HOME

20 Januari, 2024

TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)

 


BAB I

PENDAHULUAN

Agenda kodifikasi kitab-kitab Hadis yang berlangsung secara resmi atas sposnsor pemerintah Umar bin Abd al-Aziz[1]semenjak awal abad kedua hijriah mengalami perkembangan yang cukup signifikan di masa-masa berikutnya. Fenomena tersebut tidak hanya ditandai dengan segi kandungan atau materi Hadis yang terdapat di dalamnya tetapi juga aneka tipe kodifikasi kitab-kitab dimaksud.

Pada mulanya, dilatari oleh kekhawatiran hilangnya Hadis-hadis Nabi Saw, pada kurun awal abad kedua hijriah, al-Zuhri bersama Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm yang diikuti oleh banyak pihak yang terdiri dari para ulama, birokrat dan unsur lainnya secara dominan hanya mengkodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw. Meski demikian tidak sedikit materi-materi yang ada hubungannya dengan Hadis Nabi Saw, tercakup dalam kegiatan mereka tersebut. Dengan demikian penyusunan materi yang dilakukan oleh para ulama itu tercatat dalam dua kategori, yakni sebagai berikut:[2]

1.      Kitab-kitab yang berisi Hadis-hadis Nabi Saw semata.

2.      Kitab-kitab yang berisi Hadis-hadis Nabi Saw yang bercampur dengan keputusan resmi para khalifah, perkataan atau komentar para sahabat dan tabiin.

Selain coraknya seperti yang di atas, materi-materi yang dikodifikasikan dilakukan tidak secara sistematis. Dalam hal ini mereka tidak mengklasifikasi Hadis-hadis dan materi lainnya berdasarkan suatu topik tertentu. Adapun materi-materi yang dihimpun ketika itu bersumber dari catatan-catatan Hadis Nabi Saw yang ditulis pada masa-masa sebelumnya sampai masa tabiin senior, A<tharpara sahabat dan fatwa tabiin.[3] Fenomena demikian terus berlangsung hingga pertengahan abad keduahijriah.

Pada perkembangan berikutnya, ketika memasuki paruh akhir abad keduahijriah dan seiring teritorial kekuasaan pemerintahan Islam semakin luas, para ulama semakin banyak serta terlibat aktif dalam usaha pencatatan Hadis. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa hasil usaha pengumpulan hadis yang di prakarsai oleh al-Zuhri dan Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm yang masih sangat sederhana dalam metode penyusunannya, menjadi salah satu acuan dalam penghimpunan hadis pada masa-masa selanjutnya. Kemudian pada tahapan selanjutnya, metode pengklasifikasian berkembang menjadi berbagai metode yang pada akhirnya metode-metode tersebut menjadi nama sebuah kitab hadis. Hal ini disebabkan pada umumnya para penulis hadis tidak memberikan nama-nama tertentu untuk kitab-kitab tulisannya. Materinya pun untuk sebagian besar masih belum berubah. Dalam hal ini kitab-kitab yang dihasilkannya di samping berisi Hadis-hadis Nabi Saw semata, juga bercampur dengan keputusan resmi para khalifah, perkataan atau komentar para sahabat Nabi Saw tabiin. Namun demikian Hadis-hadis Nabi Saw yang dikodifikasi pada masa ini telah terklasifikasir ke dalam berbagai bab, seperti bab hukum Islam dan lainnya. Tercatatkitab-kitab Hadis dengan menggunakan metode ini pada masa tersebut adalah kitab berjenis الموطأ(al-Muwatta‘), المصنف(al-Musannaf), المسند (al-Musnad) dan lain sebagainya.[4]

Uraian di atas merupakan pengantar makalah ini yang selanjutnya akan membahas tipologi penulisan kitab Hadis bertipe الموطأ(al-Muwatta‘)seraya menjadikan kitab الموطأ(al-Muwatta‘) buah karya dari Malik bin Anas sebagai sampel reprentatifkajian utama dalam rangka mengupas tipologi kodifikasi kitab Hadis di paruh akhir abad kedua hijriah.

 


BAB II

TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)

A.    Nama dan Istilah الموطأ (al-Muwatta’)

Ditinjau dari sudut bahasa, istilahالموطأ(al-Muwatta’)berasal dari kata وطأ(wattaa)yang sama dengan arti سهل(sahhala)yakni memudahkan. Ibn Manzur memberikan contoh berikut ini:

وطَّأْتُ لَكَ الأَمْرَ إِذَا هَيَّأْتَه.[5]

Aku memudahkan suatu urusan untukmu jika kamu mempersiapkan urusan itu.

 

Senada dengan contoh di atas, Mahmud al-Tahhanmengintrodusir arti الموطأ(al-Muwatta’)denganالمسهل(al-Musahhal) danالمهيأ(al-Muhayya)yang berarti sesuatu yang dimudahkan dan disiapkan.[6]

Hampir senada dengan keterangan di atas, menurut Abd al-Ghani al-Daqur,arti الموطأ(al-muwatta’) dalam bahasa Arab berarti المظلل(al-muzallal(,الممهد(al-mumahhad) yang memiliki makna “mudah untuk mencapainya” atau “tidak ada halangan bagi orang untuk memahaminya.”[7]

Adapun menurut istilah para ahli Hadis, sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan,الموطأ(al-Muwatta’)adalah sebuah kitab Hadis dengan karakteristik berikut ini:

الكتاب المرتب عل الأبواب الفقهية, ويشتمل عل الأحاديث المرفوعة والموقوفة والمقطوعة.[8]

Kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, dan mencakup Hadis-hadis مرفوع(marfu‘), riwayat-riwayat موقوف(mawquf) dan riwayat-riwayat مقطوع(maqtu‘).

Mencermati ungkapan di atas, dapat diketahui bahwa kitab dengan tipologiالموطأ(al-Muwatta’)menempuh metode pembukuan berdasarkan الأبواب الفقهية(al-Abwab al-Fiqhiyyah) yakni klasifikasi hukum Islam. Sedangkan materi yang dihimpunnya adalah Hadis-hadisمرفوع(marfu‘)dari Nabi Saw, riwayat-riwayatموقوف(mawquf)dari para sahabat dan riwayat-riwayatمقطوع(maqtu‘)dari para tabiin. Metode pembukuan kitab الموطأ(al-Muwatta’)seperti hal ini secara istilah serupa dengan metode atau tipologi kitab yang disebut dengan istilah المصنف(al-Musannaf) kendati penyebutan diksinya berbeda.[9]

 

B.     Latar Belakang Penamaan Kitab Dengan Istilah الموطأ(al-Muwatta’)

Setidaknya terdapat tiga sebab yang melatarbelakangi penamaan kitab dengan istilah الموطأ(al-Muwatta) berikut ini:

1.      Pengarangnya bermaksud untuk memudahkan umat dalam pencarian Hadis.

2.      Karena para ulama Madinah sepakat dan merestui kitab Hadis dengan metode atau tipologi semacam الموطأ(al-Muwatta). Atas dasar ini kemudian salah seorang ulama penyusun kitab الموطأ(al-Muwatta) yakni Malik bin Anas menyematkan nama kitabnya dengan istilah di atas.Dalam hal initercatat sebuah riwayat berkenaan dengansikap sang ulama dimaksud yakni:

عرضت كتابي هذا على سبعين فقيها من فقهاء المدينة، فكلهم واطأني عليه فسميته الموطأ.[10]

Saya menunjukkan kitabku ini kepada tujuh puluh ahli fikih Madinah. Semuanya menyepakati atasnya maka saya menamainya dengan الموطأ(al-Muwatta’).

 

3.       Salah seorang khalifah dinasti Abbasiah yakni Abu Jafar al-Mansur,  meminta Malik bin Anas menghimpun Hadis-hadis yang ada padanya, agar menyusunnya pada satu buku dan menyampaikannya kepada orang-orang untuk memudahkan mereka dalam usaha mencari petunjuk-petunjuk agama dari Hadis Nabi Saw. Memenuhi permintaan ini, lantasMalik bin Anas menyusun kitab Hadis yang kemudian diberi nama الموطأ(al-Muwatta).[11] Terkait permintaan Abu Jafar al-Mansur itu, terdapat informasi yang menyebutkan bahwakitab الموطأ(al-Muwatta)tersebut ditulis pada tahun 144 H atas anjuran sang khalifah sewaktu berjumpa saat menunaikan ibadah haji. Sang khalifah berkehendak untuk menghindari perbedaan suasana polarisasi warisan pemikiranantara kerasnya sahabat Nabi Saw yakni Ibn Umar dan rukhshah Ibn Abbas serta untuk menyatukan berbagai pendapat di kalangan umat dalam satu kitab. Diriwayatkan bahwa Malik bin Anas berkata kepada Khalifah Abu Jafar al-Mansur: “Baginda tidak berhak untuk menyatukan manusia dengan satu buku dan menyalahkan atau membenarkannya, karena kebenaran berasal dari Rasulullah Sawsedangkan  para sahabat telah berpencar ke berbagai negara dan setiap penduduk dari negara tersebut mengikuti madzhab yang dibawa oleh para sahabat tersebut yang mereka tetapkan sebagai madzhab yang sah untuk diikuti.” Namun kemudian Malik bin Anas akhirnya menyusun kitabnya itu karena didorong suatu gagasan sang khalifah untuk memudahkan umat dalam pencarian pedoman agama.[12]

 

C.    Para Ulama Penyusun Kitab الموطأ(al-Muwatta’)

Cukup banyak ulama yang pertama kali pernah melakukan kodifikasi Hadis secara mubawwabatau bertipe الموطأ(al-Muwatta‘)[13] danالمصنف(al-Musannaf)pada paruh akhir abad kedua hijriah di berbagai kota. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1.      Malik bin Anas di Madinah yang wafat pada tahun 179 H dengan karyanya yakni الموطأ(al-Muwatta‘).

2.      Muhammad bin Abd al-Rahman bin Abi Dhib di Madinah yang wafat pada tahun 158 H. Ulama ini juga membuahkan karya الموطأ(al-Muwatta‘).

3.      Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad al-Marwazi yang wafat pada tahun 293 H. Sebagaimana kedua ulama di atas, ulama ini juga menghasilkan karya الموطأ(al-Muwatta‘)[14]

4.      Abd ar-Razzaq bin Hammam al-Sanani di Sanayang wafat pada tahun 211 H. Berbeda dengan ketiga ulama di atas, ulama ini menerbitkan karya yang disebut dengan المصنف(al-Musannaf)

5.      Abu ‘Amr Abd al-Rahman bin Amr al-Awzai di Syam yang wafat pada tahun 156 H dengan karya المصنف(al-Musannaf)

6.      Abu Salamah Hammad bin Salamah bin Dinar di Basrah yang wafat pada tahun 176 H yang juga menelurkan karya المصنف(al-Musannaf)

7.      Al-Layth bin Said al-Fahmi di Mesir yang wafat pada tahun 175 H dengan karyanya yakni المصنف(al-Musannaf)

8.      Sufyan bin Uyainah di Makkah yang wafat pada tahun 198 Hالمصنف(al-Musannaf)[15]

Selanjutnya pada sub bab-sub bab berikutnya dalam makalah ini, penulis akan mengupas tipologi kitab الموطأ(al-Muwatta‘) buah karya Malik bin Anas secara lebih luas sebagai contoh kajian utama tipologi kodifikasi kitab Hadis pada paruh akhir abad kedua hijriah. Kajian terkait akan meliputi pembahasan-pembahasan yakni: Biografi ringkas Malik bin Anas, isi kitab, sistematika kitab, metode kitab dan kualitas Hadis-hadisnya, polemik apakah الموطأ(al-Muwatta‘) merupakan kitab Hadis atau kitab fiqih dan penilaian para ulama tentang kitab tersebut.

  

D.    Biografi Ringkas dan Karir Intelektual Malik bin Anas

1.      Nama dan silsilah keluarga

Nama lengkapMalik bin Anas adalah Malik bin Anas bin Malik bin AbiA<mir bin Amr bin al-Harith binUthman bin Juthayl bin Amr bin al-Harith al-Asbahi al-HimyariAbu Abdillah al-Madani.[16] Sedangkan ibu beliau bernama A<liyah bint Sharik al-Azdiyyah.[17]

Tentang tahun kelahirannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan. Ada yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H, 96 H dan ada pula yang menyatakan 97 H. Tetapi pendapat yang valid sebagaimana dilaporkan oleh al-Dhahabi adalah bahwa beliau dilahirkan pada tahun 93 H bertepatan dengan tahun wafat Anas bin Malik sahabat sekaligus pembantu Nabi Saw. Menurut sebuah riwayat, Malik bin Anas berada di dalam kandungan selama 3 tahun. Malik bin Anas meninggal pada tahun 179 H.[18]

Malik bin Anas dilahirkan di kota Madinah dari sepasang suami dan istri yakni Anas bin Malik dan A<liyah bint Sharik al-Azdiyyah. Sejak kecil hingga wafatnya, Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan kota kelahirannya kecuali untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah.Ayah Malik bin Anas bukan Anas bin Malik, sahabat Nabi Saw tetapi seorang tabiin yang amat minim sekali informasinya. Arsip sejarah hanya mencatat bahwa ayah Malik bin Anas tinggal di suatu daerah bernama Dhu al-Marwah, nama suatu daerah di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Sedang kakeknya memiliki kunyah Abu Anas adalah tabiin besar yang banyak meriwayatkan Hadis dari Umar, Talhah, A<ishah dan Abu Hurayrah. Si kakek termasuk penulis Mushaf pada era pemerintahan khalifah Usman bin Affan.[19]Sementara ayah kakeknya yakni AbuA<mir adalah salah seorang sahabat Nabi Saw yang aktif mengikuti berbagai peperangan bersama Nabi Saw selain perang Badar.[20]

2.      Karir intelektual di bidang Hadis

Malik bin Anas adalah ulama besar pakar Hadis, yang mewariskan jejak yang tidak terhapus dari khasanah pengetahuan Arab. Karyanya yang gemilang adalah al-Muwattayang mendapat tempat terhormat di antara himpunan hadis yang langka. Kakeknya, AbuA<mir adalah anggota keluarga pertama marga mereka yang memeluk agama Islam pada tahun 2 hijriah. Malik bin Anas menuntut ilmu di Madinah, pusat keilmuan Islam Islam, dan tempat bermukim sebagian besar sahabat Nabi Saw. Karena itu ia tidak perlu meninggalkan Madinah untuk menimba ilmu. Kakeknya, serta ayah dan pamannya semua ahli Hadis. Mereka melatih Malik bin Anas itu dalam ilmu Hadis dan cabang ilmu lainnya. Cendekiawan ternama lain yang ikut andil mendidik Malik bin Anas adalah al-Zuhri dan Nafi yakni budak yang dimerdekakan oleh Ibn Umar.

Para ulama bersepakat akan keahlian dan keagungan Malik bin Anas dalam Hadis, meneliti perawi, dan menetapkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan sanadnya dalam periwayatan Hadis dianggap sebagai sanad yang paling sahih menurut ulama Hadis, sehingga ia dijuluki dengan سلسلة الذهب(silsilah al-dhahab) yang berarti jalur emas, mereka juga bersepakat bahwa Malik bin Anas adalah seorang perawi yang thiqah, adil, dabit, dan teliti dalam menerima Hadis.[21] Berikut ini contoh dari سلسلة الذهب(silsilah al-dhahab) sebagaimana terdapat dalam الموطأ(al-Muwatta‘), yakni:

حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً.[22]

Malik bin Anas teguh dalam memegang Hadis, mengetahui rijalal-Hadith, sehingga banyak guru dan teman-temannya yang menerima Hadis darinya. Ia tinggal di Madinah sebagai tempat bersumbernya Hadis dan wahyu sehingga Malik bin Anas tidak melakukan perjalanan ke negara lain.Malik bin Anas sangat rendah hati dan sangat mencintai Nabi Saw hingga ia tidak pernah mengendarai atau menunggang kuda atau unta di Madinah sebagai penghormatan kepada tanah tempat dikuburkannya jasad Rasulullah Saw. Hal ini menunjukkan kecintaan dan penghormatannya kepada Rasulullah Saw. Sebagai ulama Hadis, ia menempati kedudukan yang khas dan terhormat di antara bintang-bintang ilmuwan berbakat seperti penghimpun Hadis terkenal misalnya al-Bukhari dan Muslim.

Malik bin Anas amat menderita ketika menuntut ilmu. ia pernah harus hidup selama tiga hari dari daun-daunan dan akar, ia pun terpaksa menjual tiang rumahnya untuk melunasi ongkos pendidikan. Para ahli Hadis, ilmuwan sezaman dan sesudahnya amat memuji kedalaman ilmunya. Abd al-Rahman bin Mahdi mengatakan tak ada ahli Hadis yang lebih besar dari pada Malik bin Anas di dunia ini. Ahmad bin Hanbal dan al-Shafii menyanjungnya sebagai ahli Hadis terkemuka. Ia juga seorang ahli hukum. Lebih dari enam puluh tahun ia memberi fatwa di Madinah.[23] Puncak pujian dan apresiasi atas kedalaman ilmu Malik bin Anas adalah bahwa sebagaimana dituturkan oleh Yahya bin Main, ia adalah Amir al-Muminin fi al-Hadith, salah seorang yang menjadi hujjah Allah Swt untuk makhluk-Nya dan imam bagi para imam umat Islam.[24]

 

E.     Isi Kitab الموطأ(al-Muwatta‘) dan Sistematika Pembahasannya

الموطأ(al-Muwatta‘)adalah sebuah kitabberisi uraian komprehensif mengenai praktek normal dan baku yang dianut di Madinah. Salah satu kelebihan dari kitabالموطأ(al-Muwatta‘)sebagaimana dikemukakan oleh al-Dahlawi (1114-1176 H) yang dikutip oleh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, bahwa kitab tersebut tidak hanya mencakup Hadis-hadis doktrinal seperti yang ada pada al-Kutub al-Sittah, akan tetapi juga mengandung praktek-praktek aktual dan historis serta petunjuk-petunjuk dari Nabi Saw dan para sahabat. Bahkan al-Dahlawi menyatakan bahwa Hadis-hadis yang dimuat di الموطأ(al-Muwatta‘)sanadnya menempati level Hadis-hadis di dalam kitab sahih al-Bukharidan Muslim. Al-Dahlawi lebih cenderung kepada الموطأ(al-Muwatta‘)karena kendati sanad-sanadnya banyak yang terputus baik mursal atau munqati namun sebenarnya kesemuanya muttasil setelah ditinjau dari jalur-jalur periwayatan selain dari jalur periwayatan Malik bin Anas.[25]

Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)memuat Hadis-hadis Nabi Saw, pendapat para sahabat, tabiin, kesepakatan penduduk Madinah atau yang lebih dikenal dengan istilah amal ahl Madinah dan pendapat Malik bin Anas. Akan tetapi terjadi persesihan pendapat dari kalangan para ulama tentang jumlah Hadis yang terdapat dalam kitab الموطأ(al-Muwatta‘), antara lain sebagaimana dilansir oleh Muhammad Abu Zahwberikut ini:[26]

1.      Ibn al-Habbab menyatakan bahwa Malik bin Anas meriwayatkan di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)sebanyak seratus ribu buah Hadis kemudian menyaringnya yang akhirnya menjadi lima ratus buah Hadis

2.      Abu Bakr al-Abharimengemukakan bahwa jumlah riwayat di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)yang berasal dari Nabi Saw, perkataan para sahabat dan tabiin sebanyak seribu tujuh ratus dua puluh buah. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

a.       Sebanyak enam ratus Hadis bersambung atau musnad dari Nabi Saw.

b.      Sebanyak dua ratus dua puluh dua Hadis yang berbentuk mursal

c.       Sebanyak enam ratus tiga belas riwayat mawquf dari para sahabat

d.      Sebanyak dua ratus delapan puluh lima riwayata perkataan para tabiin

3.      Ibn Hazm melaporkan bahwa Malik bin Anas meriwayatkan Hadis di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)yang berstatus musnad sebanyak enam ratus lebih dan yang berstatusmursalsebanyak tiga ratus lebih. Selain itu, terdapat sebanyak tujuh puluh buah Hadis yang tidak diamalkan Malik bin Anas. Ibn Hazm menambahkan bahwa di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)terdapat beberapa Hadis daif.

Faktor utama yang melatarbelakangi dari timbulnya perbedaan jumlah tersebut adalah karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan, karena para ulama menghitung Hadis-hadis tersebut hanya berdasarkan pada Hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw saja, bahkan ada pula yang menghitung dengan menggabungkan perkataan sahabat, perkataan tabiin yang termaktub dalam kitab الموطأ(al-Muwatta‘)tersebut.

Dengan mengutip pendapat al-Suyuti, Muhammad Abu Zahw mengemukakan bahwa begitu banyak ulama yang meriwayatkan Hadis-hadis dari kitab الموطأ(al-Muwatta‘). Sedangkan dalam periwayatan mereka terdapat perbedaan teknis atau cara di dalam periwayatannya seperti mendahulukan yang satu dan mengakhirkan suatu riwayat tertentu serta ada penambahan dan pengurangan riwayat.Hal semacam itu terjadi pada kurang lebih seratus buah Hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Musab ketika meriwayatkan Hadis-hadis dari الموطأ(al-Muwatta‘). Demikian juga yang dilakukan oleh Muhammad bin al-Hasan ketika meriwayatkan Hadis-hadis dari الموطأ(al-Muwatta‘), dia melakukan penambahan riwayat selain jalur dari Malik bin Anas sebanyak seratus tujuh puluh lima buah Hadis.[27]

Sehubungan dengan fakta perbedaan jumlah materi Hadis yang tercantum di dalam الموطأ(al-Muwatta‘),Muhammad bin Matar al-Zahrani,menuturkan bahwa Malik bin Anas sendiri senantiasa merevisi jumlah Hadis di dalam الموطأ(al-Muwatta‘). Demikian ini terjadi karena Malik bin Anas senantiasa menulis dan merevisinya selama empat puluh tahun.[28]

Berkenaan dengan sistematika materi bahasannya, Malik bin Anas dalam mengklasifiksi Hadis-hadis yang terdapat dalam الموطأ(al-Muwatta‘)secara dominan berdasarkan pada sistematika yang dipakai dalam kitab fiqih, yaitu dengan klasifikasi Hadis sesuai dengan objek pembahasan fiqih. Sementara sisanya memuat tema-tema tentang tauhid, akhlaq, dan al-Qur’an. Dengan mengacu pada kitab الموطأ(al-Muwatta‘)yang telah ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, kitab tersebut terdiri dari dua juz yang memuat enam puluh satu kitab (bab) dan seribu delapan ratus dua puluh empatHadis dengan perincian sebagai berikut:

1.      Juz pertama

No

Materi

Jumlah bab

Jumlah Hadis

1.

Waktu-waktu Shalat

80 bab

30 Hadis

2.

Bersuci

32 bab

115 Hadis

3.

Shalat

8 bab

70 Hadis

4.

Lupa dalam Shalat

1 bab

3 Hadis

5.

Shalat jum’at

9 bab

21 Hadis

6.

Shalat pada bulan ramadhan

2 bab

7 Hadis

7.

Shalat malam

5 bab

33 Hadis

8.

Shalat berjama’ah

10 bab

38 Hadis

9.

Mengqasar shalat dalam perjalanan

25 bab

25 Hadis

10.

Dua hari raya

7 bab

13 Hadis

11.

Shalat dalam keadaan takut

1 bab

4 Hadis

12.

Shalat gerhana matahari dan bulan

2 bab

4 Hadis

13.

Shalat minta hujan

3 bab

6 Hadis

14.

Menghadap kiblat

6 bab

15 Hadis

15.

Al-Qur’an

10 bab

49 Hadis

16.

Shalat jenazah

16 bab

59 Hadis

17.

Zakat

30 bab

55 Hadis

18.

Puasa

22 bab

60 Hadis

19.

I’tikaf

8 bab

16 Hadis

20.

Haji

83 bab

255 Hadis

 

2.      Juz kedua

No

Materi

Jumlah bab

Jumlah Hadis

1.

Jihad

21bab

50 Hadis

2.

Nadzar dan sumpah

9 bab

17 Hadis

3.

Qurban

6 bab

13 Hadis

4.

Sembelihan

4bab

19 Hadis

5.

Binatang buruan

7 bab

19 Hadis

6.

Aqiqah

2 bab

7 Hadis

7.

Faraid

15 bab

16 Hadis

8.

Nikah

22 bab

58 Hadis

9.

Talak

35 bab

109 Hadis

10.

Persusuan

3 bab

17 Hadis

11.

Jual beli

49 bab

101 Hadis

12.

Pinjam meminjam

15 bab

16 Hadis

13.

Penyiraman

2 bab

3 Hadis

14.

Menyewa tanah

1 bab

5 Hadis

15.

Shufaah

2 bab

4 Hadis

16.

Hukum

41 bab

54 Hadis

17.

Wasiat

10bab

9 Hadis

18.

Kemerdekaan dan persaudaan

13 bab

25 Hadis

19.

Budak mukatabah

13 bab

15 Hadis

20.

Budak mudarabah

7 bab

8 Hadis

21.

Hudud

11 bab

35 Hadis

22.

Minuman

5 bab

15 Hadis

23.

Orang yang berakal

24 bab

16 Hadis

24.

Sumpah

5 bab

2 Hadis

25.

Al-Jami

7 bab

26 Hadis

26.

Qadar

2 bab

10 Hadis

27.

Akhlak yang baik

4 bab

18 Hadis

28.

Memakai pakaian

8 bab

19 Hadis

29.

Sifat Nabi Muhammad Saw

13 bab

39 Hadis

30.

Mata

7 bab

18 Hadis

31.

Rambut

5 bab

17 Hadis

32.

Penglihatan

2 bab

7 Hadis

33.

Salam

3 bab

8 Hadis

34.

Minta izin

17 bab

44 Hadis

35.

Baiat

1 bab

3 Hadis

36.

Kalam

12 bab

27 Hadis

37.

Jahannam

1 bab

2 Hadis

38.

Shadaqah

3 bab

15 Hadis

39.

Ilmu

1 bab

1 Hadis

40.

Doa orang yang teraniaya

1 bab

1 Hadis

41.

Nama-nama Nabi Muhammad Saw

1 bab

1 Hadis

 

F.     Metode Kodifikasi Kitab dan Kualitas Hadisnya

Kendati tidak ditemukan adanya pernyataan tegas dari Malik bin Anas sehubungan dengan penggunaannya terkait metode penghimpunan Hadis-hadis dalam الموطأ(al-Muwatta‘), namun secara implisit dapat ditengarai bahwa metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah) dengan mencantumkan Hadis marfu, mawqufdan maqtu. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Malik bin Anas menggunakan tahapan-tahapan berupa penyeleksian terhadap Hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw, perkataan para sahabat dan tabiin, kesepakatan penduduk Madinah atau yang disebut dengan amal ahl al-Madinahkendati itu nampaknya berbentukmursal atau munqatidan pendapat Malik bin Anas sendiri.

Penggunaan metode penulisan seperti ini tidak lepas dari keadaan sosial masyarakat pada waktu itu. Saat itu, ketika kitab الموطأ(al-Muwatta‘)disusun, kehidupan masyarakat semakin kompleks dan permasalahan yang dihadapi semakin banyak, sehingga masyarakat membutuhkan undang-undang yang dijadikan pedoman bagaimana mereka menjalankan hukum Islam. Oleh sebab itu, inilah yang menjadi salah satu alasan Malik bin Anas menyusun kitab الموطأ(al-Muwatta‘)yang tidak hanya berdasarkan pada Hadis Nabi Saw saja, namun beliau memasukkan pendapat beliau dalam kitab ini, termasuk pendapat sahabat dan tabiin. Selai itu, dengan bertambahnya jarak masa antara Nabi Saw dengan para sahabat dan para tabiin, pemahaman terhadap Hadis Nabi Saw juga akan berbeda sehingga dibutuhkan sharh (penjelasan) terhadap Hadis Nabi Saw sesuai dengan masanya. Jadi, susunan semacam inilah yang paling tepat dan paling baik pada masanya.[29]

Selain fakta yang telah diuraikan di atas, hemat penulis, nuansa zaman ketika Malik bin Anas hidup adalah masa-masa akhir pemalsuan Hadis atau dengan ungkapan lain bahwa masa pemalsuan Hadis yang marak di masa sebelum Malik bin Anas masih berbekas pengaruhnya sampai datangnya masa intelektual Malik bin Anas yakni pertengahan abad kedua hijriah. Akibatnya, cara yang dipakai untuk meminimalisir masuk Hadis-hadis palsu ke dalam syariat ini pun sama seperti apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah dalam menangkalnya, yaitu dengan menerima Hadismursal dari para Imam Ahli Madinah yang masuk ke dalam kelompok tujuh Ahli fiqih Madinah, yang ketika itu beberapa di antaranya menjadi penasehat khalifah Harun al-Rashid dari dinasti Abbasiyah.

Terbaca dari Hadis di atas, bahwa Malik bin Anas menyandarkan Hadisnya kepada Said bin al-Musayyib.[30]Apabila dicermati, kendati Malik bin Anas menerima Hadis mursal,namun ia tidak secara mutlak tetapi menyeleksi kredibilitas orang yang membawakan Hadis mursal tersebut.

Bagi para ulama dan penduduk Madinah ketika itu, mengambil Hadismursaldari para Imam Ahli Madinah, tentu jauh lebih aman dibanding mengambil Hadis yang tidak jelas berseliweran, khawatir tentunya kalau itu Hadis palsu. Berbeda dengan Hadismursalyang memang diriwayatkan oleh mereka yang sudah terpercaya, yaitu para Ahli Fiqih Madinah.

Jika hendak dielaborasi secara lebih mendalam dan ringkas terkait dengan fakta di atas, perhatian umat Islam terhadap khazanah Hadis adalah imbas dari posisi Hadis itu sendiri dalam peradaban Islam. Dalam hal ini, di masa Nabi Saw, para sahabat sedikit pun tidak pernah ragu dalam menunaikan seruan-seruan beliau, karena mereka menyakini bahwa beliaulah satu-satunya hamba yang mempunyai wewenang untuk mengejewantahkan instruksi-instruksi Allah Swt ke dalam amalan praktis. Namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi penyelewengan terhadap periwayatanHadis-hadis Nabi Saw, karena kepentingan individu atau golongan.

Itulah sebabnya di kemudian hari para tabiin melakukan berbagai usaha untuk melestarikan otentisitasHadis Nabi Saw dan memerangi orang-orang yang sesat. Salah satu usaha yang dilakukan para tabiin adalah menyeleksi Hadis-hadis Nabi Saw dengan hati-hati dari sisi periwayatannya. Mereka yakin bahwa Hadis Nabi Saw adalah bagian dari agama. Maka semua orang harus waspada dari siapa agamanya itu diambil. Kaidah semacam ini pernah dilontarkan oleh Muhammad bin Sirin berikut ini:

عن ابن سيرين قال: إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم".وعنه أيضاً قال: لم يكونوا يسألون عن الاسناد فلما وقعت الفتنة قالوا: سمُّوا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السُّنَّة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم.[31]

Diriwayatkan dari Ibn Sirin, bahwa dia berkata: “Ilmu (Hadis) ini  adalah bagian dari agama, maka waspadalah dari siapa kamu mengambil agamamu.” Diriwayatkan juga darinya bahwa beliau berkata: “Para tabiin sebelumnya tidak pernah bertanya tentang isnad, akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka mengatakan: “Sebutkanlah nama-nama perawi Hadis yang kamu terima.” Mereka akan melihat, jika Hadis itu bersumber dari ahli Sunnah maka diambilnya, dan jika berasal dari ahli bid‘ah, maka mereka akan menolaknya.

Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa uraian di atas merupakan salah satu kriteria utama yang diterapkan Malik bin Anas dalam hal penerimaan sebuah Hadisketika ia mengkodifikasi kitab الموطأ (al-Muwatta)selain ia juga mengajukan kriteria-kriteria sebagaimana umumnya para ulama Hadis menerapkannya yakni ittisal al-sanad, dabt al-rawi, adl al-rawi, matan Hadis tidak syad dan ber’illat.

 

G.    Contoh Materi Riwayat Di Dalam Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta)tidak hanya menghimpun Hadis-hadis Nabi Saw, baik yang bersambung sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya. Kitab tersebut juga memuatpendapat para sahabat, tabiin, kesepakatan penduduk Madinah atau yang lebih dikenal dengan istilah amal ahl Madinah dan pendapat Malik bin Anas.

Berikut di bawah ini akan disajikan contoh-contoh bentuk riwayat sebagaimana dimaksud di atas, yakni:

1.      Hadis yang tidak bersambung sanadnyayang dalam hal ini adalah Hadis mursalterkait sabda Nabi Saw kepada orang-orang Yahudi Khaybar setelah mereka ditaklukkan

حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَلِيَهُودِ خَيْبَرَ يَوْمَ افْتَتَحَ خَيْبَرَ: أُقِرُّكُمْ فِيهَا، مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى أَنَّ الثَّمَرَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ.[32]

Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Said bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang Yahudi Khaybar pada hari penaklukan Khaybar: “Aku membebaskan kalian di tanah Khaybar ini, sebagaimana Allah telah memberi kebebasan kepada kalian sebelumnya, akan tetapi buah-buahan ini menjadi milik kami dan kalian.”

 

2.      Pendapat sahabat

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: إِذَا نَامَ أَحَدُكُمْ مُضْطَجِعًا فَلْيَتَوَضَّأْ.[33]

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Zayd bin Aslam,sesungguhnya Umar bin al-Khattab berkata: “Jika salah seorang dari kalian tidur dengan berbaring terlentang maka hendaklah dia berwudlu.”

 

3.      Pendapat tabiin

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَامِلًا لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَتَبَ إِلَيْهِ يَذْكُرُ: أَنَّ رَجُلًا مَنَعَ زَكَاةَ مَالِهِ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ: أَنْ دَعْهُ وَلَا تَأْخُذْ مِنْهُ زَكَاةً مَعَ الْمُسْلِمِينَ. قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَفَاشْتَدَّ عَلَيْهِ وَأَدَّى بَعْدَ ذَلِكَ زَكَاةَ مَالِهِ. فَكَتَبَ عَامِلُ عُمَرَ إِلَيْهِ يَذْكُرُ لَهُ ذَلِكَ. فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ أَنْ خُذْهَا مِنْهُ.[34]

H.    Para Periwayat Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)

Menurut al-Suyuti, lebih dari seribu orang yang meriwayatkan kitab الموطأ (al-Muwatta) dan banyak naskah tentang itu. Namun yang terkenal adalah empat belas naskah meski sebagaimana dikatakannya bahwa menurut al-Kandahlawi ada enam belas naskah. Sedangkan menurut QadiIyyad ada dua puluh naskah. Di antara naskah itu adalah:[35]

1.      Naskah Yahya bin Yahya al-Andalusi (w. 204 H).

Yahyamempelajari kitab الموطأ(al-Muwatta)dari Malik bin Anas selama masa tahun terakhir dari kehidupan Malik bin Anas. Oleh karena riwayat darinya menyajikan teks kitab الموطأ(al-Muwatta)sebagaimana yang telah dianjurkan Malik bin Anas pada masa akhir kehidupannya maka riwayat ini secara pasti adalah riwayat yang terkenal dan merupakan satu-satunya riwayat yang dituju ketika kitab الموطأ(al-Muwatta)dijadikan rujukan. Versi ini sering diterbitkan ulang.[36]

2.      Naskah Ibn Wahb (w. 197 H).

3.      Naskah AbuUbaydillah al-Misri (w. 191 H).

4.      Naskah AbuAbd al-Rahman al-Harisi (w.221 H).

5.      Naskah Abdullah bin Yusuf al-Damashqi (w. 217 H).

6.      Naskah al-Qazzazi (w. 198 H).

7.      Naskah Said bin Uffayr (w. 226 H).

8.      Naskah Ibn Bukayr (w. 231 H).

9.      Naskah Abu Musab al-Zuhri (w. 242 H).

10.  Naskah Muhammad bin al-Mubarak al-Qurayshi (w. 215 H).

11.  Naskah Musab al-Zubayri (w. 215 H).

12.  Naskah Suwayd bin Zayd al-Harawi (w. 240 H).

13.  Naskah  Muhammad bin al-Hasan al-Shaybani (w. 179 H).

14.  Naskah Yahyaal-Timi (w. 226 H).

 

I.       Kitab-kitab Syarah terhadap Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)

Kitabالموطأ(al-Muwatta)disyarahi oleh beberapa ulama di antaranya adalah sebagai berikut:[37]

1.      Al-Tamhid Lima fial-Muwattamin al-Maani wa al-Asanid karya AbuUmar bin Abd al-Barr (w. 463 H).

2.      Tanwir al-Hawalik karya Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H.

3.      Sharh al-Zarqanialaal-Muwattakarya al-Zarqani(w. 1014 H).

4.      Al-Istidhkarkarya AbuUmar bin Abd al-Barr (w. 463 H).

5.      Al-Muntaqa karya karya Abual-Walid al-Baji al-Andalusi (w. 474 H).

6.      Al-Masalik karya Abu Bakr bin al-Arabi (w. 543).

 

J.      Penilaian Para Ulama terhadap Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)

Di bawah ini akan disajikan beberapa komentar para ulama ahli terkait kualitas dan derajat kitab الموطأ(al-Muwatta‘) sebagaimana diinventarisir oleh Muhammad bin Abd al-Baqi al-Zarqani berikut ini:

1.      Al-Shafii berkata:

ما على ظهر الأرض كتاب بعد كتاب الله أصح من كتاب مالك. وَفِي لَفْظٍ: ما على الأرض كتاب هو أقرب إلى القرآن من كتاب مالك. وَفِي لَفْظٍ: ما بعد كتاب الله أكثر صوابًا من موطأ مالك. وَفِي آخَرَ: ما بعد كتاب الله أنفع من الموطأ.[38]

Tidaklah ada di atas permukaan bumi sebuah kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih dari kitab Malik. Dalam suatu riwayat lain: tidaklah ada di bumi sebuah kitab yang mendekati tingkat kebenarannya kepada al-Qur’an melainkan kitab Malik. Dalam suatu riwayat lain: Kitab yang paling banyak benarnya setelah al-Qur’an adalah kitab Malik. Dalam suatu riwayat lain: Kitab yang paling bermanfaat setelah al-Qur’an adalah kitab Malik.

 

2.      Ibn Abd al-Barr mengatakan bahwa semua Hadis yang mengandung lafal “بلغنى” dan “عن الثقة” dan tidak disertakan sanadnya yang berjumlah enam puluh satu Hadis semuanya musnad ditinjau dari jalur-jalur lain kecuali hanya empat buah.[39]

3.      Al-Suyuti menyatakan bahwa seluruhriwayat di dalam kitab الموطأ(al-Muwatta)sahih dengan tanpa pengecualian. Hal ini menurutnya karena riwayat-riwayat الموطأ(al-Muwatta)terdiri dari beberapa Hadis mursal yang dapat dijadikan hujjah menurut Malik bin Anas dan para ulama yang mengikutinyatanpa syarat tertentu. Demikian juga halnya yang telah disepakati oleh banyak ulama dari beberapa madzhab lain.[40]

Hemat penulis, terkait komentar al-Shafiidi atas, sesungguhnya tidak bertentangan dengan kesepakatan sebagian besar ulama Hadis ketika mereka menyatakan bahwa kitab sahih al-Bukharidan sahihMuslim adalah dua kitab yang paling sahihsetelah al-Qur'an. Demikian ini disebabkan oleh dua hal sebagai berikut:[41]

1. Al-Shafii ketika mengeluarkan pernyataannya itu, kitab sahih al-Bukharidan sahihMuslim belum ada. Pada tahun wafat Malik bin Anas, yakni tahun 204 H, usia al-Bukhari ketika itu belum genap sepuluh tahun. Sedangkan Muslim ketika itu lahir pada tahun tersebut.

2. Dalam porsi yang besar, Hadis-hadis yang tercantum dalam الموطأ(al-Muwatta’), terdapat pula dalam kitab sahih al-Bukharidan sahihMuslim. Sedangkan sisanya tersebar dalam empat kitab sunan.

 

K.    Polemik Status Kitab الموطأ(al-Muwatta‘), Apakah ia Tergolong Kitab Hadis atau Fiqih?

Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta)merupakan deretan kitab pertama hasil kodifikasi Hadis setelah upaya kodifikasi perdana yang dilakukan oleh al-Zuhri. Hal itu diakui secara mutlak oleh seluruh ulama Hadis. Namun berseberangan dengan teori tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh Abu Zahw bahwa ada diantara cendekiawan Muslim yakni Ali Hasan Abd al-Qadir yang mengatakan bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta)adalah kitab Fiqih dan bukan kitab Hadis. Ali Hasan Abd al-Qadir juga mengatakan bahwa Malik bin Anas bukanlah seorang Muhaddith. Menurut Ali Hasan Abd al-Qadir,الموطأ(al-Muwatta)adalah kitab Fiqh pertama yang sampai kepada generasi Islam dewasa ini dan tidak bisa dikatakan sebagai kitab Hadis. Jika seandainya Malik bin Anas adalah seorang Muhaddith, tentu ia akan menyampaikan kepada umat semua Hadis yang ada dan bukan mencampuradukkan dengan berbagai fatwa ulama. Dari sini terlihat bahwa Malik bin Anas tidak menguasai seluruh Hadis.[42]

Dalam rangka membantah tuduhan sepihak itu, Abu Zahw kemudian menyatakan bahwa Malik bin Anas dikenal oleh semua ulama akan usahanya dalam pengumpulan Hadis-hadis Nabi Saw. Bahkan ia juga mengajarkan Hadis-hadis dan dianggap sebagai ahli Hadis senior di zamannya. Selain itu, seseorang tidak akan menjadi ahli fiqih sebelum menjadi ahli Hadis. Sebab keduanya saling berkaitan. Maka tidak ada larangan untuk menggabungkan dua hal yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, yakni pemahaman dan hafalan. Adapun sebab tidak ditulisnya beberapa sanad atau yang terkait dengan materi mursal dan munqatidi kitab الموطأ(al-Muwatta)adalah karena perawinya merupakan para sahabat yang dikenal dengan keadilannya dan hal itu sudah dimaklumi pada zamannya. Maka tidak benar kalau Malik bin Anas dikatakan tidak memperhatikan sanad Hadis. Selain itu, Malik bin Anas sendiri tidak akan meriwayatkan Hadis kecuali yang berasal dari orang-orang thiqah.[43]

Selanjutnya Abu Zahw berpendapat bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta) adalah kitab Hadis pertama di era klasik Islam adalah fakta yang tidak terbantahkan karenatidak sedikit ulama ahli Hadisyang meriwayatkan Hadis dari Malik bin Anas misalnya al-Layth bin Sad, al-Shafii, Abu Hanifah, al-Awzai, Ibn Uyaynah dan lain-lain.Sesuatu yang pasti menurut Abu Zahw, الموطأ(al-Muwatta) adalah kitab Hadis yang bersistematika Fiqih.[44]

 

L.     Sorotan KritisSarjana Barats Terhadap Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)

Di antara para sarjana Barat atau yang lebih dikenal dengan istilah orientalis yang melayangkan kritik terhadap kitab الموطأ(al-Muwatta)adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan otentitas riwayat di dalam الموطأ(al-Muwatta). Di antara Hadis yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayatسجده(sajdah)oleh Umar bin al-Khattab ketika menyampaikan khutbah jum’at berikut ini:

وَحَدَّثَنِي عَنْمَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَرَأَ سَجْدَةً، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. فَنَزَلَ، فَسَجَدَ، وَسَجَدْنَا مَعَهُ. ثُمَّ قَرَأَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى. فَتَهَيَّأَ النَّاسُ لِلسُّجُودِ، فَقَالَ: عَلَى رَسْلِكُمْ. إِنَّ اللهَ لَمْ يَكْتُبْهَا عَلَيْنَا، إِلاَّ أَنْ نَشَاءَ. فَلَمْ يَسْجُدْ، وَمَنَعَهُمْ أَنْ يَسْجُدُوا.قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ الْعَمَلُ عَلَى أَنْ يَنْزِلَ الْإِمَامُ، إِذَا قَرَأَ السَّجْدَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَيَسْجُدَ[45]

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Hisham bin Urwah dari Bapaknya bahwa Umar bin al-Khattab pernah membaca salah satu ayat sajadah saat berada di atas mimbar pada shalat Jum’at. Lalu dia turun dan bersujud, hingga orang-orang pun ikut sujud. Kemudian dia membacanya lagi pada shalat Jum’at berikutnya, hingga orang-orang pun bersiap untuk sujud, namun Umar berkata: “Tenanglah, sesungguhnya Allah tidak mewajibkannya pada kita semua, kecuali kita yang menghendaki.” Lalu Umar tidak sujud dan melarang orang-orang untuk sujud.” Malik berkata, "Imam tidak diharuskan turun dari mimbar ketika membaca ayat سجده(sajdah)untuk sujud.”

 

Dalam pandangan Schacht, riwayat tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat al-Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah kuno kitab الموطأ(al-Muwatta) terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh karenanya, dari pendekatan historis berarti naskah atau teks riwayat lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.[46]

Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Mustafaal-Azami, bahwa teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik bin Anas tidak diketemukan. Para komentator atau pensyarah kitab الموطأ(al-Muwatta) seperti Ibn Abd al-Barr dan al-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah kuno seperti yang disebut Schacht. Secara umum Mustafaal-Azamimenyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Schacht dalam penelitian otentitas sanad dengan mengambil contoh Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab kitab الموطأ(al-Muwatta) Malik adalah tidak tepat, karena karakterisrik kitab kitab الموطأ(al-Muwatta) di samping ia kitab himpunan Hadis, ia juga kitab yang berkarakteristik kitab Fiqih.Pada umumnya metode yang dipakai dalam kitab-kitab Fiqih ataupun sejarah tidak memberi data secara detail lengkap runtutan sanadnya, tetapi mencukupkan menyebutkan sumbernya atau sebagian sanadnya.[47]

Hal lain yang dikritisi Schacht adalah tentang 80 Hadis dalam kitab الموطأ(al-Muwatta) yang tergolong dalam“Untaian Sanad Emas”, Yakni periwyatan Malik dari Nafi dari Ibn Umar. Schacht meragukan untaian sanad tersebut, mengingat usia Malik terlalu dini yakni lima belas tahun. Menurutnya, apa mungkin riwayat dari anak remaja usia lima belas tahuntahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafipernah menjadi hamba sahaya Ibn Umar, sehingga kredibilitasnya perlu dipertanyakan.[48]

Dua kritikan tersebut di atas disanggah oleh Mustafaal-Azami, bahwa Schacht dianggap telah keliru di dalam menghitung usia Malik. Menurut Mustafaal-Azami, seharusnya Schacht menghitung usia Malik saat Nafiwafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah berkisar antara dua puluh hingga dua puluh empat tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang  Nafi yang  merupakan mantan budak Ibn Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah karena penerimaan seorang rawi di dalam meriwayatkan Hadis yang paling penting adalah “dapat dipercaya”. Adapun Nafidianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan Hadis dari Ibn Umar. Selain itu dalam hal ini Nafibukanlah satu-satunya orang yang meriwayatkan Hadis dariIbn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut?[49]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

  1. TIPOLOGI KITAB HADIS MUSALSAL
  2. TIPOLOGI KITAB HADIS AL MARASIL
  3. TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID
  4. TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
  5. TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS AL THULATHIYYAT
  6. TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL MA’AJIM
  7. TIPOLOGI KITAB HADIS AL JAWAMI’


DAFTAR PUSTAKA

Alami (al), Abu Jamil al-Hasan. Ummahat Kutub al-Haith wa Manahij al-Tasnif Inda al-Muhaddithin. Kairo: Mustafa al-Halibi, 1421 H.

Adami (al), Mustafa. Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikhu Tadwinihi. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980.

Asqalani (al), Ibn Hajar. Tahdhib al-Tahdhib, Vol. 10. India: Dairah al-Maarif al-Nizamiyyah, 1326 H.

Bandari (al), Abd al-Ghafur Sulayman. Mawsuah Rijal al-Kutub al-Tisah, Vol. 3. Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1993.

Daqur (al), Abd al-Ghani. al-Imam Malik bin Anas Imam Dar al- Hijrah. Damaskus: Dar al- Qalam, 1998.

Dhahabi (al), Shams al-Din Abu Abdillah. Siyar Alam al-Nubala, Vol. 8. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1405 H.

Ifriqi (al), Ibn Manzur. Lisan al-Arab, Vol. 1. Beirut: Dar Sadir, 1414 H.

J. Coulson, Noel. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad. Jakarta: P3M, 1987.

Madani (al), Malik bin Anas. Muwatta al-Imam Malik, Vol. 1. Beirut: Dar Ihya al-Arabi, 1406 H.

_______, Muwatta al-Imam Malik, Vol. 2. Beirut: Dar Ihya al-Arabi, 1406 H

Qasimi (al), Muhammad Jamal al-Din. Qawaid al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith, Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Sakhawi (al), Shams al-Din Muhammad bin Abd al-Rahman. Fath al-Mughith bi Sharh Alfiyah al-Hadith li al-Iraqi, Vol. 4. Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H.

Schacht, Joseph. The Origins Of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press, 1959.

_____________., An Introduction To Islamic Law. Oxford: Clarendon Press, 1986.

Shiddiqi (al), Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Shuhbah, Muhammad bin Muhammad bin Abu. al-Wasit fi Ulum wa Mustalah al-Hadith. t.tp.: Alim al-Marifah, 1983.

Suyuti (al), Jalal al-Din. Tanwir al-Hawalik, Vol. 1. Mesir: al-Maktabah al-TIjariyah al-Kubra, 1389 H.

Tahhan (al), Mahmud. Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979.

Zahrani (al), Muhammad bin Matar. Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah Nashatuhu wa Tatawwuruhu. Riyad: Maktabah Dar al-Hijrah, 1417 H.

Zahw, Muhammad Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1378 H.

Zarqani (al), Muhammad bin Abd al-Baqi. Sharh al-Zarqani ala Muwatta al-Imam Malik, Vol. 1. Kairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1424 H.


[1] Pada masa pemerintahan khalifah dari dinasti Umayyah inilah yang terjadi di awal abad keduahijriah, kegiatan kodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw secara massif dilakukan yang berskala nasional untuk wilayah kekuasaan Islam saat itu. Dinyatakan demikian karena melibatkan banyak pihak dalam kegiatannya. Pada era pemerintahannya, khalifah Umar bin Abd al-Aziz saat itu menginstruksikan ke seluruh pejabatnya serta mendorong semua ulama di berbagai negeri kekuasaan Islam untuk menghimpun Hadis-hadis Nabi Saw. Lihat data selengkapnya dalam Muhammad bin Muhammad bin Abu Shuhbah, al-Wasit fiUlum wa Mustalah al-Hadith (t.tp.: Alim al-Marifah, 1983), 65-66

[2]Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-NabawiyyahNashatuhu wa Tatawwuruhu(Riyad: Maktabah Dar al-Hijrah, 1417 H), 89.

[3]Ibid.

[4] Lihat uraian mengenai ini secara luas dalam dua literatur yang saling melengkapi yakni Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 89-90 dan Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1378 H), 244-245.

[5]Ibn Manzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, Vol. 1 (Beirut: Dar Sadir, 1414 H), 198.

[6] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979), 135.

[7]Abd al-Ghanial-Daqur, al-Imam Malik bin Anas Imam Dar al- Hijrah (Damaskus: Dar al- Qalam, 1998), 15.

[8] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij ….., 135.

[9] Ibid.

[10] Lihat Ibid., 135-136.

[11] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 245-246.

[12]Abd al-Ghanial-Daqur, al-Imam Malik….., 20.

[13]Selain Malik bin Anas terdapat beberapa ulama yang telah melakukan kodifikasi kitab bertipe bertipe الموطأ(al-Muwatta‘). Namun demikian selain kitab الموطأ(al-Muwatta‘) karya Malik bin Anas hampir semuanya tidak sampai ke tangan umat Islam hingga dewasa ini sejak abad keempat hijriah. Demikian ini disebabkan oleh banyak hal yang antara lain adalah terbakarnya kitab-kitab para ulama saat berjihad melawan pasukan kafir.Oleh karenanya apabila disebutkan kitab bertipe الموطأ(al-Muwatta‘) maka konotasinya selalu mengarah kepada karya Malik bin Anas.Lihat keterangan ini secara lebih luas dalam Abu Jamil al-Hasan al-Alami, Ummahat Kutub al-Haith wa Manahij al-Tasnif Inda al-Muhaddithin (Kairo: Mustafa al-Halibi, 1421 H), 67.

[14] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij….., 136.

[15] Lihat data yang saling melengkapi dalam Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 90 dan Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 83.

[16] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Vol. 10 (India: Dairah al-Maarif al-Nizamiyyah, 1326 H), 5.

[17] Shams al-Din AbuAbdillah al-Dhahabi, Siyar Alam al-Nubala, Vol. 8 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1405 H), 49.

[18] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Vol. 10, 8.

[19]Abd al-Ghafur Sulayman al-Bandari, Mawsuah Rijal al-Kutub al-Tisah, Vol. 3 (Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1993), 494.

[20] Muhammad bin Abd al-Baqi al-Zarqani, Sharh al-Zarqaniala Muwatta al-Imam Malik, Vol. 1 (Kairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1424 H), 53.

[21]Abd al-Ghafur Sulayman al-Bandari, Mawsuah Rijal, Vol. 3, 495. Lihat juga Abd al-Ghanial-Daqur, al-Imam Malik….., 60.

[22] Malik bin Anas al-Madani, Muwatta al-Imam Malik, Vol. 1 (Beirut: Dar Ihya al-Arabi, 1406 H), 129.

[23] Shams al-Din AbuAbdillah al-Dhahabi, Siyar Alam al-Nubala, Vol. 8, 79.

[24] Muhammad bin Abd al-Baqi al-Zarqani, Sharh al-Zarqani….., Vol. 1, 55.

[25]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), 239-240.

[26] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 248-249.

[27] Ibid., 249.

[28] Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 92.

[29] Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), 59.

[30]Said bin al-Musayyib adalah sayyid al-tabiin(Penghulunya para tabiin). Selain itu beliau juga dijuliuki sebagai perawinya Umar). disebut demikian karena beliau adalah orang Madinah yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihadUmar serta keputusan-keputusannya. Beliau inilah salah seorang dari فقهاء المدينة السبعة yakni tujuh ahli fikih Madinah. Digolongkannya beliau ke dalam kelompok tujuh ahli fiqih Madinah, lihat Shams al-Din Muhammad bin Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughith bi Sharh Alfiyah al-Hadith li al-Iraqi, Vol. 4 (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H), 398.

[31] Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 36.

[32] Malik bin Anas al-Madani, Muwatta al-Imam Malik, Vol. 2, 703.

[33] Ibid., Vol. 1, 21.

[34] Ibid., Vol. 1, 270.

[35] Jalal al-Din al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik, Vol. 1 (Mesir: al-Maktabah al-TIjariyah al-Kubra, 1389 H), 15-17.

[36] Abu Jamil al-Hasan al-Alami, Ummahat Kutub al-Haith….., 68.

[37] Ibid., 70-71.

[38] Muhammad bin Abd al-Baqi al-Zarqani, Sharh al-Zarqani….., Vol. 63.

[39] Ibid.

[40] Ibid.

[41]Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah…., 84.

[42] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 253-254.

[43] Lihat secara lebih luas dalam ibid., 255-256.

[44] Baca lebih luas dalam ibid., 256-259.

[45]Malik bin Anas al-Madani, Muwatta al-Imam Malik, Vol. 2, 206.

[46]Lihat kritik Schacht tersebut secara lebih luas dalam Joseph Schacht, The Origins Of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1959), 80-81.

[47] Lihat secara lebih luas dalam Mustafaal-Adami, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikhu Tadwinihi (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), 519-520.

[48]Lihat kritik Schacht  tersebut secara lebih luas dalam bukunya yang lain yakni dalam Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1986),121-122.

[49]Mustafa al-Adami, Dirasat fi al-Hadith….., 525.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...