BAB I
PENDAHULUAN
Oleh
karena itu, para intelektual muslim di
bidang hadis sangat perhatian terhadap dokumentasi dan penulisan hadis.
Aktivitas al-riwa>yah dan al-dira>yah
hadis serta produknya dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pertama, periode Taqyi>d; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke akhir
abad pertama hijrah. Kedua, periode Tadwi>n;
kira-kira dari awal abad kedua sampai pertengahan abad itu.Ketiga, periode Tas}ni>f; kira-kira dari pertengahan abad kedua hingga
seterusnya.
Periode
Taqyi>d adalah periode ketika
hadis dicatat dalam buku-buku kecil (s}ah}i>fah;
booklet) oleh para Sahabat dan Tabi’in. Jumlah risalah dan catatan kecil
mengenai hadis mencapai ratusan jumlahnya. Periode Tadwi>n, dimulai dengan perintah ‘Umar bin Abd al-‘Aziz (w. 101
H) yang menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan
hadis-hadis Rasulullah SAW. Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama
dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Adapun periode Tas}ni>f ditandai dengan munculnya buku-buku hadis yang
mempunyai nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Contohnya al-Muwa>t}t}a’ susunan Imam Malik bin
Anas (w. 179 H), al-Musnad oleh Dawud
al-Tayalisi (w. 203 H), al-Mus}anaf oleh ‘Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Ja>mi’ al-S{{ah}i>h} oleh Imam
Bukhari (w. 256 H), al-Ja>mi’
al-S{{ah}i>h} karya Imam Muslim (w. 261 H) dan Al-Ja>mi’ oleh Al-Tirmidzi (w. 279 H).[2] Selanjutnya, Abab
ke-3 H (200-300 H) inilah yang menjadi
kurun yang paling cemerlang dalam sejarah pengumpulan dan kodifikasi Sunnah,
penelitian dan kritik hadis serta penyaringan/seleksi periwayatannya. Pada abab
ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang hadis, kritik hadis dan lahir
produk-produk keilmuan yang unggul berupa al-kutub
al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh hadis-hadis yang tha>bit yang menjadi referensi utama
bagi para ulama di bidang keilmuan Islam lainnya.[3] Gerakan intelektual
yang massif di bidang penulisan kitab-kitab hadis di era tas}ni>f ini membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan
kitab-kitab sunnah berupa sunan, al-mus}annafa>t,
al-jawa>mi’, al-masa>nid, kitab-kitab tafsir, kitab al-Magha>zi>dan siyar, maupun berbentuk juz-juz khusus
yang mencantumkan hadis-hadis dalam bab-bab tentang tema-tema tertentu.[4]
Dalam makalah ini akan dibahas secara spesifik tentang
tipologi kitab-kitab hadis yang termasuk dalam al-jawa>mi’. Pembahasan dimulai dari definisi, contoh, tingkat
validitas hadis-hadisnya,hingga karakteristik metodologinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
“Al-Jawa>mi’
1. Secara Etimologis
Al-Jawa>mi’
adalah bentuk plural dari kata al-ja>mi’
(الجامع). [5]Jim-mim-‘ain dalam struktur kata jama’a bermakna mengumpulkan sesuatu dari kondisi terpecah atau
terpisah, yajma’uhu jam’an artinya
mengumpulkannya hingga terhimpun.[6]Al-Ja>mi’ adalah antonim
dari kata al-mutafarriq (sesuatu yang
terpecah belah, berserakan).[7]Ja>mi’ berarti mencakup (comprehensive), meluas (extensive), melebar (broad), umum (general), menyeluruh (universal); mengumpulkan
(collector), menggabungkan
(compiler of a book);
memadukan (compositor).[8]
2. Secara Terminologis
Merujuk pendapat muhadithi>n, al-Jawa>mi’dapat
didefinisikan sebagai berikut;
كل
كتاب حديثي يوجد فيه من الحديث جميع الأنواع المحتاج إليها من العقائد والأحكام
والرقائق وآداب الطعام والسفر والمُقام وما يتعلق بالتاريخ والسير
Seluruh
kitab hadis yang terdapat di dalamnya hadis dalam berbagai jenis tema yang
dibutuhkan baik dalam masalah akidah, hukum (ah{ka>m), al-raqa>
‘iq, etika makan, (petunjuk saat)
perjalanan jauh (safar), (petunjuk saat)
mukim, (hadis-hadis) yang berkaitan dengan sejarah (al-ta>rikh wa al-siyar) dan sebagainya.”[9]
Dalam ungkapan yang hampir sama, definisial-Jawa>mi’adalah:
هو
كتاب الحديث المرتب على الأبواب الذي يوجد فيه أحاديث في جميع موضوعات الدين
وأبوابه,
وعددها ثمانية أبواب رئيسية هي : العقائد
,
الأحكام , السير
,
الآداب , التفسير
,
الفتن , أشراط
الساعة ,
المناقب.
Kitab
yang tersusun atas bab-bab yang mencakup hadis-hadis dalam seluruh tema atau
topik agama dan bab-babnya. Jumlah bab pokok ada delapan yaitu akidah, hukum,
sejarah (siyar), adab, tafsir, al-fitan, perihal kiamat, al-mana>qib.[10]\\
Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa kitab-kitab hadis yang disusun menggunakan tipe al-jawa>mi’ adalah kitab yang menghimpun hadis–hadis dalam
berbagai aspek masalah keagamaan, bukan hanya terbatas pada bidang fikih saja
sebagaimana kitab-kitab muwa>t}t}a’,
mus}annaf dan sunan. Menurut Sayyid Abd al-Majid al-Ghaury, kitab-kitab hadis al-jawa>mi’ tidak jauh berbeda dengan
kitab-kitab hadis sunan. Perbedaannya
adalah pada umumnya kitab-kitab sunan tidak mencantumkan bab-bab hadis tentang
akidah, al-fitan dan al-mana>qib.[11]
Sebelum dikompilasikan dalam satu
himpunan kitab hadis, masing-masing delapan tema yang terdapat dalam kitab
hadis bertipe al-jawa>mi’ tersebut
terpisah-pisah dalam satu kitab tersendiri. Misalnya dalam masalah akidah, Ibnu
Khuzaimah menulis kitab hadis “al-Tauhid”, dalam masalah hukum fikih ada sunan
Abu Da>wud, Ibn Ma>jah, Al-Nasa’i, dll. Dalam masalah al-Raqa>iq, Imam Ahmad menyusun Kitab
Al-Zuhd. Dalam masalah Adab, Imam
Bukhari menulis Kitab al-Adab al-Mufrad.
Untuk hadis-hadis tafsir, terdapat kitab yang ditulis oleh Ibnu Mardawaih dan
Ibn Jari>r. Dalam masalah al-safar wa
al-qiya>m, Al-Tirmidhi menulis Kitab al-Shama>il.
Tentang al-Fitan ditulis oleh
Nu’ai>m bin Hamma>d, dll.[12]
Dalam beberapa kitab, istilah al-jawa>mi’ digunakan untuk
pengertian yang lain yaitu untuk kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penulisnya
untuk menghimpun (mengkompilasikan) hadis-hadis Nabi secara mutlak atau tanpa
batasan kriteria tertentu seperti kitab al-Ja>mi’
al-Kabi>r dan al-Ja>mi’
al-S}aghir yang disusun oleh Al-Suyu>t}i, atau kitab-kitab yang
menghimpun hadis-hadis dari kumpulan kitab hadis tertentu misalnya al-Ja>mi’ al-Us}u>l karya Ibn al-Athi>r yang
mengkompilasikan kutub al-hadi>th
al-sittah dan Ja>mi’
al-al-Masa>ni>d karya Ibn Kathi>r yang menghimpun hadis-hadis
dalam kitab hadis yang sepuluh (kutub
al-hadi>th al-‘Asharah).[13]
Padahal, klasifikasi yang tepat untuk tipologi kitab-kitab tersebut adalah al-maja>mi’. Kitab tipe al-maja>mi’ tersebut tidak memiliki
atau mencantumkan jalur sanad periwayatan persatuan hadis yang tersendiri atau
orisinil dari penulis kitabnya, akan tetapi bersifat “copy-paste” dari
kitab-kitab hadis lain seperti kitab-kitab al-jawa>mi’
dan al-sunan. Demikian pula,
pokok-pokok bahasan dan babnya mengikuti kitab-kitab hadis rujukannya.
B.
Karakteristik
Kitab Hadis al-Jawa>mi’
Kitab-kitab
yang disusun menggunakan tipe al-jawa>mi’
mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan tipe-tipe yang lain. Karakteristik tipe penyusunan
kitab al-jawa>mi’antara lain sebagai berikut: (1) Penyusunan
kitab topikal berdasarkan bab-bab fiqh; (2) Penyusunan
bab-babnya dilakukan secara sistematis; (3) Kebanyakan
hadis-hadisnya marfu>’;(4) Kualitas
hadis-hadisnya kebanyakan sahih; (5) Memuat
hadis-hadis berbagai macam masalah agama seperti akidah, hukum, perbudakan,
tata cara makan dan minum, berpergian dan tinggal di rumah, tafsir, sejarah,
perilaku hidup, pekerti baik dan buruk.[14]
Kitab-kitab
hadis yang disusun dan dikodifikasi menggunakan tipe kitab al-jawa>mi’
jumlahnya relatif banyak, di antaranya adalah:
1.
Kitab karya Muhammad ibn
Isma>’i>l al-Bukha>ry (w. 256 H) yang berjudul al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h al-Musnad al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasul
Allah S}alla Allah ‘alayh wa Sallam wa Sunanih wa Ayya>mih atau yang
lebih popular dengan nama Kitab al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h atau S{ah{i>h
al-Bukha>ry.
2.
Kitab al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h karya Muslim ibn Hajja>j al-Qushairy
al-Naisabury (w. 261 H)
3.
Kitab al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h karya Abu ‘I<sa> Muhammad ibn
‘I<sa> al-Tirmidzi (w. 279 H)
4.
Kitab al-Ja>mi’ karya Ma’mar ibn Rashi>d al-Azdy al-Bas}ry (w. 153
H).
5.
Kitab al-Ja>mi’ karya Sufyan al-Thawry (w. 161 H)
6.
Kitab al-Ja>mi’ karya Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H).[15]
Dalam pembahasan di makalah ini akan diulas tiga kitab
tipe al-jawa>mi’yang paling popular hingga era kontemporer dewasa yaitu:
(1) Al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h karya
Imam al-Bukhari, (2) Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h karya
Imam Muslim, dan (3) Al-Ja>mi’ karya
Imam al-Tirmidzi yang popular dengan sebutan “Sunan al-Tirmidzi” karena
perhatian khususnya terhadap hadis-hadis hukum.[16]
C. Profil Ringkas Penulis dan Kitab
bertipe al-Jawa>mi’ :
1. Kitab Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h
karya Imam al-Bukhari
a. Profil Penulis
Penulis kitab Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h atau Sahih al-Bukhari bernamalengkap adalah
Abu ‘Abd Allah
Muhammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m
bin Al-Mughi>rah bin
Bardizbah al-Ju>’fy (194-256 H).[17]Imam
Bukhari lahir pada hari Jum’at
setelah sholat Jum’at tanggal 13 Syawwal 194 H.[18]
Jumlah
guru al-Bukhari sangatlah banyak, lebih dari seribu orang guru. Daftar panjang
guru-guru al-Bukhari dapat ditemukan dalam catatan biografi beliau dalam
berbagai kitab tarikh dan rijal hadis.Al-Mizzi dalam Kitab Tahzi>b al-Kama>l berusaha untuk menghimpun nama-namanya dan
menyusunnya secara alfabetis.[19]Menurut
penelitian Ibnu Hajar terhadap 1080 yang menjadi guru al-Bukhari semuanya
adalah periwayat hadis.[20]Dari 1080 orang
gurunya tersebut, al-Bukhari menyeleksi hadis mereka dan hanya mencantumkan
hadis dari 289 orang di antara mereka dalam Kitab al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h-nya.
Adapun murid-Murid Imam Bukhari yang menjadi tokoh
ulama hadis yaitu; (1) Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi (w. 279 H), Seorang al-Ima>m al-Hafiz} dalam ilmu hadis. Penulis banyak
kitab di antaranya Jami’ At-Tirmidzy atau terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi. (2) Abu Hatim Ar-Razy (w. 277 H), Seorang tokoh di Imam
para al-hafiz{} dan
sangat thiqah. Pakar
di Bidang jarh wa ta’dil(kritik
perawi) dan ‘ilal hadis. (3) Imam Muslim
(w. 261 H). Imam para hafidz, penulis Kitab al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h} yang
terkenal dengan “Sahih Muslim”.
Al-Bukhari
meninggalkan sekitar 20 karya dalam bidang hadis, ilmu hadis, ilmu rijalul
hadis dan bidang keilmuan yang lainnya.Di antara karya al-Bukhari yaitu: (1)
Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, (2) al-Adab al-Mufrad, (3) Al-Mu’talaf wa
al-Mukhtalaf, (4) al-Ta>rikh al-Kabi>r, dll.[21]
b.
Nama
Kitab Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h
Sahih al-Bukhari, inilah nama ringkas yang popular
baik di kalangan ulama maupun di tengah masyarakat umum. Terkadang disebut al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h}. Tentang
nama lengkap kitab ini, terdapat perbedaan penyebutan. Setidaknya ada tiga
versi nama yang beredar di kalangan ulama: (1) Al-Ja>mi’
al-Musnad al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lillah S{allallahu ‘alaihi wa sallam wa
Sunanihi wa Ayya>mihi.[22]
Kedua, Al-Musnad
al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lillah Shollallahu ‘alaihi wa
sallam wa Sunanihi wa Ayya>mihi.[23](3) Al-Ja>mi’ Al-S{ah}i>h} al-Musnad min
H{adi>th Rasu>lillah wa Sunanihi wa Ayya>mihi.[24]Al-Shari>f
Ha>tim bin ‘Arif al-‘Auny menginformasikan bahwa Syaikh Abdul Fattah Abu
Ghuddah (1418 H) yang telah meneliti dan membahas dalam satu jilid khusus yang
berjudul Tah}qi>q ismay
al-S{ah}i>h}ain wa ism Jami>’ al-Tirmidhi> menyimpulkan bahwa nama yang tepat adalah Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h}
al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lillah S{allallahu ‘alaihi wa sallam wa
Sunanihi wa Ayya>mihi. Al-‘Auny
menyepakati kesimpulan tersebut.[25]
Ada
indikasi makna (dila>lah) penting
yang terkadung di balik penamaan tersebut oleh Imam al-Bukhari, sebagai
berikut:[26]Al-Ja>mi’,
maksudnya kitab tersebut menghimpun hukum-hukum (al-Ahkam) dan keutamaan berbagai amalan (al-fadho’il), peristiwa sejarah atau kisah-kisah masa lalu dan akan
datang, masalah adab, ar-raqa>iq,
dan tafsir. al-S{ah}i>h},
maksudnya kitab tersebut menghindari masuknya hadis-hadis dho’if, sebagaimana
riwayat yang sahih dari Imam Bukhari yang menyatakan: “Saya tidak memasukkan
suatu hadis dalam kitab saya Al-Jami’ kecuali hadis itu sahih”. Al-Musna>d, maksudnya objek utama
takhrij hadis-hadis dalam kitab tersebut adalah hadis-hadis yang muttashilsanadnya melalui shahabat
kepada Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqri>r Nabi SAW. Adapun, jika ada dalam kitab tersebut yang di luar
itu, maka hanya pelengkap (tab’an)
dan paparan penjelas (‘ard{an), bukan
materi pokok (‘as}lan) dan tujuan.
Penyebutannya merupakan bukti penguat (istishha>d)
dan informasi tambahan (isti’na>s)
agar kitab tersebut mampu menghimpun aspek-aspek substantif Islam. Al-Mukhtas}ar, menunjukkan maksud Imam
Bukhari yang tidak meniatkan untuk menghimpun semua hadis-hadis sahih yang
diketahuinya dalam kitab tersebut.[27]
c.
Latar Belakang Penulisan Sahih Bukhari
Menurut
penelusuran Ibnu
Hajar terhadap riwayat-riwayat terkait, ada tiga hal yang menjadi sebab
penyusunan Sahih Bukhari,[28]
yaitu:
1)
Kekurangpuasan terhadap metode penulisan kitab-kitab
hadis yang ada pra-Imam Bukhari. Imam Bukhari menemukan kitab-kitab hadis yang
disusun sebelum masa beliau baru bersifat menghimpun dan mengoleksi hadis
dengan mencampuradukkan berbagai kualitas hadis tanpa dijelaskan kesahihan dan
kedho’ifannya. Metode semacam ini kurang tepat untuk konsumsi publik. Beliau
tergerak minatnya untuk menghimpun hadis-hadis sahih saja yang tidak diragukan
kesahihannya dalam satu kitab.
2)
Saran dari guru al-Bukhari, Amirul
mukminin fi al-hadis wa al-Fiqh Ishaq bin Ibrahim al-Handzaly, yang dikenal
dengan nama Ibnu Rahawaih. Imam Bukhari bercerita: “Ketika kami berada dalam
majlis Ishaq bin Rahawaih, beliau berkata: ‘Alangkah baiknya, seandainya kalian
menghimpun satu kitab yang ringkas untuk riwayat yang sahih dari sunah
Rasulullah SAW’. Maka, terbetiklah niat itu dalam hatiku dan aku pun mulai
mengumpulkan hadis sahih untuk menyusunnya”.
3)
Ilham dari Rasulullah SAW dalam mimpi al-Bukhari. Imam
Bukhari berkata: “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, seakan saya berdiri di
hadapan beliau. Saat itu di tanganku ada kipas yang aku kibaskankan untuk
melindungi beliau”. Aku bertanya kepada beberapa ahli takwil mimpi, dan
dikatakan kepadaku: ”Kamu akan membela beliau dari kedustaan (atas nama
beliau).” Hal inilah yang mendorongku untuk menulis al-Ja>mi’ al-Sah}i>h”.
Ketiga sebab ini, tidaklah saling bertentangan. Namun,
ketiganya menjadi faktor yang saling
menguatkan motivasi imam Bukhari untuk memulai
proyek penulisan kitab al-Ja>mi’
al-Shoh}i>h -nya.
d.
Proses Penulisan dan Publikasi Periwayatan
Imam Bukhari mulai menulis Kitab al-Ja>mi’
al-Shoh}i>h saat beliau berada di Masjidil Haram. Beliau
melanjutkan dan melengkapi hadis-hadisnya hingga selesai penulisan kitab
tersebut selama 16 tahun di berbagai tempat yang dilalui dan disinggahinya.[29]Al-Bukhari berupaya memilih dan menyaring sanad dan
matan hadis-hadis dari hafalan dan catatannya. Al-Bukhari berkata: “Saya
cantumkan hadis-hadis dalam kitab ini—yaitu al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h}—(sebagai seleksi) dari sekitar 600.000 hadis.[30]
Kitab itu menjadi hujjah[31]
antara diriku dengan Allah”.[32]
Imam al-Bukhari menyelenggarakan forum-forum ilmiah
untuk mendiktekan (imla’) hadis-hadis
dalam Kitab al-Ja>mi’ al-Shoh}i>h.Muridnya,
Al-Farbary, menyebutkan bahwa ada 90.000 orang yang mempelajari langsung dengan
mendengar (sima’) periwayatan dari
al-Bukhari, dan orang terakhir yang meriwayatkan secarasima’ di Baghdad adalah al-Qodhi Husain al-Mahamily.[33]
e. Metodologi Kitabal-Ja>mi’ al-Shoh}i>h
1)
Kodifikasi hadis yang digunakan oleh al-Bukhari dalam
penyusunan kitab sahihnya berbentuk fomat dan sistematika fiqh, istinba>t} al-ahka>m serta istidla>l bi al-aha>di>th. Cara yang
sama juga digunakan oleh Imam Malik dalam penyusunan al-Muwat{t{a’, akan tetapi
al-Bukhari menggunakannya dalam skala yang lebih luas, mencakup sekian banyak
tema dan bab-bab pembahasan yang cukup terperinci. Format yang digunakan al-Bukhari ini berbeda
dengan format yang digunakan oleh Muslim bin al-Hajjaj dalam Sahihnya atau
al-Tirmidzi dalam Sunan-nya juga imam hadis lainnya. Imam Muslim dan
al-Tirmidzi berkonsentrasi pada format dan teknik periwayatan dan eksplorasi
sanad hadis serta fawaid al-hadithiyah.[34]qowaid al-hadithiyah. Penekanan pada
elaborasi dan ekplorasi fiqh al-hadis tersebut tercantum dalam perincian bab
dan tarajim al-abwab dalam al-Ja>mi’ al-Sah}i>h.
2)
Al-Bukhari menggunakan metode seleksi (al-Intiqa>’) dan merangkum dan
meringkas (al-Ikhtis{a>r)[35]
dengan cara menyeleksi hadis-hadis yang akan dicantumkannya dalam al-Ja>mi’
al-Sah}i>h . Dari 100 ribu hadis shahih yang
dihafalnya,[36] Al-Bukhari hanya mencantumkan sebanyak 9082 hadis.[37] Dengan demikian hadis sahih yang tidak tercantum dalam
sahih al-Bukhari lebih banyak karena maksud al-Bukhari bukan untuk menjadikan
kitab sebagai ensiklopedi hadis yang menghimpun seluruh hadis sahih. Dengan
demikian kritikan al-Da>raqut{ny dan ulama lain terhadap al-Bukhari yang
tidak memasukkan hadis sahih tertentu dalam al-Jami’ al-Sahih padahal sesuai
syarat al-Bukhari adalah kritikan yang tidak tepat.[38]
3)
Sahih Bukhari
dianggap sebagai karya pertama yang memuat hadits sahih saja.Menurut Al-Hafiz}
Ibn Hajar: “Mereka menetapkan demikian karena bertaklid terhadap Al-Hamawiy. Sesudah saya hitung baik-baik dengan
cermat bahwa jumlah hadits al-Bukhari beserta yang berulang-ulang, selain dari
hadits mu`allaq dan muta>bi` ada 7397 buah hadits dan yang
tidak berulang-ulang ada 2602 buah. Jumlah yang mu`allaq ada 1341 buah.Jumlah
yang mutabi` ada 344 buah.Jumlah seluruhnya 9082 hadits.Dalam hitungan ini belum termasuk hadits-hadits mauquf dan hadits-hadits
maqthu`. Al-Bukhari membagi kitabnya kedalam 97 kitab dan 4550 bab.[39]
4)
Kitab al-Jami’
disusun dalam sistematika kitab-kitab dan bab-bab. Dimulai dengan Kitab Bud’I al-Wahyi, kemudian Kitab al-Iman, Kitab al-Ilmu, Kitab al-Thoharoh, dan seterusnya
sampai Kitab al-Tauhid. Semuanya terdiri
dari 97 kitab yang kemudian
diperinci dalam bab-bab yang disertai penyebutan sejumlah hadis. Susunan
bab-bab dan penamaannya menunjukkan istinba>t}
fiqhiyyah, penggalianbutir-butir
penting
pelajaran dan hikmah dari hadis yang tercantum dalam masing-masing bab. Dalam keterangan bab-bab juga disebutkan
ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan keterkaitan hukum dan penafsirannya. Al-Bukhari bukan hanya fokus pada
pencantuman hadis, namun memperkaya kandungan kitabnya dengan
pelajaran-pelajaran fikih dan untaian hikmah dan tafsir ayat dengan penjudulan
dan beragam kutipan dalam tara>jim
al-abwa>b. Dengan demikian, kitab tersebut bukan hanya berkualitas dari
aspek riwa>yah (dokumentasi) namun
juga berkualitas dari aspek dira>yah
(analisa).
5)
Pada umumnya dalam pencantuman hadis di setiap bab, Al-Bukhari mulai dari penyebutan hadis yang
paling sahih.[40]Sebagaimana hal ini umumnya dilakukan
oleh ahli hadis yang menyusun kitab hadis dalam sistematika fiqih. Al-Bukhari mendahulukan hadis yang paling penting
terkait dengan judul bab, dan memiliki korelasi yang jelas dan kandungan
petunjuk dalam matan hadisnya yang saling melengkapi.
6)
Ada perhatian terhadap aspek ulu>w al-isna>d yaitu isnad yang tinggi karena rangkaian
perawinya yang muttas}il dengan
jumlah perawi perantara yang sedikit sehingga jarak periwayatan antara mukharrij dengan Nabi SAW sangat dekat. Aspek uluw al-isna>dini adalah hal yang
penting menurut ahli hadis karena berpengaruh kepada kekuatan validitas sanad.
Jumlah perawi perantara sampainya hadis yang sedikit berarti lebih menjamin
terbebasnya hadis dari masalah yang menrusak kesahihannya.[41]
Kelebihan Al-Bukhari adalah menggabungkan aspek uluw al-isna>d dengan kebersihan sanad dan matannya dari catat.
Dalam sanad hadis sah}i>h al-Bukhari, Jarak terdekat antara Imam al-Bukhari
dengan Rasulullah diperantarai oleh tiga perawi. Inilah yang disebut thula>thiya>t al-Bukha>ri.
Menurut penelitian Ibnu Hajar, ada lebih dari 20 hadis dalam sah}i>h
al-Bukhari dalam catatan Ibnu Hajar.[42]
Berikut data perbandingan thula>thiya>t
dalam beberapa Kitab Hadis:[43]
No |
Nama Kitab |
Jumlah |
Keterangan |
1 |
Musnad Ahmad |
332 |
Paling banyak karena berada di level syaikh |
2 |
Sahih al-Bukhari |
22 |
- |
3 |
Sahih Muslim |
Tidak ada |
- |
4 |
Sunan Abu Dawud |
Tidak ada Tidak ada |
- |
5 |
Sunan At-Tirmidzi |
1 |
Yaitu Dari Ismail bin Musa al-Fazsariyy dari Umar
bin Syakir dari Anas bin Malik |
6 |
Sunan An-Nasa’i |
Tidak ada |
- |
7 |
Sunan Ibnu Majah |
5 |
Dari jalur Jubairah bin al-Mughallis dari Katsir bin
Sulaim dari Anas bin Malik |
8 |
Sunan ad-Darimy |
15 |
- |
Contoh Thula>thiya>t al-Bukhari: Kitab al-Ilmi Bab man Kadzaba ‘ala al-Nabi SAW, hadis no. 108.[44]
حَدَّثَنَا
مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ
سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا
لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Al-Bukhari
berkata: Telah menceritakan kepada kami Makky
bin Ibrahim, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Ubaidillah dari Salamah, dia berkata; Saya mendengar
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu atas namaku padahal aku
tidak pernah mengucapkannya, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya
dalam neraka”.
Walaupun
demikian, ada juga sanad terpanjang dalam sah}i>h al-Bukhari yaitu hadis
nomor 7135 dalam Kitab al-Fitan Bab
Ya’juj wa Ma’juj.[45]
Hadis ini terdiri dari sembilan (9) perawi perantara atau disebut tusa>’iy.
7)
Perhatian al-Bukhari untuk meriwayatka n hadis dari jalur
asah{h{ual-asa>nid wa al-t}uru>q
(sanad yang terbaik tingkat kesahihannya). Contohnya riwayat dari Abu al-Zinad
dari Abdurrahman bin hurmuz al-A’raj dari Abu Hurairah, sekitar 134 hadis,
Muhammad Syihab Al-Zuhry dari Sa’id bin Musayyib dari Abu Hurairah, sekitar 65
hadis, Abdurrozzaq dari Ma’mar bin Rasyid dari Hammam bin Munabbih dari Abu
Hurairah RA, sekirar 47 hadis. Sanad ini istimewa karena mereka adalah para
perawi pemilik catatan hadis.[46]Muhammad
bin Syihab al-Zuhry dari Salim bin Abdillah dari Bapaknya (Ibnu Umar RA),
sekitar 136 hadis.
8)
Beragam cara penyajian hadis oleh Al-Bukhari seperti
menyebut hadis secara lengkap sanad dan matannya, menyebut matan tanpa sanad,
memotong sanad dan hanya menyebut fulan ‘an
(dari) Rasulullah atau menyebut hadis secara mu’allaq
baik untuk tujuan menjadikannya sebagai argumen (hujjah) untuk tarjamah bab, atau mengisyaratkan adanya
‘illah dalam hadis itu atau memang
hadis itu telah dicantumkan di tempat lain sebelumnya.
9)
Jenis hadis dalam Kitab Sahih al-Bukhari. Menurut
penelitian Ibnu Hajar, hadis-hadis yang terdapat dalam al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h} ada dapat diklasifikasikan menjadi
tiga (3) macam menurut penempatan dan fungsinya; Pertama, hadis al-ushul (hadis pokok/utama) yaitu hadis-hadis yang
dicantumkan dengan sanad yang lengkap (musnad) dari al-Bukhari sampai marfu>‘ kepada Rasulullah SAW
menggunakan ungkapan (s}ighah) “haddatsana>” atau yang setara. Hadis semacam ini kualitasnya sahih dan sesuai syarat
sahihnya yang sejalan dengan penamaan kitabnya “al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h}”. Kedua, hadis-hadis sebagai tara>jim hadis-hadis yang tidak termasuk dalam syarat sahih
al-Bukhari walaupun kualitasnya layak untuk dijadikan hujjah. Hadis semacam ini
dicantumkan dalam bentuk pengungkapan yang berbeda dengan kelompok pertama.
Hadis semacam ini dicantumkan dalam bentuk mu’allaqa>t.
Termasuk juga dalam konteks ini
adalah hadis-hadis yang hanya
dipakai dalam bentukkutipan secara lafadz maupun makna untuk penjudulan bab-bab. Ketiga,
hadis-hadis yang diposisikan sebagai muta>ba’at
baik al-Muta>ba’atal-musnadah
(hadis-hadis penguat yang dicantumkan dengan sanad yang lengkap (musnad) dan
sampai kepada Rasulullah SAW (marfu>‘))
maupun muta>ba’at ghair al-musnadah.[47] jumlah hadis al-muta>ba’at sebanyak 344
hadis.[48]
Gbr. Contoh jenis-jenis hadis dalam
Sah}i>h al-Bukhari. [49]
10)
Kecenderungan dan perhatian al-Bukhari dalam penyusunan
al-jami’ al-Sahih kepada aspek fiqh al-hadis,
dapat dibuktikan dari empat realitas dalam kitabnya yaitu (1) Tarajim al-Abwab, (2) al-Ta’liq, (4) al-Tikra>r, (4) al-Ikhtishar
wa taqthi’ al-hadith al-wahid.
11) Tarjamah dalam konteks
sahih al-Bukhari adalah kalimat atau pernyataan pembuka yang disebutkan oleh
al-Bukhari sebelum mencantumkan hadis-hadis yang musnad di dalam setiap bab
dari kitab Sahihnya. Termasuk didalamnya adalah teks berupa hadis hadis-hadis marfu>‘ atau mauquf atau maqthu’.[50]Contohnya
:[51]
Tarjamah al-Bukhari merupakan manifestasi
fiqh al-Bukhari terhadap berbagai persoalan syariah dengan istid}la>l-nya dengan menggunakan ayat Al-Quran, hadis, maupun atha>r. Secara umum, korelasi (kesesuaian) antaratarjamahal-Ba>b dengan hadis-hadis yang tercantum ada dua macam: (a) korelasi eksplisit, yaitu korelasi antara maksud tarjamah dengan tekstual hadis yang
tercantum cukup jelas dan dapat langsung dipahami, baik secara lafadz dan makna
atau makna saja. (b). korelasi implisit, yaitu korelasi yang cukup samar antara
maksud tarjamah dengan tekstual hadis
yang tercantum, baik secara lafadz dan makna, kecuali setelah analisa dan
penelitian yang mendalam.Bentuk-bentuk tarjamah
dalam Sahih al-Bukhari yaitu: (1) Tarjamah
dengan teks hadis, meliputi (a) tarjamah
persis dengan teks hadis yang tercantum, (b) tarjamah dengan teks hadis lain yang disebutkannya di tempat lain
dalam Sahihnya, (c) tarjamah dengan teks hadis sahih tetapi tidak sesuai syaratnya, (d)
tarjamah dengan hadis dho’if, (2) tarjamah dengan makna hadis, meliputi: tarjamah dengan makna hadis yang di-tarjamah-kan, tarjamah dengan makna hadis yang tercantum dalam bagian lain dari
Sahihnya, tarjamah dengan makna hadis
sahih yang tidak sesuai syaratnya. (3) Tarjamah
dengan atha>r yang marfu>‘ dan mauquf . Bervariasinya
kualitas hadis-hadis yang tercantum sebagai tarjamahbab.
Menurut penelitian Shidiq Hasan Khan, variasinya antara lain: (1) hadis marfu>‘ tetapi tidak sesuai syarat
al-Bukhari, pencantumannya hanya sebagai syahid atas syaratnya. (2) tarjamah
dengan hadis marfu>‘ yang tidak
sesuai syaratnya untuk tujuan istinbath dari kandungan hadis yang akan
dicantumkan baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. (3) tarjamahnya adalah ungkapan dari
pendapat madzhab ulama sebelumnya, tanpa memastikan sikap tarjih-nya atas pendapat tersebut, (4) tarjamah dengan masalah yang di-ikhtilaf-kan
disebabkan teks hadis yang beragam. Al-Bukhari mencantumkan hadis-hadis yang mukhtalaf terkait tema tersebut agar
dapat dijadikan referensi kajian bagi orang yang meneliti masalah tersebut.[52]
12) Pengulangan (tikra>r) penyebutan hadis. Dalam Sahih al-Bukhari terdapat 3275
hadis yang diulang.[53]
Banyaknya pengulangan ini karena adanya tambahan informasi baik sanad maupun
matan yang terkandung dalam hadis yang diulang. Bahkan kandungan informasi
tambahan yang berbeda dalam matan hadis yang berulang tersebut seperti
kedudukan hadis tersendiri sehingga sulit untuk diabaikan.[54]
Hal ini sejalan dengan metode al-Imam al-Bukhari sangat memprioritaskan
eksplorasi dan elaborasi kandungan hukum
dan hikmah (fiqih hadis) dari suatu matan hadis dalam perincian berbagai
sub-sub judul yang ada dengan menggunakan metode istidlal.[55]
Manfaat lain dari pengulangan pencantuman hadis ini antara lain penjelasan
adanya beberapa shahabat yang meriwayatkan hadis yang sama, atau memaparkan
beberapa variasi s}ighahtahammul wal ‘ada
seperti satu jalur sanad menggunakan lafadz ‘an’anah
sedangkan yang lain dengan s}ighah
sima’ (seperti “haddatsana”, “sami’tu”, dll). Jika pengulangan sanad
untuk matan yang sama mulai dari level sahabat berarti menaikkan status hadis
tersebut dari sifat ghari>b[56]. Di samping itu penyebutan hadis secara tikra>r adalah untuk menginformasikan
adanya perbedaan riwayat hadis bersangkutan antara statusnya maushul atau mursal munqathi’, marfu>‘ atau mauquf. Al-Bukhari mentarjih dan berhujah dengan sanad hadis yang musnad maushul dan marfu>‘ tetapi menyebutkan sanad lain dari hadis tersebut
sesudahnya yang berstatus mursal,
munqathi’ atau mauquf untuk mengindikasikan adanya perbedaan riwayat
hadis tersebut. Dengan demikian, kritik sebagian ulama atas keberadaan hadis
dengan sanad mursal, munqathi’ atau
mauquf tersebut tidak berpengaruh
kepada kualitas kesahihan hadisnya.[57]
13) Al-Bukhari menggunakan tahwil al-asanid yaitu mencantunmkan
cabang sanad tertentu yang akan bertemu pada satu perawi tertentu di atasnya
sampai akhir sanad. Tahwil al-isnad ini dilambangkan dengan huruf (ح).
Jumlah hadis dalam Sahih al-Bukhari yang dicantumkan dalam bentuk tahwi>l al-isna>d sebanyak 184 hadis.[58]
Bandingkan dengan dalam Sahih Muslim yang mencapai 1162 hadis dari keseluruhan
hadis yang berjumlah 7388 hadis.[59]
14) Untuk informasi cabang-cabang
variasi sanad dari suatu matan hadis, al-Bukhari juga menggunakan huruf at}fwauw
( وَ) yang setara artinya dengan kata
sambung “dan” dalam ungkapan (s}ighah)
al-tahammul wa al-ada>(penerimaan
dan penyampaian hadis) seperti : wa
haddathana (sekitar 27 hadis), wa
haddathany (sekitar 25 hadis), wa
akhbarana (sekitar 6 hadis) wa akhbarany (sekirat 35 hadis), wa sami’tu (sekitar 16 hadis), dll.[60]
15) Untuk menghindari adanya pengulangan
penyebutan matan dari beberapa sanad hadis yang difungsikan sebagai i’tibar dalam satu bab tertentu, al-Bukhari
menggunakan ungkapan مِثْلَهُ
atau نَحْوَهُ.
Ungkapan مِثْلَهُ mengisyaratkan adanya kesamaan atau kemiripan
secara lafaz dari matan. Jumlahnya sekitar 100-an hadis. Sementara ungkapan نَحْوَهُ mengisyaratkan adanya kesamaan secara makna
dan jumlahnya sekitar 60-an hadis.[61]
16) Dibandingkan dengan Muslim bin al-Hajja>j, Al-Bukhari sedikit
sekali memberi keterangan tentang adanya perbedaan atau ragam lafal dari para
perawi yang disatukan penyebutan sanadnya. Imam Muslim sering menginformasikan
tentang siapa pemilik lafaz yang secara tekstual dicantumkannya. Hal sama juga
dilakukan oleh An-Nasai dan Imam al-Tirmidzi dan Abu Dawud tetapi dalam jumlah
yang relatif sedikit.
Ungkapan |
B |
M |
AD |
T |
N |
IM |
A |
الْمَعْنَى
وَاحِدٌ |
- |
- |
18 |
23 |
- |
- |
1 |
وَاللَّفْظُلِفُلان |
2 |
627 |
2 |
6 |
137 |
2 |
5 |
وَتَقَارَبَا
فِي اللَّفْظِ |
- |
18 |
- |
- |
- |
- |
- |
وَتَقَارَبُوا
فِي اللَّفْظِ |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
يُقَارِبُهُ
فِي اللَّفْظِ |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
وَاتَّفَقُوا
فِي اللَّفْظِ |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
وَأَلْفَاظُهُمْ
مُتَقَارِبَةٌ |
- |
17 |
- |
- |
- |
- |
- |
Dari data di atas dapat diketahui bahwa Imam Muslim
adalah penulis kitab hadis yang paling perhatian dengan teknik periwayatan
sanad dan matan hadis (al-s}ina’ah al-hadithiyah).
Sementara Imam al-Bukhari tidak terlalu fokus dari aspek ini, namun beliau
unggul dari aspek al-istinba>t}
al-hadi>thiyyah dan istid}la>l
fiqhiyyah. Menurut Nu>r
al-Di>n ‘Itr, al-Tirmidzi termasuk ulama hadis yang mengikuti
jejak Imam Muslim. Dari penelusuran dengan al-Maktabah
al-Sha>milah dapat diketahui bahwa selain data
di atas, ungkapan al-Tirmidzi dalam
mengelaborasi informasi sanad dan matan yang beragam maupun yang ghari>b antara lain la> na’rifu ha>dha> al-hadi>th
‘ala> ha>dha> al-lafz} illa> min ha>dha> al-wajh, atau la> na’rifu ‘ala> dha>lika al-lafz},
atau tafarrada fula>n ‘ala> dha>lika
al-lafz}.
17) Al-Bukhari cukup banyak meringkas
sanad hadis dalam bentuk hadis mu’allaq.
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang marfu>‘
(sampai kepada Rasulullah SAW) akan tetapi tidak disebutkan sanadnya yang
bersambung secara lengkap oleh al-Bukhari. Sebagiannya ada yang karena sudah
disebutkan di bagian lain dari kitabnya. Namun ada juga yang sama sekali tidak
ditemukan sanad lengkapnya dalam kitab Sahihnya.[62]
Jumlah hadis Mu’allaqa>t dalam shahih
al-Bukhari sebanyak 1341 hadis.[63]Di
antaranya berupa mutaba’at dan penjelasan adanya ragam riwayat sebanyak 384
hadis.[64]Al-Bukhari
melakukan ta’li>q untuk tujuan meringkas uraian sanad hadis
dan menjauhi adanya pengulangan (repetisi) karena mayoritas hadis-hadis mu’allaqa>t tersebut telah disebutkan
sanad lengkapnya (maus}ul) di tempat
lain dalam Kitab Sahihnya.[65]
Al-Bukhari mengindari repetisi kecuali untuk sesuatu yang ada faidahnya.
Apabila suatu matan mengandung berbagai kandungan hukum, maka al-Bukhari
mengulang penyebutannya dalam bab-bab terkait baik secara lengkap ataupun
mengutip sebagiannya. Apabila terjadi repetisi, al-Bukhari menghindari penyebutan
ulang sanad yang sama tapi beralih kepada jalur sanad yang lain baik perubahan
itu itu dari perawi t}abaqah gurunya
atau guru dari gurunya. Apabila dalam kondisi tertentu tidak ada alternatif
jalur sanad yang lain karena hadis tersebut hanya punya satu sanad tetapi
kandungan matannya mencakup beberapa petunjuk hukum sehingga perlu ada
pengulangan, maka al-Bukhari meringkas sanadnya ataupun meringkas matannya
(hanya menyebut matan yang berkaitan dengan bab).[66]
Hal inilah yang menyebabkan al-Bukhari melakukan ta’liq terhadap hadis yang
sanadnya maushul di bagian lain kitabnya. Adapun hadis yang tidak disebutkan
sanad lengkap bersambung (maus}ul) oleh
al-Bukhari di tempat lain dalam Sahihnya sebanyak 170 hadis.[67]
Ibnu Hajar al-Asqalany menyusun kitab khusus yang menyebutkan sanad lengkap
hadis-hadis tersebut dalam kitabnya “Taghliq
al-Ta’li>q”.
18) Dari aspek validitas (kesahihan)nya,
Ibnu Hajar menyebutkan klasifikasinya: (1) Hadis-hadis mu’allaqat dengan
ungkapan (s}ighah) jazm (indikasi yang tegas dan pasti) yang
sahih sesuai dengan syarat al-Bukhari. Al-Bukhari men-ta’liq
hadis semacam ini, bisa jadi karena tidak langsung didengarnya (as-sima) tetapi
diperoleh dengan cara al-mudhakarah
atau al-ija>zah (2) Hadis-hadis mu’allaqa>t dengan ungkapan (s}ighah) jazm akan tetapi tidak sesuai syarat al-Bukhari. (3) Hadis-hadis mu’allaqa>t dengan ungkapan (s}ighah) jazm dan nilainya dha’if karena sanadnya terputus (al-inqit}a’), (4) Hadis-hadis mu’allaqa>t dengan ungkapan (s}ighah) tamri>d} (indikasi yang tidak tegas dan pasti), nilainya sahih
tetapi tidak sesuai syarat al-Bukhari, (5) Hadis-hadis mu’allaqa>t dengan ungkapan tamri>d}yang
nilainya hasan, (6) Hadis-hadis mu’allaqa>t
dengan ungkapan (s}ighah) tamri>d} yang nilainya dho’if. Hadis
yang kualitasnya dho’if ini ada yang dho’if dengan penguat (yunjabar) sehingga dapat naik ke level
hasan, namun ada pula yang dho’if tanpa penguat sehingga tidak dapat naik
level. Al-Bukhari menyebutkan hadis model terakhir ini dalam konteks kritik
validitasnya dengan mengisyaratkan secara eksplisit kedho’ifannya.[68]
Menurut penelitian al-Hafiz} Ibnu Hajar, jumlah hadis mu’allaq dengan sighat jazm
yang berkualitas sahih tetapi tidak memenuhi syarat al-Bukhari cukup banyak
dalam Sahih al-Bukhari. Sementara hadis mu’allaq
dengan shighat tamrid} yang
dipaparkan dalam konteks dijadikan hujah, pendalilan dan bukti (ihtija>j dan istishha>d) oleh al-Bukhari, maka hukumnya sahih atau hasan atau
dho’if dengan penguat. Adapun, hadis mu’allaqtamridh
ini yang disebutkan dalam konteks kritik dan penolakan (ar-radd) maka hadis tersebut dho’if
menurut al-Bukhari.[69]
2. Kitab Al-Ja>mi’ al-S{ahi>h atau
Sahih Muslim
a. Nama Penulis
Penulisnya adalah seorang al-Ima>m, al-Ha>fiz},
kritikus hadis, Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajja>j Ibn Muslim al-Qushairy
al-Naisabuwry. Beliau lahir tahun 204 H dan meninggal tahun 261 H.[70]
Beliau belajar hadis dengan melakukan rihlah untuk
menemui banyak guru sehingga beliau mencapai level tinggi ulama hadis dunia. Di antara guru-guru penting dan terbanyak periwayatan
hadisnya oleh Imam Muslim; Abu Bakar Ibn Abi Shaibah (sebanyak 1450 hadis),
Zuhair Ibn Harb Abu Khaithumah (1281), Muhammad Ibn al-Muthanna (772 hadis),
Yahya bin Yahya Ibn Bakr al-Naisa>bu>ry (689 hadis), Qutaibah Ibn
Sa’i>d (668 hadis).[71]Termasuk di antara gurunya adalah Imam al-Bukhari.
Adapun di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Makhlad ibn Hafs} al-Dawry,
Abu ‘Awa>nah al-Isfara>iny dan Muhammad bin ‘I<sa> bin Su>rah
al-Tirmidhi atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Tirmidhi.[72]
Banyak pengakuan ulama di masanya dan sesudah zamannya
atas integritas dan kapasitas keilmuan hadisnya. Di antaranya Ahmad bin Salamah
berkata: “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Ha>tim mengunggulkan Muslim bin
al-Hajja>j atas para ulama (mashaikh) di masa mereka”.[73] Muhammad bin Abd al-Wahha>b al-Farra>’ berkata:
“Muslim bin al-Hajja>j adalah salah seorang ulama dunia dan wadah
ensiklopedi ilmu”.[74]
b. Nama Kitab
Ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan dan
menetapkan nama Kitab ini. Ada yang hanya menyebutkan
“al-Sahi>h” saja tanpa atribut yang lain. Seperti pendapat Ibn al-Nadi>m,
Ibn ‘Asa>kir, Ibn Kathi>r, al-Dhahaby, Ibn al-Jazry, al-Ya>fi’y, dll.
Ada yang menyebutkan “al-Ja>mi’ al-Sahi>h”. Ada pula yang hanya menyebut “Kita>b
Muslim” seperti pernyataan Abu ‘Aly al-Naisa>bu>ry dan riwayat dari Ibn
‘Atiyah “Kitab Muslim Ibn al-Hajja>j al-Sahi>h”, “Kitab Muslim Ibn
al-Hajja>j al-Musnad”. Sementara Nama yang
populer di kalangan ulama adalah Sahih Muslim. Ibn S{alah meriwayatkan
pernyataan dari Imam Muslim sendiri yang menyatakan:
صنفت هذا "المسند
الصحيح" من
ثلاثمائة ألف حديث مسموعة.
“Saya menyusun Kitab al-Musnad al-S{ahi>h ini dari
tiga ratus ribu hadis yang saya dengar (dari guru saya)”.[75]
Menurut
al-Qanu>jy dan dalam riwayat kedua dari Ibnu Kathi>r, namanya adalah
S{ahi>h Muslim. Adapun menurut penelitian Mus}addiq Ami>n ‘At}iyyah
al-Dawry, penamaan dengan “Al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas{ar min
al-Sunan” dan “Al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar min al-Sunan bi
al-Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasul Allah S{alla> Allah ‘Alaih wa Sallam” adalah
hal yang aneh. Dengan demikian nama yang asli (orisinil) menurut Mus}addiq
Ami>n ‘At}iyyah al-Dawry dan Muhammad ‘Abd al-Rahma>n T{awa>libah adalah
“al-Musnad al-S{ahi>h” dan yang populer di masyarakat adalah “S{ahi>h
Muslim”.[76]
c. Motivasi dan Proses Penulisannya
Ada dua faktor yang disebutkan sendiri oleh Imam
Muslim bin al-Hajja>jSebagaimana tersebut pengantar Kitab Sahih Muslim, yaitu:
1)
Menjawab permintaan dari salah
seorang muridnya.
2)
Banyaknya kitab-kitab yang ditulis pada
masa itu yang dipenuhi oleh hadis-hadis yang lemah, munkar dan palsu sementara kitab-kitab itu menyebar luas di tengah
masyarakat umum.[77]
Imam Muslim
menyusun Kitab Sahihnya tersebut selama lima belas (15) tahun dengan menyeleksi
dari 300 ribu hadis-hadis sahih yang dikumpulkan dan dihafalnya.[78] Kemudian Kitab tersebut disodorkan untuk dikoreksi
dan mendapatkan pengakuan dari ulama hadis di zamannya di antaranya Imam Abu
Zur’ah al-Ra>zy. Abu Zur’ah membantu mengoreksi dan menunjukkan beberapa
hadis yang terdapat ‘illat-nya dan Imam Muslim kemudian membuangnya dari
Kitab Sahihnya.[79]Imam Muslim berkata tentang Kitabnya ini: “Seandainya
para ahli hadis mencatat hadis selama dua ratus tahun, maka porosnya adalah
seputar pada hadis-hadis dalam (Kitab) Musnad ini”.[80]
d. Tingkatan Perawi Hadis dalam Sahih
Muslim
Sebagaimana disebutkan sendiri oleh Imam Muslim, dalam
Kitab Sahihnya terdapat 3 jenis perawi,
yaitu (1) Para perawi di level huffa>z}
danmutqini>n yang lurus dn kokoh
ke-d}a>bit-annya dalam periwayatan hadis dan tanpa cacat dalam periwayatan.
(2) Para perawi dikenal dengan sifat
jujur dalam periwayatan (s{idq)
namun berada di level menengah (di bawah level pertama) dalam kekuatan hafalan
dan ketepatan (itqa>n) riwayat,
(3) Para perawi yang dinyatakan lemah (d}u’afa>’)
dan ditinggalkan hadisnya (matru>ki>n)dan
mayoritas hadisnya munka>r.[81]Secara
eksplisit, Imam Muslim menyatakan bahwa beliau mencantumkan hadis-hadis dari
para perawi jenis pertama kemudian diikuti dengan pencantuman para level kedua.
Adapun perawi level atau jenis ketiga, Imam Muslim menghindarinya.[82]Jika
diteliti lebih lanjut, perawi level kedua, hadis-hadisnya dijadikan sebagai mutaba’a>t dan shawa>hid oleh Imam
Muslim. Sementara ada sedikit hadis di level ketiga yang dicantumkan baik
karena sanad riwayatnya ‘a>ly
seperti perawi Suwaid bin Sa’i>d atau karena adanya riwayat-riwayat lain
dari para perawi thiqa>t yang
menguatkan validitasnya.
e. Metodologi Penulisan
1) Hadis-hadis disusun secara sistematis dalam “kitab-kitab”
dan pasal-pasal tematis fikih (abwa>b fiqhiyyah). Akan tetapi,
berbeda dengan kitab jawa>mi’ yang lain, Kitab ini tidak menyertakan
penetapan hukum (istinbat}) dan
pendapat-pendapat fikih. Demikian pula tidak mencantumkan penjelasan ringkas (tarjamah)
masing-masing bab yang terkait akidah dan juga tidak menakwilkannya.Dalam masing-masing bab, pencantuman hadis dimulai
dari hadis yang diriwayatkan perawi yang paling thiqah dan mutqi>n
kemudian hadis dari perawi di bawah level itu. Muslim juga memperbanyak
hadis-hadis mutaba’a>t dan shawa>hid.[83]
2) Aspek teknik pencantuman sanad (s}ina’ah al-asa>ni>d).
a)
Imam Muslim mengkombinasikan upaya
peringkasan (Ikhtis}a>r) dan
penghimpunan seluas-luasnya (isti>’a>b)
terhadap riwayat-riwayat terkait dengan tema bab. Hal ini dilakukan dengan (i)
menggunakan cara pengalihan sanad (tahwi>l
al-sanad) dengan kode hurufح. Jumlah hadis
yang tercantum tahwi>l sanad ini
sebanyak 1236 hadis. (ii) Menggambungkan penyebutan para perawi yang menjadi
gurunya (jam’ al-Shuyu>kh). Hal
ini bila suatu hadis didengar atau diterimanya melalui lebih dari satu orang
guru. Demikian pula untuk para guru dari gurunya pada level perawi di atasnya (shaikh shaikhihi). (iii) Mengisyaratkan
adanya variasi sanad. Hal ini dengan cara menyebutkan suatu hadis dengan sanad
dan matan yang lengkap kemudian menyebutkan berbagai variasi jalur sanad sampai
titik temu percabangan sanad dengan mengisyaratkan lanjutannya. Hal ini bila
ada tambahan informasi yang dianggap penting dalam riwayat tersebut seperti
perbedaan redaksi lambang periwayatan (siyagh al-a>da>’).[84]Contoh:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ سَعْدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ:
«مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ
وَالِدَيْهِ»
قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ
يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ»
وَحَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ
بَشَّارٍ جَمِيعًا، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، ح وَحَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
كِلَاهُمَا عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ. [85]
(iv)
Mengisyaratkan adanya variasi pada
matan. Seperti hadis berikut:
وَحَدَّثَنَاهُ
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ، ح وحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مِهْرَانَ الْقُطَعِيُّ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
عُمَرَ، جَمِيعًا عَنْ شُعْبَةَ، ح وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ،
كِلَاهُمَا عَنْ قَتَادَةَ، بِإِسْنَادِ هَمَّامٍ سَوَاءً، غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ
شُعْبَةَ، انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ: «ابْنَةُ
أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ»، وَفِي
حَدِيثِ سَعِيدٍ ": وَإِنَّهُ
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ "،
وَفِي رِوَايَةِ بِشْرِ بْنِ عُمَرَ: سَمِعْتُ
جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ[86]
b)
Metode dalam pengulangan hadis
(al-Tikra>r). Jika hadis memiliki tambahan informasi baik sanad maupun matan
maka dilakukan tikra>r agar
tampilan variasi jalur sanad banyak (ta’addud
al-t}uruq) dan mengindari masalah gharabah.
Kebiasaan Imam Muslim adalah menghindari pengulangan hadis di berbagai tempat.
Beliau hanya menyebutkan pengulangan riwayat pada satu tempat tertentu dan
tidak mengulangnya di tempat lain, walaupun substansi makna berkaitan hukum
fikih yang beragam.[87]
c)
Membedakan antara ungkapan redaksi
lambang periwayatan tertentu (siyagh
al-ada>). Yaitu antara haddathana>dan
akhbarana. Hal ini karena keduanya
dianggap memiliki indikasi cara tahammul
yang berbeda. haddathana>melambangkan
al-sama’ dan akhbarana melambangkan al-‘ard.
Hal ini disebutkan oleh Muslim dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو كُرَيْبٍ،
وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو كُرَيْبٍ: حَدَّثَنَا،
وقَالَ الْآخَرَانِ: أَخْبَرَنَاأَبُو
مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي
سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «طَعَامُ
الْوَاحِدِ يَكْفِي الِاثْنَيْنِ، وَطَعَامُ الِاثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ»[88]
3)
Aspek teknik pencantuman matan.
Imam
Muslim menyebutkan jalur-jalur sanad dan mengulangnya karena adanya perbedaan
redaksi matan. Juga, mengisyaratkan adanya tambahan faidah hukum di dalamnya.
Contohnya, Imam Muslim menyebut empat variasi matan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، أَخْبَرَنَا أَبُو
خَيْثَمَةَ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، ح وحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ بْنِ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا أَشْعَثُ، حَدَّثَنِي
مُعَاوِيَةُ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مُقَرِّنٍ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، فَسَمِعْتُهُ
يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ،
وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: «أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ
الْجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، أَوِ الْمُقْسِمِ،
وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ،
وَنَهَانَا عَنْ خَوَاتِيمَ - أَوْ عَنْ تَخَتُّمٍ - بِالذَّهَبِ، وَعَنْ شُرْبٍ بِالْفِضَّةِ، وَعَنِ
الْمَيَاثِرِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالْإِسْتَبْرَقِ
وَالدِّيبَاجِ»،[89]
حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ،
عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سُلَيْمٍ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ، إِلَّا قَوْلَهُ: وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، أَوِ الْمُقْسِمِ، فَإِنَّهُ
لَمْ يَذْكُرْ هَذَا الْحَرْفَ فِي الْحَدِيثِ، وَجَعَلَ مَكَانَهُ وَإِنْشَادِ
الضَّالِّ،
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
مُسْهِرٍ، ح وحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ،
كِلَاهُمَا عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، بِهَذَا
الْإِسْنَادِ مِثْلَ حَدِيثِ زُهَيْرٍ، وَقَالَ: إِبْرَارِ الْقَسَمِ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ، وَزَادَ فِي
الْحَدِيثِ، وَعَنِ الشُّرْبِ فِي الْفِضَّةِ، فَإِنَّهُ مَنْ شَرِبَ فِيهَا فِي
الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْ فِيهَا فِي الْآخِرَةِ،
وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، أَخْبَرَنَا
أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ، وَلَيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنْ أَشْعَثَ
بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، بِإِسْنَادِهِمْ وَلَمْ يَذْكُرْ زِيَادَةَ جَرِيرٍ،
وَابْنِ مُسْهِرٍ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ،
قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ح وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ
مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ،
أَخْبَرَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
بِشْرٍ، حَدَّثَنِي بَهْزٌ، قَالُوا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سُلَيْمٍ،
بِإِسْنَادِهِمْ وَمَعْنَى حَدِيثِهِمْ، إِلَّا قَوْلَهُ: وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ، فَإِنَّهُ قَالَ: بَدَلَهَا وَرَدِّ السَّلَامِ، وَقَالَ: نَهَانَا عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ أَوْ حَلْقَةِ
الذَّهَبِ[90]
4) Aspek terkait hadis-hadis yang tidak bersambung sanadnya
sampai Rasulullah SAW (muttashil).
Pada
prinsipnya Imam Muslim sangat menghindari adanya hadis-hadis yang tidak
bersambung sanadnya sampai Rasulullah SAW (muttashil),
seperti hadis-hadis mu’allaqa>t,
mauqu>fa>t dan maqt}u’a>t.
Walaupun demikian, terdapat juga hadis-hadis kategori tersebut dengan jumlah
yang sangat sedikit dalam Kitab Sahihnya. Menurut al-Ha>fiz} Abu Ya’la
al-Ghassa>ny, terdapat 14 hadis yang mu’allaq
dalam Sahih Muslim. Di antara contohnya, Imam Muslim berkata:
وَرَوَى
اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ عُمَيْرٍ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: أَقْبَلْتُ
أَنَا وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَسَارٍ، مَوْلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. حَتَّى
دَخَلْنَا عَلَى أَبِي الْجَهْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ
الْأَنْصَارِيِّ، فَقَالَ أَبُو الْجَهْمِ: «أَقْبَلَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ،
فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ، حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ
وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامُ»[91]
Dalam
hadis di atas ada pemotongan sanad sehingga terjadi mu’allaq antara Imam Muslim
(204 H-261 H) dengan al-Laith bin Sa’ad (135 H-199 H) dengan mengihilangkan
seorang perawi yaitu Yahya bin Bukair yang menjadi guru Imam Muslim.[92]
Adapun hadis-hadis yang berkategori mauqu>fa>t dan maqt}u’a>t
hanya terdapat dalam pengantar (muqaddimah)
Kitab Sahihnya. Contohnya:
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَا: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ
عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ
مَسْعُودٍ، قَالَ: «مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ،
إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً»[93]
Hadis di atas adalah hadis mauquf pada Sahabat Abdullah
Ibn Mas’ud.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ، عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ،
قَالَ: " لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ،
فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ
السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا
يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ " حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الْحَنْظَلِيُّ، أَخْبَرَنَا عِيسَى وَهُوَ ابْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، قَالَ: لَقِيتُ طَاوُسًا فَقُلْتُ: حَدَّثَنِي فُلَانٌ كَيْتَ وَكَيْتَ، قَالَ: «إِنْ كَانَ صَاحِبُكَ مَلِيًّا، فَخُذْ عَنْهُ»
Hadis di atas adalah hadis maqtu>’ pada Ta>bi’i>n bernama Muhammad bin Siri>n.[94]
f. Perbandingan antara Sahih Muslim
dengan Sahih Bukhari
Mayoritas
ulama hadis menyepakati bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah sahih al-Bukhari dan Muslim. Sementara, di
antara kedua kitab sahih tersebut, sahih al-Bukhari paling unggul dan paling
banyak faidah ilmiyahnya.[95]
Adapun pendapat selain itu, seperti riwayat dari Imam as-Syafi’I yang
menyatakan bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah al-Muwat}t}a’ Imam Malik, dijawab oleh Ibnu Sholah bahwa pendapat tersebut
disampaikan Imam al-Syafi’i karena Kitab sahih
al-Bukhari dan Muslim belum muncul (ditulis).[96]
Demikian pula, dari penelitian para ulama hadis bahwa Imam Malik tidak
bermaksud secara khusus mengumpulkan hadis-hadis sahih, karena di dalamnya
terdapat hadis-hadis mursal, munqathi’ bahkan balaghah (ungkapan-ungkapan sastra).[97]
Menurut Nur al-di>n ‘Itr; Imam Malik mencampur
hadis dengan perkataan shahabat dan tabi’in dan mencantumkannya dalam bentuk (siyaq) yang sama. Hadisnya tidak khusus
untuk hadis marfu>‘. Adapun sahih
al-Bukhari, membedakan antara hadis marfu>‘
dengan perkataan shahabat, dan tabi’in dan mencantumkannya ditempat khusus
yaitu pada tarojim al-ba>b. Kitab
sahih al-Bukhari adalah kitab yang secara khusus menghimpun hadis-hadis sahih
yang marfu>‘. Sehingga pantas
diunggulkan. Namun juga ‘Itr juga setuju jika dikatakan bahwa al-Muwat}t}a’ karya Imam malik adalah
kitab sahih yang pertama kali ada.[98]
Di
samping itu, kalaupun dikatakan bahwa al-Muwat}t}a’
adalah kitab sahih, maka sebagimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwa kitab al-Muwat}t}a’ Imam Malik hanya diakui sahih terbatas
dikalangan pengikut mazhabnya dan sementara ulama yang berpendapat bolehnya
berhujjah dengan hadis-hadis mursal
dan munqathi’ dan sebaigainya, bukan
dinilai dari sisi persyaratan hadis sahih.[99]
Walaupun dalam sahih al-Bukhari terdapat hadis-hadis munqathi’, namun hal itu berbeda dengan
yang terdapat dalam al-Muwat}t}a’. Yang terdapat dalam al-Muwat}t}a’, pada umumnya adalah hadis yang memang asli hadis itu
demikian didengar Imam Malik dari guru hadisnya dan baginya, hadis tersebut
adalah hujjah. Adapun adanya hadis munqathi’
dalam sahih al-Bukhari lantaran disengaja dibuang sanadnya oleh al-Bukhari,
baik dengan tujuan untuk meringkas, karena telah disebutkan secara maushul di
tempat lain dari kitabnya atau dengan tujuan untuk mengindikasikan bahwa hadis
itu tidak sesuai syarat sahihnya dan membedakan jenis hadis itu dengan hadis
lain yang sesuai syaratnya sehingga jelas bagi yang meneliti bahwa hadis
tersebut di luar konteks batasan kitabnya yang menghimpun hadis sahih yang
musnad. Pencamtuman jenis hadis tersebut dalam sahih al-Bukhari mengandung
faidah sebagai tanbi>h, istishha<d, isti’na>s dan tafsir
atas sebagian ayat-ayat al-Quran, dalam lain-lain.[100]
Di antara kalangan ulama hadis ada pula
yang mengunggulkan sahih Muslim
di atas sahih Bukhari,seperti Abu
Ali an-Naisaburi, guru Imam al-Hakim.[101]
Namun, pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama hadis yang menetapkan bahwa Sahih al-Bukhari lebih unggul dibanding
Sahih Muslim.[102]
Keunggulan ini dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:[103]
1.
Keunggulan
sebagai pioner/perintis. Kitab Sahih Bukhari adalah kitab hadis pertama yang
secara khusus menghimpun hadis-hadis sahih. Adapun sahih Muslim, misalnya
sebagai “saingan” terdekat sahih al-Bukhari baru muncul kemudian, apalagi kitab-kitab hadis lain
seperti kitab sunan dan musnad. Bahkan, Al-Hafiz Abu al-Hasan al-Daruquthny berpendapat:“Seandainya
bukan karena Imam Bukhari, maka tidak ada karya Imam Muslim. Sesungguhnya
Muslim merujuk Kitab Sahih al-Bukhari dan menjadikannya sebagai mustakrajan dan menambah sejumlah
hadis.”[104] Hal
senada juga dikatakan oleh al-Hakim.[105]
2.
Keunggulan
dari aspek standar persyaratan kesahihan. Bukhari memiliki syarat yang lebih
ketat dari Imam Muslim dari aspek ittishol
sanad. Al-Bukhari mensyaratkan thubut al-Talaqqi> antar perawi yang menjadi guru-murid walaupun hanya
sekali. Sementara Muslim mencukupkan adanya kepastian mu’as{arahantarperawi. Dalam hal ini, Imam Bukhari lebih ih{tiyat{(hati-hati) dan tathabbut (cermat dan teliti).
3.
Keunggulan
sebagai kitab hadis yang paling sedikit dikritik. Hadis-hadis yang dikritik
dalam sahih Bukhari lebih sedikit dibandingkan dalam kitab Sahih Muslim. Dari 210 hadis yang dikritik oleh Al-Daraquthni,
sebanyak 78 hadis khusus terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 100 hadis terdapat
dalam Sahih Muslim, sementara 32 hadis sama-sama terdapat dalam kedua kitab
tersebut. Itu pun, mayoritas hadis-hadis al-Bukhari yang dikritik terjawab oleh
Ibnu Hajar dalam Hadyu as-Sary dan Fath al-Bary.
4.
Keunggulan dari tingkat kepercayaan terhadap para perawinya.
Perawi hadis yang dipermasalahkan dalam Sahih al-bukhari lebih sedikit
dibandingkan sahih Muslim. Riwayat perawi hadis yang bermasalah yang secara
tersendiri dipakai oleh al-Bukhari dan tidak dipakai oleh Muslim, lebih sedikit
dikritik dibandingkan sebaliknya pada sahih Muslim. Dari 435 perawi al-Bukhari yang tidak ada periwayatannya
dalam Sahih Muslim terdapat 80 orang perawi yang dikritik atau sebanyak 18, 39
%, sementara dari 620 perawi khusus perawi Muslim tanpa ada riwayatnya dalam Sahih al-Bukhari terdapat 160 oarng
perawi yang dkritik atau sebanyak 25, 81 %. [106]
Mayoritas para perawi yang dikritik adalah guru-guru
al-Bukhari sendiri yang pernah dijumpainya, bermajelis dan berdiskusi
dengannya, diketahui persis keadaannya dan telah diteliti periwayatannya
sehingga dapat diseleksi hadisnya yang kuat dari periwayatannya yang waham (berdasar dugaan yang berpotensi
keliru).[107]
Al-Bukhari juga tidak terlalu banyak mencantumkan hadis-hadis
mereka. Hal ini berbeda dengan Imam Muslim.[108]
5.
Keunggulan dari aspek kekayaan kandungan ilmunya.
Sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi bahwa Sahih
al-Bukhari adalah kitab yang paling banyak memberikan faedah keilmuan mengingat
didalamnya terkandung penjelasan istinbath
fiqih, dan intisari hikmah dan lain-lainnya.
6.
Keunggulan pengakuan ulama hadis. Imam as-Suyuthi
menegaskan bahwa jumhur ulama hadis menetapkan bahwa Kitab yang paling sahih
adalah sahih al-Bukhari karena paling ketat dalam persyaratan ittis}a>l sanad dan paling itqa>n dalam aspek perawi (rija>l) hadisnya.
Imam Nawawi dan Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi
berpendapat bahwa ulama sepakat untuk mengunggulkan al-Bukhari di atas Muslim
dari aspek keluasan dan kedalaman ilmu hadisnya. Imam Muslim adalah muridnya
dan mengambil ilmu hadis darinya serta memanfaatkan hal-hal positif dari kitab
gurunya, sahih al-Bukhari dan mengikuti jejaknya dalam metode penulisan kitab
hadis.[109]
Tentu saja, keunggulan-keunggulan
di atas tidak bersifat mutlak untuk
setiap hadis dalam al-Bukhari atas Muslim.Namun, penilaian tersebut hanya bersifat global.
Karena—sebagaimana pendapat Az-Zarkasy—bahwa ada beberapa hadis dalam sahih
Muslim lebih sahih daripada dalam Kitab al-Bukhari.[110]Demikian pula, dari sisi sistematika dan metodologi
penulisan riwayat hadis—menurutsebagian ulama—Sahih Muslim lebih unggul dari Sahih al-Bukhari.[111]
g.
Syarat Sahih Al-Bukhari dan Muslim
Imam Bukhari diakui memakai standard tinggi dalam
seleksi hadis shohih yang dicantumkannya dalam kitab al-Ja>mi’ as-Sah}i>h.[112]
Namun sayangnya, Imam Bukhari sendiri
tidak menjelaskan tentang
kriteria, standar atau syarat kesahihan hadis-hadisnya baik dalam kitab al-Ja>mi’
as-Sah}i>h maupun kitab-kitabnya yang lain.[113] Di sisi
lain, banyak kitab-kitab hadis dan takhrij
yang menggunakan
istilah ‘ala> shart} al-Bukhari.
Padahal, rumusan
istilah ini masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Apakah sebenarnya
yang dimaksud dengan ‘ala shart} al-Bukhari tersebut? Jelas,
istilah shart} al-Bukhari belumlah
dikenal sebelum zaman al-Bukhari, atau pada masa beliau sendiri, bahkan
beberapa waktu setelah zaman beliau.Abu Mu’adz Thariq bin ‘Audhillah
berpendapat bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan istilah ini adalah
Imam Al-Da>ruqut}ny (w. 385 H) dalam kitabnya “Al-Ilzamat”.[114]
Imam
al-Hakim (w. 405 H) adalah ulama hadis yang mempopulerkan istilah ‘ala shart} al-Bukhari, ‘ala shart} Muslim,
‘ala shart} al-Bukhari wa Muslim, atau ‘ala
shart}ihima .Istilah tersebut banyak dipakai dalam kitabnya “Al-Mustadrak
‘ala al-S{ahi>hai>n”.[115]
Para peneliti hadis cukup antusias untuk meneliti dan
merumuskan apa yang menjadi syarat Imam al-Bukhari. Metode yang digunakan para
ulama adalah metode induktif yaitu meneliti hadis-hadis al-Shohih al-Jami’
untuk menentukan syarat shohihnya. Di
antaranya pendapat Al-Hazimy (w. 584 H). Al-Hazimi>menyusun Kitab Shurut} al-Aimmah dan menyampaikan teorinya tentang syarat al-Bukhari dan Muslim. Menurut al-Hazimy, syarat al-Bukhari adalah
mencantumkan hadis-hadis yang ittishol sanad oleh para perawi tsiqah yang mutqi>n (teliti dan cermat) dan multazim (berguru dengan menyertainya dalam setiap keadaan) kepada
orang yang diambil periwayatan hadis itu dalam waktu yang lama. Terkadang juga
menggunakan periwayatan hadis dari perawi pada tingkatan yang lebih rendah dalam
hal itqon dan lebih singkat masa mulazamah-nya.
Syarat perawi yang lebih rendah dari itu dicantumkan oleh al-Bukhari hanya
sebagai syawahid dan mutaba’ah.[116]
Menurut al-Hazimy, target utama al-Bukhari dalam seleksi hadisnya adalah
riwayat dari para perawi terbaik dari level pertama dalam hal ke-thiqa>h-an, namun
dalam kondisi tertentu al-Bukhari menurunkan standar kriterianya. Bahkan,
al-Bukhari juga menampilkan hadis dari beberapa perawi yang dinilai ada unsur
kedhoifannya. Akan tetapi tidak sampai sangat dho’if yang tertolak semua
hadisnya. Apalagi, aspek ked}a’i>fan sangat beragam dan para ulama
berbeda dalam menetapkan penyebabnya.[117]
Sementara,
menurut Imam an-Nawawi (w. 676 H)[118]
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syarat shohih al-Bukhari adalah rija>l al-isna>d yang terdapat
dalam kitab shohih-nya.Karena al-Bukhari tidak menjelaskan syarat shohihnya
baik dalam kitab shohihnya maupun kitab lainnya.[119]Konsep
syarat shohih al-Bukhari dengan hanya mengacu kepada perawi yang disebutkan
oleh al-Bukhari dalam kitab shohihnya, memiliki kelemahan. Secara aplikasi,
dengan perspektif semacam itu, al-Hakim dianggap tasa>hul dalam mengklaim kesahihan suatu hadis sebagai ‘ala syart{ asy-Syaikhani atau ‘ala syarth al-Bukhari, dst.
3. Kitab Al-Ja>mi’ al-Tirmidhi
a. Nama Penulis
Muhammad ibn ‘Isa> ibn Shuwrah Ibn Mu>sa> Ibn
al-D{ah}h}a>k al-Sulamy al-Turmudhy. Lahir di penghujung tahun 210 H.
Sebagian pakar sejarah menyatakan bahwa Beliau lahir dalam keadaan buta. Namun,
yang tepat Beliau ditimpa kebutaan pada usia tua setelah masa rihlah menuntut ilmu dan
pendokumentasian ilmunya. [120]
Beliau berguru kepada Imam al-Bukhari bahkan mendapat
pujian yang tingi dari guunya tersebut: “manfaat ilmu yang saya peroleh darimu
lebh banyak daripada apa yang kamu dapatkan dari saya”. [121]Beliau juga belajar kepada Imam Muslim Ibn
al-Hajja>j, akan tetapi hadis yang diriwayatkan dari Imam Muslim hanya satu
hadis saja, yaitu hadis:
«أَحْصُوا هِلَالَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ»
“Hitunglah
munculnya hilal Bulan Sha’ban untuk Bulan Ramadhan”[122]
Al-Tirmidhi juga berjumpa dengan Imam Abu Da>wud
Sulaiman Ibn al-Ash’ab al-Sijista>ny dan Abd al-Rahma>n al-Dara>my,
Abu Zur’ah al-Ra>zy. Namun yang paling besar pengaruhnya dan paling lama mula>zamah (belajar bersama) gurunya
adalah ami>r al-mu’mini>n fi al-hadi>th
Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhary. Al-Tirmidhi bukan hanya belajar
periwayatan dan ‘ulu>m al-hadi>th-nya
namun juga fikih hadisnya.[123]
b. Nama Kitab
Ada beberapa nama yang dikenal oleh para ulama atas
Kitab tersebut, antara lain (1) “S}ahih al-Tirmidhi”. Sebagaimana
yang dipakai oleh al-Khati>b al-Baghdady, (2)“Al-Ja>mi’
al-S{ahi>h”. sebagaimana disebut oleh al-Ha>kim. Namun kedua nama ini kurang tepat karena
secara faktual, Imam al-Tirmidhi sendiri mengakui bahwa di samping hadis-hadis
sahih dan hasan, kitabnya mencantumkan juga kualitas di bawah level itu. (3) “al-Ja>mi’ al-Kabi>r”, sebagimana disebutkan
oleh al-Kattany dalam Kitabnya al-Risalah al-Mustat}rafah, namun nama ini juga
jarang dikenal. (4) “al-Sunan”. Nama ini cukup populer dan biasanya
digandengkan dengan nama penulisnya menjadi “Sunan al-Tirmidhi” untuk
membedakan dengan kitab sunan yang lain. Penamaan dengan sunan karena kitab
tersebut meliputi hadis-hadis hukum yang disusun dengan sistematika bab-bab
fikih. (5) “al-Ja>mi’”. inilah nama yang paling populer dan paling banyak
dipakai dengan menyertakan atribut nama penulisnya menjadi “al-Ja>mi’
al-Tirmidhi”. Penamaan kitab tersebut dengan al-Ja>mi’ lebih diterima oleh
para ahli hadis karena hadis-hadisnya mencakup 8 tema besar dalam kategori
kitab al-jawa>mi’.[124]
c. Posisi Kitab al-Ja>mi’
Abu ‘I><sa> al-Tirmidhy berkata:
صَنَّفْتُ هَذَا الكِتَابَ،
وَعَرَضْتُهُ عَلَى عُلَمَاءِ الحِجَازِ، وَالعِرَاقِ وَخُرَاسَانَ، فَرَضُوا بِه،
وَمَنْ كَانَ هَذَا الكِتَابُ -يَعْنِي: (الجَامِعُ) - فِي
بَيْتِهِ، فَكَأَنَّمَا فِي بَيْتِهِ نَبِيٌّ يَتَكَلَّمُ
Saya menyusun kitab al-Jami’dan saya sodorkan kepada
para ulama negeri Hijaz, Iraq dan Khurasan, kemudian mereka menyepakati dan
merekomendasikanya. Barangsiapa yang dalam rumahnya memiliki kitab (al-Ja>mi’)
ini maka seakan-akan di dalam rumahnya ada Nabi yang sedang berbicara”. [125]
Al-Dhahaby mengakui bahwa dalam Kitab al-Ja>mi’
terdapat ilmu yang bermanfaat dan faidah yang banyak dan menghimpun pokok-pokok
permasalahan agama. Bahkan kitab tersebut menjadi salah satu dari
pondasi-pondasi Islam. Akan tetapi, yang keberadaan sebagian hadis-hadis yang
lemah bahkan palsu mengotorinya. Kebanyakan hadis semaca ini terdapat dalam
masalah fad{a>’il.[126]
Menurutpenulis Kitab Kashf al-Z{unu>n bahwa Ktab al-Ja>mi’ al-Tirmidhi merupakan
kitab urutan ketiga dari al-kutub
al-sittah. [127]Namun, Imam al-Dhahaby berpendapat bahwa level Kitab
Ja>mi’ al-Tirmidhi lebih rendah peringkatnya dibanding Kitab Sunan Abi
Da>wud dan Nasa>’I karena mencantumkan hadis-hadis yang riwayatkan oleh
al-Mas}lu>b dan al-Kalby dan semisalnya.[128]Sementara itu, jika dipahami dari pengkodean dalam
Kitab Tahdhi>b al-Kama>l, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Taqri>b dan
Tadkirah al-Huffa>z} bahwa peringkat (rutba>h)
Ja>mi’ al-Tirmidhi sesudah Kitab Sunan Abi Dawu>d, dan sebelum Sunan
Nasa>’i.[129]
d. Keunggulan Kitab al-Ja>mi’ :
1. Dari aspek susunan yang baik dan tanpa pengulangan.
2. Dari aspek penyebutan mazhab-mazhab para ahli fikih dan
segi istidla>l dari setiap pendapat ulama mazhab.
3. Dari aspek penjelasan dan penilaian tentang hadis baik s}ahi>h, hasan, d}a’i>f, ghari>b, ‘illat, dll
4. Dari aspek penjelasan nama-nama perawi dan julukan (laqab) dan panggilan (kunyah), dll yang
bermanfaat dalam kaitannya dengan ilmu rijal. Sementara di bagian akhir Kitab
al-Ja>mi’ disebutkan Kitab Al-‘Ilal yang juga cukup penting dan bermanfaat. [130]
Karena
itu dikatakan bahwa Kitab tersebut “cukup menjadi pegangan bagi mujtahid dan muqallid”.Bahkan Abu Isma>’i>l al-Harawy, Kitab tersebut
lebih bermanfaat daripada Kitab al-S{ahi>hai>n. Alasannya karena setiap
orang bisa mendapatkan faidah darinya, sementara kedua kitab Sahih tersebut
hanya mampu diraih oleh seorang alim yang luas ilmunya.[131]
Imam Al-Tirmidhy menegaskan bahwa semua hadis yang
terdapat dalam kitanya adalah hadis yang diamalkan (ma’mu>l bih). Sebagian ulama mengambilnya (sebagai hujjah)
kecuali dua hadis saja yaitu hadis Ibn Abbas yang berbunyi (جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ
وَالعَصْرِ، وَبَيْنَ المَغْرِبِ وَ`العِشَاءِ بِالمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ).[132]Dan hadis (مَنْ
شَرِبَ الخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ، فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ).[133]
e. Metodologi Kitab al-Ja>mi’ :
1. Tersusun secara sistematis mengikuti pola pembahasan
fiqih (abwa>b fiqhiyyah)seperti
Sunan Abi Da>wud. Dibuka dengan Ba>b
al-T{aha>rah, kemudian Al-S{alah dan
seterusnya. Di bagian akhir ditutup dengan Ba>b
Tafsir al-Quran, al-Da’awa>t dan al-Mana>qib.
2. Dalam masing-masing bab, disebutkan satu atau beberapa
hadis terkait dengan disertai penjelasan status kesahihannya. Terkadang ada
pembahasan tentang sanadnya atau sebagian perawi (rija>l)nya dari aspek jarh
wa ta’adi>l. Contoh:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، وَهَنَّادٌ، وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، قَالُوا: حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ مُحَمَّدِ
ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ، عَنْ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ:
«مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ،
وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ». هَذَا
الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ. وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ هُوَ صَدُوقٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُ
أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ. وسَمِعْت
مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ، يَقُولُ: كَانَ
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَالْحُمَيْدِيُّ،
يَحْتَجُّونَ بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، قَالَ
مُحَمَّدٌ:
وَهُوَ مُقَارِبُ الْحَدِيثِ.
وَفِي الْبَابِ عَنْ جَابِرٍ، وَأَبِي سَعِيدٍ[134]
3. Jika dalam suatu bab terdapat hadis yang memiliki
beberapa jalur (T{uruq) periwayatan,
al-Tirmidhi meringkasnya dengan menyebut satau atau lebih hadis terkait bab
tersebut kemudian selebihnya dikomentari dengan:
وفي الباب
عن فلان وفلان…..
Contoh :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ
حَرْبٍ، ح وحَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ سِمَاكٍ،
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ
مِنْ غُلُولٍ»، قَالَ هَنَّادٌ فِي حَدِيثِهِ: «إِلَّا بِطُهُورٍ». هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ
وَأَحْسَنُ. وَفِي الْبَابِ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ أَبِيهِ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ،
وَأَنَسٍ. وَأَبُو الْمَلِيحِ بْنُ أُسَامَةَ اسْمُهُ عَامِرٌ، وَيُقَالُ: زَيْدُ بْنُ أُسَامَةَ بْنِ عُمَيْرٍ الْهُذَلِيُّ[135] .
4. Penyebutan pendapat-pendapat mazhab fikih dari para
sahabat atau tabi’in dan ulama fiqih di masa Imam al-Tirmidhi. Contohnya :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ، عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ
مُعَوِّذِ ابْنِ عَفْرَاءَ، أَنَّهَا رَأَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ، قَالَتْ: «مَسَحَ رَأْسَهُ، وَمَسَحَ مَا أَقْبَلَ مِنْهُ، وَمَا
أَدْبَرَ، وَصُدْغَيْهِ، وَأُذُنَيْهِ مَرَّةً وَاحِدَةً». وَفِي الْبَابِ، عَنْ عَلِيٍّ، وَجَدِّ طَلْحَةَ بْنِ
مُصَرِّفِ. حَدِيثُ الرُّبَيِّعِ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ
وَجْهٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَسَحَ
بِرَأْسِهِ مَرَّةً. وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَبِهِ يَقُولُ: جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ،
وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، رَأَوْا مَسْحَ
الرَّأْسِ مَرَّةً وَاحِدَةً.[136]
5. Terkadang dalam suatu bab tertentu, terdapat penyebutan
hadis lain yang menyelisihi (mukha>lafah)dengan
hadis yang tercantum dalam bab tersebut dengan menyebutkan ulama tertentu yang
ber-hujjah dengan hadis tersebut atau untuk menjelaskan bahwa hadis tersebut
terabrogasi (mansukh).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: قَالَ لَنَا عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ: «إِنَّ الرُّكَبَ سُنَّتْ لَكُمْ، فَخُذُوا بِالرُّكَبِ». وَفِي البَابِ عَنْ سَعْدٍ، وَأَنَسٍ، وَأَبِي
حُمَيْدٍ، وَأَبِي أُسَيْدٍ، وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ،
وَأَبِي مَسْعُودٍ. حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ
أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ، لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ فِي ذَلِكَ،
إِلَّا مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَبَعْضِ أَصْحَابِهِ، أَنَّهُمْ كَانُوا
يُطَبِّقُونَ وَالتَّطْبِيقُ مَنْسُوخٌ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ.[137]
BAB III
KESIMPULAN
1. Kitab al-Ja>mi’ adalah kitab hadis yang memuat
berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; al-aqa>’id (tentang
tauhid), al-ahka>m (tentang hukum), al-riqa>q (tentang budi luhur), al-adab (tentang etika), al-tafsi>r
(tentang tafsir al-Qur’an), al-ta>rikhwaal-siyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al-shama>’il
(tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan al-mana>qibwaal-ma>salib (tentang biografi sahabat
dan tabi’in).
2. Kitab-Kitab yang termasuk kategori al-Jawa>mi’
yang paling popular hingga saat ini ada tiga yaitu: (1) Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h karya Imam al-Bukhari, (2) Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h karya Imam
Muslim, dan (3) Al-Ja>mi’ karya
Imam al-Tirmidhi yang popular pula dengan sebutan “Sunan al-Tirmidhi” karena
perhatian khususnya terhadap hadis-hadis hukum. Ketiga penulis kitab tersebut
memiliki hubungan “guru-murid” dan masing-masing kitab al-ja>mi’ yang
mereka tulis memiliki karakter spesifik yang menjadi keunggulannya tersendiri.
3. Secara umum, kitab-kitab yang termasuk kategori al-Jawa>mi’
memiliki keunggulan dari aspek kualitas validitas hadis, metodologi penyusunan
bab dan perinciannya serta teknik pencantuman hadis.
DAFTAR PUSTAKA
‘Auny (al), Al-Sharif Hatim ‘Arif. al-‘Unwa>n
al-S{ahih li al-Kitab : Ta’rifuhu wa Ahamiyyatuhu wa Wasa>il Ma’rifatihi wa
Ihka>mihi Amthilah li al-Akht}a’ fih. Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alam
al-Fawa>’id, 1419 H.
‘Itr, Nu>r al-Di>n. al-Ima>m al-Tirmidhy
wa al-Muwa>zanah Baina Ja>mi’ih wa baina al-S{ahi>hai>n (T.tp:
T{aba’ah al-Lajnah al-Ta’li>f wa al-Tarjamah wa Nashr, cet. 1, 1390
H/1970 M.
. Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m
al-H{adith. Damaskus : Dar
al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M.
A<ba>dy,
Al-Fairuz. Al-Qa>mu>s
al-Muhi>t}. ed. Muhammad Nu’aim al-‘Arqusu>sy Beirut: Muassasah
al-Risalah, cet. 2, 1426 H/2005 M
Abu Shuhbah, Muhammad Muhammad dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubh
al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al-Mu’as{iri>n- wa yali>hi al-Radd
‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1,
1989 M.
____, Fi Rih}>ab al-Sunnah al-Kutub al-S}ih}ah al-Sittah. Kairo:
Silsilah al-Buhuth al-Islamiyah li al-Azhar, 1415 H/1995 M.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Diroyah
Hadis, jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Asqala>ny (al), Ibn Hajar.al-Nukat ‘ala> Kita>b Ibn S{ala>h, Vol. 1, ed. DR. Rabi’ bin Hady ‘Umair. Riyadh : Daral-Rayah, cet. 3, 1415 H/1994 M.
____.Hadyu al-Sa>ry Muqaddimah Fath} al-Ba>ry, ed. Syaikh ‘Abd al-Qadir Syaibah al-Hamd. Riyadh:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wat{oniyyah, cet. 1, 1421 H/ 2001 M
_____. Taghli>q al-Ta’li>q, ed. Sa’id
‘Abdurrahman al-Qazuqy Beirut: al-Maktab al-Islamy dan Dar ‘Ummar, cet. 1, 1405
H.
_____. Tahdhi>b
al-Tahdhi>b, vol. 9 (India: Mat{ba’ah Da>’irah al-Ma’arif al-Niz}amiyah, ct. 1,
1326 H)
Biqa’I, Ali Nayef.Mana>hij al-Muhaddithin al-‘A<mmah wa al-Kha>s}s}ah. Beirut: Da>r
al-Basha>ir al-Isla>miyah, cet. 2, 1430 H.
Bukhari
(al), Muhammad bin Isma>’il. Al-Ja>mi’ Al-Musnad al-S{ahi>h.
Vol. 1 Beirut: Dar T{uruq al-Najah, cet. 1, 1422 H.
Da>ruqut}ny (al). Al-Ilzamat wa At-Tatabu’, Ed. Muqbil
bin Hadi al-Wadi’y. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet. 2. 1405 H/1985 M.
Dawry
(al), Mus}addiq Ami>n ‘At}iyyah.
“Riwayah S}ahi>h Muslim min T{ari>q Ibn Ma>ha>n Muqa>ranah bi
Riwayah Ibn Sufya>n”, Tesis, Kuliyah Tarbiyah Qism al-Hadi>th al-Nabawy
al-Shari>f, Ja>mi’ah Takri>t, 2010 M.
Dhahaby (al), Shams al-Di>n Muhammad bin Ahmad. Siyar A’la>m Nubala>’, Vol. 10. Beirut: Muassasah
ar-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993 M.
_____. Siyar A’la>m
al-Nubala>’, Vol.12. Beirut :
Muassasah al-Risa>lah, cet. 9, 1413 H/1993M
_____.Ta>rikh
al-Isla>m wa wafiya>t al-Masha>hi>r wa al-A’la>m, vol. 3,
ed. Basha>r ‘Awwa>d Ma’ru>f. t.tp: Da>r al-Gharb al-Isla>my,
cet. 1, 2003 .
_____. Tadhkirah
al-Huffa>z{, vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,cet. 1, 1419
H.
Fari>d, Ahmad. Min
A’la>m al-Salaf, vol. 2. Iskandariyah: Da>r al-I<ma>n, cet. 1,
1418 H.
Ghaury (al), Sayyid Abd al-Majid. Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub
al-Hadi>th. Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, cet. 1, 1430 H/2009 M
Hans,
Wehr. A Dictionary of Modern Written
Arabic. London: Goerge Allen & Unwin Ltd., 1970
Husaini (al), ‘Abd al-Majid Hasyim.Al-Imam al-Bukhary>: Muh}addithan wa Faqi>han. Kairo: Mashr al-‘Arabiyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th.
Idri. Studi
Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013.
Ja>sim (al), ‘Abdul
‘Azi>z Ahmad. “Al-Wazi>z ila ma> fi>
Tara>jim al-Bukhari min H>{adith”, Majalah Jami’ah al-Malik Su’ud, ed.
17, al-‘Ulum al-Tarbiyah wa al-Dirasah al-Islamiyah (1), (1425 H/2004 M).
Kathi>r, Ibn.Al-Bida>yah wa
al-Nihayah, ed. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky (Kairo: Da>r Hijrah, cet. 1, 1417 H/1997 M
Katta>ny (al), Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Abi
al-Faidh. Al-Risa>lah al-Mustat}rafah
li baya>n mashhu>r Kutub al-Sunnah al-Musharrafah, ed. Muhammad
al-Muntas}ir al-Zamzamy. Beirut: Da>r al-Bashair al-Islamiyah, cet. 6, 1421
H/2000 M
Khalifah, H{a>jy. Kashf
al-Z{unu>n ‘An Usa>ma al-Kutub wa al-Funu>n, vol. 1. Baghda>d:
Maktabah al-Muthanna>, 1941 M.
Khumaishy (al), Abd al-Rahma>n
bin Ibrahi>m. Mu’jam ‘Ulu>m
al-H{adi>th al-Nabawy.Jeddah: Da>r
al-Andalus al-Khadra>’, t.th.
Kiby (al), Sa’aduddin bin Muhammad. Muqaddimah al-Nawawi fi ‘Ulu>m al-Hadi>th. Beirut: Al-Maktab
al-Islamy, cet. 1, 1417 H/1997 M.
Mizzy (al), Abu
al-Hajjaj bin Abdurrahman.
Tahdhi>b al-Kama>l, Vol. 24, ed.
Basyar ‘Awwad Ma’ruf. Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2,
1403 H/1983 M.
Minsha>wy
(al), Muhammad S{iddi>q. Qa>mu>s Must}alah{a>t al-Hadi>th
al-Nabawy. (al-Qa>hirah: Da>r al-Fad{i>lah, tth),
Mulakhatar, Khalil Ibrahim. Maka>nah
S{ah}i>h}ain. Kairo: al-Mathba’ah al-‘Arabiyah al-Hadithah, cet. 1, 1402
H
Murshy(al) Abu al-Hasan
‘Ali bin Isma>’il. Al-Muhkam wa
al-Muh}i>t} al-A’z}am. Vol. 1, ed. ‘Abd al-H{ami>d Hindawy. Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1421 H/2000 M
Mustafa, Ibrahim, et al. Mu’jam
al-Wasi>t}.Vol. 1. Kairo: Da>r al-Da’wah, t.th.
Mut{allib (al), Rif’at Fauzy ‘Abd. Manahij al-Muhaddithi>n: al-Usus wa
al-Tat}bi>q. Kairo: Da>r al-Salam, cet. 1, 2008 M).
Naisa>bu>ry
(al), Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy. al-Musnad al-S{ahi>h
al-Mukhtas}ar bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila> Rasul Allah S{alla> Allah
‘Alaihi wa Sallam atau Sahih
Muslim. Vol. 1. Ed.Muhammad Fu’ad Abd al-Ba>qy Beirut: Dar Ihya>’
al-Turath al-‘Araby, t.th.
Naisabury (al), Muhammad bin Abdillah Al-Hakim.al-Mustadrak ‘ala
Shohihain, Vol. 1, ed. Muqbil bin Hadi al-Wad’iy. Kairo: Da>r al-Haramain, Cet. 1, 1417 H/1997 M.
Qa>ry (al),‘Ali> bin
Sult{a>n Muhammad Abu al-Hasan Nur al-Di>n Al-Mala>. Mirqa>h
al-Mafa>ti>h Sharh Mishka>h al-Mas{a>bi>h, vol. 1.Beirut:
Da>r al-Fikr, cet. 1, 1422 H/2002 M.
Qanujy (al), Siddiq Hasan.Al-Hit{t}ah fi Dhikri>al-Sihhah al-Sittah, ed. Ali Hasan al-Halaby. Beirut: Dar al-Jail, t.th.
Qud}ah (al), Amin Muhammad dan Sharf Mahmu>d
al-Qud}ah, “Manhaj al-Ima>m Muslim fi S}ahi>hihi”, Makalah—Kulliyah
al-Shari’ah, Ja>mi’ah al-Urduniyyah, t.th.
S{a>lih (al),
S{ubhi. Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun.
Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M.
S{ala>h,Abu ‘Amr
Uthma>n
Ibn. ‘Ulu>m al-Hadi>th (Muqaddimah Ibn
Al-S{ala>h), ed. Nuruddin ‘Itr. Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H.
_____. S{iyanah S{ah{i>h Muslim Min al-Ikhla>l
wa al-Ghalat} wa Hima>yatih min al-Isqa>t} wa al-Saqt}, ed. Muwaffiq
‘Abd Allah ‘Abd al-Qa>dir. Beirut: Da>r al-Gharb al-Islamy, cet. 2, 1408
H.
Shama>ly(al), Ya>sir. Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhaddithi>n
(‘Amma>n: Da>r wa maktabah al-Ha>mid, cet. 3, 1427 H)
Suharto, Ugi.Peranan Tulisan
Dalam Periwayatan Hadith (Majalah Islamia, Thn. I No. 2/Juni-Agustus, 2004).
Suyut}y (al). Tadri>b al-Ra>wy fi Sharh Taqri>b al-Nawawy, ed. Abu Mu’adz
Thoriq bin ‘Aud} Allah bin Muhammad. Riyadh: Da>r al-‘Ashimah,
1423 H.
_____.Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib al-Nawawy. Ed. Muhammad
Aiman bin Abdullah Al-Shibrawy. Kairo: Da>r al-Ha>dith, 1431 H/2010 M.
Tirmidhi (al), Muhammad bin ‘I<sa. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 3, ed. Ahmad Muhammad Sha>kir dan Muhammad Fu’a>d
‘Abd al-Ba>qy. Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby, Cet.
2, 1395 H/1975 M.
Zahrany (al), Abu Ya>sir Muhammad bin Mat}r A<lu Mat}r.
Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyah;
Nash’atuhu wa tat}awwuruhu min al-Qarn
al-Awwal ila> Nihayah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijry. Riyadh:
Da>r al-Hijrah, cet. 1, 1417 H/1996 M
Zuhaily (al), Wahbah.al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh
. Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H.
[1]Mayoritas ulama sepakat bahwa
kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati
posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubu>t, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubu>t, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang z}anny,
(2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara
kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan),
(3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal
tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman. Lihat
Wahbah al-Zuhaily, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh
(Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H), 37-38
[2]Ugi Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith (Majalah Islamia, Thn. I
No. 2/Juni-Agustus, 2004), 82-84
[3]Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan
Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd
Syubh al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al-Mu’as{iri>n- wa yali>hi
al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah,
cet. 1, 1989 M), 26
[4] Ugi, Peranan..,
83-84
[5]
Ibrahim Mustafa, et al. Mu’jam
al-Wasi>t}. Juz 1(Kairo: Da>r al-Da’wah, tth), 135
[6]
Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma>’il al-Mursy. Al-Muhkam
wa al-Muh}i>t} al-A’z}am. Vol. 1, ed. ‘Abd al-H{ami>d Hindawy
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1421 H/2000 M), 347
[7]
Al-Fairuz a>ba>dy. Al-Qa>mu>s
al-Muhi>t}. ed. Muhammad Nu’aim al-‘Arqusu>sy (Beirut: Muassasah
al-Risalah, cet. 2, 1426 H/2005 M), 710
[8]
Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen
& Unwin Ltd., 1970), 990
[9] Muhammad S{iddi>q
al-Minsha>wy. Qa>mu>s
Must}alah{a>t al-Hadi>th al-Nabawy. (al-Qa>hirah: Da>r
al-Fad{i>lah, tth), 49.
Al-Katta>ny, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Abi al-Faidh. Al-Risa>lah al-Mustat}rafah li baya>n mashhu>r Kutub al-Sunnah
al-Musharrafah. Ed. Muhammad al-Muntas}ir al-Zamzamy(Beirut: Da>r
al-Bashair al-Islamiyah, cet. 6, 1421 H/2000 M), 42, Abd al-Rahma>n bin Ibrahi>m
al-Khumaisy. Mu’jam ‘Ulu>m
al-H{adi>th al-Nabawy (Jeddah:
Da>r al-Andalus al-Khadra>’, tth), 83
[10]Nu>r
al-Di>n ‘Itr, Manh}aj al-Naqd
fi ‘Ulu>m al-H{adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997
M), 198-199
[11]Sayyid Abd al-Majid al-Ghaury, Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub
al-Hadi>th (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, cet. 1, 1430 H/2009 M), 19
[12]S{ubhi Al-S{a>lih,
Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun (Beirut: Dar al-‘Ilm
al-Malayin, cet. 15, 1984 M), dalam foot note hal 122-123
[13]Lihat Abu Ya>sir Muhammad bin Mat}r A<lu Mat}r
al-Zahrany, Tadwi>n al-Sunnah
al-Nabawiyah; Nash’atuhu wa tat}awwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila> Nihayah al-Qarn al-Ta>si’
al-Hijry (Riyadh: Da>r al-Hijrah, cet. 1, 1417 H/1996 M), 248.
[14]
Idri. Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013),
121
[15]
Ibid, 121, Sayyid Abd al-Majid al-Ghaury, Al-Wajiz..,
19-20
[16]‘Itr,
Manhaj al-Naqd..., 199
[17]Al-Dhahaby, Siyar A’la>m
al-Nubala>’, Vol.12
(Beirut : Muassasah al-Risa>lah, cet. 9, 1413 H/1993M), 392. Adapun tentang nisbat kepada al-Bukhari karena beliau
berasal dari negeri yang bernama Bukhara, kota terbesar di wilayah
Transaxonia-wilayah di seberang sungai Jeihun- yang sekarang masuk wilayah
Uzbekistan di Asia Tengah. Lihat Al-Husaini ‘Abd al-Majid Hasyim, al-Imam
al-Bukhary> : Muh}addithan wa Faqi>han (Kairo: Mashr al-‘Arabiyah li
al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th.), 23
[18]Al-Dhahaby, Siyar A’la>m, 12/393. Ibnu
Kathir, Al-Bida>yah wa al-Nihayah, ed. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky
(Kairo: Da>r
Hijrah, cet. 1, 1417 H/1997 M), 14/527. Ibnu Hajar, Taghli>q al-Ta’li>q, ed. Sa’id
‘Abdurrahman al-Qazuqy (Beirut: al-Maktab al-Islamy dan Dar ‘Ummar, cet. 1,
1405 H), 5/385
[19] Abu
al-Hajjaj bin Abdurrahman al-Mizzy, Tahdhi>b al-Kama>l, Vol. 24,
ed. Basyar ‘Awwad Ma’ruf (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1403 H/1983 M) , 431-434
[20]Ibnu
Hajar, Hadyu al-Sa>ry Muqaddimah Fath} al-Ba>ry, ed. Syaikh ‘Abd
al-Qadir Syaibah al-Hamd (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wat{oniyyah, cet.
1, 1421 H/ 2001 M), 503, Ibnu Hajar, Taghliq al-Ta’liq, Vol. 5, 391
[21]Ibid., Vol. 2,
1314
[22]Ibnu S{ala>h. Ulum
al-Hadis.., 22, Muhammad Muhammad Abu Syaibah, Fi Rih}>ab al-Sunnah
al-Kutub al-S}ih}ah al-Sittah (Kairo: Silsilah al-Buhuth al-Islamiyah li
al-Azhar, 1415 H/1995 M), 75,
[23]Siddiq
Hasan Al-Qonujy, Al-Hitthah fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah, ed. Ali Hasan
al-,aby (Beirut: Dar al-Jail, tt.), 294
[24]Ibnu
Hajar, Hadyu al-Sa>ry Muqaddimah Fath} al-Ba>ry.., 10
[25] Al-Sharif Hatim
‘Arif al’Auny, al-‘Unwa>n al-S{ahih li al-Kitab : Ta’rifuhu wa
Ahamiyyatuhu wa Wasa>il Ma’rifatihi wa Ihka>mihi Amthilah li al-Akht}a’
fih (Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alam al-Fawa>’id, 1419 H), 50
[26]Ibid., 50-51, Khalil Ibrahim
Mulakhatar, Maka>nah S{ah}i>h}ain (Kairo: al-Mathba’ah
al-‘Arabiyah al-Hadithah, cet. 1, 1402 H), 43
[27]Khalil Ibrahim
Mulakhatar, Makanah S{ah}i>h}ain…, 34
[28]Ibn Hajar, Al-Hadyu…, 311-312
[29] Terdapat perbedaan riwayatan tentang
tempat penulisan as-sahih ini, namun dapat dikompromikan, Khalil Ibrahim
Mulakhatar, Makanah S{ah}i>h}ain, 36-38. Lihat Ibnu Hajar, Hadyu
as-Sa>ry, Vol. 2, 479. Ibnu Hajar, Taghliq
al-Ta’liq, Vol. 5, 418
[30] Ada yang heran
dengan angka 600.000 hadis ini dan meragukan pernyataan al-Bukhari dengan
logika; “Kalau benar jumlah hadis demikian, berarti Nabi adalah orang yang
banyak berkata-kata”; Bantahan terhadap kesalahpahaman terhadap maksud
al-Bukhari, bahwa maksud al-Bukhari adalah (1) cara perhitungan hadis. Jumlah yang
banyak tersebut mencakup keseluruhan hadis baik yang berulang (mukarrar)
sanadnya, satu hadis yang diriwayatkan dengan dua jalur dihitung sebagai dua
hadis. (2) hadis yang dimaksud bukan hanya hadis marfu’ kepada Nabi SAW tetapi
juga hadis mauquf dan maqt}u’ berupa athar shahabat dan
tabi’in.(3). Hadis Nabi bukan hanya berbentuk perkataan, tapi juga berbuatan
dan taqri>r (persetujuan) Nabi SAW. Demikian juga mencakup seluruh
peristiwa dan aktivitas kehidupan Nabi dan Shahabat.Yang dimaksud dengan 600.000 hadis di
sini—suatu angka yang besar—adalah dihitung bersama semua versi sanad
periwayatan hadis-hadis yang memiliki matan yang sama atau serupa. Misalnya
hadis: “man yuri>d Allahu bihi khairan yufaqqihu fi al-din”, diriwayatkan
dari beberapa shahabat, maka masing-masing sanad dihitung sebagai hadis yang
berbeda. Demikian pula variasi di tingkat thabaqoh selanjutnya. (lihat Abu
‘Amr Uthma>n Ibn S{ala>h, ‘Ulu>m al-Hadi>th (Muqaddimah
Ibn Al-S{ala>h),
ed. Nuruddin ‘Itr (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H), 20-21
[31] Hujjah adalah jawaban ketika ditanyakan
landasan setiap amal perbuatan pada Yaumul Mizan nanti.. Sebagaimana ayat” wala
taqfu ma laisa laka bihi ilmun….”.Setiap perkataan dan perbuatan hendaklah
dilandasi dengan ilmu. Imam Bukhari menulis bab “al-‘ilmu qabla al-qaul
wal-‘amal”. Ilmu syari’at landasannya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
[32]Ibnu
Hajar, Hadyu al-Sa>ry.. , 9
[33]Al-Dhahaby, Siyar
A’la>m, Vol. 12, 433
[34]Nu>r
al-Di>n ‘Itr, Al-Imam al-Tirmidzi wa al-Muwazanah baina Ja>mi’ihi wa
al-S}ahihain (ttp: al-Lajnah al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr, cet. 1,
1390 H/1970 M), 26
[35]Ya>sir al-Shama>ly, Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhaddithi>n(‘Amma>n: Da>r wa maktabah
al-Ha>mid, cet. 3, 1427 H), 48
[36]
Ibid., 49. Ada sebagian orang yang salah paham dengan angka hadis sahih yang
demikian besar yang dihafal oleh al-Bukhari karena seluruh hadis yang terdapat
seluruh kitab hadis tidak akan mencapai angka 100.000 hadis. Menurut al-Iraqy,
kemungkinan maksud al-Bukhari adalah keseluruhan hadis-hadis yang mencakup
hadis yang sanadnya diulang-ulang dalam berbagai variasi sanad dan matan, juga
hadis-hadis mauquf (sanadnya hanya sampai kepada Sahabat Nabi SAW). LihatAl-Suyut}y,Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib
al-Nawawy. Ed. Muhammad
Aiman bin Abdullah Al-Shibrawy (Kairo: Da>r al-Ha>dith, 1431 H/2010 M), 74
[37]
Sayyid Abd al-Majid
al-Ghaury. Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub…, 10. Hadis-hadis tersebut dapat ditemukan dalam
kitab-kitab hadis yang lain. Kitab-Kitab al-mustadrakat dan mustakrajaat adalah
kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis terkait dengan Kitab Sahih al-Bukhari
secara sanad maupun matan.
[38]
Yaitu dalam Kitab al-Daraquthny yang berjudul al-Ilzamat yang kemudian
dicetak bersama al-Tatabu’. Lihat Al-Da>ruqut}ny, Al-Ilzamat wa
At-Tatabu’, Ed. Muqbil
bin Hadi al-Wadi’y (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet. 2. 1405 H/1985 M)
[39]Menurut Hasbi ash Shiddieqy
bab-nya berjumlah 3521. Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis, jilid I
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 208-211
[40]Ali
Nayef Biqa’I,Mana>hij
al-Muhaddithin al-‘A<mmah
wa al-Kha>s}s}ah(Beirut: Da>r al-Basha>ir
al-Isla>miyah, cet. 2, 1430 H), 117
[41]Nuruddin
‘Itr,Manhaj al-Naqd…,
358
[42]Ibnu
Hajar, Fath
al-Bary, Tahqiq Abdul Qadir Hamd, Vol. 1, 243
[43]Lihat
Nuruddin ‘Itr dalam Disertasinya Muwazanah
baina al-Tirmidzi wa as-Sahihain…, 16 dan penelusuran penulis dengan
bantuan al-Maktabah al-Syamilah.
[44] Muhammad bin Isma>’il al-Bukhari, Al-Ja>mi’ Al-Musnad al-S{ahi>h. Vol. 1 (Beirut: Dar T{uruq al-Najah, cet. 1, 1422 H), 33 Kitab al-Ilmi Bab man Kadzaba ‘ala al-Nabi SAW, hadis nomor 109. Dalam makalah ini, Kitab tersebut kadang ditulis Sahih al-Bukhari atau al-Ja>mi’ al-S{ahi>h.
[45]Al-Bukhari,
al-Jami’ al-Sah}i>h, Tahqiq Abdul Qodir al-Hamd, Juz 4, 327
[46]Lihat
Ugi Suharto. “Peranan
Tulisan..,
74-84
[47]Ibn Hajar, Hadyu al-Sa>ry..., 6
[48]
Sayyid Abdul Majid al-Ghaury. Al-Waji>z fi Ta’rif Kutub al-Hadith.., 10
[49]Muhammad
bin Isma>’il al-Bukhari, S}ahih al-Bukhari..,
Vol. 4, 22
[50] ‘Abdul ‘Azi>z Ahmad
al-Ja>sim. Al-Wazi>z ila ma> fi> Tara>jim al-Bukhari min
H>{adith. (Majalah Jami’ah al-Malik Su’ud, ed. 17, al-‘Ulum al-Tarbiyah wa
al-Dirasah al-Islamiyah (1), 1425 H/2004 M), 432
[51]Muhammad
bin Isma>’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Vol. 8, 30
[52]Siddiq
Hasan Al-Qanujy,
Al-Hitthah.., 302-306
[53]Perhitungan Ibnu Salah yang
disepakati Imam al-Nawawi bahwa dalam Sahih al-Bukhari terdapat 7275 hadis
termasuk yang diulang (mukarrar) dan jika tanpa menghitung yang diulang
sebanyak 4000 hadis. Lihat Al-Suyuthi. Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib al-Nawawy... , 77
[54]Sebagaimana
keterangan murid al-Bukhari yaitu Imam Muslim tentang sebab adanya tikrar
dalam Muqaddimah Sahih Muslim,
3.
[55]
Ibnu Hajar,Hadyu
al-Sary, 17. Nur
al-Din ‘Itr. Al-Muwaza>nah…, 78 dan 112
[56]Hadis
ahad yang di antara salah satu atau beberapa t}abaqa>t
dari rangkaian sanad perawinya hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi.
[57]idem
[58]Hasil penelusuran dengan
menggunakan al-Maktabah al-Sha>milah
[59]Jumlah
hadis Muslim menurut penomoran Fu’ad Abdul Baqy. Lihat al-Waji>z fi Ta’ri>f Kutub
al-Hadi>th, 11
[60]Penelusuran dengan bantuan
Program al-Maktabah al-Sha>milah. Data jumlah hadis tersebut termasuk
hadis dalam tara>jim
al-abwa>b, al-us}ul maupun al-muta>ba’a>t.
[61] Penelusuran dengan bantuan
Program al-Maktabah al-Sha>milah
[62]Ibn
Hajar, al-Nukat ‘ala> Kita>b Ibn S{ala>h, Vol. 1, ed. DR.
Rabi’ bin Hady ‘Umair (Riyadh : Daral-Rayah, cet. 3, 1415 H/1994 M), 325
[63]
Bandingkan dengan Sahih Muslim yang hanya terdapat 12 hadis mu’allaq yaitu satu
hadis yang di-ta’liq tanpa di-washl-kannya di bagian lain, tetapi di-washl-kan
oleh penyusun kitab hadis lain yaitu hadis dalam Kitab al-Haidh bab
al-tayammum dari al-Laits bin Sa’ad. Lihat Al-Suyut}i. Tadrib Ra>wy
, 88-89
[64]Ibid., 77.
Bandingkan dengan jumlah muta>ba’a>t
dan shawa>hid
dalam Sahih Muslim sebanyak 1618. Lihat Sayyid Abdul Majid al-Ghaury. Al-Wajiz
fi Ta’rif Kutub al-Hadi>th, 11
[65]Ibn
Hajar, Al-Nukat, Vol. 1, 325, ‘Ali
Nayef Biqa’I, Mana>hij al-Muhaddithin al-‘A<mmah wa al-Kha>s}s}ah,
125
[66]Ibid., Vol. 1, 325
[67]
Al-Suyut}y. Tadrib
al-Rawy... ,
89.
[68]Ibn
Hajar, al-Nukat…,Vol. 1, 325-326.
Contoh-contoh hadis dalam al-Bukhari sesuai klasifikasi di atas dapat dilihat
dalam Kitab
tersebut
[69]Ibid., 342
[70]Abu Ya>sir
Muhammad bin Mat}r A<lu Mat}r al-Zahrany, Tadwi<n al-Sunnah, 125
[71]Mus}addiq Ami>n ‘At}iyyah
al-Dawry, “Riwayah S}ahi>h Muslim min T{ari>q Ibn Ma>ha>n
Muqa>ranah bi Riwayah Ibn Sufya>n” (Tesis, Kuliyah Tarbiyah Qism
al-Hadi>th al-Nabawy al-Shari>f, Ja>mi’ah Takri>t, 2010 M), 18
[72]Ibid.,
26
[73]Ahmad
Fari>d, Min A’la>m al-Salaf, Vol. 2, 308
[74]Ibid.,
310
[75]‘Uthma>n
Ibn ‘Abd al-Rahma>n Ibn al-S{alah, S{iyanah S{ah{i>h Muslim Min
al-Ikhla>l wa al-Ghalat} wa Hima>yatih min al-Isqa>t} wa al-Saqt},
ed. Muwaffiq ‘Abd Allah ‘Abd al-Qa>dir (Beirut: Da>r al-Gharb al-Islamy,
cet. 2, 1408 H), 67
[76]Mus}addiq Ami>n ‘At}iyyah al-Dawry,
“Riwayah S}ahi>h Muslim.., 34-35
[77]Muslim
bin al-Hajja>j al-Qushairy Al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ahi>h
al-Mukhtas}ar bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila> Rasul Allah S{alla> Allah
‘Alaihi wa Sallam atau Sahih
Muslim. Vol. 1. Ed.Muhammad Fu’ad Abd al-Ba>qy (Beirut: Dar Ihya>’
al-Turath al-‘Araby, tth), 7
[78]Muhammad
Muhammad Abu Syaibah, Fi Rih}>ab al-Sunnah…, 109-110
[79]Ibid.,
111
[80]‘Uthma>n
Ibn ‘Abd al-Rahma>n Ibn al-S{alah, S{iya>nah S{ah{i>h Muslim Min
al-Ikhla>l wa al-Ghalat} wa Hima>yatih min al-Isqa>t} wa al-Saqt},
ed. Muwaffiq ‘Abd Allah ‘Abd al-Qa>dir (Beirut: Da>r al-Gharb al-Islamy,
cet. 2, 1408 H), 67
[81]Muslim
bin al-Hajja>j al-Qushairy Al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ahi>h
al-Mukhtas}ar bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila> Rasul Allah S{alla> Allah
‘Alaihi wa Sallam atau Sahih
Muslim. Vol. 1. Ed.Muhammad Fu’ad Abd al-Ba>qy (Beirut: Dar Ihya>’
al-Turath al-‘Araby, tth), 4-5
[82]Ibid.,
5-6
[83]Mus}addiq Ami>n ‘At}iyyah
al-Dawry, “Riwayah S}ahi>h Muslim.., 40
[84]Amin
Muhammad al-Qud}ah dan Sharf Mahmu>d al-Qud}ah, “Manhaj al-Ima>m Muslim
fi S}ahi>hihi”(Makalah—Kulliyah al-Shari’ah, Ja>mi’ah al-Urduniyyah,
t.th.), 13-14
[85]Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy,S}ahi>h Muslim. Vol.
1, 92
[86]Ibid.,Vol. 2, 1071
[87]Amin
Muhammad al-Qud}ah dan Sharf Mahmu>d al-Qud}ah, “Manhaj al-Ima>m Muslim,
13-14
[88]Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, S}ahi>h Muslim. Vol.
3, 1630
[89]Ibid.,Vol. 3, 1635
[90]Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, S}ahi>h Muslim. Vol.
3, 1636
[91]Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, S}ahi>h Muslim. Vol.
1, 281
[92]Amin
Muhammad al-Qud}ah dan Sharf Mahmu>d al-Qud}ah, “Manhaj al-Ima>m Muslim
fi S}ahi>hihi”(Makalah—Kulliyah al-Shari’ah, Ja>mi’ah al-Urduniyyah,
t.th.), 13-14
[93]Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, S}ahi>h Muslim. Vol.
1, 1
[94]Ibid.,
15
[95]Ibn Sala>h,‘Ulu>m
al-Hadi>th (Muqaddimah
Ibn Al-S{ala>h), 18, Al-Suyuthi. Tadri>b al-Ra>wy fi Sharh Taqri>b al-Nawawy, ed. Abu Mu’adz
Thoriq bin ‘Aud} Allah bin Muhammad
(Riyadh: Da>r al-‘Ashimah,
1423 H), 1/121
[96]Ibn
S{ala>h,‘Ulu>m al-Hadi>th (Muqaddimah
Ibn Al-S{ala>h), 18
[97]Ibid.
[98] Ibid.
[99]Ibn
Hajar, al-Nukat ‘ala> Kita>b Ibn S{ala>h,Vol. 1, 277-278
[100]Al-Suyut}y,Tadri>b al-Ra>wy, Vol. 1, 120
[101]Ibn
Sala>h,‘Ulu>m al-Hadi>th…, 18-19
[102]Al-Suyuthi.Tadri>b
al-Ra>wy, Vol.1, 122, Sa’aduddin
bin Muhammad al-Kiby. Muqaddimah al-Nawawi fi ‘Ulu>m al-Hadi>th(Al-Maktab
al-Islamy, Beirut, cet. 1, 1417 H/1997 M) , 12
[103]Al-Suyuthi. Tadri>b
al-Ra>wy.., Vol. 1, 122-dst, Khalil Ibrahim Mulakhatar, Makanah
S{ah}i>h}ain..., 88-90, Ibnu Hajar, An-Nukat, Vol. 1, 283-189
[104]Ibn
Hajar. Hadyu al-Sa>ry, 14
[105]
Idem.
[106] Ya>sir al-Shama>ly, Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhaddithi>n,
58
[107]Idem.
[108]Idem.,60
[109]Ibn
Hajar,
Hadyu as-Sary (Kairo : Dar al-Royyan, cet. 1), 514
[110]lihat Al-Suyu>t}y. Tadri>b…,Vol. 1, 172
[111] Nu>r al-Di>n ‘itr, Manh}aj al-Naqd….,257-258. Footnoot komentar DR. ‘Itr dalam Ibnu S{ala>h,‘Ulu>m
al-Hadith.., 19
[112]Sebagaimana
disebutkan dalam berbagai kitab ‘ulumul hadis. Yang menjelaskan tentang
peringkat kesahihan hadis.
[113]Shams al-Di>n Muhammad bin Ahmad Al-Dhahaby. Siyar
A’la>m Nubala>’, Vol. 10 (Beirut:
Muassasah ar-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993 M), 96
[114] Komentar atas
Kitab Tadri>b al-Ra>wy, Vol. 1, 179, Dalam kitab tersebut, al-Da>ruqut}ny menyebutkan
tentang adanya hadis-hadis yang sebenarnya sesuai dengan syarat al-Bukhari
maupun muslim tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya dalam kitab shohih
masing-masing. Al-Da>ruquthny juga mengkritisi
hadis-hadis al-Bukhari dalam al-Jami’ As-S{ahih yang tidak sesuai dengan
syarat tersebut karena adanya illat. Al-Da>ruquthny. Al-Ilzamat
wa Tatabu’, 56
[115] Lihat Muhammad
bin Abdillah Al-Hakim an-Naisabury, al-Mustadrak ‘ala Shohihain, Vol. 1, ed. Muqbil bin Hadi
al-Wad’iy (Kairo: Dar al-Haromain, Cet. 1, 1417 H/1997 M), 41. Penggunaan
istilah-istilah tersebut oleh al-Hakim dalam mengklaim tingkat keshohihan
hadis-hadis dalam al-Mustadrak banyak mengundang kritikan bahkan protes pedas
dari ulama hadis lain. Hal ini karena terbukti al-Hakim banyak mengklaim suatu
hadis sebagai hadis sahih. Lihat
Ibid.,Vol1, 144.
[116]Al-Suyu>t}y dalam Tadrib al-Ra>wy, Vol, 1, 175.
Al-Hazimi memberi contoh lima tingkatan (t}abaqa>t) senioritas dan
kapabilitas murid-murid al-Zuhri. Al-Bukhari memilih tingkatan tertinggi perawi
al-Zuhri sebagai perawi sahih karena menghimpun kemampuan hafalan (hifz}),
sifat itqon dan lamanya mulazamah (menyertai dan berguru) kpd al-Zuhri.
[117]Al-Hazimy.
Syurut al-‘Aimmah as-Sittah, 70-71
[118]Pendapat al-Nawawi tentang syarat
shohih al-Bukhari ini tidak dibahas oleh Muhibbin dalam disertasinya.
[119]Al-Suyut}i, Tadrib 1/175
[120]Ahmad
Fari>d, Min A’la>m al-Salaf, vol. 2 (Iskandariyah: Da>r
al-I<ma>n, cet. 1, 1418 H), 363
[121]Ibid.,
Vol. 2, 365
[122]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 3, ed. Ahmad Muhammad Sha>kir dan Muhammad Fu’a>d
‘Abd al-Ba>qy (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby, Cet.
2, 1395 H/1975 M), 62
[123]Nu>r
al-Di>n ‘Itr, al-Ima>m al-Tirmidhy wa al-Muwa>zanah Baina
Ja>mi’ih wa baina al-S{ahi>hai>n (T.tp: T{aba’ah al-Lajnah
al-Ta’li>f wa al-Tarjamah wa Nashr, cet. 1, 1390 H/1970 M), 16-17
[124]‘Itr, Muwa>zanah…,
58
[125]Ibn
Hajar al-Asqala>ny, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, vol. 9 (India:
Mat{ba’ah Da>’irah al-Ma’arif al-Niz}amiyah, ct. 1, 1326 H), 389
[126]Al-Dhahaby,
Tadhkirah al-Huffa>z{, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah,cet. 1, 1419 H), 254
[127]H{a>jy
Khalifah, Kashf al-Z{unu>n ‘An Usa>ma al-Kutub wa al-Funu>n,
vol. 1 (Baghda>d: Maktabah al-Muthanna>, 1941 M), 559
[128]Sham
al-Di>n al-Dhahaby, Ta>rikh al-Isla>m wa wafiya>t
al-Masha>hi>r wa al-A’la>m, vol. 3, ed. Basha>r ‘Awwa>d
Ma’ru>f (t.t: Da>r al-Gharb al-Isla>my, cet. 1, 2003 M), 961
[129]Abu>
Ya>sir Muhammad Ibn Mat}r al-Zahra>ny, Tadwi>n al-Sunnah
al-Nabawiyyah: Nash’atuhu wa Tatawwuruhu min al-Qarn al-Awwal Ila>
Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijry (Riyadh: Da>r al-Hijrah, cet.
1, 1417 H), 138
[130]Al-Hittah fi Dhikry al-S{ihhah al-Sittah , 372
[131]‘Ali>
bin Sult{a>n Muhammad Abu al-Hasan Nur al-Di>n Al-Mala> al-Qa>ry
atau lebih populer dengan ‘Mulla ‘Aly al-Qa>ry, Mirqa>h
al-Mafa>ti>h Sharh Mishka>h al-Mas{a>bi>h, vol. 1 (Beirut:
Da>r al-Fikr, cet. 1, 1422 H/2002 M), 24
[132]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 1. Ed. Ahmad Muhammad Shakir dan Muhammad Fu’a>d ‘Abd
al-Ba>qy (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby, Cet. 2,
1395 H/1975 M), 354. Hadis nomor 187
[133]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 4, 48. hadis nomor 1444
[134]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 1, 8
[135]Ibid., 5
[136]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 1, 49
[137]Ibid., Vol.
2, 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar