HOME

23 Maret, 2022

Bantahan Ulama Yang Melarang Terhadap Larangan Tafsir bi al-Ra'yi

 

1.      Anggapan bahwa tafsir bi al-ra'yi merupakan zanny, sehingga tafsir bi al-ra'yi tidak bisa dijadikan metode untuk menafsirkan Alquran merupakan alasan yang kurang tepat. Karena bagaimanapun juga zanny juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika memang memiliki potensi kebenaran yang dominan. Menurut mereka zanny bisa jadi sumber kebenaran, terutama bila memang tidak dalil qat‘iy.[1] Ini sesuai dengan firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al Baqarah 286][2]

2.      Keyakinan bahwa hanya Rasulullah r yang mempunyai otoritas menjelaskan Alquran dijawab: “Ketika Nabi Muhammad r masih hidup, maka penjelasan Alquran memang menjadi otoritas beliau. Tetapi sepeninggal Nabi r masalah-masalah baru mulai bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya terkait tafsir Alquran, dibutuhkan tafsir menggunakan akal dan ijtihad.”[3] Allah berfirman:

... وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

… supaya mereka memikirkan [An Nahl 44][4]

3.      Hadis yang menjelaskan barangsiapa yang menafsirkan Alquran dengan logikanya, maka akan ditempatkan di neraka, itu dimaksudkan bagi orang yang menafsirkan Alquran dengan hawa nafsunya dan tanpa dalil.[5]

4.      Sedangkan sikap Sa‘id ibn Musayyab dan Abu Bakar ketika ditanya tentang tafsir ayat Alquran, itu selain karena sikap hati-hati mereka, juga karena mereka belum tau kebenaran dengan pertimbangan ijtihad yang akan dikemukakan. Fakta menunjukkan bahwa ketika mereka mengetahui kebenarannya, maka pertimbangan dengan ijtihad itu dilakukan meski kebenarannya masih zanny. Misalnya saja yang pernah dilakukan Abu Bakar t ketika ditanya tentang masalah kalalah, ia menjawab: “Dalam hal ini saya menyatakan atas dasar pendapat saya, jika benar itu dari Allah, tetapi jika tidak, maka itu dariku dan dari shaitan, al-kalalah itu begini begini…[6]

Baca artikel lain yang berkaitan:


[1] Anshori, Ulumul Qur’an, 177.

Anshori, Ulumul Qur’an. Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2013.

[2] Alquran Terjemah Departemen Agama, 72.

[3] Anshori, Ulumul Qur’an, 177.

[4] Alquran Terjemah Departemen Agama, 408.

[5] Anshori, Ulumul Qur’an, 178.

[6] Ibid., 179.

Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir Bil Ra’yi


Para ulama’ berbeda pendapat tentang tafsir bi al-ra'yi

1.      Golongan yang melarang

Sebagian ulama’ dan mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat Alquran, meskipun ia dikatakan ‘alim (ulama’), mengerti bahasa dan sastra Arab (adib), mengerti ilmu nahwu, hadis Nabi r dan mengetahui athar para sahabat.[1]

Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) dalam kitabnya mengatakan bahwa Tafsir bi al-Ra’yi tidak termasuk kategori pemahaman (terhadap Alquran) yang sesuai dengan roh syari’at. Bahkan ia mengklaim orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah dan penganut madzhab batil. Ia pun mencontohkan beberapa tafsir tersebut seperti tafsir (karya) ‘Abdurrah{man ibn Kaisan al-Asam, al-Juba’I, ‘Abdul Jabbar, al-Rummani, Zamakhshari dan sebagainya.[2]

 

Dalil golongan yang melarang

a.       Dalil dari Alquran

Tafsir bi al-ra'yi adalah menafsirkan firman Allah tanpa ilmu. Orang yang melakukan tafsir bi al-ra'yi tidak yakin bahwa apa yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah. Artinya tafsir tersebut hanya berdasarkan pada perkiraan (zanny).[3] Tentunya menafsirkan ayat Alquran seperti ini dilarang, sebagaimana firman Allah:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isra’ 36][4]

... وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui" [Al A'raf 33][5]

 

Sebagian ulama’ yang menolak tafsir bi al-ra'yi berkeyakinan bahwa yang berhak menjelaskan Alquran hanya Nabi Muhammad r[6]. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [An Nahl 44][7]

 

b.      Dalil dari Hadis

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Suwaid bin 'Amru Al Kalbi telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abdul A'la dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jagalah diri untuk menceritakan dariku kecuali yang kalian ketahui, barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka dan barangsiapa mengatakan tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan. (HR. Tirmidzi)[8]

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepadaku Ya'qub bin Ishaq Al Muqri` Al Hadlrami telah menceritakan kepada kami Suhail bin Mihran saudara Hazm Al Qutha'I, telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran dari Jundub ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berbicara tentang Kitabullah 'azza wajalla menggunakan pendapatnya, meskipun benar maka ia telah salah." (HR. Abu Dawud)[9]

 

c.       Sikap Para Sahabat

Para sahabat dan tabi‘in sangat menghormati tafsir Alquran dan menghindari penggunaan akal. Sebagai contoh Ketika Sa‘id ibn Musayyab ditanya soal halal haram, dia menjawab. Tetapi ketika ditanya tentang tafsir salah satu ayat Alquran, maka ia akan diam seolah tidak mendengar apapun.[10]

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam meriwayatkan, Abu Bakar al-S{iddiq pernah ditanya tentang maksud dari kata al-abb dalam firman Allah:

وَفَاكِهَةً وَأَبًّا

Dan buah-buahan serta rumput-rumputan (Abasa 31).[11]

Ia menjawab: “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku, jika aku mengatakan tentang kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui?”[12]

Meskipun begitu Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) tidak menyangkal adanya sahabat yang menafsirkan ayat Alquran. Para sahabat hanya menafsirkan hal yang mereka ketahui saja, baik berkenaan dengan bahasa maupuan syara’. Sedangkan untuk hal yang tidak mereka ketahui, mereka enggan untuk bicara.[13]

Akan tetapi jika tafsir bi al-ma’thur yang sahih ditinggalkan dan beralih ke pendapat yang berdasarkan pada ra’yu semata, maka hal ini merupakan perbuatan mungkar. Ibn Taimiyyah berkata, “Siapa pun yang beralih dari madhhab sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya, ia telah melakukan perbuatan salah dan bahkan bid’ah. Sebab merekalah yang paling mengetahui tentang tafsir Alquran dan makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yang lebih mengerti akan kebenaran yang dibawa oleh misi Rasulullah r.”[14]       

2. Golongan yang membolehkan

a.       Allah dalam banyak ayat di alquran menganjurkan penggunaan akal, pemikiran, perenungan dan penelitian.[15] Sebagaimana firman Allah:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? [An Nisa 82].[16]

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran [Sad 29][17]

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). [An Nisa 83]

Pada ayat pertama dan kedua menujukkan bahwa Allah menganjurkan hamba-Nya untuk berpikir, merenung dan menggunakan akal. Sedangkan ayat ketiga menunjukkan bahwa Alquran dapat digali isi kandungannya melalui ijtihad orang-orang berakal, yang berilmu dan mumpuni.

b.      Seandainya tafsir bi al-ra'yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa ijtidah dibolehkan? Seorang mujtahid dalam hukum syara’ diberi dua pahala jika benar dan diberi satu pahala jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir bi al-ra'yi tidaklah tepat.

c.       Para sahabat dalam menafsirkan Alquran ada sedikit perbedaan, itu dikarenakan mereka belum mendapat penjelasan seluruh makna Alquran dari Rasulullah r. Maka mereka menggunakan akal dan ijtihadnya. Seandainya tafsir bi al-ra'yi dilarang, tentu para sahabat telah menyalahi dan melakukan apa yang dilarang Allah.

d.      Rasulullah r pernah berdo’a untuk ‘Abdullah ibn ‘Abbas

حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِي أَوْ عَلَى مَنْكِبِي شَكَّ سَعِيدٌ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Musa telah menceritakan kepada kami Zuhair Abu Khaitsamah dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan tangannya di atas bahuku atau di atas pundaku, -Sa'id merasa ragu, - kemudian beliau berdoa; "Ya Allah fahamkanlah ia terhadap agama dan ajarilah ia ta`wil." (HR. Ahmad)

Seandainya penafsiran Alquran terbatas pada apa yang didengar dari Rasulullah r, tentu disini tidak ada artinya do’a Nabi r yang dikhususkan kepada ibn ‘Abbas t.[18]


Baca artikel lain yang berkaitan:


DAFTAR PUSTAKA

‘Ak. (al), Khalid ‘Abdurrahman, Ushul al-Tafsir wa qawa‘iduhu. Beirut: Dar al-Nafais, 1406 H / 1986 M.

Alquran Terjemah Departemen Agama

Anshori, Ulumul Qur’an. Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2013.

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, juz 2. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Dhahabi. (al), Husein, al-tafsir wa al-Mufassirun. Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2003.

Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013.

Ja’far, Abdul Ghafur Mahmud Mustafa, Tafsir wal Mufassirun fi Thaubihi al-Jadid. Kairo: Dar Salam, 2007.

Qattan. (al), Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.

S{abuni, Ali, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Pakistan: Maktabah al-Bushra, 2011.

Tirmidzi, Imam, Sunan Tirmidzi, juz 2, no. Hadis 3205. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Zuhdi, Acmad, dkk, Studi al-Qur’an. Surabaya: UINSA Press, 2015.


[1] Ibid., 176.

[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, 17.

[3] Anshori, Ulumul Qur’an, 176.

[4] Alquran Terjemah Departemen Agama, 429.

[5] Ibid., 226.

[6] Anshori, Ulumul Qur’an, 176.

[7] Alquran Terjemah Departemen Agama, 408.

[8] Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, juz 2, no. Hadis 3205 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 743.

[9] Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 2, no. Hadis 3654 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 622.

[10] Anshori, Ulumul Qur’an, 179. Lihat juga: Husein al-dhahabi, al tafsir wal mufassirun, 262-263

[11] Alquran Terjemah Departemen Agama, 1026.

[12] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, 489.

[13] Ibid., 490.

[14] Ibid.

[15] Anshori, Ulumul Qur’an, 180.

[16] Alquran Terjemah Departemen Agama, 132.

[17] Ibid., 736.

[18] Anshori, Ulumul Qur’an, 180.

Tinjauan Umum Tentang Tafsir bil Ra’yi

 

Secara bahasa al-ra’yu berarti al-i’tiqadu  (keyakinan), al-‘aqlu (akal) dan al-tadbiru (perenungan). Ahli fiqh yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yi. Karena itu Tafsir bi al-Ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.[1]

Sedangkan menurut terminologi, Tafsir bi al-Ra’yi adalah upaya untuk memahami nas Alquran atas dasar ijtihad seorang mufassir yang memahmi betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafaz-lafaznya dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam Alquran, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.[2]

Tafsir bi al-Ra’yi ialah tafsir yang dalam penjelasan maksudnya, seorang mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata.[3]

Sedangkan Ahmad Zuhdi dalam Studi al-Qur’an mengatakan Tafsir bi al-Ra’yi bisa disebut juga tafsir dirayah, atau tafsir dengan akal, atau berdasarkan pada ijtihad. Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang dalam menafsirkan Alquran hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu, disamping berdasar pada dasar-dasar yang sahih, kaidah yang murni dan tepat.[4]

Menurut Ali S{abuni tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir menggunakan ijtihad berdasarkan usul al-S{ahihah, dan kaidah yang benar.[5]

Menurut Acep Hermawan Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.[6]

Dari pengertian diatas nampaknya Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) termasuk ulama’ yang tidak menerima Tafsir bi al-Ra’yi. Penjelasan selengkapnya tentang pendapat para ulama’ terhadap Tafsir bi al-Ra’yi akan dipaparkan secara khusus.

Ijtihad dalam menafsirkan Alquran berbeda dengan ijtihad dalam disiplin ushul fiqh.

    ·     Ijtihad dalam usul fiqh: Kesungguhan seorang ahli fiqh (faqih) atau seorang mujtahid untuk mengetahui hukum syara’ berdasarkan dalil-dalilnya yang terinci dalam rangka penetapan hukum (istinbat al-hukm)

    ·         Ijtihad dalam konteks ilmu tafsir (khususnya Tafsir bi al-Ra’yi): Kesungguhan seorang mufassir untuk memahami makna nas Alquran. Mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang terkandung di dalamnya. Ini adalah ijtihad yang lebih berarti kesungguhan untuk menjelaskan kandungan nas Alquran, baik berupa hukum-hukum syari’at, hikmah-hikmah, nasihat-nasihat, contoh-contoh teladan dan lain sebagainya.[7]


Baca artikel lain yang berkaitan:


[1] Anshori, Ulumul Qur’an (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2013), 174.

[2] Husein al-Dhahabi, al-tafsir wa al-Mufassirun (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2003), 183. Lihat juga: Anshori, Ulumul Qur’an, 174.

[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), 488.

[4] Acmad Zuhdi, dkk, Studi al-Qur’an (Surabaya: UINSA Press, 2015), 521.

[5] Ali al-S{abuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Pakistan: Maktabah al-Bushra, 2011), 101.

[6] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 115.

[7] Anshori, Ulumul Qur’an, 175.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...