HOME

23 Januari, 2024

MEREKA YANG TERBEBANI HUKUM

Mereka yang terbebani hukum adalah seluruh manusia, oleh karena itu  hukum itu dinyatakan sebagai seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Tidak  ada perbedaan dalam taklif hukum syara' antara orang kafir dan orang mukmin, mereka semua merupakan semua adalah sasaran  seruan dari seruan pembuat syara', mereka semua orang yang terbebani  hukum syara'.   Dalilnya adalah nash-nash yang saling bertautan dalam topik ini, nash-nash  tersebut secara keseluruhan menunjukkan adanya penunjukan yang jelas yang tidak memungkinkan untuk ditakwilkan bahwa yang diseru dalam syari'ah Islam secara keseluruhan adalah seluruh umat manusia, baik kafir maupun muslim. Dia Ta'ala berfirman:

 

"Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan…" (TQS Al Baqarah(2):119)

dan Dia Ta'ala berfirman:

 

Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua"(TQS Al A'raf(7):158)

dan beliau Alaihish-shalatu was-salam bersabda:

 

" sungguh aku diutus untuk orang yang berkulit mereh maupun yang berkulit hitam" (Hadits dikeluarkan oleh Muslim)

Maksudnya untuk seluruh umat manusia. Ini  merupakan khitab yang bersifat umum untuk seluruh umat manusia tentu  mencakup muslim dan kafir. juga tidak boleh dikatakan bahwa khitab ini berlaku hanya untuk keimanan terhadap Islam dan tidak berlaku pada hukum-hukum cabang. Sebab khitab risalah itu artinya Iman terhadap risalah  dan bukan berarti mengamalkan hukum-hukum cabang. Tidak bisa dikatakan demikian, risalah itu  bersifat umum meliputi keimanan terhadap risalah tersebut serta pengamalan terhadap hukum-hukum cabang yang datang di dalamnya. Maka pengkhususan risalah tersebut hanya pada Iman saja merupakan takhsis tanpa ada yang menunjukkan adanya penghususan. Terlebih lagi kalau seandainya yang dimaksud itu dengan seruan pada manusia secara keseluruhan adalah seruan untuk mengimani Islam, sedangkan seruan hukum-hukum cabang hanya untuk kaum Muslim saja, itu berarti bahwa seruan pada sebagian manusia  dengan sebagian hukum dan mereka tidak diseru  dengan sebagian (hukum) yang lain. Maka kalau seandainya seruan sebagian dengan sebagian hukum itu diperbolehkan sehingga dikhususkan untuk sebagian manusia keluar dari khitab tersebut maka tentunya boleh juga untuk setiap hal yang yang datang di dalam syariat. Artinya  boleh juga yang seperti itu (berlaku) pada  kaedah-kaedah Islam yang berkaitan dengan Iman sebab  apa yang diperbolehkan atas suatu hukum diperbolehkan pula pada yang lain dan ini adalah bathil. Karena seruan tersebut tegas

 

 "utusan Allah pada kalian semua" (TQS Al A'raf(7):158)

maka keimanan di dalamnya artinya menerima khitab tersebut sejak awal.  Sementara bahwa khitab terhadap manusia secara keseluruhan terhadap  hukum-hukum cabang telah ditetapkan secara jelas dalam Al Qur'an sebagaimana  khitab atas mereka terhadap risalah. Dia Ta'ala berfirman:

 

"(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat"(TQS Fushshillat(41):7)

kemudian Dia berfirman:

 

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik" (TQS Al Furqan(25):63)

 

kemudian Dia berfirman:

 

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina…" (TQS Al Furqan(25):67-68)

 

Kemudian firman-Nya:

 

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu…"(Al Furqan(25):72)

Ini secara keseluruhan merupakan hukum-hukum cabang yang  diserukan pada hamba-hamba Dzat Yang Maha Rahman, kalimat Ibadur-rahman mencakup kaum Muslim dan orang-orang kafir. Dia Ta'ala berfirman:

 

"pada hari itu manusia berkata: "Ke mana tempat lari?"(TQS Al Qiyamah(75):10)

sampai pada  berfirman-Nya

 

"Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat" (TQS Al Qiyamah (75):31)

Dia berfirman:

 

"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya" (TQS Al Mudatstsir(74):38)

sampai firman-Nya:

 

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat" (TQS Al Mudatstsir(74):42-44)

Dan lagi sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia secara keseluruhan untuk beribadah, maka orang kafirpun termasuk yang diperintahkan untuk beribadah. Dia Ta'ala berfirman:

 

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (TQS Al Baqarah(2):31)

Dia Ta'ala berfirman:

 

"mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah" (TQS Ali Imran(3):97)

 

ayat-ayat  ini jelas menunjukkan bahwa Allah membebani mereka dengan hukum-hukum cabang. Maka ayat-ayat tersebut menyeru mereka dengan hukum-hukum cabang, berarti merekapun terbebani dengan hukum-hukum cabang tersebut. Kalau  seandainya mereka tidak terbebani hukum-hukum cabang lalu mengapa Allah mengancam mereka dengan acaman yang keras dengan siksa karena meninggalkannya. Dia Ta'ala berfirman:

 

"sungguh celaka bagi orang-orang Musyrik. (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat…" (TQS Fushshillat(41):6-7)

Dia berfirman pada beberapa ayat dan tentang ibadur-rahman:

 

"barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab…" (TQS Al Furqan(25):68-69)

 

Dengan  begitu sungguh Allah telah menyeru pada orang-orang kafir dengan sebagian perintah dan larangan dari hukum-hukum cabang secara khusus maka demikian pula untuk hukum-hukum cabang yang lainnya. Berdasarkan hal itu maka jelas bahwa orang-orang kafirpun diseru oleh syariat secara keseluruhan baik pokok maupun cabang. Sungguh  Allah akan menyiksa mereka karena mereka tidak beriman dan karena mereka tidak melaksanakan hukum-hukum tersebut. Maka dari sisi khitab tidak diragukan lagi bahwa mereka merupakan obyek khitab hukum-hukum. Adapun  dari sisi pelaksanaan mereka atas hukum-hukum ini dan dari sisi penerapan daulah atas mereka  serta pemaksaan mereka untuk melaksankannya, ini perlu ada rincian: jika pelaksanaan mereka atas hukum tersebut oleh mereka sendiri tanpa dipaksa maka hal tersebut dilihat terlebih dahulu. Apabila hukum-hukum tersebut mensyaratkan adanya Islam dalam penunaiannya berdasarkan nash dari pembuat syara' seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah-ibadah yang lain, demikian pula dengan shadaqah, perbuatan baik, maka tidak diperbolehkan atas mereka untuk menunaikan hukum-hukum tersebut dan mereka dilarang untuk mengerjakan hukum-hukum tersebut, karena syarat pelaksanaan hukum-hukum tersebut adalah adanya Islam sementara dia kafir, maka tidak diperbolehkan. Dan yang sejenis dengan itu adalah kesaksian dari orang kafir atas selain harta, dan menjadikan orang kafir sebagai penguasa atas kaum muslim atau qadhi diantara kaum Muslim atau yang semacam dengan itu yang merupakan bagian dari hukum-hukum yang nash-nash syara' datang  bahwa tidak diperbolehkan orang kafir dan disyaratkan harus Islam. Sedangkan hukum-hukum yang selain itu maka seandainya mereka melaksanakan diperbolehkan, seperti memerangi orang kafir bersama dengan kaum Muslim, karena memang tidak disyaratkan bahwa dalam melakukan peperangan (dengan orang kafir) hendaknya yang berperang adalah muslim. Islam bukanlah syarat di dalamnya, kerena itu boleh saja orang kafir melakukannya. Demikian pula dengan kesaksian dalam masalah harta, kedokteran, dan hal-hal tehnis yang lain yang memang tidak mensyaratkan adanya Islam. Ini jika  ditinjau dari sisi pelaksanaan mereka terhadap hukum-hukum cabang atas inisiatif mereka sendiri. Adapun pembebanan pada mereka terhadap hukum-hukum tersebut secara paksa, ini perlu rincian lebih jauh: apabila hukum-hukum tersebut merupakan bagian yang khitab datang di dalamnya secara umum ddan tidask dibatasi oleh adanya syarat keimanan maka dikaji dulu, jika termasuk yang tidak diperbolehkan kecuali muslim karena Islam merupakan syarat di dalamnya atau merupakan hal-hal yang telah ditetapkan atas orang-orang kafir untuk tidak melaksanakannya maka mereka dalam dua keadaan ini tidak dipaksa untuk melaksanakannya dan juga seruan pembuat syara' tersebut tidak diterapkan pada mereka. Khalifahpun  tidak memberikan sanksi pada orang-orang kafir karena mereka tidak beriman pada Islam, kecuali apabila mereka orang-orang musyrik Arab yang bukan ahlul-kitab. Itu berdasarkan firman-Nya Ta'ala :

 

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…"(TQS Al Baqarah(2):256)

dan firman-Nya:

 

"sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk" (TQS At Taubah(9):29)

 

serta ketetapan Rasulullah saw terhadap orang-orang Kafir Yaman untuk dibiarkan tetap pada agama mereka dan cukup dengan diambil jizyah dari mereka, namun orang musyrik Arab yang bukan ahlul-kitab memang dikecualikan dari hal tersebut, berdasarkan firman-Nya Ta'ala:

 

"…kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)" (TQS Al Fath(48):16)

ini khusus untuk orang-orang musyrik Arab selain ahlul-kitab.  Demikian  pula mereka tidak ditaklifkan untuk shalat dengan kaum Muslim dan mereka tidak dilarang untuk ibadah dengan ibadah mereka berdasarkan ketetapan rasulullah SAW terhadap mereka, ibadah mereka dan gereja-gereja mereka di Yaman dan Bahrain serta penduduk Najran, dan Rasulullah tidak menghancurkan gereja-gereja meraka yang tidak masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa mereka dibiarkan dengan apa yang mereka peluk dan yang mereka sembah. Dan tidak diterapkan pula atas mereka hukum jihad dan tidak dipaksakan atas mereka untuk jihad karena perang yang dituntut dalam ayat-ayat jihad adalah peperangan untuk (memerangi) semua orang-orang kafir dan orang kafir di tidak didiskripsikan di dalamnya untuk memerangi dirinya sendiri. Mereka  juga tidak dipaksa untuk meninggalkan (minum) khamr dan juga tidak diterapkan pada mereka hukum khamr dan mereka juga tidak diberi sanksi karena meminumnya karena di Yaman yang di sana terdapat orang-orang nasrani, mereka minum khamr dan telah ditetapkan untuk kebolehan meminumnya, dan para shahabat ketika mereka menaklukkan berbagai negeri mereka tidak melarang orang-orang kafir untuk minum khamr. Maka demikianlah, bahwa semua hukum yang Islam merupakan syarat sahnya  atau rasulullah SAW menetapkan atas mereka  atau ijma' shahabat, merekapun  tidak dipaksa untuk melaksanakan hukum tersebut dan  khalifahpun  tidak menerapkan (hukum tersebut) atas mereka. Tapi  jika hukum tersebut tidak seperti itu, maksudnya bahwa Islam bukan merupakan syarat sahnya dan tidak terdapat nash syar'I yang menunjukkan adanya ketentuan untuk meninggalkan penerapannya atas mereka maka mereka dituntut untuk menerapkannya, dan mereka dipaksa untuk menerapkan hukum tersebut. Mereka  akan diberi sanksi apabila meninggalkannya. Itu  karena   orang kafir memang dituntut untuk melaksanakan hukum-hukum yang terdapat di dalam seruan pembuat syara' dan tidak terdapat nash yang mensyaratkan Imam dalam (pelaksanaan) hukum sehingga orang kafir tidak terbebani hukum sebelum beriman dan memang tidak terdapat nash yang mengecualikan tuntutan di dalamnya, maka seruan tersebut tetap bersifat umum mencakup mereka (orang kafir). Dalilnya  adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap orang-orang kafir.  Dalam  hukum mu'amalah telah menjadi ketetapan dari beliau SAW bahwa beliau melakukan mu'amalah dengan mereka berdasarkan hukum Islam, demikian pula dalam hukum tentang sanksi-sanksi (uqubath). Telah menjadi ketetapan dari beliau bahwa beliau memberikan sanksi pada mereka yang melakukan pelanggaran. Dari Anas RA:

 

"bahwa sesungguhnya seorang Yahudi membenturkan kepala anak perempuan diantara dua batu, maka ketika anak perempuan tersebut ditanya siapa yang melakukan padamu dengan ini si fulan atau si fulan sampai dia sebut seorang Yahudi, maka orang Yahudi tersebut didatangkan, maka nabi SAW memerintahkan untuk dibenturkan kepalanya dengan batu" (Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari)

Dari  Abi Salamah Ibn Abdirrahman dan Sulaiman bin Yasar dari seorang laki-laki Anshar:

 

"bahwa Nabi SAW bersabda pada si Yahudi dan beliau memulai dengan mereka: "berusumpahlah lima puluh laki-laki dari kalian" merekapun menolak, maka Rasulullah bersabda pada orang Anshar: "terimalah yang benar yang mereka klaim dengan sumpah mereka". Orang Ansharpun menjawab: kami bersumpah dengan yang ghaib wahai Rasulullah. Maka Rasulullah menetapkan diat untuk orang Yahudi karena ditemukan diantara mereka". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.

Dari Jabir bin Abdillah berkata:

 

"Nabi SAW merajam seorang laki-laki dan seorang  wanita Yahudi" (Hadits dikeluarkan oleh Muslim)

 

hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah memberikan sanksi pada orang-orang kafir sebagaimana kaum Muslim, ini sebagian yang menunjukkan bahwa mereka dipaksa untuk melaksanakan hukum syara' dan bahwa hukum syara' tersebut diterapkan atas mereka sebagaimana diterapkan pada kaum Muslim, dan mereka diharuskan sebagaimana diharuskannya kaum Muslim dalam hukum mu'amalah, uqubath dan semua hukum yang lain dan tidak ada pengecualian kecuali yang memang dikecualikan oleh syara' dalam penerapannya dan bukan dalam seruannya. Yaitu hukum-hukum yang Islam merupakan syarat sahnya dan hal-hal yang ditetapkan oleh nash bahwa mereka tidak dipaksa untuk menerapkannya, selain itu syara' menuntut mereka dan mereka dipaksa untuk menerapkan hukum tersebut.

Berdasarkan hal itu maka seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba itu bersifat umum berlaku sama meliputi orang-orang kafir dan orang-orang Muslim, tidak ada perbedaan antara orang-orang kafir dan muslim, karena keumuman seruan pembuat syara' di dalam risalah Islam. Kewajiban  penerapannya atas manusia itu bersifat umum diterapkan pada orang-orang kafir sebagaimana diterapkan pada kaum Muslim selama mereka tunduk dalam kekuasaan Islam. Mereka  dipaksa untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mereka akan diberi sanksi apabila meninggalkannya. Tidak ada pengecualian atas hal tersebut kecuali yang memang dikecualikan oleh syara', yaitu yang syara' menjadikan Islam sebagai syarat sah atau penunaian hukum-hukum tersebut, dan apa yang syara' tetapkan atas orang-orang kafir dan tidak dipaksa atas mereka untuk mengerjakannya baik dalam masalah pokok atau masalah cabang. Sedangkan selain itu mereka dan kaum Muslim  adalah sama. Maka tidak bisa dikatakan bahwa Allah mengkhususkan orang-orang Mukmin dengan sebagian hukum, misalnya shalat, maka  orang-orang mukmin saja  yang menjadi obyek seruan di dalamnya, karena didasarkan apa yang terdapat di dalam seruan yang dengan "wahai orang-orang yang beriman",  itu berarti khusus untuk kaum Muslim. Sedangkan yang bersifat umum seperti jual-beli, riba maka itu umum bagi kaum Muslim dan non muslim, tentu tidak dapat dikatakan demikian, karena apa yang dikeluarkan dengan "wahai orang yang beriman" yang dimaksudkan   adalah mengingatkan mereka dengan keimanan mareka dan bukan berarti seruan tersebut khusus untuk mereka, dalilnya (adalah) sungguh Allah Ta'ala berfirman:

 

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…" (TQS Al Baqarah(2):178)

Dan telah menjadi ketetapan dari Rasulullah SAW bahwa beliau menjadikan hukum qishas dalam pembunuhan tersebut  berlaku sama baik pada orang-orang kafir maupun kaum Muslim, karena firman-Nya:

 

" bagi orang yang mengharapkan kembali pada Allah dan hari akhir.."(TQS Al Ahzab(33):21)

dan:

" maka kembalilah pada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman pada Allah dan hari akhir" (TQS An Nisa'(4):59)

dan:

"Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian" (TQS Al Baqarah(2):232)

 

Konteks ayat-ayat  yang ada tersebut menunjukkan bahwa penyebutan itu adalah untuk  mengingatkan hal-hal yang mmerupakan konskwensi dari keimanan pada Allah dan hari akhir, pada ayat yang pertama:

 

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (TQS Al Ahdzab (33):21)

 

dan pada ayat kadua:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (TQS An Nisa'(4):59)

 

dan ayat yang ketiga:

"Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian" (TQS Al Baqarah(2):232)

 

Semuanya adalah tadzkir (mengingatkan). Maka berdasarkan prespektif ini sabda beliau SAW:

"barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam" (HR Al Bukhari)

maka semuanya merupakan tadzkir tentang  keimanan dan bukan merupakan syarat dalam taklif hukum, bahkan juga bukan syarat absahnya juga bukan syarat penunaiannya, apalagi bahwa keimanan pada Allah dan hari akhir itu tidak (otomatis) menjadikan seseorang itu sebagai muslim. Orang Yahudi, mereka beriman pada Allah dan juga hari akhir, karena itulah Allah menyeru mereka dengan firman-Nya:

 

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman" (TQS An Nisa'(4):136)

seruan ini untuk  orang Yahudi. Oleh karena itu adanya indikasi seruan dengan "wahai orang yang beriman" bukanlah berarti bahwa seruan tersebut dikhususkan bagi kaum Muslim saja, tapi itu merupakan tadzkir (untuk mengingatkan) tentang keimanan, sedangkan seruannya meliputi kaum Muslim maupun non Muslim karena keumuman seruan-seruan taklif tersebut. Karenanya maka seruan taklif tersebut tetap bersifat umum mencakup orang-orang kafir serta kaum Muslim. Begitulah seterusnya. Maka sungguh orang-orang kafir semua diseru dengan umumnya syariah baik pokok maupun cabang, dan khalifah diperintahkan untuk menerapkan semua hukum syara' atas mereka. Dan pengecualian tersebut dari aspek penerapan hukum, bukan dari aspek seruan, yaitu pada hukum-hukum yang terdapat nash-nash (yang menjelaskan) baik dalam al-Qur'an atau Hadits bahwa  hukum tersebut tidak diterapkan atas mereka, atau hukum-hukum yang nash yang datang (menjelaskan) bahwa hukum-hukum tersebut khusus untuk kaum muslim. Selain  itu  seluruh hukum Islam diterapkan atas orang-orang kafir persis sama sebagaimana kaum Muslim.

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...