AL HAKIM
Pembahasan
yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling
mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan
sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan
kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang
dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan
semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud
dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum
atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari
kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan
manusia. Ketika manusia dengan sifatnya
sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan,
maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya
adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang
berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut. (Pertanyaannya) adalah siapa
satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas hal diatas,
apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau dengan ungkapan lain apakah syara'
atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu bahwa ini hukum Allah adalah
syara', sedangkan yang menjadikan manusia dapat menghukumi adalah akal. Maka
(pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi, syara' ataukah akal?
Adapun topik bahasan hukum, maksudnya adalah sesuatu
yang dikeluarkan atasnya hukum baik atas sesuatu atau perbuatan adalah hasan
dan qabih, karena maksud dikeluarkannya suatu hukum adalah untuk menentukan
sikap manusia terhadap suatu perbuatan apakah dia mengerjakannya atau tidak,
atau dia memilih antara mengerjakan atau tidak? Serta menentukan sikapnya atas
sesuatu yang berkaitan dengan perbuatannya apakah dia mengambilnya atau tidak
atau dia memilih antara mengambil dan tidak. Dan penentuan sikap manusia atas hal tersebut tentu tergantung pada
pandangan manusia atas sesuatu apakah merupakan suatu yang hasan atau qabih,
atau bukan hasan dan juga bukan qabih? Oleh karena itu maka obyek hukum yang
dimaksud adalah hasan dan qabih. Maka
(pertanyaannya) adalah apakah hukum atas hasan dan qabih itu ditentukan oleh
akal atau syara'? karena memang tidak ada alternatif yang ketiga untuk
mengeluarkan hukum ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum
atas perbuatan maupun sesuatu itu adalah adakalanya ditentukan dari aspek faktanya,
sesuatu itu apa; dari aspek kesesuaiannya dengan tabiat manusia serta kecenderungan naluriah
manusia dan pertentangan sesuatu tersebut dengan kecenderungan naluriah
manusia. Ada kalanya dari aspek pujian
ketika perbuatan tersebut dikerjakan serta celaan ketika meninggalkannya, atau
tidak adanya celaan dan pujian, Atau dengan kata lain ditilik dari aspek pahala
dan siksa atas perbuatan tersebut atau tidak adanya pahala serta siksa. Inilah
tiga prespektif untuk hukum atas sesuatu: pertama, ditinjau dari faktanya itu apa, kedua dari aspek kesesuaian dan
pertentangannya dengan tabiat manusia
dan ketiga adalah dari aspek pahala dan siksa, atau pujian atau celaan. Adapun hukum atas sesuatu ditilik dari aspek
yang pertama yaitu dari aspek faktanya itu sendiri itu apa, dan aspek yang
kedua yakni dari sisi sesuai dan
tidaknya terhadap naluri manusia maka tidak diragukan lagi bahwa itu semua
adalah manusia sendiri yang menentukan. atau dengan kata lain ditentukan oleh
akal dan bukan syara'. Akal-lah yang memberikan hukum atas perbuatan dan
sesuatu pada dua aspek ini, syara' tidak menentukan hukum atas keduanya. Karena
mamang syara' tidak terlibat di dalamnya. Contohnya pandai itu terpuji
sedangkan bodoh adalah tercela memang fakta keduanya gamblang sekali, antara
lain adalah kesempurnaan dan kekurangan. Demikian pula dengan penilaian bahwa
kaya itu terpuji dan miskin itu tercela dst. Contoh lain misalnya bahwa
menyelamatkan orang yang tenggelam adalah terpuji dan mengambil harta secara
dzalim adalah tercela maka sesungguhnya tabiat (manusia) menjauhi kedzaliman
dan cenderung meluluskan hajat orang yang hampir mati. Demikian pula dengan
sesuatu yang manis itu baik sedangkan suatu yang pahit itu tercela dst. Ini
semua terpulang pada fakta sesuatu yang dirasakan oleh manusia dan yang
difahami oleh akalnya atau terpulang pada tabiat manusia serta fitrahnya, dia merasakannya dan akalnya
memahaminya. Oleh karena itu akallah yang menentukan hukum atas sesuatu
tersebut baik terpuji ataupun tercela, bukan syara'. Dengan kata lain yang
mengeluarkan hukum atas perbuatan maupun sesuatu atas dua hal ini adalah
manusia. Manusialah yang menjadi hakim atas kedua hal diatas.
Adapun hukum atas perbuatan dan sesuatu dari sisi
pujian dan celaan atas perbuatan maupun sesuatu di dunia serta pahala dan siksa
di akhirat tidak diragukan lagi bahwa yang menentukan adalah hanyalah Allah dan
bukan manusia, dengan kata lain merupakan wewenang syara dan bukan akal.
Seperti terpujinya Iman, tercelanya kekufuran, terpujinya taat dan tercelanya
maksiyat, terpujinya berbohong pada saat pertempuran serta tercelanya berbohong
pada penguasa kafir di luar peperangan dst. Hal tersebut disebabkan karena
realitas akal itu adalah pengindraan, fakta, informasi sebelumnya dan otak.
Pengindraan itu adalah bagian penting dari pilar-pilar akal, apabila manusia
tidak dapat mengindera sesuatu maka akalnyapun tidak mungkin untuk mengeluarkan
suatu hukum atas sesuatu tersebut. Karena akal dalam menentukan hukum atas
sesuatu itu terbatas pada sesuatu yang indrawi saja, dan mustahil bagi akal
untuk menentukan hukum atas sesuatu yang non indrawi. Sementara kedzaliman
apakah termasuk yang terpuji atau tercela memang bukan sesuatu yang indrawi
bagi manusia, karena kedzaliman bukanlah sesuatu yang indrawi, karenanya kedzaliman
tidak mungkin dirasionalkan; artinya tidak memungkinkan bagi akal untuk
menentukan hukum atas kedzaliman tersebut. Maka hukum apakah kedzaliman itu
terpuji atau tercala, meski perasaan manusia secara fitrah menjahui kedzaliman
atau ada kecenderungan padanya tetapi perasaan saja tidaklah bermanfaat (untuk
memberikan kontribusi) agar akal dapat mengeluarkan hukum atas sesuatu tersebut
yang tidak bisa tidak harus termasuk yang indrawi. Oleh karena itu akal tidak
mungkin mengeluarkan hukum baik hasan atau qabih atas perbuatan atau sesuatu.
Berdasarkan ini maka akal tidak boleh mengeluarkan hukum baik pujian maupun
celaaan atas perbuatan-perbuatan atau sesuatu, karena akal tidak
bisa mengeluarkan hukum tersebut dan mustahil bagi akal untuk hal itu.
Juga tidak boleh menjadikan kecenderungan fitri
manusia untuk mengeluarkan hukum terpuji dan tercala. Karena kecenderungan
tersebut akan mengeluarkan hukum terpuji atas hal-hal yang sejalan dengan
kecenderungan tersebut dan mengeluarkan hukum tercela atas hal-hal yang berbeda
dengan kecenderungan tersebut. Maka kadangkala hal yang sejalan dengan
kecenderungan tersebut justru hal-hal yang tercela. Misalnya zina, homoseksual,
melakukan penyembahan pada manusia, dan kadangkala hal-hal yang berbeda dengan
kecenderungan manusia tersebut justru merupakan bagian dari hal-hal yang
terpuji. Misalnya memerangi musuh, sabar atas hal-hal yang tidak disukai serta
perkataan yang benar dalam keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan kesakitan
yang teramat sangat. Maka menyerahkan hukum pada kecenderungan dan hawa nafsu
artinya menjadikan kecenderungan tersebut sebagai standar bagi terpuji dan
tercela, itu adalah standar yang salah secara pasti. Oleh karena itu menjadikan
hukum berdasarkan pada kecenderungan adalah suatu kesalahan yang jelas. Karena
hal tersebut menjadikan hukum secara salah yang bertentangan dengan fakta.
Lebih dari itu hal tersebut berarti menjadikan hukum atas terpuji dan tercela
berdasarkan hawa nafsu dan syahwat, bukan berdasarkan apa yang seharusnya terjadi.
Karena itu tidak boleh menjadikan
kecenderungan yang sifatnya fitrah bagi manuasia tersebut mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela.
Selama tidak diperbolehkannya akal untuk
mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela, serta tidak diperbolehkan kecenderungan yang
bersifat fitriah untuk mengeluarkan hukumnya atas terpuji dan tercela maka tidak boleh menjadikan manusia (hak)
untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercala, maka yang mengeluarkan hukum
atas perbuatan yang terpuji dan tercala adalah Allah dan bukan manusia. Maka
yang mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela adalah syara dan bukan akal.
Dan lagi kalau seandainya manusia dibiarkan untuk
menentukan hukum atas perbuatan-perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan
tercela maka akan berbeda-beda pulalah hukum tersebut dengan adanya perbedaan
person dan waktu, bukan termasuk kapasitas manusia untuk menentukan hukum atas
terpuji dan tercela yang sifatnya tetap. Karena itu maka Allahlah yang
menentukan hukum atas hal tersebut, bukan manusia. Artinya syara'lah yang
menentukan hukum, bukan akal. Karena akal memang tidak dapat terlibat dalam
menentukan hukum dari prespektif ini. Karena bukti-bukti yang kasat mata menunjukkan bahwa manusia menghukumi sesuatu
sebagai suatu terpuji, hari ini, kemudian besok berubah menjadi tercela.
Demikian pula ketika menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk kemarin,
kemudian hari ini dia menghukumi sesuatu yang sama sebagai sesuatu yang
terpuji. Dengan begitu maka hukum atas sesuatu yang sama akan berubah-ubah danm
berbeda-beda, dan tidak menjadi hukum yang tetap. Maka terjadilah kesalahan
dalam menentukan hukum. Karena itulah
tidak diperbolehkan menjadikan
akal atau manusia berhak untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela.
Atas dasar hal adalah merupakan keharusan untuk
menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan
dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta'ala, bukan manusia.
Atau dengan kata lain syaara'lah yang menetukan hukum, bukan akal.
Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan
dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar'I, sesungguhnya syara' telah
mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu
dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'I secara
syar'I, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang dihasankan oleh syara'
sedangkan qabih adalah apa yang diqabihkan oleh syara'.
Maka (penetapan) hukum atas perbuatan dan sesuatu
dengan terpuji dan tercela adalah untuk menentukan sikap manusia atas perbuatan
dan sesuatu tersebut. Untuk sesuatu, berarti menjelaskan apakah boleh baginya
mengambil sesuatu tersebut atau diharamkan, dan secara factual tidak ada
diskripsi selain itu. Sedangkan untuk perbuatan manusia apakah Allah menuntut
manusia untuk mengerjakan atau menuntut untuk meninggalkan atau bahkan
memberikan pilihan diantara mengerjakan dan meninggalkan. Tetkala hukum tersebut (dilihat) dari prespektif ini
tidak boleh ada kecuali dari syara', maka merupakan kwajiban hendaknya
hukum-hukum perbuatan manusia serta hukum-hukum atas sesuatu di dalamnya
dikembalikan pada syara', bukan pada akal. Maka adalah merupakan kwajiban
menjadikan hukum syara' saja yang berlaku terhadap perbuatan-perbuatan manusia
serta segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mereka.
Lebih dari itu sesungguhnya hukum atas sesuatu dari
prespektif halal dan haram, dan perbuatan-perbuatan manusia dari prespektif
kwajiban, yang diharamkan, yang disunnahkan, yang dimakruhkan atau yang
dimubahkan, dan atas perkara-perkara maupun akad-akad dari sisi keberadaannya
sebagai sebab atau syarat, atau mani' atau shahih, dan bathil dan fasid, atau
'azimah dan rukhshah, itu semua bukan dari prespektif sesuai dan tidaknya dengan tabiat (manusia) dan bukan dari aspek faktanya
seperti apa, Tapi dari prespektif terpuji dan tercela atas hal tersebut di
dunia serta pahala dan siksa di akhirat. Oleh karena itu maka hukum dalam hal
ini adalah wewenang syara' saja, bukan akal. Maka al-hakim yang sebenarnya atas
perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan,
serta perkara-perkara dan akad-akad adalah syara' saja dan hukum yang
ditetapkan oleh akal sama sekali tidak
berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar