HOME

25 Januari, 2024

KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA

https://komunitaspecintasejarah.blogspot.com


Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera

Periode tahun tepatnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan memerlukan rujukan lebih lanjut.

  • Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13)

Peureulak diarahkan ke halaman ini. Untuk kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, lihat Peureulak, Aceh Timur

Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat

Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[1]

Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[2] Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam

Perkembangan dan pergolakan

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:

Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)

Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Penggabungan dengan Samudera Pasai

Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

·   Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).

·   Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.

Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.

Daftar Sultan Perlak

Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.

1.     Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840 – 864)

2.     Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864 – 888)

3.     Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888 – 913)

4.     Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915 – 918)

5.     Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928 – 932)

6.     Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932 – 956)

7.     Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956 – 983)

8.     Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat [5] (986 – 1023)

9.     Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023 – 1059)

10.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059 – 1078)

11.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078 – 1109)

12.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109 – 1135)

13.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135 – 1160)

14.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160 – 1173)

15.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173 – 1200)

16.  Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200 – 1230)

17.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230 – 1267)

18.  Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292)

 

  • Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16)

 

  • Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17)

Kesultanan Malaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit. Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada penyempitan Selat Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibu kotanya direbut Portugis pada 1511.

Kegemilangan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka adalah daripada beberapa faktor yang penting. Antaranya, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Malah, salah seorang daripada sultan Melaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Melaka. Melaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan sebuah kuasa besar di dunia untuk mengelakkan serangan Siam.

Sejarah

Parameswara pada awalnya mendirikan kerajaan di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya hijrah lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah berdiam di ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut. [1]

Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [2]. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[1][2]

Megat Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.

Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.

Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah. [3]

Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.

[sunting] Daftar raja-raja Malaka

1.             Parameswara (1402-1414)

2.             Megat Iskandar Syah (1414-1424)

3.             Sultan Muhammad Syah (1424-1444)

4.             Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)

5.             Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)

6.             Sultan Mansur Syah (1459-1477)

7.             Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488)

8.             Sultan Mahmud Syah (1488-1528)


  • Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]

 Sejarah

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Diawal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Masa kejayaan

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.

Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.

Pada akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu[rujukan?].

Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Sultan Aceh

Sultan Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang pernah berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.

Tradisi kesultanan

Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh

·   Teungku

·   Tuanku

·   Pocut

·   Teuku

·   Laksamana

·   Uleebalang

·   Cut

·   Panglima Sagoe

·   Meurah


  • Kerajaan Melayu Jambi

Kerajaan Malayu adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.

Berdasarkan letak ibu kotanya, Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu Jambi, sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.

Sumber Berita Cina

Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).

Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.

Lokasi Malayu Tua

Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi. Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.

Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi).

Dikalahkan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.

Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671 Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.

Prof. Slamet Muljana yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa, prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota itu dalam suka cita.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan peran Kerajaan Malayu.

Tentang Raja Chan-pi

Setelah beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.

Dalam berita Cina berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.

Pada zaman Dinasti Sung, istilah San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak diketahui dengan pasti apakah putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang saat itu telah menguasai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja Chan-pi kemungkinan besar adalah ejaan Cina untuk istilah Jambi.

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah prasasti Grahi tahun 1183. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan Kamboja. Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082 masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.

Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta (Batak ?, Patani ?), Tan-ma-ling, Kia-lo-hi (Kamboja), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?). Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka (Si-lan), Kamboja (Kia-lo-hi), sampai Sunda (Sin-to).

Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Sebaliknya, daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat tersebut terletak berjauhan.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.

Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.

Dikalahkan Singhasari

Pada tahun 1275 raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa yang bernama Kertanagara memutuskan untuk menguasai lalu lintas perdagangan Selat Malaka. Tujuan utamanya ialah untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan penguasa Dinasti Yuan atau bangsa Mongol.

Menurut Nagarakretagama, rencana tersebut semula hendak dijalankan secara damai. Akan tetapi, raja Malayu menolak hal itu, sehingga Kertanagara terpaksa mengirim pasukan untuk menyerang Sumatra. Serangan tersebut terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang sebagai komandan.

Pasukan Kebo Anabrang mendarat dan merebut pelabuhan Malayu di Jambi. Mereka kemudian merebut daerah penghasil lada di Kuntu–Kampar. Dengan demikian, kehidupan ekonomi Kerajaan Malayu berhasil dilumpuhkan. Yang terakhir, Kebo Anabrang berhasil mengalahkan ibu kota Malayu, yaitu Dharmasraya.

Tidak diketahui dengan pasti kapan istana Dharmasraya jatuh ke tangan pasukan Singhasari. Prasasti Padangroco tahun 1286 hanya menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai hadiah Singhasari untuk ditempatkan di Dharmasraya. Dalam prasasti itu, Tribhuwanaraja bergelar maharaja, sedangkan Kertanagara bergelar maharajadhiraja, sehingga terbukti kalau saat itu Sumatra telah menjadi bawahan Jawa.

Sepasang Putri Malayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Keduanya dipersembahkan kepada Raden Wijaya menantu Kertanagara. Kertanagara sendiri telah meninggal setahun sebelumnya.

Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak sebagai istri yang kemudian melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Malayu bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga (dan juga Dara Petak) adalah putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.

Dharmasraya Zaman Majapahit

Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Dharmasraya memang telah ditaklukkan oleh Singhasari dan menjalin persaudaraan melalui perkawinan antara Dara Petak dan Raden Wijaya pada akhir abad ke-13. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kemudian Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari.

Dalam catatan Dinasti Ming, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li.

Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan 1377 ketiganya mengirimkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377 tentara She-po menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.

Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli raja Dharmasraya.

Meskipun Adityawarman adalah cucu Srimat Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki hak atas takhta Dharmasraya karena ia lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian mendirikan Kerajaan Malayapura di Pagaruyung, sedangkan Dharmasraya dipegang oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja lainnya.

Rupanya setelah Gajah Mada meninggal tahun 1364, negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi, Maharaja Hayam Wuruk yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Pagaruyung, Palembang, dan Dharmasraya pada tahun 1377.

Catatan Cina menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.


·         Kesultanan Johor-Riau

Kesultanan Johor yang terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau atau Johor-Riau-Lingga adalah kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, putra sultan terakhir Malaka, Mahmud Syah. Sebelumnya daerah Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan Malaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada 1511.

Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.

Sebagai balas jasa atas bantuan merebut tahta Johor Sultan Hussein Syah mengizinkan Britania pada 1819 untuk mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya Traktat London tahun 1824 Kesultanan Johor-Riau dibagi dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga. Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali Britania. Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911.

Pada tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk menerima kehadiran Residen Britania. Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.

Johor menjadi salah satu negara bagian Malaysia ketika negara itu didirikan pada 1963.

Raja-raja Johor

Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)

1.     1528-1564: Sultan Alauddin Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)

2.     1564-1570: Sultan Muzaffar Syah II (Raja Muzafar/Radin Bahar)

3.     1570-1571: Sultan Abd. Jalil Syah I (Raja Abdul Jalil)

4.     1570/71-1597: Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)

5.     1597-1615: Sultan Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)

6.     1615-1623: Sultan Abdullah Ma'ayat Syah (Raja Mansur)

7.     1623-1677: Sultan Abdul Jalil Syah III (Raja Bujang)

8.     1677-1685: Sultan Ibrahim Syah (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)

9.     1685-1699: Sultan Mahmud Syah II (Raja Mahmud)

10.  1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)

11.  1718-1722: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)

12.  1722-1760: Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar Johor-Riau)

13.  1760-1761: Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah

14.  1761: Sultan Ahmad Riayat Syah

15.  1761-1812: Sultan Mahmud Syah III (Raja Mahmud)

16.  1812-1819: Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)

 Raja-raja Kesultanan Johor (1824-sekarang)

1.     1819-1835: Sultan Hussain Shah (Tengku Husin/Tengku Long)

2.     1835-1877: Sultan Ali (Tengku Ali; tidak diakui oleh Inggris)

3.     1855-1862: Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor)

4.     1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim (Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar)

5.     1895-1959: Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar

6.     1959-1981: Sultan Ismail ibni Sultan Ibrahim

7.     1981-kini: Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...