HOME

02 April, 2022

Hadist Tentang Perang itu siasat

 

Nabi SAW bersabda :

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلَكَ كِسْرَى ثُمَّ لَا يَكُونُ كِسْرَى بَعْدَهُ وَقَيْصَرٌ لَيَهْلِكَنَّ ثُمَّ لَا يَكُونُ قَيْصَرٌ بَعْدَهُ وَلَتُقْسَمَنَّ كُنُوزُهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَسَمَّى الْحَرْبَ خَدْعَة[1]ً

 

            “Perang itu siasat” (HR. Bukhari Muslim).

 

            Pemahaman terhadap petunjuk hadis hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara  Universal, sebab tidak terkait oleh tempat dan waktu  tertentu. Perang yang di lakukan dengan cara dan alat apapun pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] (Shahih Bukhari- (ج 10 / ص 227

Hadist Ungkapan Simbolik

 

Sebagaiman halnya dalam Al-Quran, dalam hadis Nabi juga di kenal juga dengan adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan suatu ayat ataupun suatu hadis berbentuk simbolik adakalanya mengandung perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada pernyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan bukan sebagai simbolik.

       Berikut akan kami cantumkan contoh hadis yang mengandung ungkapan simbolik

1.      Tuhan “Turun” ke langit Dunia

Nabi SAW bersabda :

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرِّ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ

يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَه[1]    

            “Tuhan kita (Allah) Tabaraka Wata’ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir, Allah berfirman, “Barang siapa yang berdoa kepada ku, niscaya aku kabulkan doanya itu, barang siapa meminta sesuatu kepada ku, niscaya aku memberinya, dan barang siapa minta ampun kepada ku niscaya aku mengampuninya. (HR.Imam Malik fil Muwatta’)

            Ulama yang memahami petunjuk hadis secara tekstual berpendapat bahwa matan hadis tersebut berkualitas lemah (dha’if), bahkan palsu, sebab Allah di gambarkan sebagai naik turun ke langit dunia. Itu berarti Allah di samakan dengan makhluk.[2] Padahal matah hadis tersebut berkualitas sahih bila di fahami secara kontekstual.

            Maksud matan hadis yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan rahmadnya. Malam sepertiga akhir di pilih karena saat yang demikian itu adalah saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyu’ dalam berdoa dan shlata. Dalam keadaan yang penuh kekhusyuan itu maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah di peroleh[3].

            Dengan pemahaman tersebut tidaklah berarti bahwa rahmad Allah tidak turun di luar sepertiga malam akhir. Nabi menyebut waktu tertentu itu dengan maksud untuk menunjukkan kekhususanya.


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] موطأ مالك - (ج 2 / ص 148

[2] Sayyid Shalih Abu Bakr, al-Adhwa’ al-Quraniyyah fi Ikhtishah fi al-Hadih al-Israiliyyat Jilid 2, 161-165.

[3] Suhudi Ismail, Metodologi penelitian Hadis Nabi (Jakarta :Bulan bintang ,1992), 155-158.

Hadist Tamstil (Perumpamaan)

 

Cukup banyak hadis Nabi yang berbentuk Tamthil, berikut ini akan kami kemukakan beberapa di antaranya.

    1.      Persaudaraan Atas Dasar Iman

Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَه[1]

“Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainya” (HR.Imam Muslim)

 

Hadis Nabi tersebut mengemukakan Tamthil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamthil  tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat  oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian bagianya berfungsi memperkokoh bagian bagian lainya, orang orang yang beriman begitu pula seharusnya yakni yang satu memperkuat yang lainya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.

 

    2.       Kembali Dari Haji Seperti Bayi

Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَيَّارٌ أَبُو الْحَكَمِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ[2]

“Barang siapa yang melakukan ibadah haji  karena Allah semata, lalu (selama melaksanakan ibadah haji itu ) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fasik, niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih dari dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia di lahirkan oleh ibunya. (HR. Imam Bukhari)

 

Secara tekstual, hadis tersebut mengbaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji, menurut petunjuk syariah sebagai hari yang dia itu baru saja di lahirkan oleh ibu nya.

Tegasnya, dia itu sperti bayi yang baru di lahirkan oleh ibu nya.

Pemahaman secara kontekstual terhadap petunjuk hadis tersebut ialah bahwa   bagi orang ang berhasil menuaikn ibadah haji, menurut petunjuk syariah maka dia di ampuni segala dosanya  dan di maafkan segala kesalahanya oleh Allah, sehingga ia seperti tatkala baru di lahirka oleh Ibunya.

 

    3.      Dunia Bagaikan Penjara

Nabi SAW bersabda :

 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ[3]

“Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir” (HR Imam Muslim)

 

Teks hadis tersebut dapat di pahami sebagai bentuk Tamthil  dan dapat pula di pahami sebagai bukan berbentuk Tamthil. Kedua pemahaman itu dapat saling melengkapi.

Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya, selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan. Kebahagiaan hidup barulah di rasakan oleh orang yang beriman tatkala sudah berada dalam Surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir hidup di dunia ini adalah surga. Di akhirat orang kafir berada dalam neraka.[4]

Penilaian yang demikian itu wajar timbul karena pemahaman yang di gunakan adalah dengan pemahaman secara tekstual. Padahal, matan hadis tersebut sangat di mungkinkan untuk di pahami secara kontekstual.[5]

 Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas  adalah pemahaman secara kontekstual, yakni kata penjara dalam hadis tersebut memberi petunjuk perintah  berupa kewajiban dan anjuran, di samping adanya larangan berupa hukum haram dan hukum makruh. Bagi orang yang beriman, kegiatan hidup di dunia ini tidak bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara, maka dia di batasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini adalah surga sebab dalam menempuh hidup dia bebas dari perintah dan larangan tersebut.

Dari pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis yang berbentuk Tamthil sebagaimana yang telah di kutip di atas dapatlah disimpulakn bahwa ajaran Islam yang dikemukakanya bersifat Universal.


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] Shahih Bukhari- (ج 2 / ص 289

[2] Shahih Bukhari, Vol. V, 400.

[3] صحيح مسلم - (ج 14 / ص 205

[4] Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual, 11.

Ismail, Suhudi. Metodologi penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan bintang ,1992.

[5] Ibid., 11.

Hadis Yang Singkat Padat Makna

 Jawami’ al-Kalim

Kemampuan Nabi Muhammad SAW mengemukakan Jawami’ al-Kalim,

Nabi SAW bersabda :

 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ فَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ الْأَرْضِ فَوُضِعَتْ فِي يَدِي قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَقَدْ ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتُمْ تَنْتَثِلُونَهَا[1]

            Saya diutus oleh Allah dengan kemampuan untuk menyatakan ungkapan ungkapan yang singkat, namun padat makna. (HR. Bukhari Muslim).

           

            Berdasarkan pernyataan Nabi tersebut maka tidaklah mengherankan  bila banyak di jumpai matan hadis Nabi yang berbentuk Jawami’ al-Kalim[2],. Hal itu merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki oleh sabda-sabda Nabi SAW.

 

            Berikut ini akan kami kemukakan beberapa macam matan hadis yang berbentuk Jawami’ al-Kalim tersebut.

1.      Perang itu siasat

Nabi SAW bersabda :

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلَكَ كِسْرَى ثُمَّ لَا يَكُونُ كِسْرَى بَعْدَهُ وَقَيْصَرٌ لَيَهْلِكَنَّ ثُمَّ لَا يَكُونُ قَيْصَرٌ بَعْدَهُ وَلَتُقْسَمَنَّ كُنُوزُهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَسَمَّى الْحَرْبَ خَدْعَة[3]ً

 

            “Perang itu siasat” (HR. Bukhari Muslim).

 

            Pemahaman terhadap petunjuk hadis hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara  Universal, sebab tidak terkait oleh tempat dan waktu  tertentu. Perang yang di lakukan dengan cara dan alat apapun pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.

 

2.      Minuman Khamar

Nabi bersabda :

حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ[4]

Setiap (minuman) yang memabukkan adalah Khamar, dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram. (HR. Imam Muslim)

Hadis tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman Khamar tidak terkait oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya dalam kebijaksanaan dakwah, dispensasi kepada orang orang tertentu yang di bolehkan untuk sementara waktu meminum Khamar memang ada sebagaimana yang dapat di pahami dari proses keharaman Khamar dalam Al-Quran.[5] Dispensari itu untuk masa sekarang dapat di terapkan, misalnya pada seorang yang baru saja masuk Islam, sedang ia sebelum masuk Islam telah terbiasa meminum Khamar . Dia di perkenankan untuk tidak sekaligus pada saat memeluk Islam menghentikan kebiasaanya itu, dia di perkenankan untuk secara bertahap, tetapi pasti, berusaha menghentikan kebiasaan meminum Khamar[6].

Dengan pemahaman yang demikian itu, maka dapatlah dinyatakan bahwa khamar adalah minumah haram, namun secara temporal, kepada orang orang tertentu, meminum khamar di bolehkan dalam rangka kebijaksanaan dakwah.

 

3.      Mahram karena Susuan

Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنْ الْوِلَادَةِ[7]

“Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram karena kelahiran (keturunan). (HR.Bukhari Muslim)

 

Teks hadi tersebut merupakan penjelasan terhadap ketentuan Al-Quran Surat al-Nisa’: 23. Nabi Muhammad melalui hadis nya menjelaskan bahwa ke-mahram-an atas dasar Susuan berkedudukan sama dengan ke-mahram-an atas dasar keturunan. Ketentuan itu bersifat Universal. Dengan demikian sekiranya ada pihak tertentu bank Asi (air susu ibu), maka faktor ke-mahram-an harus di jadikan bahan pertimbangan utama.

Dari beberapa kutipan hadis Nabi di atas dapatlah di nyatakan bahwa pada umumnya, hadis-hadis Nabi yang berbentuk Jawami’ al-Kalim tersebut, ada juga yang dapat di lakukan pemahaman secara kontekstual dan menunjukkan adanya bagian ajaran Islam yang bersifat temporal, di samping yang Universal[8].


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] (Shahih Bukhari- (ج 10 / ص 145

[2] Abu Bakar Bin al-Sina, al-Ijaz Wa Jawami’ al-Kalim Min al-Sunan al-Ma’thurah.

[3] (Shahih Bukhari- (ج 10 / ص 227

[4] (صحيح مسلم - (ج 10 / ص 258

[5] Lihat surat al-Baqarah:219, al-Nisa’: 43, al-Ma’idah: 90 beserta penjelasan ulama dalam berbagai kitab tafsir untuk ayat-ayat tersebut.

[6] Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual, “Tela’ah Ma’ani  al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal” Pidato Pengukuhan Guru Besar (IAIN Alaudin Ujung Pandang ,1994) Hal, 7.

[7] Shahih Bukhari- (ج 9 / ص 125

[8] Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual. 8.

Ismail, Suhudi. Metodologi penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan bintang ,1992.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...