https://komunitaspecintasejarah.blogspot.com
Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
Periode
tahun tepatnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan
memerlukan rujukan lebih lanjut.
- Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad
ke-13)
Peureulak diarahkan ke halaman ini. Untuk kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, lihat Peureulak, Aceh Timur
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia
yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara
tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak
atau Peureulak terkenal sebagai
suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk
pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak.
Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan
niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain
berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di
daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim
dengan perempuan setempat
Naskah
Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera
dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun
506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang
pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan
yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608
H atau 1211 M.[1]
Chu-fan-chi,
yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi,
Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima
hari pelayaran dari Jawa.[2] Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah
Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan
waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia
yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari
Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah
memeluk agama Islam
Perkembangan dan pergolakan
Sultan
pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang
beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang
mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama
ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama
istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo,
Peureulak, Aceh Timur
Pada
masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah,
aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913
M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua
tahun berikutnya tak ada sultan.
Kaum
Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed
Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir
pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali
ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari
golongan Sunni.
Pada
tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum
Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama
kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian
dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
Perlak
Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
Perlak
Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah
Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan
Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang
Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan
Sriwijaya hingga tahun 1006.
Penggabungan dengan Samudera
Pasai
Sultan
ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan
menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
· Putri
Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah
(Parameswara).
· Putri
Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan
terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz
Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera
Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
Daftar Sultan Perlak
Sultan-sultan
Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis
Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah
Perlak.
1.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul
Azis Shah (840 – 864)
2.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul
Rahim Shah (864 – 888)
3.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas
Shah (888 – 913)
4.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali
Mughat Shah (915 – 918)
5.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul
Kadir Shah Johan Berdaulat (928 – 932)
6.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932 – 956)
7.
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik
Shah Johan Berdaulat (956 – 983)
8.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim
Shah Johan Berdaulat [5] (986 – 1023)
9.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud
Shah Johan Berdaulat (1023 – 1059)
10.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur
Shah Johan Berdaulat (1059 – 1078)
11.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
12.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad
Shah Johan Berdaulat (1109 – 1135)
13.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud
Shah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
14.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman
Shah Johan Berdaulat (1160 – 1173)
15.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173 – 1200)
16.
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil
Shah Johan Berdaulat (1200 – 1230)
17.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230 – 1267)
18.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul
Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292)
- Kesultanan Samudera Pasai (abad
ke-13 - abad ke-16)
- Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad
ke-17)
Kesultanan Malaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang
didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari
perebutan Palembang oleh Majapahit. Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka,
yang terletak pada penyempitan Selat Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat
menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia
Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibu kotanya direbut
Portugis pada 1511.
Kegemilangan
yang dicapai oleh Kerajaan Melaka adalah daripada beberapa faktor yang penting.
Antaranya, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan
baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada
tahun 1403. Malah, salah seorang daripada sultan Melaka telah menikahi seorang
putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara
Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Melaka. Melaka mendapat
perlindungan dari Cina yang merupakan sebuah kuasa besar di dunia untuk
mengelakkan serangan Siam.
Sejarah
Parameswara
pada awalnya mendirikan kerajaan di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini
kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya hijrah lebih ke utara. Kronik
Dinasti Ming mencatat Parameswara telah berdiam di ibukota baru di Melaka pada 1403,
tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti
yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada
kerajaan baru tersebut. [1]
Parameswara
kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari
kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu
Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [2].
Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[1][2]
Megat
Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah.
Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya
tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah.
Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada
1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan
Mudzaffar Syah.
Di
bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di
Semenanjung
Di
bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan
Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.
Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian
Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Mansur
Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya
Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah. [3]
Mahmud
Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu
[sunting] Daftar raja-raja Malaka
1.
Parameswara (1402-1414)
2.
Megat Iskandar Syah (1414-1424)
3.
Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4.
Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)
5.
Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)
6.
Sultan Mansur Syah (1459-1477)
7.
Sultan Alauddin Riayat Syah
(1477-1488)
8. Sultan Mahmud Syah (1488-1528)
- Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang
keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit
hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera
dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali
Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama
karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]
Sejarah
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah
pada tahun 1496. Diawal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh
berkembang hingga mencakup Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Pada tahun 1528,
Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin,
yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
Masa kejayaan
Kesultanan
Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607
- 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan
Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie
bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau
Sunda (Sumatera, Jawa dan
Dalam
lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa
ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U
Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin
ar-Raniry dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam
bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kemunduran
Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun
1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan
penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan
diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat
London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda
untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda
akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji
tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada
akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun
Perang Aceh
Perang
Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi
gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah
gagal merebut Aceh.
Dr.
Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah
berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan
saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan
kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz
dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn,
merebut sebagian besar Aceh.
Sultan
M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir
seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga
terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang pernah berkuasa di Aceh
dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.
Tradisi kesultanan
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
· Teungku
· Tuanku
· Pocut
· Teuku
· Laksamana
· Uleebalang
· Cut
· Panglima
Sagoe
· Meurah
Kerajaan Malayu adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada
di Pulau Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7
yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan
Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Berdasarkan
letak ibu kotanya, Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut
dengan nama Kerajaan Malayu Jambi,
sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.
Sumber Berita Cina
Berita
tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao
karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina
pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah
itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta
I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat singgah
di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri
merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan
Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut
catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha
aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa
yang dianut oleh Kerajaan Malayu.
Lokasi Malayu Tua
Dr.
Rouffaer berpendapat bahwa ibu
Prof.
Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayu berasal dari kata
Prasasti
Tanyore menyebutkan bahwa ibu
Dikalahkan Sriwijaya
Prasasti
Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000
orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh
kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam
proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.
Pendapat
Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada
tahun 671 Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat
bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu
dalam perjalanan menuju India.
Prof.
Slamet Muljana yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu
Jadi,
penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai
dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671,
Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685,
negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan
Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya
Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan
Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa
lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan peran Kerajaan Malayu.
Tentang Raja Chan-pi
Setelah
beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat
serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa
Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu
Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.
Dalam
berita Cina berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082
mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan
Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan
San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi,
serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Pada
zaman Dinasti Sung, istilah San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak
diketahui dengan pasti apakah putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi
adalah keturunan Rajendra, yang saat itu telah menguasai
Munculnya Wangsa Mauli
Kekalahan
Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa telah mengakhiri kekuasaan
Wangsa Sailendra atas Pulau
Prasasti
tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah prasasti Grahi tahun 1183.
Prasasti itu berisi perintah Maharaja
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang
bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2
Prasasti
kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu prasasti Padangroco tahun 1286.
Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat
kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Kerajaan
Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di
Dharmasraya
dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian,
Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan
besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun
bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak
menyebutnya dengan jelas.
Yang
menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah
mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan Kamboja. Itu artinya, setelah
Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat
Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat
dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082 masih menjadi bawahan keluarga
Rajendra.
Istilah
Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja
berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian,
kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak
diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat
Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum
ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah
San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan
Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025,
istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk
menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam
naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan
bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong,
Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an,
Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta (Batak ?, Patani ?), Tan-ma-ling,
Kia-lo-hi (Kamboja), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), Kien-pi,
Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?). Dengan demikian, wilayah kekuasaan
San-fo-tsi membentang dari Srilangka (Si-lan), Kamboja (Kia-lo-hi), sampai Sunda
(Sin-to).
Apabila
San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan
bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah
kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam
daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang.
Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi
bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya,
daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip
Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi.
Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat
tersebut terletak berjauhan.
Dengan
demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat
itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi,
istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita
Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa
saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu
zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih
menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada.
Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365
sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.
Itu
artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya,
melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat
negeri Dharmasraya dan
Dikalahkan Singhasari
Pada
tahun 1275 raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa yang bernama Kertanagara
memutuskan untuk menguasai lalu lintas perdagangan Selat Malaka. Tujuan
utamanya ialah untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan penguasa Dinasti
Yuan atau bangsa Mongol.
Menurut
Nagarakretagama, rencana tersebut semula hendak dijalankan secara damai.
Akan tetapi, raja Malayu menolak hal itu, sehingga Kertanagara terpaksa
mengirim pasukan untuk menyerang Sumatra. Serangan tersebut terkenal dengan
sebutan Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang sebagai komandan.
Pasukan
Kebo Anabrang mendarat dan merebut pelabuhan Malayu di Jambi. Mereka kemudian
merebut daerah penghasil lada di Kuntu–Kampar. Dengan demikian, kehidupan
ekonomi Kerajaan Malayu berhasil dilumpuhkan. Yang terakhir, Kebo Anabrang berhasil
mengalahkan ibu
Tidak
diketahui dengan pasti kapan istana Dharmasraya jatuh ke tangan pasukan
Singhasari. Prasasti Padangroco tahun 1286 hanya menyebutkan tentang pengiriman
arca Amoghapasa sebagai hadiah Singhasari untuk ditempatkan di Dharmasraya.
Dalam prasasti itu, Tribhuwanaraja bergelar maharaja, sedangkan Kertanagara
bergelar maharajadhiraja, sehingga terbukti kalau saat itu Sumatra telah
menjadi bawahan Jawa.
Sepasang Putri Malayu
Naskah
Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo
Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu bernama Dara
Jingga dan Dara Petak. Keduanya dipersembahkan kepada Raden Wijaya menantu Kertanagara.
Kertanagara sendiri telah meninggal setahun sebelumnya.
Raden
Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak
sebagai istri yang kemudian melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit.
Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian
melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Malayu bergelar Mantrolot
Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara
Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu
telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara.
Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah
peralihan kekuasaan di Singhasari.
Mantrolot
Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama
Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca
Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat
sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini
merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam
Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara
Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman
sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah
keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga (dan
juga Dara Petak) adalah putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain
menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno
Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara
sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau
Dalam
catatan Dinasti Ming, negeri San-fo-tsi (atau
Secara
berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan 1377 ketiganya mengirimkan duta besar
ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377 tentara She-po menyerang dan
menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan
dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan
adalah Adityawarman raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina
untuk Maharaja Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja
Mauli raja Dharmasraya.
Meskipun
Adityawarman adalah cucu Srimat Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki hak
atas takhta Dharmasraya karena ia lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian
mendirikan Kerajaan Malayapura di Pagaruyung, sedangkan Dharmasraya dipegang
oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja lainnya.
Rupanya
setelah Gajah Mada meninggal tahun 1364, negeri-negeri jajahan di
Catatan
Cina menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di
San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah
Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu berarti,
setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan
berpusat di Palembang.
·
Kesultanan
Johor-Riau
Kesultanan Johor yang terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau atau Johor-Riau-Lingga adalah kerajaan yang
didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, putra sultan
terakhir Malaka, Mahmud Syah. Sebelumnya daerah Johor-Riau merupakan bagian
dari Kesultanan Malaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada 1511.
Pada
puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Singapura,
Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.
Sebagai
balas jasa atas bantuan merebut tahta Johor Sultan Hussein Syah mengizinkan Britania
pada 1819 untuk mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya
Traktat
Pada
tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk menerima kehadiran Residen Britania.
Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.
Johor
menjadi salah satu negara bagian Malaysia ketika negara itu didirikan pada 1963.
Raja-raja Johor
Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)
1.
1528-1564: Sultan Alauddin Riayat
Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)
2.
1564-1570: Sultan Muzaffar Syah II
(Raja Muzafar/Radin Bahar)
3.
1570-1571: Sultan Abd. Jalil Syah I
(Raja Abdul Jalil)
4.
1570/71-1597: Sultan Ali Jalla Abdul
Jalil Syah II (Raja Umar)
5.
1597-1615: Sultan Alauddin Riayat
Syah III (Raja Mansur)
6.
1615-1623: Sultan Abdullah Ma'ayat
Syah (Raja Mansur)
7.
1623-1677: Sultan Abdul Jalil Syah
III (Raja Bujang)
8.
1677-1685: Sultan Ibrahim Syah (Raja
Ibrahim/Putera Raja Bajau)
9.
1685-1699: Sultan Mahmud Syah II
(Raja Mahmud)
10.
1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV
(Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
11.
1718-1722: Sultan Abdul Jalil Rahmat
Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
12.
1722-1760: Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar Johor-Riau)
13.
1760-1761: Sultan Abdul Jalil Muazzam
Syah
14.
1761: Sultan Ahmad Riayat Syah
15.
1761-1812: Sultan Mahmud Syah III
(Raja Mahmud)
16.
1812-1819: Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)
Raja-raja
Kesultanan Johor (1824-sekarang)
1.
1819-1835: Sultan Hussain Shah
(Tengku Husin/Tengku Long)
2.
1835-1877: Sultan Ali (Tengku Ali;
tidak diakui oleh Inggris)
3.
1855-1862: Raja Temenggung Tun Daeng
Ibrahim (Seri Maharaja Johor)
4.
1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng
Ibrahim (Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar)
5.
1895-1959: Sultan Ibrahim ibni Sultan
Abu Bakar
6.
1959-1981: Sultan Ismail ibni Sultan
Ibrahim
7. 1981-kini: Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar