HOME

20 Januari, 2024

TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL-MUSTADRAKAT

 


BAB I

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan hadis Nabi Saw. sebagai sandaran hukum maupun sandaran etis umat Islam menuntut adanya kejelasan otentisitas hadis tersebut dari Nabi Saw. mengingat jauhnya masa umat (khususnya saat ini) dengan masa Nabi Saw. Maka merujuk kepada kitab-kitab himpunan hadis yang diakui kredibilitasnya sekaligus mu’tamad dan mu’tabar merupakan alternatif yang lebih terjamin. Kitab-kitab hadis tersebut diambil sebagai acuan karena di dalamnya menghimpun hadis-hadis yang telah dikritisi pengarangnya dengan sejumlah parameter ke-sahih-an hadis dari kriteria yang sangat ketat hingga yang longgar dan seterusnya.

Secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas umat Islam dari berbagai madhhab Islam. Sehingga dengan adanya hadis, ajaran Islam akan menjadi jelas, rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada telah melalui proses ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah terdapat berbagai macam kitab-kitab hadis di masa sekarang ini.

Dari beberapa himpunan kitab hadis yang ada, masing-masing memiliki kualitas yang beragam. Ulama pada umumnya sepakat bahwa kriteria Sahih al-Bukhari memiliki kualitas teratas disusul dengan kriteria Sahih Muslim, sehingga terdapat suatu parameter yang banyak diikuti oleh ulama setelahnya. Adapun ulama  yang cukup perhatian kepada persyaratan al-Bukhari dan Muslim adalah Imam al-Hakim al-Naysaburi yang bekerja keras dalam menghimpun hadis-hadis yang menurutnya selevel dengan tingkatan Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala Sahihayn.

Sebagai pakar hadis yang muncul ke permukaan pada abd ke-4 H, ia merupakan tokoh besar yang tidak bisa dinafikan. Meskipun pamor ketenarannya dibawah pengarang Kutub al-Sittah. Tetapi sesungguhnya kiprahnya dalam menghadirkan konsep-konsep teoritis dan praktis tetap memberikan kontribusi yang cukup besar dalam ranah kajian hadis pada masa berikutnya. Salah satu buah karya al-Hakim adalah al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, asumsi dasar al-Hakim dalam menyusun kitab tersebut adalah ungkapan al-Bukhari bahwa masih banyak hadis-hadis Sahih yang masih berserakan dan belum terhimpun dalam kitabya. Itulah kiranya alas an al-Hakim dalam menyusun kitabnya.

Meskipun kitab tersebut di klaim oleh al-Hakim sebagi kitab yang mempunyai standard dari Bukhari dan Muslim, tidak berarti para ulama’ puas dengan pernyataan al-Hakim. Sehingga masih banyak para ulama’ yang masih memberikan kritikan terhadap kitab al-Hakim yaitu al-Mustadrak ‘ala Sahihayn. Dengan demikian, dirasa penting pada makalah ini akan membahas tipologi penulisan kitab hadis bertipe al-Mustadrak dan menjadikan al-Mustadrak ‘ala Sahihayn karya al-Hakim al-Naysaburi sebagai acuan utama.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian al-Mustadrak

Secara bahasa, al-Mustadrakat merupakan bentuk jamak dari kata Mustadrak isim fail dari kata Istidrak yaitu maknanya sesuatu yang disusulkan. Sedangkan secara istilah Mustdarak adalah setiap kitab yang penulisnya didalamnya mengumpulkan hadis-hadis yang disusulkan pada kitab yang lain dan tidak dicantumkan oleh kitab tersebut sesuai dengan syarat kitab tersebut.[1] Jadi tipe kitab Mustadrak adalah tipe penyusunan kitab hadis yang dilakukan dengan menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis lain.

Namun dalam penulisan hadis-hadis susulan itu penulis kitab mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab lain itu. Dengan kata lain, tipe Mustadrak adalah tipe penyusunan kitab yang menghimpun hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis tertentu sesuai dengan syarat-syaratnya kemudian dimasukkan sebagai tambahan pada kitab lain.[2]

Dari pengertian diatas adalah arti al-Mustadrak secara umum, sehingga menurut hemat penulis apabila seorang penulis kitab dengan menggunakan tipe al-Mustadrak, maka penulis tersebut berusaha menyusulkan hadis-hadis yang diperoleh dan tidak terdapat dalam kitab hadis yang dibuat acuan tersebut. Dan kriteria atau standard kesahihan yang digunakan mengacu pula pada kiriteria yang digunakan dalam kitab rujukan atau acuannya, meskipun terkadang terdapat perbedaan dalam kriterianya. Klaim-klaim semacam ini telah diterapkan oleh al-Hakim sendiri dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala Sahihayn.

Adapun karakteristik kitab yang bertipe Mustadrak antara lain:

a.       Menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis tertentu.

b.      Dalam penulisan hadis-hadis susulan itu, penulis kitab mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab itu.

c.       Kualitas hadis yang diriwayatkan beragam, adakalanya sahih, hasan dan daif.

Sekalipun definisi al-Mustadrak tersebut umum sifatnya, tetapi dalam realitasnya al-Mustadrak yang ada baru bersandar kepada hadis yang memenuhi kriteria sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim yang tidak dihimpun oleh keduanya dalam kitab sahih-nya. Itulah kiranya al-Mustadrak yang umum didapati dan masyhur adalah al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, lebih spesifik lagi karya model ini dikenal hanya pada satu nama yaitu al-Hakim al-Naysaburi.

B.     Macam-macam kitab yang bertipe al-Mustadrak

Adapun macam-macam dari kitab yang bertipe Mustadrak sebagai berikut:

a.       Mustadrak al-Hakim al-Naysaburi, penulis Imam Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamduyah bin Nuaim bin al-Bai’ al-Hakim al-Naysaburi (wafat 405 H). al-Hakim menyusunnya sesuai dengan bab-bab. Dalam sistematikanya, ia mengikuti susunan kitab asalnya yaitu kitab Bukhari dan Muslim. Sebagai contoh dalm kitab al-Mustadrak, sebagai berikut:

حَدَّثَنَاهُ عَلِيُّ بْنُ حَمْشَاذَ الْعَدْلُ، ثنا أَبُو الْمُثَنَّى، ثنا مُسَدَّدٌ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ لَمْ يُخَرَّجْ فِي الصَّحِيحَيْنِ، وَهُوَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمِ بْنِ الْحَجَّاجِ

 

            Redaksi hadis diatas terdapat dalam kitab al-Mustadrak al-Hakim, sedangkan al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Namun demikian menurut al-Hakim bahwa hadis tersebut Sahih menurut syarat Sahih Muslim.

b.      Mustadrak ‘ala Sahihayn karya Abi Dharr al-Harawi, Ibn Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Ufair al-Ansari (wafat 434 H).

c.       Ilzamat, karya Imam Abi al-Husein Ali bin Umar al-Daruqutni (wafat 385 H). al-Daruqutni mengumpulkan hadis-hadis yang perawinya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya. Dan tidak diriwayatkan oleh keduanya, dalam artian memiliki jalur sanad yang berbeda. Hadisnya sekitar 70 hadis. kitab ini mirip dengan tipologi kitab Musnad, karena disesuaikan dengan nama sahabat. Sebagai contoh dalam kitab Ilzamat:

أخرج البخاري ومسلم حديث عبد الأعلى عن معمر عن سعيد ابن المسيب عن أبي هريرة قال: قال رسول (صلى الله عليه وسلم) : "يتقارب الزمان ويلقى الشح ويكثر الفتي ويكثر الهرج".

قلت: وقد تابع حماد بن زيد عبد الأعلى وقد خالفهما عبد الرزاق فلم يذكر أبا هريرة وأرسله، ويقال إن معمراً حدث به بالبصرة (من حفظه بأحاديث وهم في بعضها وقد خالفه فيه شعيب ويونس والليث بن سعد وابن أخي الزهري رووه عن الزهري عن حميد عن أبي هريرة) . وقد أخرجا جميعاً حديث حميد أيضاً.[3]

Matan hadis diatas juga terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana berikut:

Redaksi dalam Kitab Sahih al-Bukhari:

حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الزِّنَادِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ العِلْمُ، وَتَكْثُرَ الزَّلاَزِلُ، وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ، وَتَظْهَرَ الفِتَنُ، وَيَكْثُرَ الهَرْجُ

 

 

Sedangkan redaksi dalam kitab Sahih Muslim:

حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ، وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ، وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ، وَيُلْقَى الشُّحُّ، وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ»

Adapun matan hadis diatas juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, namun perbedaan disini al-Daruqutni meneliti kembali bahwa menurutnya hadis ini mutabaah nya dari Hammad bin Zaid tetapi riwayat tersebut berbeda dengan riwayat Abd al-Razaq. Dan menurut al-Daruqutni sesungguhnya Ma’mar menyampaikan hadis tersebut di Bashrah. Dengan demikian tujuan al-Daruqutni dalam menulis Ilzamat adalah hanya meneliti para perawi hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya dan bahkan di mutabaah kan terhadap perawi-perawi yang telah diambil dari perawi dari sanad al-Daruqutni.

d.      Kitab Al-Mukhtarah[4] yang disebut juga “al- Ahadith al-Mukhtarah” yaitu hadis-hadis yang tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Sahihnya. Kitab ini ditulis oleh al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Abd al-Wahid bin Ahmad bin Abddurrahman al-Sa’diy al-Dimashqi. Dikenal dengan al-Diya’ al-Maqdisi (wafat 643 H). Penulis kitab ini mensyaratkan untuk tidak meriwayatkan hadis-hadis kecuali hadis-hadis yang diterima  dan layak untuk dijadikan hujjah sebagai hukum shari’ah.

Setelah melakukan penelusuran, dari keempat kitab hadis yang bertipe al-Mustadrak diatas, penulis hanya menemukan dua kitab, yaitu al-Mustadrak ‘ala Sahihayn karya al-Hakim al-Naysaburi dan Kitab al-Ilzamat karya Imam Abi al-Husein Ali bin Umar al-Daruqutni.

 

C.    Mustadrak ‘ala Sahihayn al-Hakim al-Naysaburi

1.      Biografi al-Hakim al-Naysaburi (321 – 405 H)

Al-Hakim al-Naysaburi nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin al-Bayyi’ al-Dabbi al-Tahmani al-Naysaburi. Dilahirkan di Naysabur pada hari senin 12 Rabi’ul awwal 321 H. Beliau sering disebut dengan Abu Abdullah al-Hakim al-Naysaburi atau Ibn Bayyi’[5] dan al-Hakim Abu Abdullah, untuk menghindari kekeliruan nama al-Hakim lain yang sama seperti Abu Ahmad al-Hakim, Abu Ali al-Hakim al-Kabir (guru Abu Abdullah al-Hakim) atau khalifah Fatimiyyah di Mesir, al-Hakim bin Amrullah.[6]

Ayahnya adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah serta sangat loyal terhadap penguasa Bani Saman yang menguasai daerah Samaniyah. Dalam catatan sejarah, daerah Samaniyah pada abad 3 H telah melahirkan tokoh-tokoh hadis kenamaan seperti, al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidhi, al-Nasa’i serta Ibn Majah.[7] Di tempat inilah al-Hakim lahir dan dibesarkan. Dan kondisi seperti ini pula yang sedikit banyak mempengaruhi kemunculan al-Hakim sebagai seorang pakar hadis pada abad ke 4 H.

Pada masa kanak-kanak al-Hakim dibawah bimbingan dan pengawasan dari paman dan ayahnya sendiri. Baru pada usia yang ke 13 tahun, ia secara spesifik berguru kepada ahli hadis yaitu Abu Khatim bin Hibban dan ulama-ulama lainnya. Kemudian al-Hakim menambah pengetahuannya dengan melakukan pelawatan ilmiah ke beberapa wilayah seperti Khurasan, Iraq, Transoxiana dan Hijaz. [8] Adapun kehadiran al-Hakim di berbagai tempat untuk dapat berguru langsung dengan para ahli hadis yang ada, agar sanad yang diterimanya memiliki nilai sanad yang ‘ali (unggul).

Dalam perjalanan hidupnya selama 84 tahun, al-Hakim telah memberikan kontribusi atau sumbangsih yang cukup besar dalam bidang hadis dengan melalui karya monumentalnya yaitu al-Mustadrak ‘ala Sahihayn. Namun pada bulan Safar 405 H, atas ketentuan sang Pencipta, al-Hakim menghembuskan nafas terakhirnya.[9] 

2.      Guru-gurunya

Catatan sejarah mengatakan bahwa al-Hakim telah berguru kepada 1000 orang lebih diantara guru-gurunya yang berada diberbagai daerah adalah: Muhammad bin Ali al-Mudhakkir, Muhammad bin Ya’qub al-A’sham, Muhammad bin Ya’qub al-Shaibani, Muhammad bin Ahmad bin Balawaih al-Jallab, Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin Said al-Razi, Muhammad bin Abdillah bin Ahmad al-Saffar Ali bin Abdillah al-Hakam, Muhammad bin Mu’ammal al-Majarisi, Muhammad bin Ahmad bin Mahlub, al-Qasim bin Abi al-Qasim al-Yasar, iMuhammad bin Ahmad al-Shaibi, Husein bin Hasan al-Tusi, Muhammad bin Khatim bin Khuzaimah dan lain sebagainya.[10] Diantara guru-guru al-Hakim tersebut, al-Daruqutni, Ibn Hibban dan Abu ‘Ali al-Naysaburi yang memiliki kedudukan tersendiri di mata al-Hakim, disamping karena intensitas pertemuannya dengan al-Hakim namun juga karena kapasitas intelektualnya yang cukup handal.[11]

3.      Murid-muridnya

Al-Hakim juga memiliki banyak murid yang meriwayatkan hadus darinya, diantaranya; Abu al-Falh bin Ubay bin al-Fawari, Abu al-‘Ala al-Wasiti, Muhammad bin Ahmab bin Ya’qub, Abu Dharr al-Hirawi, Abu Ya’la al-Khalili, Abu Bakar al-Bayhaqi, Abu al-Qasim a;-Qushairi, Abu Salih al-Mu’adhin, Zakki Abu Hamid al-Bahiri, Mu’ammal bin Muhammad bin Walid, Uthman bin Muhammad al-Mahmi, Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Khalaf al-Shirazi dan sebagainya.[12]

4.      Karya-karyanya

Al-Hakim termasuk tokoh yang intelektual Muslim abad ke 4 H yang memegang komitmen keilmuannya. Ia tidak hanya menelurkan karya ilmiah dibidang hadis dengan menyusun kitab hadis tetapi juga menyusun dan membangun teori-teori, konsep-konsep kesahihan suatu hadis dan menyusun kitab-kitab yang terkait dengannya. Seperti kitab ‘ulum al-Hadith, Rijal al-Hadith, maupun kitab Illal al-Hadith.

Adapun diatara kitab-kitab yang pernah al-Hakim tulis adalah Takhrij al-Sahihayn, Tarikh al-Naysabur, Fadail Imam al-Shafi’i, Fadail al-Shuyukh, al-Illal, Tarikh Ulama’ al-Naysabur, al-Madhkal Ila Ilm al-Sahih, al-Madkhal Ma;rifah Ulum al-Hadith, al-Muzakkira li Ruwat al-Akhbar, al-Madkhal Ila al- Iklil, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn. Namun sebagian besar karya tersebut tidak dapat ditemukan. Diantara buah karyanya yang ada pada sekarang ini adalah al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, Ma;rifah Ulum al-Hadith dan al-Madkhal Ila al- Iklil.

D.    Kitab Mustadrak ‘ala al-Sahihayn

Al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit tentang latarbelakang penyusunan kitab al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, yang mulai disusun pada tahun 373 H (52 tahun). Namun secara implisit dapat terekam,bahwa inisiatif penulisan tersebut berangkat dari faktor internal, yakni asumsi al-Hakim bahwa masih banyak hadis sahih yang berserakan, baik yang belum dicatat oleh para ulama, maupun yang sudah tercantum dalam beberapa kitab hadis yang ada. Disamping penegasan pengarang Sahihayn, Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa tidak semua hadis sahih telah terangkum dalam kitab sahih-nya. Dua hal tersebut yang mendorong al-Hakim menyusun kitabnya berdasar kaidah-kaidah ilmiah dalam menentukan keabsahan sanad dan matan.[13]

Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi al-Hakim adalah kondisi politik, intelektual dan ekonomi. Dari segi politik, pada abad ke 4 H adalah masa disintegrasi dimana wilayah Islam terpecah kedalam 3 kekuasaan besar yaitu Bani Fatimiyyah di Mesir, Bani Umayyah di Cordova dan Bani Abbasiyah di Baghdad. Hanya saja instabilitas dibidang politik tidak mempengaruhi minat para intelektual dalam berkarya. Khususnya para ilmuwan yang berada di wilayah Samaniyah. Penguasa Saman secara spesifik memberi atensi yang cukup besar dalam merespon pengembangan ilmu pengetahuan.[14]

Pada saat kitab tersebut tertulis, al-Hakim berada pada masa transisi Dinasti Samani yang bermadhhab Shi’ah ke Dinasti Ghaznawi yang bermadhhab Sunni. Meskipun pada abad ke 4 H ini tingkat kemajuan intelektual du dunia Islam secara umum mengalami kemerosotan dibanding pada abad ke 3 H. Hal tersebut justru memacu al-Hakim untuk membangun paradigma baru khususnya dalam ranah keilmuan hadis.[15]

Adapun kitab tulisan al-Hakim dinamakan al-Mustadrak yang artinya ditambahkan atau disusulkan atas al-Sahihayn. Al-Hakim menamakan demikian, karena berasumsi bahwa hadis-hadis yang disusun dalam kitabnya merupakan hadis-hadis sahih yang atau memenuhi syarat kesahihan Bukhari dan Muslim, dan belum tercantum dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

Dengan demikian kandungan hadis dalam al-Mustadrak memiliki beberapa kemungkinan[16]:

1.      Hadis-hadis tersebut tidak terdapat dalam Sahihayn, baik secara lafal ataupun makna, namun terdapat dalam kitab lain.[17] Seperti hadis tentang akhlak. Sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَاهُ عَلِيُّ بْنُ حَمْشَاذَ الْعَدْلُ، ثنا أَبُو الْمُثَنَّى، ثنا مُسَدَّدٌ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ لَمْ يُخَرَّجْ فِي الصَّحِيحَيْنِ، وَهُوَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمِ بْنِ الْحَجَّاجِ[18]

Setelah dilakukan penelusuran ternyata hadis diatas tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitabnya, namun terdapat dalam kitab Sunan Abi Dawud dan Sunan al-Turmudi dengan redaksi yang sama. Dan hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh al-Bukharid dan Muslim. Dalam al-Mustadrak al- Hakim dijelaskan bahwa redaksi hadis diatas sahih sesuai dengan persyaratan kesahihan Muslim bin al-Hajjaj.

2.      Hadis-hadis tersebut terdapat dalam Sahihayn, tetapi dengan lafal yang berbeda meskipun maknanya sama sebagai contoh, dalam Sahih Muslim:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ سَهْمِ بْنِ مِنْجَابٍ، عَنْ قَزَعَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»[19]

”Menceritakan kepada Uthman bin Abi Shaibah, menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Ibrahim dari Sahm bin Minjab dari Qaza’ah dari Abi said al-Khudriy berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seorang perempuan mengadakan perjalanan selama tiga hari, melainkan bersama muhrimnya”.

 

Sedangkan dalam al-Mustadrak dengan makna yang sama menyebutkan,

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّيْدَلَانِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ، أَنْبَأَ يَحْيَى بْنُ الْمُغِيرَةِ، ثنا جَرِيرٌ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ بَرِيدًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ "[20]

“Menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad al-Shaidalaniy, menceritakan kepada kami Muhammad bin Ayyub, memberitakan kepada kami Yahya bin Muhgirah, menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail bin Abi Salih dari Abi Said dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “janganlah seorang perempuan mengadakan perjalanan yang memerlukan waktu satu malam, melainkan bersama muhrimnya”. Hadis ini Sahih sesuai syarat Muslim dan tidak dikeluarkan olehnya dengan lafad ini.[21]

Dari kedua redaksi diatas berbeda secara lafad namun sama secara maknanya. Ini terlihat pada redaksi pertama yaitu riwayat Muslim disebutkan larangan seorang perempuan untuk tidak mengadakan perjalanan panjang selama tiga hari melainkan bersama muhrimnya. Sedangkan pada redkasi yang kedua dalam al-Mustadrak dijelaskan bahwa larangan perempuan untuk tidak mengadakan perjalanan jauh dalam keadaan dingin tanpa dibarengi dengan mahramnya..

3.      Hadis-hadis tersebut melengkapi lafal hadis yang terdapat dalam Sahihayn, seperti hadis tentang perintah mandi pada waktu hendak menunaikan ibadah shalat jum’at. Meskipun dengan makna yang sama ada penambahan keterangan yang cukup rinci dan signifikan tentang latar belakang mengapa Nabi memerintahkan untuk mandi pada hari jum’at.[22] Adapun redaksinya sebagai berikut:

Riwayat al-Bukhari:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»[23]

            Sedangkan redaksi dalam kitab al-Mustadrak sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو، مَوْلَى الْمُطَّلِبِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَتَيَاهُ فَسَأَلَا عَنِ الْغُسْلِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَاجِبٌ هُوَ؟ فَقَالَ لَهُمَا ابْنُ عَبَّاسٍ: مَنِ اغْتَسَلَ فَهُوَ أَحْسَنُ وَأَطْهَرُ، وَسَأُخْبِرُكُمَا: لَمَّا بَدَأَ الْغُسْلُ كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجِينَ يَلْبَسُونَ الصُّوفَ، يَسْقُونَ النَّخْلَ عَلَى ظُهُورِهِمْ، وَكَانَ الْمَسْجِدُ ضَيِّقًا مُقَارِبَ السَّقْفِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ شَدِيدِ الْحَرِّ، وَمِنْبَرُهُ قَصِيرٌ، إِنَّمَا هُوَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ فَخَطَبَ النَّاسَ فَعَرِقَ النَّاسُ فِي الصُّوفِ، فَثَارَتْ أَبْدَانُهُمْ رِيحَ الْعَرَقِ وَالصُّوفِ حَتَّى كَادَ يُؤْذِيَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى بَلَغَتْ أَرْوَاحُهُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ إِذَا كَانَ هَذَا الْيَوْمُ فَاغْتَسِلُوا، وَلْيَمَسَنَّ أَحَدُكُمْ أَطْيَبَ مَا يَجِدُ مِنْ طِيبِهِ أَوْ دُهْنِهِ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ "[24]

Redaksi yang pertama yaitu riwayat dari al-Bukhari hanya menjelaskan tentang anjuran untuk mandi ketika akan melaksanakan shalat jum’at. Sedangkan redaksi yang terdapat dalam al-Mustadrak menjelaskan tentang latar belakang mengapa Nabi Saw. memerintahkan untuk mandi ketika akan menunaikan shalat jum’at sebagaimana redaksi diatas. Dan menurut al-Hakim hadis tersebut Sahih menurut syarat al-Bukhari,

4.      Hadis-hadis tersebut terdapat dalam Sahihayn tetapi al-Hakim menggunakan sanad yang berbeda.[25]

Sedangkan menurut Mahmud al-Tahhan, menyebutkan terdapat tiga macamhadis yang dihimpun didalam al-Mustadrak, antara lain;

a.       Hadis-hadis sahih menurut syarat al-Bukhari dan syarat Muslim atau salah sati diantara keduanya, tetapi keduanya tidak meriwayatkan dalam kitab sahih-nya..

b.      Hadis-hadis sahih menurut al-Hakim sekalipun tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan syarat Muslim ataupun salah satu dari keduanya yang ia istilahkan dengan sahih al-Isnad.

c.       Hadis-hadis yang tidak sahih menurut al-Hakim tetapi beliau jelaskan sebab ketidak sahihan-nya.[26]

 

E.     Metode, Kriteria dan Sistematika al-Hakim

Bagaimanapun juga harus diakui bahwa, seorang ulama hadis yang memiliki kriteria ataupun prinsip-prinsip tersendiri dalam menempatkan status kesahihan suatu hadis. diantara prinsip yang dipegangi al-Hakim adalah ijtihad, status sanad dan status matan.[27] Dalam menentukan suatu kesahihan suatu hadis diperlukan ijtihad. Prinsip ini sebenarnya bukan hal yang baru, al-Ramahurmuzi, al-Baghdadi dan Ibn Athir sudah menerapkan ini sebelumnya. Dalam Mustadrak al-Hakim menyatakan sebagai berikut:

أَنَا أَسْتَعِينُ اللَّهَ عَلَى إِخْرَاجِ أَحَادِيثَ رُوَاتُهَا ثِقَاتٌ، قَدِ احْتَجَّ بِمِثْلِهَا الشَّيْخَانِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَوْ أَحَدُهُمَا، وَهَذَا شَرْطُ الصَّحِيحِ عِنْدَ كَافَّةِ فُقَهَاءِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ أَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْأَساَنِيدِ وَالْمُتُونِ مِنَ الثِّقَاتِ مَقْبُولَة[28]

Aku memohon pertolongan Allah untuk meriwayatkan hadis-hadis yang para perawinta thiqah. Al-Bukhari, Muslim atau salah seorang diantara mereka telah menggunakan para rawi semacam itu untuk berhujjah dengannya. Ini adalah syarat hadis sahih menurut segenap fuqaha, bahwa sesungguhnya tambahan dalam sanad-sanad dan matan-matan dari orang-orang terpercaya dan dapat diterima.

Dari pernyataan diatas memberikan indikator bahwa al-Hakim bermaksud menghimpun hadis-hadisya dari rawi yang ‘adil dan dabt (thiqah). Dan dari pernyataan diatas pula, beberapa catatan yang dikemukakan oleh Abdurrahaman[29], bahwa rawi yang thiqah yakni rawi yang memiliki kriteria sifat adil (Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak maksiat) serta dabt (dapat menerima, menyampaikan dan menyampaikan kembali hadis yang didengarnya dengan baik)

Sedangkan makna bimithliha, ditafsirkan ulama hadis yang benar-benar mengacu pada orang-orang yang menjadi persyaratan Sahihayn, tetapi ada juga yang berpandangan disamping rijal yang memenuhi syarat sahihayn, sifat-sifat yang sama dengan rijal yang digunakan sahihayn secara bersamaan atau sendiri-sendiri.

 

Adapun kriteria  menurut fuqaha al-Hakim tidak menjelaskan mengenai hal ini, hanya saja dalam al-Madkhal dan Ma’rifah nya kata-kata fuqaha sering disebut al-Hakim, padahal dalam jumhur ulama ada perbedaan yang mendasar antara fuqaha dan ahlu hadis. Ahli hadis cenderung lebih ketat dalam menentukan status hadis sementara ahli fiqih lebih longgar. Adapun pengertian ziyadah al-Thiqah, bahwa adanya tambahan dalam hadis yang tidaka ada pada hadis lain, padahal diambil dari guru yang sama.

Dalam menentukan status hadis, al-Hakim menerapkan double standard yakni tashaddud (ketat) terhadap hadis-hadis yang terkait dengan aqidah dan shari’ah (hukum halal, haram, muamalah, nikah) dan tasahhul (longgar) terhadap hadis-hadis yang terkait dengan fadai’il al-‘amal, sejarah rasul dan sahabat. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan al-Hakim sebagai berikut:

Aku dalam hal do’a akan memperlakukan sesuai dengan madhhab Abd al-Rahman bin al-Mahdi, yaitu yang mengatakan,’bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami bertindak ketat dalam menilai rijal dan bila kami meriwayatkan tentang keutamaan amal dan yang mubah kami longgar dalam menilai sanad-sanad.

Menurut al-Hakim meneliti hadis tidak hanya pada aspek sanadnya saj, akan tetapi juga perlu meneliti pada aspek matan yang melahirkan berbagai konsep rajih-marjuh, nasikh-mansukh, mukhtalif al-Hadith, maqlub, mudtarib, mudraj dan ta’arud untuk menentukan dan membedakan hadis yang ma’mul bih dan ghair ma’mul bih.

Berbeda dengan ulama’-ulama’ lain sebelumnya (pasca Imam al-Turmudi), al-Hakim tidak mengklasifikasikan hadis menjadi sahih, hasan dan daif. Secara eksplisit al-Hakim membagi hadis menjadi dua, yakni hadis sahih dan daif. Hadis sahih itu bertingkat-tingkat, ada yang disepakati kesahihannya dan ada pula yng tidak disepakati (hasan). Dengan demikian dalam pandangan al-Hakim, hadis hasan masuk dalam kategoro\i sahih. Meskipun al-Hakim pernah menyebut gharib hasan, namun tidak dijelaskan apa maksud al-Hakim dengan pernyataan itu.[30]

Selain itu, al-Hakim juga berbeda dengan para ulama’ hadis pra al-Turmudi yang sama-sama mengklasifikasikan kualitas hadis menjadi sahih daif dan memasukkan hasan pada daif yang masih bisa diamalkan. Fenomena inilah yang nampaknya mendasari penilaian terlalu lonngarnya al-Hakim dalam memasukkan hadis hasan ke dalam hadis sahih. Untuk mengetahui kualitas kesahihan hadis dalam al-Mustadrak ada beberapa klasifikasi yang ditampilkan para ulama’ hadis setelah meneliti kitab al-Hakim, diantaranya;

a.       Berdasarkan syarat rawi

Berdasarkan penilaian al-Dhahabi, jumlah hadis dalam al-Mustadrak berjumlah 1930 hadis\, dan yang memenuhi kriteria Sahihayn mencapai 985 hadis, 113 hadis memenuhi kriteria al-Bukhari, 571 hadis memenuhi kriteria memenuhi kriteria Muslim, 3447 hadis yang dinilai sahih al-Isnad, sedangkan yang lain tidak dinilai oleh al-Dhahabi.[31] Adapun klasifikasi hadis al-Mustadrak berdasarkan rawi dapat dikelompokkan dalam lima bagian sebagaimana terdapat di bawah ini:

1.      Hadis yang sesuai dengan syarat Sahihayn[32]

Secara lugas al-Hakim menggunakan lafal هـذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه  (hadis ini memenuhi persyaratan shaykhayn tetapi mereka tidak meriwayatkannya). Adapun jumlah hadis yang memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim sebanyak 985 hadis. dalam talkhis-nya seringkali al-Dhahabi sering menunjukkan kekeliruan yang dilakukan al-Hakim, semisal al-Hakim menyebut rawi tertentu sebagai rijal Muslim, tetapi setelah diteliti Muslim samasekali tidak menggunakan rijal tersebut.

2.      Hadis yang sesuai dengan syarat al-Bukhari saja[33]

Hadis yang memenuhi kriteria al-Bukhârî dinyatakan oleh al-Hakim dengan ungkapan: هـذا حـديـث عـلى شرط البخارى ولم يخرجاه  (hadis ini berdasarkan syarat al-Bukhari namun mereka tidak meriwayatkannya). Dalam hal ini al-Hakim tidak memberikan rincian lebih lanjut terhadap pernyataan tersebut.

3.      Hadis tersebut sesuai dengan syarat Muslim[34]

Hadis yang sesuai dengan syarat Muslim dinyatakan oleh al-Hâkim dengan ungkapan, هـذا حـديـث عـلى شرط مسلم ولم يخرجاه (hadis ini sahih berdasarkan syarat Muslim tetapi mreka tidak meriwayatkannya).

4.      Hadis yang sesuai dengan syarat al-Hakim

Hadis yang sesuai dengan syarat al-Hakim sendiri dinyatakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan ungkapan, هـذا حـديـث صحيح الاسـناد ولم يخرجاه (hadis ini sahih sanad-nya dan al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya). Menurut al-Hakim sendiri, ketiga pernyataan yang telah dikemukakan diatas tidak memberikan penjelasan lebih detail, sehingga para ulama’ berupaya mnginterpretasikan maksud pernyataan al-Hakim. Adapun menurut beberapa ulama’, hadis yang dimaksud adalah hadis sahih yang dalam pandangan al-Hakim dan akan diteliti ulang, namun kematian menjempunya lebih awal. Dengan demikian, berdasarkan penelitian ulama’  berikutya terhadap hadis-hadis tersebut ada yang bernilai sahih dan ada yang bernilai daif.[35]

5.      Hadis yang tidak dinilai al-Hakim

Menurut al-San’ani, hadis tersebut belum sempat dievaluasi ulang oleh al-Hakim dan belum sempat mengemukakan komentarnya dalam al-Mustadrak-nya, karena kematian yang menjemputnya. Dengan demikian, tidak semua hadis dalam al-Mustadrak dinilai oleh al-Hakim. Itu berarti al-Hakim sendiri mengakui bahwa hadis-hadis yang dihimpunnya secara keseluruhan tidak sama statusnya atau dengan kata lain tidak semuanya sahih. Sehingga, dikarenakan belum semua hadis al-Hakim dievaluasi ulang, maka anjuran al-Hakim agar al-Mustadrak-nya diteliti kembali menjadi relevan untuk dilakukan.[36] 

 

b.      Berdasarkan kualitas Rawi

`      Al-Dhahabi menggunakan 63 istilah jarh (cacat) terhadap hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak, mulai dari daif, layyin, sampai tingkat kadhdhab yad’u al-Hadith (pendusta yang memalsukan hadis). Rawi yang berstatus jarh sampai ke tingkat mawdu’ terdapat pada setiap jilid dalam al-Mustadrak.

Pada jilid I, dari 1805 hadis terdapat 45 hadis yang diduga lemah dengan menggunakan sighat mawdu’ (palsu), munkar (ditolak), matruk (rawi tertuduh dusta) dan laysa thabit (tidak konsisten). Sedangkan pada jilid II, ada 66 hadis yang tidak layak digunakan. Adapun sighat yang dipakai untuk menunjukkan kelemahan hadisnya adalah mawdu’, matruk, kadhdhab (pendusta), kana yada’u al-hadith (dia pemalsu hadis), la ‘arifu jayyidan (aku tidak mengenalnya dengan baik), la yu’raf (tidak dikenal), batil (hadis batil) dan lamyasihhu(dia tidak men-sahih-kannya).

Pada jilid III terdapat 47 hadis yang tidak layak digunakan. Ungkapan yang digunakan adalah mawdu’, qabbaha Allahu Raidiyyan iftarau’, ahsibu mawdu’an (aku menduga palsu), wa azhunnu mawdu’an (aku kira palsu), shibhu mawdu’ (sepertinya palsu), ayna shihhah wa haramun fihi, munkar[37] dan matruk.[38] Pada jilid IV terdapat 109 hadis yang dinilai lemah, lafal yang digunakan untuk menunjukan kelemahan itu adalah la ashlalahu (tidak ada dasarnya), halik (rusak), la ihtajja bihi ahadun (tak ada yang berhujjah dengannya), la hujjata (tidak bisa dijadikan hujjah), matruk, mawdu’’, munkar, muttaham talif (tertuduh dusta lagi rusak) dan nazharun (dipertimbangkan lagi). Secara keseluruhan hadis yang dianggap tidak layak dan memiliki kelemahan fatal ada 267 hadis dari 8690 hadis dalam al-Mustadrak (3,072%).[39]

Dari jumlah itu hadis sahih pada al-Mustadrak sebenarnya masih jauh lebih banyak dari jumlah hadis yang dinilai lemah dan tidak layak. Secara ringkas penilaian al-Dhahabi terhadap hadis-hadis al-Mustadrak adalah ada 87 hadis mawdu’, munkar 101 hadis, matruk 60 hadis dan da’if mencapai 930 hadis. Namun ada 359 hadis yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Dhahabi.[40]

Kitab al-Mustadrak ‘ala al-Sahihayn terdiri atas 4 jilid besar yang jumlah halamannya kurang lebih 2561 halaman dan bermuatan 8.690 hadis. Adapun pokok bahasannya sekitar 50 bahasan yang disebut kitâb (bab). Kitab ini ditulis oleh al-Hakim ketika ia menjelang usia tua, yaitu tahun 373 H ketika ia berusia 52 tahun. Kitab ini disebut al-Mustadrak ‘ala al-Sahihayn berarti yang ditambahkan atau disusulkan atas Sahihayn.

Adapun rincian jumlah hadis dikaitkan dengan temanya sebagaiamana berikut; tentang aqidah 251 hadis, ibadah memuat 1277 hadis, sedangkan hukum halal haram 2519 hadis, takwil mimpi 32 hadis, pengobatan 73 hadis, tentang rasul-rasul 141 hadis, hadis tentang biografi sahabat memuat 1218 hadis, peperanga 347 hadis, tentang hari kiamat 911 hadis, peperangan Nabi dan al-Fitan 733 hadis dan fadail al-Qur’an memuat 70 hadis.[41]

Dalam sistematika kitabnya, al-Hakim mengikuti model yang dipakai oleh al-Bukhari atau Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan membaginya dalam kitab-kitab atau tema tertentu dan sub-subnya. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Topik-topik al-Mustadrak

No

Nama Topik (kitab)

No

Nama Topik (kitab)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

Kitab al-Iman

Kitab al-Ilm

Kitab al-Taharah

Kitab al-Salat

Kitab al-Jum’ah

Kitab shalat al-‘Idayn

Kitab al-witr

Min kitâb al-Tatawwu’

Kitab al-Sahwi

Kitab Salat al-Istisqa`

Kitab Salat al-kusûf

Kitab salat al-khawf

Kitab al-Janaiz

Kitab al-zakah

Kitab al-shawm

Awwal kitab al-manasik

Kitab al-du’a wa al-takbir

Kitab fadail al-Qur’an

Kitab al-buyu’

Kitab al-jihad

Kitab qism al-fay`

Kitab qatl ahl al-baghy

Kitab al-nikah

Kitab al-talaq

Kitab al-‘itq

Kitab al-makatib

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

Kitab al-tafsir

Kitabtawarikh al-mutaqaddimîn

Kitabal-hijrah

Kitab al-maghazi wa al-saraya

Kitab ma’rifah al-Sahabah

Kitab al-ahkam

Kitab al-At’imah

Kitab al-ashribah

Kitab al-birr wa al-silah

Kitab al-libas

Kitab al-Tibb

Kitab al-adhaha

Kitab al-dzabaih

Kitab al-tawbat wa al-inabah

Kitab al-adab

Kitab al-ayman wa al-nuzur

Kitab al-Nuzur

Kitab al-riqaq

Kitab al-faraidh

Kitab al-hudud

Kitab ta’bir al-ruya

Kitab al-Tibb

Kitab al-ruqy wa al-tamaim

Kitab al-fitan wa al-malahim

Kitab al-ahwal

 

 

F.     Penilaian dan Kritik Terhadap al-Mustadrak al-Hakim

Sebagaimana karya-karya monumental lainnya, karya al-Hakim tidak lepas dari kritik yang menyanjung dan ada pula kritik yang menghujat. Pujian yang ditujukan kepada al-Hakim terbukti dari gelar yang dinisbahkan kepadanya oleh para muridnya dan para ahli hadis yang semasa dan sesudahnya, yaitu dengan menyebut al-Hakim sebagai al-Hafiz al-Kabir al-Naqid, al-Shaikh al-Muhaddithin dan sebagainya. Sedangkan para ulama’ yang menghujat sebagai berikut[42]:

a.       Al-Baihaqi yang merupakan murid al-Hakim, bahwa ia tidak sepakat sepenuhnya bahwa al-Mustadrak merangkum hadis yang memenuhi persyaratan Sahihayn al-Bukhari dan Muslim.

b.      Abu Said al-Malini, ia mengatakan bahwa dalam al-Mustadrak tidak ada hadis sahih yang memenuhi syarat kesahihan Bukhari dan Muslim, sebagaimana pernyataannya” Aku telah meneliti al-Mustadrak dari awal sampai akhir dan ternyata tidak ada satupun hadis yang memenuhi syarat Sahihayn.

c.       Al-Dhahabi, meski juga mengkritik al-Hakim tetapi menganggap kritikan al-Malini terlalu berlebihan. Berdasarkan penilaian al-Dhahabi, kurang lebih setengahnya yang memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim atau Bukharid atau Muslim saja.

d.      Muhammad bin Tahir menilai bahwa al-Hakim adalah rafidi khabith (pengikut shi’ah Rafidah yang jahat), pura-pura sunni, padahal pengikut Ali yang fanatik dan tidak menyukai Mu’awiyah.

e.       Abdullah Ismail bin Muhammad al-Ansari, menilai al-Hakim adalah rawi yang thiqah, faqih. Hafiz, rafidi khabith.

Secara global pada umumnya para ulama’ hadis yang semasa dan pasca al-Hakim banyak mengkritik kelonggaran al-Hakim dalam menilai kesahihan suatu hadis. juga berdasar penelitian al-Dhahabi yang melihat al-Hakim seringkali melakukan kekeliruan, semisal dinyatakan sesuai srata Sahihayn padahal setelah diteliti sesuai dengan syarat Bukhari saja.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kitab al-Mustadrak ‘ala Sahihayn dan terlepas dari pujian dan kritikan yang dilontarkan kepadanya, langkah al-Hakim merupakan keberanian besar sebagai seorang pakar hadis untuk memberikan kontribusi dan wacana baru dalam ranah hadis dan ‘ulu al-Hadith bagi pengkaji hadis berikutnya.

Sementara celaan terhadap dirinya juga banyak dialamatkan padanya seperti tuduhan bahwa ia adalah rafidhi khabith (pengikut rafidah yang jahat), berpura-pura ahl al-sunnah atau berpenampilan sunni padahal ia condong ke Shi’ah. Ia juga dinilai kurang cermat dan tasahul (longgar dalam menentukan status hadis). Ulama sunni menganggapnya tokoh sunni disebabkan karena mayoritas guru-gurunya adalah sunni, pengagum imam al-Shafi’i (w. 204 H/820 M) dan bermadzhab Shafi’i serta pernah menjadi hakim mewakili pemerintahan sunnî.

Sedangkan orang yang menilainya Shi’ah karena dalam karyanya, al-Mustadrak, ia banyak men-sahih-kan hadis yang membela ahl al-bayt, padahal ulama lainnya menilainya mawdhu’Walaupun begitu, Abu Bakar al-Khathib (463 H/1071 M), al-Dhahabi (748 H/1347 M) dan al-Subki serta ulama lainnya menilai al-Hakim thiqah dan dhabith dalam masalah hadis. Selain itu, al-Dzahabî dan al-Subkî cenderung menilai al-Hakim adalah seorang sunni.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:



BAB III

KESIMPULAN

Tipologi kitab Mustadrak adalah tipe penyusunan kitab hadis yang dilakukan dengan menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis lain. Dalam penulisan hadis-hadis susulan itu penulis kitab mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab lain itu. Dengan kata lain, tipe Mustadrak adalah tipe penyusunan kitab yang menghimpun hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis tertentu sesuai dengan syarat-syaratnya kemudian dimasukkan sebagai tambahan pada kitab lain.

Adapun macam-macam kitab yang bertipe al-Mustadrak adalah Mustadrak Sahihayn al-Hakim al-Naysaburi, penulis Imam Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamduyah bin Nuaim bin al-Bai’ al-Hakim al-Naysaburi (wafat 405 H). Mustadrak ‘ala Sahihayn karya Abi Dharr al-Harawi, Ibn Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Ufair al-Ansari (wafat 434 H). Ilzamat, karya Imam Abi al-Husein Ali bin Umar al-Daruqutni (wafat 385 H), Kitab Al-Mukhtarah yang disebut juga “al- Ahadith al-Mukhtarah”. Kitab ini ditulis oleh al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Abd al-Wahid bin Ahmad bin Abddurrahman al-Sa’diy al-Dimashqi. Dikenal dengan al-Diya’ al-Maqdisi (wafat 643 H).

Kitab al-Mustadrak ‘ala Sahihayn karya al-Hakim al-Naysaburi merupakan kitab bertipe Mustadrak yang mashhur. Dan kitab ini menimbulkan beberapa pujian dan kritikan. Namun demikian, harus diakui bahwa al-Hakim memberikan kontribusi besar dalam keilmuan hadis.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. Kodifikasi Hadis Dalam Kitab Mu’tabar. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003.

Abdurrahman M, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis. Jakarta: Paramadina, 2000.

Asqalani (al), Ibn Hajar. Bulugh al-Maram. Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.

Daruqutni (al), Abu al-Hasan ‘Ali bin Umar Ilzamat wa Tatabbu’ al-Daruqutni, vol 1. Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M.

Dhahabi (al). al-Mu’in Fi Tabaqah al-Muhaddithin. tk: Dar al-Shahwat, 1987.

Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras, 2003.

Ghawriy (al), Sayyid Abd al-Majid. Mausu’ah Ulum al-Hadith wa Fununuhu, vol 3. Beirut: Dar Ibn Kathir, 2007.

                                    . al-Wajiz fi Ta’rif Kutub al-Hadith. Beirut: Dar Ibn Kathir, 2009.

Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Kathir, Ibn, al-Bidayah wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.

Khattib (al), Muhammad ‘Ajjâj. Usul al-hadiths ‘Ulumuh wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Naysaburi(al), Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim bin Qusairi. Sahih Muslim, vol 5. Beirut: Dar al-Turath al-‘Arabiy, t.th.

Naysaburi (al), Hakim. al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, vol 4. Beirut:Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1990.

                                    . al-Madkhal ila Kitab al-Iklil. Iskandariyah: Dar al-Da’wah, t.th.

Subki (al), Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Al. Qaidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil. Kairo: Makatabal al-Matbuah al-Islamiyyah, 1984.

Tahhan (al), Mahmud. Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979 M.

 Ulama’i, Hasan Ash’ari Membedah Kitab Tafsir-Hadis. Semarang: Walisongo Press, 2008.

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.



[1]Sayyid Abd al-Majid al-Ghawriy, Mausu’ah Ulum al-Hadith wa Fununuhu, vol 3 (Beirut: Dar Ibn Kathir, 2007), 305

[2]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979 M), 115-116. Lihat juga Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 124-125.

[3]Abu al-Hasan ‘Ali bin Umar al-Daruqutni, Ilzamat wa Tatabbu’ al-Daruqutni, vol 1 (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M), 121.

[4] al-Ghawriy, al-Wajiz fi Ta’rif Kutub al-Hadith (Beirut: Dar Ibn Kathir, 2009), 90.

[5]Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Ali al-Subki, Qaidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil  (Kairo: Makatabal al-Matbuah al-Islamiyyah, 1984), 105.

[6]al-Dhahabi, al-Mu’in Fi Tabaqah al-Muhaddithin (tk: Dar al-Shahwat, 1987), 173-178.

[7]M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000), 29.

[8]Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 178.

[9]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), 241. Lihat juga Hasjim Abbas, Kodifikasi Hadis Dalam Kitab Mu’tabar (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003), 103..

[10] 241-242.

[11]Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 33-34.

[12]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis, 242.

[13]Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 181.

[14] Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977),  2-3.

[15] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis, 244.

[16]Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 57-61.

[17]Ibid., 57-58. Lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), 14-15. dan 7 yang tidak tercantum dalam Sahihayn tetapi termaktub dalam Sunan Abu Dawud, Sunan al-TurmudI, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Mustadrak al-Hakim dan sebagainya.

[18]Al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn vol 1 (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1990), 43.

[19]Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim bin Qusairi  al-Naisaburi, Sahih Muslim, vol 5 (Beirut: Dar al-Turath al-‘Arabiy, t.th), 976.

[20]Al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, vol 4 (Beirut:Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1990), 610.

[21]Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis,58-59.

[22] Ibid.

[23] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari vol 9 (tt: Dar al-Tuq al-Najjah, t.th), 877.

[24] Al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, 416.

[25] Ibid, 60-62.

[26] al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, 116. Lihat juga Hasan Ash’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis (Semarang: Walisongo Press, 2008),143-144.

[27] Ibid., 89-116.

[28] Al-Hakim al-Naysaburi, al-Madkhal ila Kitab al-Iklil (Iskandariyah: Dar al-Da’wah, t.th), 2.

[29] Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 93-104.

[30] Arifin, Studi Kitab Hadis, 186-187.

[31] Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 217.

[32] Ibid.

[33] Ibid., 219-220.

[34] Ibid., 220-221.

[35] Ibid.

[36] Ibid., 233.

[37]Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi riwayat râwî yang thiqah. Muhammad ‘Ajjâj al-Khathib, Usul al-hadiths ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 348.

[38] Hadis matruk adalah hadis yang diantara perawinya adalah seorang pendusta dalam hadis atau sangat pendusta dalam perkataannya, atau nampak kefasiqannya baik perkataan maupun perbuatan, atau sangat jelek kesalahannya dan banyak lupanya.

[39]Abdurrahman, Pergeseran., 224-227.

[40]Ibid., 228.

[41] Arifin, Studi Kitab Hadis, 191-192.

[42] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis,, 255. Lihat Juga Arifin, Studi Kitab Hadis,195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...