di antara karakteristik dan keistimewaan kisah dalam al-Quran adalah[1]:

1. Kisah-kisah al-Quran berupa peristiwa nyata yang benar-benar terjadi. Kisah al-Quran bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab terdahulu dan menjelaskan sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Al-Quran memberikan kisah yang tepat meskipun suatu peristiwa tersebut telah terjadi dalam kurun berabad-abad yang lalu. Misalnya dalam kisah ‘Ad dan Tsamud serta kehancuran kota Irom. Dimana pada tahun 1980 ditemukan bukti sejarah secara arkeologi di kawasan Hisn al-ghurab dekat kota Aden di Yaman tentang adanya kota yang dinamakan “Tsamud, Ad, dan Irom”. Begitu pula tentang kisah tenggelam dan diselamatkannya badan Fir’aun, dimana pada bulan Juni 1975, ahli bedah Prancis, Maurice Bucaille setelah meneliti mumi Fir’aun ditemukan bahwa Fir’aun meninggal di laut dengan adanya bekas-bekas garam yang memenuhi sekujur tubuhnya. Kenyataan dan kebenaran kisah ini sekaligus dapat dipergunakan sebagai media bagi peserta didik agar selalu berkata jujur dan benar. Kebohongan dan kepalsuan dalam hidup haruslah dihindari agar dalam kehidupan benar mendapat Ridha Allah SWT.

2. Kisah-kisah al-Quran sejalan dalam kehidupan manusia Meskipun al-Quran merupakan kalam Allah, kisah-kisah yang dituturkannya tidak terlepas dari kehidupan manusia. Karena itu, manusia dengan cepat mampu memahami isyarat tersebut. Kesesuaian ini memberikan indikasi bahwa kehidupan ini sudah selayaknya mengikuti pedoman dan petunjuk dari alQur’an jika ingin mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

3.  Kisah-kisah al-Quran tidak sama dengan ilmu sejarah. Al-Quran memiliki karakteristik yang berbeda dengan sejarah yang ditulis para sejarawan. Al-Quran tidak hanya membincangkan sejarah secara umum, tetapi merupakan kisah pilihan yang mampu menguatkan keimanan. Dan didalam kisah-kisah terdapat pelajaran yang dapat diambil oleh orang-orang berakal.

4.  Al-Quran banyak mengandung kisah-kisah yang diungkapkan secara berulang kali di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Al-Quran dan di kemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dan sebagainya.


Baca artikel lain yang berkaitan;


[1] Muhammad bin S{alih al-‘Uthaimin, Ushuul Fi at-Tafsiir, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978),  48-51.

Hikmah Pengulangan Qashas Dalam Al-Qur'an

 

Menurut Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahith fi ‘Ulum al-Quran  menyebutkan, di antara hikmah diulang-ulangnya kisah dalam al-Quran adalah[1]:

1. Menjelaskan ke-balaghah-an al-Quran. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya di tempat lain.

2.   Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Quran. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Quran itu datang dari Allah.

3.      Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.

4.   Perbedaan tujuan dari tiap pengulangan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan. Sedangkan makna-makna lain-nya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.


Faedah Qashah Al-Qur'an

 

Allah menetapkan bahwa dalam kisah orang-orang tedahulu tedapat hikmah dan pelajaran yang bagi orang-orang yang berakal, serta yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan hikmah dan nasihat yang ada di dalamnya, serta menggali pelajaran dan petunjuk hidup dari kisah-kisah tersebut. Allah juga memerintahkan kita untuk bertadabbur terhadapnya, mnyuruh untuk meneladani kisah orang-rang yang sholeh dan mushlih, serta mengambil metode mereka dalam berdakwah dalam posisi kita sebagai makhluk dan kholifah di muka bumi ini. Diantara hikmah yang dapat kita ambil dari kajian kisah-kisah dalam al-Quran seperti yang disebutkan oleh Ahmad Syadali dalam bukunya antara lain sebagai berikut[1]:

  1. Menjelaskan asas-asas dan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok pokok syari’at yang diajarkan oleh para Nabi.
  2. Meneguhkan hati Rosulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama Allah (Islam), serta menguatkan kepercayaan para mukmin tentang datangnya  pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang yang sesat.
  3. Menyibak kebohongan para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti seperti firman Allah:  

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu Bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Ali Imran: 93).[2]

        4.      Lebih meresapkan pendengaran dan memantapkan keyakinan dalam jiwa para pendengarnya, karena kisah-kisah itu merupakan salah satu dari bentuk peradaban.

  1. Untuk memperlihatkan mukjizat al-Quran dan kebenaran Rasul di dalam dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-umat yang dahulu ataupun keterangan-keterangan beliau.
  2. Memperlihatkan para Nabi dahulu dan kitab-kitabnya, serta mengabadikan nama baik dan jasa-jasanya.
  3. Menunjukkan kebenaran al-Quran dan kebenaran kisah-kisahnya, karena segala yang dijelaskan Allah dalam al-Quran adalah benar.
  4. Menanamkan pendidikan akhlaqul karimah dan mempraktekkannya, karena kisah-kisah yang baik itu dapat meresap dalam hati nurani dengan mudah dan baik.

[1] Ahmad Syadali , Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an II, 27.

Rofi’i, Ahmad Syadali dan Ahmad. Ulumul Qur’an II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.

[2] DEPAG RI, AlQur’an Dan Terjemahnya, 91.

Macam-Macam Qashah Al-Qur'an

Dalam al-Quran terdapat bermacam-macam kisah, ada yang menceritakan para nabi dan umat-umat terdahulu dan ada yang mengisahkan berbagai macam peristiwa dan keadaan dari masa lampau, masa kini ataupun masa yang akan datang. Berikut pengelompokannya:


Ditinjau dari segi waktu

Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Quran menurut Abdul Djalal ada tiga macam[1]:

1.      Kisah hal-hal gaib[2] pada masa lalu yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indera yang terjadinya di masa lampau. Contohnya:

  • Kisah tentang dialog Malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi, sebagaimana dijelaskan dalam (QS. al-Baqarah: 30-34).

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَـٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةًۭ ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ ٣٠

وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى ٱلْمَلَـٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِـُٔونِى بِأَسْمَآءِ هَـٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمْ صَـٰدِقِينَ ٣١

قَالُوا۟ سُبْحَـٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَكِيمُ ٣٢

قَالَ يَـٰٓـَٔادَمُ أَنۢبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ ۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّىٓ أَعْلَمُ غَيْبَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ ٣٣

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَـٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِـَٔادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَـٰفِرِينَ ٣٤

Ayat 30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." 

Ayat 31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" 

Ayat 32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." 

Ayat 33. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" 

Ayat 34. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.[3]


2.   Kisah hal-hal gaib pada masa kini yaitu kisah yang menerangkan hal-hal gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dulu dan masih akan  tetap ada  sampai masa yang akan datang)  dan  yang  menyingkap rahasia orang-orang munafik. Contohnya Kisah tentang kehidupan makhluk-makhluk gaib seperti setan, jin atau iblis, (Qs. al-A’raf: 13-14) :

قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ (13) قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ 

Ayat 13.“Allah berfirman: ‘Turunlah kamu dari surga itu, karna kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri didalamnya maka keluarlah sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina’.              

Ayat 14. Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”.[4] 


3.     Kisah terjadi pada masa yang akan datang yaitu kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Quran, kemudian peristiwa itu betul-betul terjadi (pada masa sekarang peristiwa tersebut telah terjadi). Contohnya:

  • Kisah tentang akan datangnya hari kiamat, seperti dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Qari’ah, Surat al-Zalzalah dan lainnya.
  • Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat, seperti dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Lahab.


Ditinjau dari segi materi

Jika ditinjau dari segi yang diceritakan, menurut Manna al Qattan kisah Al-Quran  terbagi menjadi tiga macam[5]:

1.   Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad dan lain-lain.

2.  Kisah orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu,  misalnya kisah Lukman Hakim, Qarun, Talut, Ashabul Kahfi, Ashabus Sabti dan lain-lain.

3.   Peristiwa dan kejadian dizaman Rasulullah SAW, misalnya perang Hunain dan Tabuk dalam surat al-Taubah, perang Uhud dan Badar dalam surat Ali Imran, Isra Mi’raj dan lain-lain.


Sedangkan menurut A. Hanafi, kisah-kisah dalam al-Quran pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian :[6]

1.      Kisah Sejarah yaitu kisah yang berkisah tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti para nabi dan rasul. Kisah-kisah sejarah dalam al-Quran adalah kisah-kisah yang bersifat kesusastraan dan sekaligus bersifat sejarah. Karena al-Quran mengambil bahan-bahan kisahnya dari peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadiannya. Oleh karena itu, dalam memahami peristiwa dan pengurutannya menggunakan logika fikiran dan yang menguasai kisah itu menggunakan logika perasaan. Contoh kisah kaum ‘Ad[7] dalam surat al-Qamar ayat 18-20 :

كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ (18) إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ (19) تَنزعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ (20) فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ (21) وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (22)

“Kaum “adpun telah mendustakan (pula) maka  alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-Ku. Sesungguhnya kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus-menerus yang menggelimpangan manusia seakan-akan mereka pohon kurma yang tumbang. Maka betapakah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku”.[8]

Ketika kita memperhatikan kisah tersebut, kita mengetahui bahwa al-Quran tidak menuturkannya dengan rinci. Seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan ajaran Allah atau keadaan rumah-rumah mereka. al-Quran hanya menjelaskan apa yang telah terjadi kepada mereka dalam suatu gambaran yang menakutkan.


2.  Kisah Perumpamaan yaitu kisah yang diadakan sebagai perumpamaan yang terdapat dalam al-Quran dan ini adalah kisah yang bersifat kesusastraan murni. Perempamaan merupakan salah satu cara yang baik untuk menyatakan fikiran dalam kesusastraan Arab, peristiwa-peristiwa yang disebutkan hanya dimaksudkan untuk menerangkan dan memperjelas suatu pengertian, peristiwa itu hanya perlu benar-benar terjadi melainkan cukup berupa perkiraan dan khayal semata[9]. Mengenai cara menyatakan fikiran dengan kisah perumpamaan tersebut. A. Hanafi menyatakan bahwa al-Quran sering menggambarkan fikiran dengan bentuk tanya jawab atau dengan cara cerita, karena cara demikian berisi kejelasan dan pengaruh yang kuat[10].


3.   Kisah Asatir[11] yaitu kisah yang didasarkan sesuatu asatir. Pada umumnya kisah semacam ini dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan gejala-gejala yang ada atau menguraikan suatu persoalan yang sukar diterima akal. A. Hanafi menyatakan bahwa dalam membawakan cerita-cerita al-Quran kadang memakai ungkapan yang dipakai oleh pendengarnya atau oleh orang-orang yang sedang diceritakan oleh kisah itu, meskipun ungkapan-ungkapan itu tidak benar[12]. Misalnya dalam surat al-Baqarah : 275 bahwa mereka yang memakan harta riba tidak akan bangun (pada hari kiamat) kecuali seperti bangunnya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ 

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.[13]


Baca artikel lain yang berkaitan;

Footnoote

[1] Abdul Djalal, Ulumul Quran, 296-300.

[2] Gaib adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak nyata atau tersembunyi. Gaib itu ada dua, yaitu gaib nisbi (ia gaib bagi seseorang tetapi bagi lainnya tidak, atau pada waktu tertentu gaib tetapi pada waktu yang lain tidak lagi) dan gaib mutlak (tidak dapat diketahui selama manusia berada dia atas pentas bumi ini, atau tidak akan mampu diketahuinya sama sekali yaitu Allah) (lebih lanjut lihat Quraish Shihab, Mukjizat Al Quran : Tinjauan dari aspek kebahasan, isyarat ilahiyan dan pemberitaan gaib, (Bandung: Mizan, 1997), bab VIII tentang pemberitaan gaib al Quran).

[3] DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, 13-14.

[4] Ibid, 222.

[5] Manna Al Qattan, Mabahits Fi Ulumil Quran, 306.

Qattan(al), Manna.  Mabahits Fi Ulumil Quran. Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1993.

[6] A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1984), 25.

[7] Berdasarkan pembuktian para sejarawan Arab yang menyatakan ‘Ad sebagai putra Uz, putra Aram, putra Nuh, maka kaum ‘Ad hidup sebelum ± 3000 SM. Al Quran juga menyebutkan kaum ‘Ad sebagai penerus kaum Nuh ( Al A’raf : 69), kaum ‘Ad dibagian terbaik dari Arabia, yaitu Yaman dan Hadramaut, tersebar dari pantai teluk Persia sampai perbatasan Mesopotamia {lebih lanjut lihat Sayid Muzzafaruddin Nadvi, A Geographical History of The Quran, (t.t: Pustaka Firdaus, 1997), 96-97.

[8] DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, 880.

[9] Kisah perumpamaan pada al-Quran merupakan salah satu pengungkapan dalam bahasa Arab yaitu bahasa yang digunakan al-Quran. Disamping itu, perumpamaan lebih besar pengaruhnya dan kesannya terhadap jiwa daripada kalau mengemukakan suatu pikiran dalam bentuk yang sebenarnya.

[10] Misalnya firman Allah : “Yaitu pada hari kami berkata :”Neraka jahanam apakah engkau sudah penuh sesak ?”. dan neraka menjawab : “Apakah masih ada tambahan ? “ (Qof :30). Ini tidak bisa diartikan secara lugu atau harfiyah, bukan Allah benar-benar bertanya kepada neraka jahanam tetapi hanya gambaran (perumpamaan) tentang luasnya neraka jahanam tidak pernah penuh sesak dan menerima orang jahat bagaimanapun banyaknya. (lihat A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan …, 39).

[11] Asatir berasal dari bahasa Arab, jamak dari satara, yang berarti hikayat, cerita yang tidak ada asal usulnya. {lihat A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 631.

[12] A. Hanafi, Segi-segi Kesusatraan…, 43. 

Hanafi, A. Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Husna, 1984.

[13]DEPAG RI, Alqur’an Dan Terjemahannya, 69.

Pengertian Qashah Al-Qur'an

 

Secara etimologi kata Qashah jamak dari Qishah, artinya kisah, cerita, berita atau keadaan, atau mengikuti athar (jejak)[1]. Dalam al-Quran, kata Qashah mempunyai dua arti. Qashah yang berarti jejak terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 64:

قَالَ ذٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِۖ فَارْتَدَّا عَلٰٓى اٰثَارِهِمَا قَصَصًاۙ 

“Musa berkata: Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”[2]

 

Sedangkan Qashah yang berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah) terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 62:

اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ ۚ وَمَا مِنْ اِلٰهٍ اِلَّا اللّٰهُ ۗوَاِنَّ اللّٰهَ لَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ 

 “ Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar ….”.[3]

 

Secara terminologi, Qashah al-Quran adalah kisah-kisah di dalam al-Quran yang menceritakan keadaan umat-umat terdahulu dan Nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang[4].

Kisah-kisah dalam al-Quran merupakan kisah paling benar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.?” (QS.al-Nisa’:87).[5]


Hal ini, karena kesesuaiannya dengan realitas sangatlah sempurna. Kisah al-Quran juga merupakan sebaik-baik kisah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu.” (QS.Yusuf : 3).[6]

 

Hal ini, karena ia mencakup tingkatan kesempurnaan paling tinggi dalam capaian balaghah dan keagungan maknanya. Kisah al-Quran juga merupakan kisah paling bermanfaat sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS.Yusuf :111).[7]

 

Hal ini, karena pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan akhlak amat kuat.


Baca artikel lain yang berkaitan;


[1] Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997),  27.

[2] DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang: CV.Asy-Syifa’, 1992), 454.

[3] Ibid, 85.

[4] Manna al Qattan,  Mabahits Fi Ulumil Quran, (Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1993), 306. juga disebutkan  Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 294.

[5] DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, 133.

[6] Ibid, 348.

[7] Ibid, 366.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...