HOME

20 Januari, 2024

TIPOLOGI KITAB HADIS AL-ATRAF

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Mengenal kitab-kitab hadis bagi umat muslim khususnya para calon sarjana muslim adalah suatu keharusan. Karena dengan diketahuinya bentuk kitab hadis tersebut, baik mulai dari pengarangnya, sistematika penulisannya atau yang lain yang berhubungan  dengan masalah studi hadis akan memudahkan proses pencarian hadis langsung dari sumbernya dengan melakukan penelitian ulang tentang kualitas hadis sehingga tidak ragu-ragu untuk berhujjah menggunakan hadis. Hadis atau Sunnah, baik secara struktural ataupun fungsinya telah disepakati oleh para Muslimin dari berbagai aliran islam sebagai sumber ajaran agama setelah al-Quran karena dengan adanya hadis itulah ajaran islam semakin menjadi jelas. Sepanjang sejarah, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah sehingga menghasilkan kualitas hadis yang diinginkan oleh para penelitinya atau penghimpunnya.

Hasil dari berkutatnya para ulama dalam pembahasan hadis adalah dengan telah disusunnya indeks atau catalog (fihris), dengan tujuan untuk mempermudah sampai kepada nas atau kitab, dan menjadikan fihris menjadi susunan yang beragam, di antaranya yakni yang biasa disebut dengan al-Atraf. Oleh karenanya, dalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas kitab hadis al-atraf baik dari pengertian, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, metode dalam penyusunannya,  macam-macam kitab hadis dalam kategori atraf, dan faedah disusunnya kitab hadis dalam bentuk atraf.



BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian al-Atraf

Menurut bahasa, al-Atraf merupakan bentuk jama’ dari kata tarf. Tarf adalah sisi atau arah, dan digunakan dalam beberapa jenis, waktu, dan lainnya. Kata al-Atraf juga telah disebutkan dalam Alquran, sebagaimana firman-Nya:

÷ŽÉ9ô¹$$sù 4n?tã $tB tbqä9qà)tƒ ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u Ÿ@ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# Ÿ@ö6s%ur $pkÍ5rãäî ( ô`ÏBur Ç!$tR#uä È@ø©9$# ôxÎm7|¡sù t$#tôÛr&ur Í$pk¨]9$# y7¯=yès9 4ÓyÌös? ÇÊÌÉÈ[1]

Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang,

 

ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@øŠ©9$# 4 ¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$# tû÷ùÏdõムÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ 3tø.ÏŒ šúï̍Ï.º©%#Ï9 [2]ÇÊÊÍÈ

Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

 

Menurut Itr, tarf hadith adalah

الجزء الدال على الحديث, أو العبارة الدالة عليه.[3]

Bagian hadis yang dapat menunjukkan pada hadis itu sendiri, atau pernyataan yang dapat menunjukkan hadis.

Menurut Mahmud al-Tahhan, tarf al-hadith adalah

الجزء من متنه الدال على بقيته.[4]

Bagian dari matan hadis yang dapat menunjukkan keseluruhannya.


Maksud dari makna tersebut adalah sekiranya yang disebut atraf dalam penulisan adalah bagian dari hadis, atau potongan dari hadis yang menunjukkan keseluruhannya, sehingga metode ini berkembang dan setelah itu menjadi salah satu metode takhrij yang dasar, yang mempunyai pengertian, dasar-dasar, serta beberapa keistimewaan.[5]

Sedangkan makna dari kitab al-Atraf, terdapat juga beberapa pengertian dari ulama hadis, di antaranya: Makna Atraf dalam istilah muhaddithin adalah menyebutkan tarf hadis yang menunjukkan keseluruhannya. Maksud dari pengertian tersebut bahwa muhaddith mendatangkan awal matan hadis dengan menyebutkan dua, tiga, atau empat kalimat, atau menyebutkan lafadz yang tampak dari sebuah hadis, sehingga dengan menyebutnya akan dapat menunjukkan keseluruhan dari sebuah hadis, kemudian mengumpulkan sanad-sanad hadis tersebut, dengan secara menyeluruh dari semua sumber-sumber kitab hadis, ataupun yang terikat dalam kitab-kitab khusus.[6]

Menurut ‘Itr, kitab al-Atraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanad-nya pada kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanad-nya dengan lengkap dan sebagian lainnya hanya menyebutkan sebagiannya.[7]

Sedangkan menurut al-Tahhan, kitab Atraf adalah bagian kitab-kitab hadis yang hanya menyebutkan bagian (tarf) hadis yang dapat menunjukkan keseluruhannya, kemudian menyebutkan sanad-sanad-nya, baik secara menyeluruh atau hanya dinisbatkan (dihubungkan) pada kitab-kitab tertentu. Tetapi sebagian pengarang kitab ini, ada yang menyebutkan sanad-nya secara menyeluruh atau ada yang hanya menyebutkan gurunya.[8]

Perlu dicatat di sini, kitab atraf tidak memuat matan hadis secara lengkap dan sempurna, serta bagian hadis yang dimuat pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual[9], sebagaimana ia pun tidak dapat memberikan esensi lafal hadis yang sejatinya tertulis dalam kitab-kitab yang dirujuknya. Kitab Atraf hanya memberikan makna yang termanifestasikan dari hadis yang diambil oleh penulisnya dari kitab-kitab asalnya. Oleh karena itu, untuk kebutuhan studi (penelitian) matan hadis, tetap harus membuka dan membedah kitab-kitab yang menjadi rujukkannya.

 

B.     Sejarah Perkembangan Metode al-Atraf

Ulama salaf menggunakan kata al-Atraf dengan makna tulisan potongan hadis yang menunjukkan kepada keseluruhannya, yang telah ada sejak abad 1 H, ketika mereka menyiapkan serta mengikuti pelajaran dari guru-guru mereka, maka mereka menulis potongan (penggalan) dari sebuah hadis atau beberapa hadis  yang sedang mereka dengar dan yang mereka tanyakan. Sebagian dari mereka menulis potongan-potongan (ujung) hadis dalam majlis gurunya itu untuk menolong dan memudahkan mereka dalam menghafal.[10]

Sesungguhnya indeks (fihris) hadis dengan metode atraf telah tumbuh kembang sejak dahulu kala, yakni dapat dikatakan bahwa munculnya al-Atraf muncul bersamaan dengan tadwin hadith sekitar pada akhir abad pertama dan awal abad kedua. Hal itu ditunjukkan dengan adanya beberapa bukti, di antaranya:

1.    Dinukil dari perkataan Ibn Hajar dalam kitab Ittihaf al-Mahrah bahwa Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (w. 96 H) berkata: tidak mengapa menulis al-Atraf. Ibrahim adalah salah satu fuqaha’ kalangan tabi’in, Ibn Hajar mengatakan: athar ini sanad-nya sahih, yang mawquf kepada Ibrahim. Perkataan Ibrahim ini menunjukkan bahwa penulisan al-Atraf telah bertumbuh kembang pada masanya, sehingga semua orang mempertanyakan hal itu.

ذكر أبو خيثمة (234 H) في ((كتاب العلم)) له: ثنا جرير عن منصور عن إبراهيم –هو النخعي (96 H)-قال: لا بأس بكتابة الأطراف.

روى منصور، عن إبراهيم قال: لا بأس بكتابة الاطراف، وروى شريك عن جامع أبي صخرة قال: رأيت حماد يكتب عند إبراهيم، ويقول: إنا لا نريد بذلك دنيا، وعليه كساء أنبجاني.[11]

2.    Metode ini dimulai dengan menyebarnya lembaran-lembaran (tulisan) dari para muhaddith, sebagaimana diriwayatkan dari Hammad bin Abi Sulayman (w. 120 H) beserta gurunya, yakni Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H). telah dikeluarkan oleh al-Darimi dalam “sunan-nya”: telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Aban, telah menceritakan kepada kami Ibn Idris, dari Ibn ‘Awn berkata: saya melihat Hammad menulis dari Ibrahim, maka kemudian Ibrahim berkata kepadanya: bukankah aku telah melarangmu? Dia berkata: sesungguhnya ini adalah atraf.

فقد قال الدارمي : أخبرنا إسماعيل بن أبان ، قال : حدثنا ابن إدريس ، عن ابن عون ، قال : رأيت حماداً يكتب عند إبراهيم فقال له إبراهيم : ألم أنهك ؟ قال : إنما هي أطراف.

حدثنا أبو خيثمة ثنا محمد بن عبد الله الأنصاري ثنا بن عون قال : دخلت على إبراهيم فدخل علينا حماد فجعل يسأله ومعه أطراف قال فقال ما هذا قال إنما هي أطراف قال ألم أنه عن هذا.[12]

3.    Dari Muhammad bin Sirin (w. 110 H) dia berkata: saya bertemu ‘Ubaydah -yakni Ibn ‘Amr al-Salmani- yang mempunyai atraf, dan menurut qaul yang sahih, ‘Ubaydah wafat pada tahun 72 H.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَتِيقٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ: «كُنْتُ أَلْقَى عَبِيدَةَ بِالْأَطْرَافِ فَأَسْأَلُهُ»[13]

4.    Dari Yahya berkata: saya mempunyai atraf ‘Awf (Ibn Abi Jamilah w. 146 H) dari Hasan dari Nabi Saw. Khalas dan Muhammad dari Abi Hurayrah r.a.: (أن موسى كان رجلا حييا ... إلخ).

حدثنا عبد الرحمن نا صالح نا علي قال سمعت يحيى يقول: كان معي اطراف عوف عن الحسن عن النبي صلى الله عليه وسلم وخلاس.[14]

5.    Isma’il bin Abi Khalid (w. 146 H) mempunyai atraf yang diambil oleh Waki’ (196 H) dan memberikannya kepada Isma’il bin ‘Iyash (181 H).[15]

Inilah sebagian pendapat atau pernyataan yang dapat menetapkan bahwasanya penyusunan al-Atraf hadis telah ada semenjak masa mutaqaddimin, yang seperti halnya amalan atau perbuatan khusus untuk menolong muhaddith dalam mengingat hadis.

Seiring dengan berjalannya waktu, serta akibat dari penggunaan metode al-atraf, seperti yang terjadi dalam keterangan di atas (menghimpun hadis dengan menggunakan metode atraf), dan telah bertumbuhkembangnya penggunaan metode tersebut, sehingga muncullah beberapa orang yakni Imam Abi Mas’ud Ibrahim bin Muhammad bin ‘Ubayd al-Dimashqi (w. 401 H) dan Imam Abi Muhammad Khalf bin Muhammad al-Wasiti (w. 401 H), yang keduanya menyusun kitab “Atraf al-Sahihayn”. Di mana keduanya tersebut merupakan orang yang pertama kali menerapkan atau menggunakan salah satu metode takhrij dasar, yakni dengan menggunakan metode al-atraf atau metode ma’rifah al-rawi al-a’la li al-hadith.[16]

 

 

Diantara keistimewaan metode ini adalah:

1.    Proses takhrij dapat diperpendek,

2.    Ditemukan banyak jalan (tarq) untuk matan yang sama,

3.    Dapat sampai pada hadis yang dimaksud dengan mudah dan cepat,

4.    Mengetahui dengan mudah tempat suatu hadis yang terperinci dari sumber-sumber kitab hadis yang menjadi pegangan oleh para muallif, meskipun rujukannya berdasarkan tertib nama-nama perawi.[17]

Selain mempunyai kelebihan atau keistimewaan, metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya adalah:

1.    Untuk menemukan hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relative lama, karena biasanya sahabat tidak hanya meriwayatkan satu hadis saja.

2.    Metode ini tidak bisa digunakan apabila nama sahabat yang meriwayatkan hadis itu tidak diketahui.

3.    Kesusahan untuk sampai pada hadis yang dimaksud, karena harus mengetahui nama rawi a’la dari hadis yang akan di takhrij, jika tidak maka takhrij tidak mungkin dilakukan. Secara singkatnya Metode ini dikhususkan jika telah diketahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits,

4.    Menghilangkan banyak waktu dan tenaga, dalam mencari hadis-hadis dari beberapa sumber tertentu untuk sampai kepada hadis dan takhrijnya.

5.    Meringkas sebagian riwayat yang berulang-ulang berdasarkan kepentingannya dalam sebagian rujukannya.[18]

 

C.    Metode yang digunakan untuk Menyusun Kitab al-Atraf

Pada umumnya kitab Atraf  ini disusun berdasarkan musnad-musnad sahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah. Maksudnya adalah kitab tersebut dimulai dengan hadis-hadis sahabat yang namanya dimulai dengan huruf alif, kemudian ba’, dan seterusnya. Tetapi terkadang kitab tersebut, disusun berdasarkan huruf awal matan hadis, seperti yang dilakukan Abu al-Fadl bin Tahir dalam kitab Atraf al-Gharaib wa al-Afrad karya al-Daruqutni, yang menyusunnya dengan tertib huruf mu’jam dengan dinisbatkan pada awal matan hadis. Demikian juga yang dilakukan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Husayni dalam kitabnya al-Kashshaf fi Ma’rifah al-Atraf.[19]

Sistematika penulisan kitab athraf, pada umumnya, menggunakan pola musnad sahabat secara alfabetis. Pola ini secara sistematik akan memulai penulisannya dengan menuliskan hadis-hadis yang berasal dari sahabat nabi yang namanya diawali huruf ‘alif’, demikian seterusnya.

Dalam menyusun kitab al-Atraf, Muhaddithin memiliki metode yang bagus, susunan yang baru, uslub yang indah, dan mengklasifikasikan hadis-hadis dengan tujuan untuk mempermudah bagi orang yang ingin mengetahui dikeluarkannya hadis. Secara ringkasnya, metode dalam penyusunan atraf itu adalah:

1.    Muhaddithin menyusun hadis-hadis berdasarkan sanad-sanad, kemudian menyebutkan nama-nama sahabat berdasarkan huruf hijaiyah, lalu mereka menyebutkan periwayat dari setiap sahabat dari tabiin dan dari setelah mereka berdasarkan huruf hijaiyah juga.

2.    Kemudian penyusun atraf menyebutkan sebagian dari hadis, sebagaimana pada umumnya yakni disebutkan bagian awalnya. Lalu mereka menyebutkan semua jalan (turuq) dari hadis ini dalam beberapa kitab yang diperlukan, sama halnya dari banyak turuq (yang meriwayatkan) atau hanya ada satu jalan saja.

3.    Ketika banyaknya turuq dalam riwayat hadis atau hanya sebagian/sendiriannya turuq tersebut, ahli atraf menyebutkan tempat beradanya hadis itu dari dalam kitab dan bab, sehingga walaupun hadis itu berulang-ulang dalam banyaknya tempat, maka mereka menyebutkan tempat-tempat itu pula. Hal itu mempermudah mengetahui turuq hadis dan pembahasan sanad-sanad-nya.[20]

 

D.    Macam-Macam Kitab al-Atraf

Telah disebutkan pada pemaparan dahulu bahwasanya kitab-kitab Atraf ini dinisbatkan kepada Ibrahim al-Nakha’i dan seterusnya. Kemudian sampailah pada penyusunan, kitab-kitab yang telah disusun berdasarkan model kitab Atraf sangatlah banyak, di antaranya adalah:

1.        Atraf al-Sahihayn, karya Khalf bin Muhammad bin ‘Ali bin Hamdun al-Wasiti (w. 401 H/1014 M).

2.        Atraf al-Sahihayn, karya Abi Nu’aym ‘Ubayd Allah bin al-Hasan al-Asbahani al-Haddad (w. 463 H).

3.        Atraf al-Sahihayn, karya Ibn Hajr (w. 852 H).

4.        Atraf al-Kutub al-Khamsah, karya Ahmad bin Thabit al-Tarqi (w. 521 H).

5.        Atraf al-Kutub al-Sittah, karya Abi al-Fadl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi, yang dikenal dengan Ibn al-Qaysirani (w. 507 H).

6.        Tuhfah al-Ashraf biMa’rifah al-Atraf, karya Abi al-Hajjaj Yusuf bin ‘Abd al-Rahman al-Mizzi (w. 742 H).

7.        Al-Kashshaf fi Ma’rifah al-Atraf, karya Muhammad ibn ‘Ali al-Husayni al-Dimashqi (w. 765 H).

8.        Al-Ashraf ‘ala Ma’rifah al-Atraf, karya Abi al-Qasim ‘Ali bin al-Hasan, yang dikenal dengan Ibn ‘Asakir (w. 571 H).

9.        Al-Itraf bi Awham al-Atraf li al-Mizzi, karya Wali al-Din Abi Zur’ah al-‘Iraqi (w. 826 H).

10.    Al-Nakt al-Ziraf ‘ala al-Atraf, karya Ibn Hajar (w. 852 H).

11.    Ittihaf al-Mahrah bi al-Fawaid al-Mubtakirah min Atraf al-Ashrah, karya Ibn Hajar al-Asqalani.

12.    Itraf al-Musnad al-Mu’tali bi Atraf al-Musnad al-Hanbali, karya Ibn Hajar.

13.    Al-Inarah fi Atraf al-Mukhtarah, karya Ibn Hajar juga.

14.    Atraf Sahih Ibn Hibban, karya Abi al-Fadl al-‘Iraqi (w. 806 H).

15.    Atraf Muwatta’, karya Khatib al-Baghdadi (w. 463 H).

16.    Atraf Muwatta’, karya al-Dani yakni Ahmad bin Tahir al-Ansari (w. 532 H).

17.    Atraf al-Masanid al-Ashrah, karya Shihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).

18.    Atraf al-Gharaib wa al-Afrad li al-Daruqutni, disusun oleh Abi al-Fadl Muhammad binTahir (w. 507 H).

19.    Al-Ishraf ‘ala al-Jam’ bayna al-Nakt al-Ziraf wa Tuhfah al-Ashraf, karya Ibn Fahd al-Makki (w. 871 H).

20.    Lamma al-Atraf wa Damma al-Atraf, karya al-Suyuti (w. 911 H).

21.    Dhakha’ir al-Mawarith fi al-Dilalah ‘ala Mawadi’ al-Hadith, karya ‘Abd al-Ghani al-Nabilisi (w. 1143 H).[21]

 

E.     Contoh Kitab Al-Atraf

Di antara kitab-kitab Al-Atraf yang telah disebutkan di atas, maka dalam contoh tipologi kitab atraf ini hanya akan membahas beberapa kitab saja di antara kitab-kitab tersebut, yakni:

1.    Tuhfah al-Ashraf biMa’rifah al-Atraf.

a.    Nama pengarang

Kitab Atraf ini dikarang oleh Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf bin ‘Abd al-Rahman al-Mizzi (w. 742 H).

b.    Tujuan pokok penulisan

Tujuan pokok penulisan kitab Atraf ini adalah menghimpun hadis-hadis kutub al-sittah dan yang berhubungan dengannya, dengan cara yang mudah untuk dapat mengetahui sanadnya yang berbeda-beda, tetapi dapat terhimpun dalam satu tempat.[22]

c.    Tentang kitab

Al-Mizzi, dalam kitabnya ini telah mengumpulkan hadis-hadis dalam kutub al-sittah dan yang berhubungan dengan penyusunnya, dan ditambah dengan Muqaddimah Kitab Sahih Muslim, al-Marasil karya Abu Dawud, al-‘Ilal dan al-Shama’il karya al-Tirmidhi, dan ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah karya al-Nasa’i.[23]

Al-Mizzi tenggelam atau sibuk dalam menyusun kitabnya selama 26 tahun. Penulisan kitab ini dimulai pada bulan Ashura tahun 696 H dan diselesaikan pada tanggal 3 Rabi’ al-Akhir 722 H.[24]

d.   Rumus (tanda) yang dipakai dalam kitab ini

Dalam menghimpun bagian-bagian hadis dari kitab-kitab tersebut, al-Mizzi memakai beberapa rumus atau tanda, di antaranya:

1)      (ع) untuk hadis yang riwayat imam enam dalam kutub al-sittah

2)      (خ) untuk al-Bukhari

3)      (خت) untuk al-Bukhari dalam Ta’liq

4)      (م) untuk Muslim

5)      (د) untuk Abu Dawud

6)      (مد) untuk Abu Dawud dalam al-Marasil

7)      (ت) untuk al-Turmudhi

8)      (تم) untuk al-Turmudhi dalam al-Shama’il

9)      (س) untuk al-Nasa’i

10)  (سي) untuk al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah

11)  (ق) untuk Ibn Majah

12)  (ز) untuk tambahan al-Mizzi terhadap beberapa hadis

13)  (ك) untuk tambahan al-Mizzi terhadap Ibn ‘Asakir.[25]

e.    Sistematika kitab

Al- Mizzi mengumpulkan musnad-musnad berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi Saw. dalam kutub al-sittah dan kitab-kitab lain yang berhubungan dengannya. Jumlah musnad sahabat r.a dalam kitab ini terhimpun sebanyak 995 musnad sahabat, yang dimulai dengan musnad sahabat Abyad bin Hammal al-Humayri dan diakhiri dengan musnad sahabiyah Hafsah binti Sirin r.a. dan 400 musnad tokoh tabi’in dan orang-orang setelahnya.[26]

Pengarang banyak menyebutkan sebagian hadis dalam beberapa tempat. Karena semua hadis dalam kitab ini, disusun berdasarkan nama-nama sahabat. Jika sebagian hadis mempunyai sanad yang banyak dari sahabat, maka terpaksa harus menyebutkannya berulang kali sesuai dengan jumlah sahabat yang meriwayatkannya dalam kitab-kitab yang menjadi pokok bahasan dalam kitab ini. Karena itu, jumlah hadis-hadisnya mencapai 19.595.[27]

Lalu penyusun menertibkan hadis-hadis dari para sahabat yang mempunyai gelar al-mukthirin berdasarkan huruf mu’jam. Banyaknya para perawi dari kalangan tabi’in dan setelahnya, maka al-Mizzi juga menghimpun nama-nama tersebut berdasarkan huruf mu’jam.

Mula-mula pengarang menyebutkan kata hadith pada permulaan setiap hadis yang dikemukakan dan menulis tanda di atas kata itu tentang periwayatnya. Kemudian pengarang menyebutkan bagian pertama dari matan hadis yang dapat menunjukkan seluruh lafadznya. Setelah menyebutkan bagian dari matan hadis, kemudian pengarang menjelaskan sanad-sanad-nya secara sempurna dalam kitab-kitab hadis sesuai dengan tanda-tanda yang dipakai. Sehubungan dengan ini, mula-mula pengarang menyebutkan permulaan tanda (rumus) yang kemudian diikuti nama kitab tempat hadis itu berasal, menyebutkan sanad hadis itu berasal, kemudian menyebutkan sanad hadis secara sempurna sampai pada perawi yang tercatat biografinya dengan kata-kata anhu bihi.[28] 

f.     Pujian-pujian yang diberikan pada kitab ini, di antaranya:

1)      Ibn al-Wazir menukil pendapat dari Fayruz Abadi: bahwasanya kitab ini tidak ada bandingannya, bagaikan kolam yang penuh, yang menunjukkan bahwa penyusunnya mempunyai banyak kelebihan dan dapat menjaga dari kesombongan.

2)      Ibn Hajar mengatakan bahwa kitab ini merupakan bagian dari kitab-kitab yang agung dalam ilmu hadis. Dan telah menghasilkan manfaat yang dapat dipetik, dan para ulama berlomba-lomba untuk menghasilkan karya yang mendekati dan melebihi.

3)      Dalam kitab al-Ittihaf-nya Ibn Hajar juga mengatakan bahwa kitab ini (Tuhfah al-Ashraf biMa’rifah al-Atraf) banyak sekali manfaatnya.[29]

g.    Contoh

 

2.    Al-Itraf bi Awham al-Atraf li al-Mizzi.

a.    Biografi Pengarang

Nama lengkapnya adalah al-Hafiz Ahmad ibn ‘Abd al-Rahim ibn al-Husayn ibn ‘Abd al-Rahman ibn Ibrahim ibn Abi Bakr ibn Ibrahim al-Wali Abu Zur’ah ibn al-Zayn Abi al-Fadl al-Kurdi, yang dikenal dengan nama Ibn al-‘Iraqi.[30]

Dilahirkan pada hari Senin tanggal 3 Dzulhijjah 762 H di Kairo. Pertama kali rihlah pada umur 65 ke Damaskus berguru kepada beberapa ulama di sana di antaranya adalah al-Shams al-Husayni, al-Taqi ibn Rafi’, dan lain-lain.

Beliau telah banyak menyusun beberapa kitab, di antaranya:

1)      Al-Ajwabah al-Mardiyah ‘an al-Asilah al-Makkiyah, Fatwa dari Wali al-Din Abi Zur’ah al-‘Iraqi.

2)      Al-Ma’in ‘ala Fahm Arjuzah ibn al-Yasimin, syarah dari Arjuzah fi al-Jabr wa al-Muqabalah karya Ibn al-Yasimin

3)      Amali Wali al-Din, dalam bidang hadis

4)      Tuhfah al-Tahsil fi Dhikr al-Marasil

5)      Tuhfah al-Warid biTarjamah al-Walid

6)      Taqrib al-Asanid, syarah ayahnya yakni Abu Zur’ah ibn ‘Abd al-Rahim (w. 826 H).

7)      Al-Ghayth al-Hami’, syarah “Jam’ al-Jawami’” dalam bidang Usul al-Fiqh.

8)      Al-Dalil al-Qawim ‘ala Sihhah Jam’ al-Taqdim

9)      Sharh al-Sadr bi Dhikr Laylah al-Qadr

10)  Fadl al-Khal wa ma fiha min al-Khayr wa al-Nayl

11)  Dhayl ‘ala al-Kashif fi Asma’ al-Rijal

12)  Tanqih al-Lubab, merupakan ringkasan kitab “Lubab al-Fiqh” karya Imam al-Haramayn al-Jawini,

13)  Al-Mubhamat, di dalamnya menjelaskan nama-nama yang mubham yang terjadi dalam matan hadis-hadis serta sanad-sanadnya, dan lai-lain.[31]

Beliau wafat pada hari Kamis tanggal 17 Sha’ban 826 H, dishalatkan pada keesokan harinya pada hari Jum’at di al-Azhar yang disaksikan oleh para pemimpin, Qadhi, Ulama, dan juga para murid. Kemudian dimakamkan di samping makam ayahnya.

b.    Tentang Kitab

Dicetak di Beirut oleh al-Taba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’ pada tahun 1406 H tepatnya pada tahun 1986 M, hanya satu jilid yang berjumlah 253 halaman.

Di dalam pendahuluannya juga dicantumkan beberapa kitab yang telah disusun berdasarkan metode atraf, serta menyebutkan beberapa keistimewaan atau faedah dari metode ini.

Sebagaimana kitab karya al-Mizzi, kitab ini juga menghimpun hadis-hadis dalam kutub al-sittah dan yang berhubungan dengan penyusunnya, yang ditambah dengan al-‘Ilal dan al-Shama’il karya al-Turmudhi dan ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah karya al-Nasa’i.

 

 

c.    Tanda-tanda yang dipakai

Kitab ini juga mempunyai tanda atau rumus yang digunakan sebagai berikut:

1)      (خ) dipakai untuk al-Bukhari

2)      (خت) dipakai untuk Al-Bukhari dalam Ta’liq

3)      (م) dipakai untuk Muslim

4)      (د) dipakai untuk riwayat Abu Dawud

5)      (ت) dipakai untuk riwayat al-Turmudhi dalam al-Jami’

6)      (تم) dipakai untuk riwayat al-Turmudhi dalam Shama’il

7)      (س) dipakai untuk riwayat al-Nasa’i dalam al-Sunan

8)      (سي) dipakai untuk riwayat al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah

9)      (ق) dipakai untuk riwayat Ibn Majah

10)  (ع) dipakai untuk hadis yang terdapat dalam kutub al-sittah.[32]

d.   Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan kitab ini, sama persis seperti kitab Tuhfah al-Ashraf biMa’rifah al-Atraf, di awali dengan musnad sahabat Abyad bin Hammal al-Humayri dan diakhiri dengan musnad sahabiyah Hafsah binti Sirin r.a.

Penyebutan musnad dan hadisnya adalah mula-mula pengarang menyebutkan judul huruf hamzah dan kemudian diikuti dengan biografi perawi, seperti contoh “Abyad ibn Hammal dari Nabi Muhammad Saw.” Kemudian disebutkan kata hadis dengan tulisan besar, di samping tulisan hadis itu dituliskan tanda atau rumus yang dipakai (terdapat dalam kitab apa saja). Setelah itu, pengarang menyebutkan bagian (atraf) hadis. Kemudian pengarang tidak seperti halnya al-Mizzi yang memaparkan seluruh sanad dari beberapa riwayat, dalam kitab ini tidak menyebutkan sanadnya lengkap, hanya mengatakan bahwa terdapat dalam kitab tertentu, dan juga kadang mengambil perkataan dari al-Mizzi. Setelah itu, pengarang menyebutkan seluruh hadis sahabat tersebut dengan cara yang sama.

 

e.    Contoh

حرف الألف

ا – أبيض بن حمال عن النبي صلى الله عليه وسلم


ا   حديث : أنه وفد إلى النبي صلى الله عليه وسلم فاستقطعه الملح الذي بمأرب ... الحديث

  فاته أن النسائ رواه أيضا في إحياء الموات عن إبراهيم بن هارون, عن محمد بن يحي بن

  قيس بالسند المذكور في الأطراف. و عن سعيد بن عمرو, عن بقية, عن سفيان, عن معمر

  نحوه. قال سفيان : وحدثني ابن أبيض بن حمال, عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم بمثله.

  وعن عبد السلام بن عتيق , عن محمد بن المبارك, عن إسماعيل بن عياش و سفيان بن عيينة

  كلاهما عن عمرو بن يحي بن قيس المأربي, عن أبيه, عن أبيض بن حمال نحوه.

      هو في رواية ابن الأحمر ولم يذكره أبو القاسم أيضا.

 

3.    Ittihaf al-Maharah bi al-Fawaid al-Mubtakirah min Atraf al-Ashrah.

a.    Nama Pengarang

Adalah Abu al-Fadl Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Mahmud ibn Ahmad al-Kunani al-‘Asqalani al-Misri al-Shafi’i, yang dikenal dengan nama Ibn Hajar.

Dilahirkan di Mesir pada tanggal 23 Sha’ban 773 H, dan ayahnya meninggal pada bulan Rajab tahun 777 H, ibunya juga meninggal sebelum tahun itu, oleh karenanya ia tumbuh sebagai anak yatim.[33]

Beliau meninggal pada akhir bulan Dhulhijjah tahun 852 H, dan di makamkan di daerah Mesir.

b.    Tentang Kitab

Kitab ini menghimpun 11 sumber dari kitab-kitab hadis, di antaranya adalah Sunan al-Darimi, Sahih Ibn Khuzaymah, al-Muntaqa li Ibn al-Jarud, Mustakhraj Abi ‘Awanah, Sahih Ibn Hibban, al-Mustadrak li al-Hakim, Muwatta’ al-Imam Malik, Musnad al-Imam al-Shafi’i, Musnad al-Imam Ahmad, Sharh Ma’ani al-Athar li al-Tahawi, dan Sunan al-Daruqutni.[34]

Di dalam kitab ini juga memuat biografi pengarangnya, dan menyebutkannya secara ringkas mengenai nasabnya, lahirnya, hidupnya, keilmuannya, serta wafatnya. Selain itu juga memuat pembahasan tentang metode atraf, dengan menyebutkan pengertian, perkembangan, metode, kitab-kitab atraf yang terkenal, serta beberapa faedah dari pembukuan kitab-kitab dalam model atraf.

c.    Tanda-tanda yang dipakai

1)      (مي) dipakai untuk Sunan al-Darimi

2)      (خز) dipakai untuk Sahih Ibn Khuzaymah

3)      (جا) dipakai untuk Ibn al-Jarud dalam kitab al-Muntaqa li Ibn al-Jarud

4)      (عه) dipakai untuk Abi ‘Awanah dalam kitab Mustakhraj Abi ‘Awanah

5)      (حب) dipakai untuk Ibn Hibban dalam kitab Sahih Ibn Hibban

6)      (كم) dipakai untuk al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya

7)       (ط) dipakai untuk Muwatta’ al-Imam Malik

8)      (ش) dipakai untuk Musnad al-Imam al-Shafi’i

9)      (حم) dipakai untuk Musnad al-Imam Ahmad

10)  (طح) dipakai untuk  al-Tahawidalam kitab Sharh Ma’ani al-Athar li al-Tahawi

11)  (قط) dipakai untukal-Daruqutni dalam kitab Sunan al-Daruqutni

12)  (عم) dipakai untuk ‘Abd Allah ibn Ahmad

d.   Sistematika Pembahasan

Mengenai sistematika penulisannya, pengarang mula-mula menyebutkan nama musnadnya kemudian sebelum menyebutkan potongan hadis dan sanadnya, lebih dahulu dipaparkan sedikit biografi mengenai sahabat tersebut apabila sahabat tersebut mempunyai julukan, dengan menceritakan asal usul julukan tersebut.

Sebagaimana kitab atraf pada umumnya, penuturan mengenai hadisnya yakni dengan menuliskan tulisan hadis, yang kemudian disusul dengan pemaparan bunyi potongan hadis yang dibahas, di samping tulisan hadis tersebut menyebutkan tanda atau rumus yang dipakai dalam kitab ini, yang menandakan bahwa hadis tersebut berada dalam kitab tertentu. Selanjutnya, pengarang menulis ulang tanda atau rumus sebuah kitab yang diikuti dengan bab beserta sanadnya, biasanya juga dituliskan tentang kualitas dari sanad tersebut.

e.    Contoh

4.    Dhakha’ir al-Mawarith fi al-Dilalah ‘ala Mawadi’ al-Hadith.

a.       Nama pengarang

Kitab ini dikarang oleh ‘Abd al-Ghani bin Isma’il bin ‘Abd al-Ghani bin Isma’il bin Ahmad bin Ibrahim bin Isma’il bin Ibrahim bin ‘Abd Allah bin Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Ibrahim bin Sa’d Allah bin Jama’ah al-Nabilisi al-Dimashqi al-Hanafi (1050-1143 H). Lahir pada tanggal 5 Dhulhijjah 1050 H, dan wafat pada tanggal 24 Sha’ban 1143 H.

b.      Tentang  kitab

Kitab ini menghimpun atraf kutub al-sittah dan al-Muwatta’ dengan sistematika yang sama dengan Tuhfah al-Ashraf, dan bahkan kitab ini seakan-akan merupakan ringkasan darinya. Akan tetapi, kitab ini memiliki kelebihan pada pembagiannya menjadi beberapa bagian karena penulisnya menemukan hal-hal yang menyebabkan ia harus membuat variasi judul-judul bab dengan nama para sahabat itu, dan karenanya ia membagi kitab-kitabnya ini menjadi tujuh bab. Kitab ini telah dicetak dalam empat jilid,[35] ada juga yang mencetaknya dalam dua jilid, dimana setiap jilid terdapat dua juz.

 

 

c.       Tanda-tanda yang dipakai

Kitab ini menggunakan tanda-tanda sebagai berikut:

1)      (خ) dipakai untuk Sahih Al-Bukhari

2)      (م) dipakai untuk Sahih Muslim

3)      (د) dipakai untuk Sunan Abi Dawud al-Sijistani

4)      (ت) dipakai untuk Sunan al-Turmudhi

5)      (س) dipakai untuk Sunan al-Nasa’i

6)      (ه) dipakai untuk Sunan Ibn Majah

7)      (ط) dipakai untuk al-Muwatta’.[36]

d.      Pembagian kitab (bahasan)

Kitab ini dibagi menjadi tujuh bab, setiap bab disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah agar mudah men-takhrij-kannya. Bab-bab itu adalah:

Bab I    : tentang musnad-musnad sahabat laki-laki

Bab II   : tentang musnad-musnad perawi yang dikenal dengan nama kuniyahnya, yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, dengan memperhatikan huruf pertama nama perawi yang memakai nama kuniyah.

Bab III : tentang musnad-musnad perawi laki-laki yang samar (mubham), disusun berdasarkan beberapa pendapat tentang urutan nama-nama mereka.

Bab IV : tentang musnad-musnad sahabat perempuan.

Bab V   : tentang musnad-musnad sahabat perempuan yang dikenal dengan nama kuniyahnya.

Bab VI : tentang musnad-musnad sahabat perempuan yang samar (mubham) sesuai urutan nama-nama mereka.

Bab VII            : tentang hadis-hadis mursal sesuai dengan nama-nama perawinya. ada bab ini ditambah tiga pasal yaitu tentang kuniyah perawi laki-laki, perawi yang samar, dan perawi perempuan hadis-hadis mursal.[37]

e.       Cara penyebutan musnad dan hadis

Penyebutan musnad dan penuturan hadis dalam kitab ini dimulai dari huruf hamzah. Mula-mula pengarang menyebutkan judul huruf hamzah dan kemudian diikuti dengan biografi perawi, seperti halnya “Abyad ibn Hammal al-Humayri al-Ma’aribi dari Nabi Muhammad Saw.” Kemudian disebutkan kata hadis dengan tulisan besar. Setelah itu, pengarang menyebutkan bagian (atraf) hadis. Kemudian menyebutkan tanda atau rumus yang dipakai dalam kitab ini, beserta menyebutkan terdapat dalam bab mana dan juga sanadnya. Setelah itu, pengarang menyebutkan seluruh hadis sahabat tersebut dengan cara yang sama.

Dalam kitab ini, pengarang hanya menyebutkan sanad dari guru seorang pengarang yang meriwayatkan hadis tersebut, tanpa menyebutkan seluruh perawinya agar menjadi singkat. Selain itu, dalam mengungkapkan makna hadis adalah dengan tanpa memakai lafalnya dalam semua riwayat, hanya disebutkan bagian lafal hadis dalam sebagian kitab, kemudian memakai tanda yang sesuai dengan makna hadis. Jika terdapat hadis riwayat sahabat yang banyak, maka hanya disebutkan dalam satu musnad di antara mereka, karena takut terulang-ulang.[38]

f.       Perbandingannya dengan kitab Tuhfah al-Ashraf biMa’rifah al-Atraf.

Kitab Tuhfah al-Ashraf biMa’rifah al-Atraf lebih bagus bagi yang mencari musnad, hukum hadis yang banyak jalurnya dan perbedaan perawinya. Juga menyebutkan kelebihan hadis yang diriwayatkan sejumlah sahabat dalam musnad mereka semua. Berbeda dengan kitab Dhakha’ir al-Mawarith fi al-Dilalah ‘ala Mawadi’ al-Hadith, kadang suatu hadis tidak didapatkan dalam musnad sebagian perawi dari shahabat. Namun kelebihan kitab ini lebih ringkas.[39]

g.      Contoh

Dari beberapa contoh kitab di atas, kebanyakan bertolak ukur atau berpatokan kepada kitab Atraf karya al-Mizzi. Hal ini dikarenakan penulis tidak menemukan karya atau kitab di luar yang dipaparkan di atas.

 

F.     Faedah Kitab al-Atraf

Kitab Atraf menempati posisi penting, baik dalam pembelajaran hadis maupun dalam disiplin ilmu hadis. Di antara faedah atau kegunaan kitab-kitab atraf adalah:

1.    Mengetahui dari mana dikeluarkannya sebuah hadis dari kitab-kitab hadis, dan menyebutkan tempatnya, ketika hadis itu berulang-ulang (disebutkan) dalam banyak tempat, dan hal itu akan memudahkan bagi peneliti.

2.    Mengetahui macam atau jenis hadis, baik yang Mutawatir, Mashhur, ‘Aziz, atau Gharib. Karena jenis-jenis hadis seperti itu tidak akan diketahui, kecuali dengan jalan mengumpulkan semua turuq dari sebuah hadis.

3.    Mengetahui sanad-sanad yang ‘ali dan nazil, dan hal itu dapat diketahui di antaranya dari jalan (tarq) sebuah hadis dalam kitab-kitab hadis.

4.    Menjelaskan yang muhmal dan mubham, serta mengetahui nama kuniyah dari periwayat, seperti jika ingin mengetahui tentang Ibn Dinar yang pada sanad sebuah hadis yang tidak dijelaskan dalam sebuah kitab, apakah yang dimaksud adalah ‘Abd Allah ataukah ‘Amr, kemudian pengarang kitab atraf tersebut menyebutkannya dengan nama aslinya.

5.    Menjelaskan perbedaan teks yang asli, dan memungkinkan kita untuk menjaga sanad-sanad serta matan-matan dalam kitab-kitab hadis, dari tidak adanya tashif dan tahrif.

6.    Mengetahui terputus atau tersambungnya sanad hadis.[40]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:



BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Hasil dari berkutatnya para ulama dalam pembahasan hadis adalah dengan telah disusunnya indeks atau catalog (fihris), dengan tujuan untuk mempermudah sampai kepada nas atau kitab, dan menjadikan fihris menjadi susunan yang beragam, di antaranya yakni yang biasa disebut dengan al-Atraf.

Makna Atraf dalam istilah muhaddithin adalah menyebutkan tarf hadis yang menunjukkan keseluruhannya. Maksud dari pengertian tersebut bahwa muhaddith mendatangkan awal matan hadis dengan menyebutkan dua, tiga, atau empat kalimat, atau menyebutkan lafadz yang tampak dari sebuah hadis, sehingga dengan menyebutnya akan dapat menunjukkan keseluruhan dari sebuah hadis, kemudian mengumpulkan sanad-sanad hadis tersebut, dengan secara menyeluruh dari semua sumber-sumber kitab hadis, ataupun yang terikat dalam kitab-kitab khusus.

Ulama salaf menggunakan kata al-Atraf dengan makna tulisan potongan hadis yang menunjukkan kepada keseluruhannya, yang telah ada sejak abad 1 H, ketika mereka mengikuti pelajaran yang disampaikan dari guru-guru mereka, sebagian dari mereka menulis potongan-potongan (ujung) hadis dalam majlis gurunya itu untuk menolong dan memudahkan mereka dalam menghafal.

Pada umumnya kitab Atraf  ini disusun berdasarkan musnad-musnad sahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah. Maksudnya adalah kitab tersebut dimulai dengan hadis-hadis sahabat yang namanya dimulai dengan huruf alif, kemudian ba’, dan seterusnya.


Terdapat juga beberapa karya ulama mengenai penulisan kitab hadis dengan metode atraf ini, di antaranya yang dibahas dalam makalah ini adalah kitab Tuhfah al-Ashraf bi Ma’rifah al-Atraf  karya al-Mizzi. Faedahnya juga banyak dan beragam, yang menjadikan kitab ini istimewa di antara kitab-kitab hadis lainnya.


DAFTAR PUSTAKA 

‘Abasi (al), Abu Bakr ibn Abi Shaybah ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Uthman ibn Khawasiti. al-Kitab al-Musannaf fi al-Ahadith wa al-Athar. Vol 5. Riyad: Maktabah al-Rushd. 1409 H.

‘Asqalani (al), Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Hajar. Ittihaf al-Maharah bi al-Fawa’id al-Mubtakirah min Atraf al-‘Ashrah. Vol 1. al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah: Wizarah al-Shu’un al-Islamiyyah al-Awqaf wa al-Da’wah wa al-Irshad. 1415 H/1994 M.

Bilkhayr, ‘Abd al-Fattah Ayt. al-Atraf wa Fawaidah min Khilal Kitabi “Ittihaf al-Maharah” wa “Atraf al-Musnad” li al-Hafiz Ibn Hajr; Bahth fi Madah al-Takhrij. (Diktat Kuliah Ilmu Hadis Universitas Madinah). AC22@.mediu.edu.my.

Dhahabi (al), Shams al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Uthman. Siyar A’lam al-Nubala’. Vol 5. Beirut: Muassasah al-Risalah. 1413 H/1993 M.

‘Iraqi (al), Wali al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Rahim. al-Itraf bi Awham al-Atraf. Beirut: Dar al-Jinan. 1406 H/1986 M.

‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr. 1399 H/1979 M.

Mizzi (al), Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf ibn ‘Abd al-Rahman. Tuhfah al-Ashraf bi Ma’rifah al-Atraf, Vol 1. t.k: al-Maktab al-Islami, 1403 H/1983 M.

Nabilisi (al), ‘Abd al-Ghani. Dhakhair al-Mawarith fi al-Dilalah ‘ala Mawadi’ al-Hadith. Vol 1. Mesir: Jam’iyyah al-Nashr wa al-Ta’lif al-Azhariyyah. 1352 H/1934 M.

Nasa’i (al), Zuhayr ibn Harb Abu Khaythamah. Kitab al-‘Ilm. Vol 1. Beirut: al-Maktabah al-Islami. 1403 H/1983 M.

Razi (al), Abi Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn Abi Hatim Muhammad ibn Idris ibn al-Mundhir al-Tamimi al-Hanzali. al-Jarh wa al-Ta’dil. Vol 1. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi. 1271 H/1952 M.

Tahhan (al), Mahmud. Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Riyad: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa al-Tawzi’. 1417 H/1996 M.


Tuwalabah (al), Muhammad bin ‘Abd al-Rahman. “Nash’ah fan al-Atraf wa Tatawwuruh”, dalam http://www.sunnah.org.sa/ar/sunnah-sciences/variety-scientific-articles/100-2010-07-22-07-22-40/69-2010-07-25-13-45-10, (12 Agustus 2007).

Zaqzuq,  Muhammad Hamdi. Mawsu’ah ‘Ulum al-hadith al-Sharif. Kairo: Wizarah al-Awqaf al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah. 1430 H/2009 M.


[1]Q.S. Thaha: 130.

[2]Q.S. Hud:114.

[3]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M), 201.

[4]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Riyad: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1417 H/1996 M), 48

[5]Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Tuwalabah, “Nash’ah fan al-Atraf wa Tatawwuruh”, dalam http://www.sunnah.org.sa/ar/sunnah-sciences/variety-scientific-articles/100-2010-07-22-07-22-40/69-2010-07-25-13-45-10, (12 Agustus 2007).

[6]Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum al-hadith al-Sharif  (Kairo: Wizarah al-Awqaf al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 1430 H/2009 M), 94.

[7]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd …, 201.

[8]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij …, 47.

[9]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd  …, 201.

[10]Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Tuwalabah, “Nash’ah fan al-Atraf wa Tatawwuruh”, dalam http://www.sunnah.org.sa/ar/sunnah-sciences/variety-scientific-articles/100-2010-07-22-07-22-40/69-2010-07-25-13-45-10, (12 Agustus 2007).

[11]Shams al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Uthman al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Vol 5 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413 H/1993 M), 232.

[12]Zuhayr ibn Harb Abu Khaythamah al-Nasa’i, Kitab al-‘Ilm, Vol 1 (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1403 H/1983 M), 32.

[13]Abu Bakr ibn Abi Shaybah ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Uthman ibn Khawasiti al-‘Abasi, al-Kitab al-Musannaf fi al-Ahadith wa al-Athar, Vol 5 (Riyad: Maktabah al-Rushd, 1409 H), 314.

[14]Abi Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn Abi Hatim Muhammad ibn Idris ibn al-Mundhir al-Tamimi al-Hanzali al-Razi, al-Jarh wa al-Ta’dil, Vol 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1271 H/1952 M), 236.

[15]Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum …, 94-95.

[16]Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Tuwalabah, “Nash’ah fan al-Atraf wa Tatawwuruhu”, dalam  http://www.sunnah.org.sa/ar/sunnah-sciences/variety-scientific-articles/100-2010-07-22-07-22-40/69-2010-07-25-13-45-10

[17]‘Abd al-Fattah Ayt Bilkhayr, al-Atraf wa Fawaidah min Khilal Kitabi “Ittihaf al-Maharah” wa “Atraf al-Musnad” li al-Hafiz Ibn Hajr; Bahth fi Madah al-Takhrij (Diktat Kuliah Ilmu Hadis Universitas Madinah), AC22@.mediu.edu.my.

[18]Ibid.

[19]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij …, 47.

[20]Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum …, 96.

[21]Ibid., 96-99.

[22]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij …, 50.

[23]Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum …, 98.

[24]Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf ibn ‘Abd al-Rahman al-Mizzi, Tuhfah al-Ashraf bi Ma’rifah al-Atraf, Vol 1 (t.k: al-Maktab al-Islami, 1403 H/1983 M), 6. Dikutip juga oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum …, 98.

[25]al-Mizzi, Tuhfah al-Ashraf …, 6.

[26]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij …, 51.

[27]Ibid., 52.

[28]Ibid., 53.

[29]Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum …, 98

[30]Wali al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Rahim al-‘Iraqi, al-Itraf bi Awham al-Atraf (Beirut: Dar al-Jinan, 1406 H/1986 M), 5.

[31]Ibid., 11-14.

[32]Ibid., 18.

[33]Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-‘Asqalani, Ittihaf al-Maharah bi al-Fawa’id al-Mubtakirah min Atraf al-‘Ashrah, Vol 1 (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah: Wizarah al-Shu’un al-Islamiyyah al-Awqaf wa al-Da’wah wa al-Irshad, 1415 H/1994 M), 19.

[34]Ibid.,102.

[35]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd …, 202-203.

[36]‘Abd al-Ghani al-Nabilisi, Dhakhair al-Mawarith fi al-Dilalah ‘ala Mawadi’ al-Hadith, Vol 1 (Mesir: Jam’iyyah al-Nashr wa al-Ta’lif al-Azhariyyah, 1352 H/1934 M), 5.

[37]Ibid. Lihat juga Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij …, 55-56.

[38]Ibid., 56-57.

[39]Ibid., 58.

[40]Muhammad Hamdi Zaqzuq,  Mawsu’ah ‘Ulum …,100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...