HOME

05 Maret, 2022

ILMU HADIS DAN SEJARAH PENGHIMPUNANNYA

BAB I

PENDAHULUAN

        A.    Latar Belakang

Sejak masa Rasulullah SAW perhatian para sahabat dan generasi berikutnya seperti tabi’in , tabi’ al-tabi’in, dan generasi setelah tabi’ al-tabi’in terhadap sunnah sangat besar. Mereka memelihara hadis dengan cara menghapal, mengingat ber-mudhakarah, menulis, menghimpun, dan mengkodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadis. Akan tetapi, di samping gerakan pembinaan hadis tersebut, timbul pula kelompok minoritas atau secara individual berdusta membuat hadis yang disebut dengan hadis maud}u’ (hadis palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi kemudian dikatakan dari Nabi SAW.

Berbagai motivasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali  dan pro perdagangan dan lain sebagainya pada masa-masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadis yang berbeda.

Kondisi hadis pada masa perkembangan sebelum pengkodifikasian dan filterisasi pernah mengalami pembauran dan kesimpangsiuaran di tengah jalan sekalipun minoritas saja. Oleh karena itu, ulama bangkit mengadakan riset terhadap hadis-hadis yang beredar dan meletakkan dasar-dasar kaidah penting yang terhimpun dalam ilmu hadis. Ilmu Hadis merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting, terutama sekali untuk mempelajari dan menguasai hadis secara baik dan tepat. Mengingat pentingnya Ilmu Hadis serta sejarah penghimpunannya, maka penulis merasa perlu mengangkatnya untuk dibahas dalam sebuah makalah yang berjudul: “Ilmu Hadis dan Sejarah Penghimpunannya”.

        B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi ilmu hadis secara etimologis dan terminologis? Apa objek dan kegunaan ilmu hadis?

2.      Bagaimana pembagian dan cabang ilmu hadis?

3.      Bagaimana periodesasi sejarah pertumbuhan, pembinaan dan perkembangan ilmu hadis?

4.      Apa saja kitab-kitab ilmu hadis pada Abad IV – VI Hijriyah dan Abad VII Hijriyah sampai sekarang?

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Definisi Ilmu Hadis

        1.      Pengertian Etimologis dan Terminologis

Kata ilmu hadis berasal dari bahasa Arab ‘ilm al-hadist, yang terdiri dari kata ‘ilm dan al-hadist. Secara etimologis, ilm’ berarti pengetahuan[1] jamaknya ‘ulum, yang berarti al-yaqin (keyakinan) dan al-ma’rifah (pengetahuan). Menurut ahli kalam (mutakallimun), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang diketahui (objek pengetahuan). Tradisi di sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.[2]

Sedangkan kata hadis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, berasal dari bahasa Arab al-hadist berarti baru, yaitu الحديث من الاشياء (sesuatu yang baru), bentuk jamak hadis dengan makna ini hidath, hudatha’ dan huduth, dan antonimnya qadim (sesuatu yang lama).[3] Di samping berarti baru, al-hadist juga mengandung arti dekat (القريب), yakni sesuatu yang dekat, yang belum lama terjadi[4] dan juga berarti berita (الخبر) yang sama dengan hiddith yaitu  ما يحدث به و ينقل (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain).[5]

Secara terminologis, hadis oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,

ataupun sifat-sifatnya.[6] Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat, tabi’at dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[7] Dari pengertian di atas, ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabi’at dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Menurut Al-Suyut}i, ilmu hadis adalah,

علم يبحث فيه كيفية اتصال الحديث برسول الله ص.م. من حيث معرفة أحوال رواتها ضبطا وعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالا وانقطاعا وغير ذلك.[8]       

Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. Dari segi hal-ihwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.

 

        2.      Objek dan Kegunaan Ilmu Hadis

Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadit, ada ulama yang menggunakan bentuk ‘ulum al-hadist, seperti ibn Shalah (w.642 H/1246 M.) dalam kitab nya  Ulum al-hadist, dan ada juga yang menggunakan bentuk ilm al-hadist, seperti Jalaluddin al-Suyut}i dalam mukaddimah kitab hadisnya, Tadrib al-Rawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut paut dengan hadis Nabi SAW. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim al-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/114 M) misalnya dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-hadist mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari seratus macam yang masing masing mempunya objek kajian khusus sehingga biasa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.

Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.

            a.)    Ilmu Hadis Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa berarti ilmu-ilmu hadis yang berupa periwayatan.

Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara definisi tersebut adalah definisi ibn al-Akhfani, yaitu:

عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اقْوَالِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا[9]

Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafadh-lafadhnya .

Namun, menurut ‘Itr, definisi ini mendapat sanggahan dari beberapa ulama hadis lainnya karena definisi ini tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Definisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa yang di nisbatkan kepada sahabat atau tabi’in sehingga pengertian hadis yang lebih tepat, menurut ‘Itr, adalah:

عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اقْوَالِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وتقريرته وصفاته وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَ[10]ا

Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW., periwayatanya, dan penelitian lafadh-lafadhnya.

Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, yang meliputi :

1). Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.

2). Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan dan pembukuan hadis dari sudut kualitas nya, seperti tentang ‘adalah (ke-’adil-an) sanad, syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan.

Ilmu hadis riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. dari kesalahan dalam proses periwayan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkan nya sesuai dengan firman Allah SWT.:

لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا. (الاحزاب: 21)

Sesungguh nya  telah ada pada diri Rasul Allah itu suri tauladan yangbaik bagi mu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[11]

 

Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab al-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Syuria). Dalam sejarah perkembangan hadis, al-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW. Atas perintah khalifah Umar bin Abd Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M -102 H/720 M).

Ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasul Allah SAW., bersamaan dengan di mulai nya periwayatan itu sendiri. Sebagaimana diketahui para sahabat menaruh perhatian tinggi terhadap hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka berupaya mendapat kan nya dengan menghadiri majlis Rasul Allah. Dan mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang di sampaikan Nabi Muhammad SAW.

Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang di lakukan Rasul Allah SAW., baik dalam beribadah maupun aktifitas social, serta akhlaq nabi SAW. Sehari hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati hati kepada sahabat lain atau tabi’in, para tabi’in-pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya dan menyampaikanya kepada tabi’in lain atau tabi’ al tabi’in (generasi sudah tabi’in).

Demikianlah, periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW. Berlangsung hingga usaha penghimpunan yang di pelopori oleh al-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan dan pembukuan hadis secara besar besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke 3H, seperti imam al Buhari, imam Muslim, imam Abu daud, imam al Tirmidzi. Dan ulama-ulama hadis lain nya melalui kitab hadis masing masing.

            b.)    Ilmu Hadis Dirayah

Istilah ilmu hadit dirayah, menurut al-Suyuthi, muncul setelah masa al-Khatib al-Baghdadi, yaitu pada masa al-Akfani. Ilmu ini juga di kenal dengan sebutan ilmu ushul al-hadis, ‘ulum al-hadis, musthalah alhadis, dan qowa’id al-tahdits. [12]

Menurut ‘Izzuddin bin Jama’ah, mendefinisikan,

علم بقوانين يعرف بها احوال السند والمتن.[13]

“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.

Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi dan lain-lain.

Sasaran ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut memengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd al-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat sampai kepala periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.

Pokok-pokok bahasan naqd al-sanad adalah sebagai berikut:

1.)    Ittishal al-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm) atau samar.

2.)    Tsiqat al-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat) dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.

3.)    Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh periowayat-periwayat tsiqah lainnya.

4.)    ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan ‘Illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.[14]

Kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naqd al- matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yaitu perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasul Allah SAW. Pokok pembahasannya meliputi:

a.)    Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.

b.)    Fasad al-ma’na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan dengan fakta al-hiss (indra) dan akal, bertentangan dengan nash al-Qur’an dan bertentangan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW. serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan.

c.)    Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan makna yang umum dikenal.[15]

Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah: 1.) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa Rasul Allah SAW. sampai masa sekarang; 2.) mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadis; 3.) menetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut; dan 4.) mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syara’.[16]

Dengan mengetahui ilmu hadis dirayah, kita bisa mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadis. Karena dalam perkembangannya hadis Nabi SAW. telah dikacaukan dengan munculnya ahdis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah, kita dapat meneliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasul Allah SAW., yang sahih, dhaif, dan maudhu’ (palsu).


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


    B.      Pembagian dan Cabang Ilmu Hadis

        1.      Pembagian kajian Ilmu Hadis

Secara garis besar, menurut kajian mutaakhirun, ilmu hadis terbagi menjadi dua, yaitu ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah.

Ilmu hadis riwayah berkenaan dengan riwayat hadis yang berasal dari Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan dan sebagainya. Sedangkan ilmu hadis dirayah berkenaan dengan kaidah-kaidah dan asas-asas yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan sanad dan matan.[17]

        2.      Cabang-cabang Ilmu Hadis

Dari pembagian ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah itu, muncul cabang-cabang ilmu hadis lainnya. Diantaranya cabang-cabang hadis tersebut dibagi menjadi tiga bagian, dilihat dari segi sanad, dilihat dari segi matan dan dari segi sanad dan matan.

Disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal pada sanad adalah: Ilmu Rijal al-hadist, Thabaqat al-Ruwah, Tarikh Rijal al-hadist dan al-Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan antara lain: Ilmu Gharib al-hadist, Asbab al-Wurud al-hadist, Tawarikh al-Mutun, Nasikh wa al-Mansukh dan Talfiq al-hadist. Sedangkan ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan antara lain Ilmu ‘Ilal al-hadist[18].

            a.       Ilmu Rijal al-hadist

Ilmu Rijal al-hadist adalah ilmu yang membahas hal-ihwal dan sejarah para rawi semenjak masa sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadis. Secara terminologis, Ilmu Rijal al-hadist adalah:

عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُم[19]

“Ilmu yang membahas tentang keadaan para periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi-generasi berikutnya”.

Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadis karena kajian ilmu hadis pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal al-hadist mengambil tempat yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang mnejadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.

Bagian dari Ilmu Rijal al-hadist ini adalah Ilmu Tarikh Rijal al-hadist. Ilmu ini secara khusus membahas periahal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan dan murid-muridnya.,

Diantara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab karya Ibnu Abd al-Bar (w. 463 H), Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani dan Tahdzib al-Kamal karya Abu al-Hajjaj Yusuf bin al-Zakki al-Mizzi (w. 742 H.)

            b.      Ilmu Gharib al-hadist

عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ.[20]

Ilmu Gharib al-hadist adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sulit diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.

Ilmu Gharib al-hadist ini membahas lafadz yang muskil dan susunan kalimat yang sulit dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadis.

Pada masa sesudah sahabat, yaitu pada abad pertama dan masa tabi’in sekitar tahun 150 H., bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum dan hanya kalangan terbatas yang memahaminya. Untuk itu, para ahli hadis mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umum dan kata-kata yang jarang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.

Menurut sejarah, orang yang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafadz yang gharib adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210 H), kemudian dikembangkan oleh Abd al-Hasan al-Mazini (w. 204 H).[21]

Tiga kitab gharib al-hadist pada abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid al-Qasami ibn Sallam (w. 224 H), Ibnu Qutaidah al-Dainuri (w. 276 H) dan al-Khaththabi (w. 378 H). Kitab lainnya setelah itu adalah Gharib Alquran dan al-hadist susunan al-Harawi (w. 401 H) dan al-Faiq susunan al-Zamakhsari. Kitab terbesar adalah al-Nihayah susunan Ibn al-Athir (w. 606 H) yang diikhtisarkan oleh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab al-Durr al-Natsir.[22]

            c.       Ilmu Talfiq al-hadist

     Ilmu Talfiq al-hadist adalah:

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرً.[23]

Ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya.

Cara mengumpulkan dalam Talfiq al-hadist ini adalah dengan men-takhsis-kan makna hadis yang ‘am (umum), men-tasydid-kan hadis yang mutlaq, atau melihat berapa banyak hadis itu terjadi. Para Ulama menamai ilmu hadis ini dengan Mukhtalif al-hadist.

Di antara para ulama yang merintis ilmu ini adalah al-Syafi’i (w. 204 H) dengan kitab Mukhtalif al-hadist-nya, dilanjutkan oleh Ibn al-Qutaibah (w. 276 H), al-Thahawi (w.321 H), Ibn al-Jauzi (w. 597 H) yang menyusun kitab al-Tahqiq, yang di-syarah dengan baik oleh Ahmad Muhammad Syakir.[24]

            d.      Ilmu Nasikh wa al-Mansukh al-hadist

Nasakh secara etimologi berarti الازالة (menghilangkan) dan النقل (mengutip, menyalin). Sedangkan secara terminologi adalah:

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai  ‘mansyukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansyukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.[25]

Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadis bila ada dua hadis maqbul yang tanakud yang tidak daoat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai batas pada tingkat Mukhtalif al-hadist, kedua hadis maqbul tersebuat dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), hadis maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.

Bila diketahui mana diantara kedua hadis yang di-wurud-kan lebih dahulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansyukh.

Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rasul Allah SAW. sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.

Perintis ilmu ini adalah al-Syafi’i dilanjutkan oleh Ahmad ibn Ishaq al-Dinari (w. 318 H). Kitab hadis yang disusun tentang Nasikh dan Mansyukh Hadis, diantaranya yaitu Nasikh wa al-Mansukh karya Qatadah bin Di’amah al-Sadusi.[26]

            e.       Ilmu Asbab al-Wurud al-hadist

            Definisi Ilmu Asbab al-Wurud al-hadist adalah:

عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ ِلأَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْه

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW. menyampaikan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya”.[27]

 

Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadis serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadis tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadis, sebagaimana pentingnya asbab al-nuzul dalam memahami Alquran.

Ulama yang mula-mula menyusun kitab Asbab al-Wurud al-hadist adalah Kaznah al-Jubari dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-Bayan wa al-Ta’rif yang disusun oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Husaini (w. 1120 H).[28]

            f.       Ilmu ‘Ilal al-hadist

Pengertian Ilmu ‘Ilal al-hadist adalah:

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan hadis yang berupa menyambungkan (meng-ittishal-kan) hadis yang munqathi’, me-marfu’-kan hadis yang mauquf, atau memasukkan suatu hadis ke hadis lain dan yang serupa dengan itu”. [29]

Abu ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadith menyebutkan bahwa Ilmu ‘Ilal al-hadist adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu sahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan, illat hadis tidak termasuk dalam bahasan jarh sebab hadis yang majruk adalah hadis yang gugur dan tidak dipakai. Illat hadis yang banyak terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang menceritakan hadis yang mengandung illat tersembunyi. Karen illat tersebut, hadisnya disebut ma’lul. Lebih jauh lagi, al-Hakim menyebutkan bahwa dasar penetapan illat hadis adalah hapalan yang semprna, pemahaman yang mendalam dan pengetahuan yang cukup.[30]

    C.     Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan Ilmu Hadis

Sunnah atau hadis sebagai dasar tasyri’ yang kedua setelah Aluran dalam sejarahnya telah melalui beberapa tahapan perkembangan yang cukup panjang. Para ahli berbeda pendapat di dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan penghimpunannya.[31]Dalam makalah ini dijelaskan dalam tiga periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in.

        1.      Hadis pada masa Rasulullah SAW

Seluruh perbuatan, ucapan serta gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya. Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.

Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:

a.) Melalui para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis al- ilmi.

b.) Dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.

c.) Cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti haji wada’ dan futuh makkah.

d.)   Para sahabat dalam menerima hadis Nabi berpegang teguh pada hafalannya, yakni menerima dengan jalan hafalan bukan jalan menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan kemudian makna atau lafadz tergambar dalam dzin (benak) mereka. Pun juga mereka menyampaikan kepada orang lain lewat hafalan pula.[32]

        2.      Hadis pada masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa’ al-Ras}idun yaitu sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan adanya masa pembatasan periwayatan (al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah).[33]

Meskipun begitu Rasul sangat memerintahkan sahabat untuk mentablighkan  hadis seperti dibawah ini:

نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ  مِنِّيْ  مَقَالَتِيْ  مَحَفِظَهَا  وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ[34].

 “Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari pada yang mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi )

 

Hadis  pada masa Abu Bakar dan Umar hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Pada masa ini hadis belum diluaskan karena beliau mengerahkan minat umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Perkembangan hadis dan riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.

Pada masa Utsman dan Ali hadis lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjawab semua permasalahan dalam masyarakat dikala itu.

        3.      Hadis pada masa Tabi’in

Sesudah masa Utsman dan Ali, timbulah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghfal hadis serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis.

Pada tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara islam menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota itu menjadi “perguruan“ tempat mengajarkan al-Qur’an dan hadis yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadis.

Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, ialah Madinah al-Munawarah, Makkah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia.

Intinya pajda masa ini periwayatan hadis masih bersifat dari mulut ke mulut (al-Musyafahat), seperti seorang murid langsung memperoleh hadis dari guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah bahwa  pada masa ini periwayatan hadis sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal dengan Iktsar al-Riwayah (pembanyakan riwayat)[35]

    D.    Kitab-kitab ilmu hadis

        1.      Kitab-kitab ilmu hadis abad IV- VI Hijriah

Menggunakan periodesasi Nuruddin ‘Itr, antara abad ke- IV sampai VII Hijriah adalah masa penyusunan ilmu hadis secara komprehensif dan melimpahya kegiatan pembukuan ilmu hadis, sehingga lahir banyak karya besar di bidang ilmu hadis pada masa ini. Pada abad keempat Hijriah, misalnya, muncul karya-karya yang lengkap di bidang ilmu hadis seperti al-Muhaddith al-Fas}il bayn al-Rawi wa al-Wa’i karya al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H). kitab ini, menurut sebagian ulama, terbilang kitab terlengkap yang paling awal di bidang ilmu hadis.[36] Akan tetapi, karya al-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya, dan diperhitungkan oleh penyusun kitab hadis ketika menyusun kitab di bidang ini.

Pada abad keempat ini muncul pula kitab yang secara spesifik membahas tentang hadis-hadis yang mushkil berjudul: Mushkil al-Athar karya Abu Ja’far al-T}ahawi (w. 321 H?933 M). Meskipun tidak membahas tentang ilmu hadis secara komprehensif, kitab ini layak diperhitungkan karena di dalamnya dibahasa hadis-hadis yang mushkil beserta alasan-alasannya. Demikian halnya karya al-Mu’ammar Abu al-Fad}l S}alih (w. 384 H) yang berjudul Sunan al-Tahdith yang membahas tentang illmu hadis yang relatif lengkap merupakan karya yang dihasilkan pada abad ini. Di penghujung abad IV Hijriah, al-Hakim Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Naysaburi (321-405 H.) menyusun kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadith. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam pembahasan. Namun, seperti karya al-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini menurut al-Jaziri, belum sempurna dan kurang sistematis dibandimg kitab-kitab karya ulama berikutnya.[37] Kitab ini kemudian disempurnakan oleh Abu Nu’aim Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Asfahani (336-430 H) melalui kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah ‘Ulum al-Hadith. Dalam kitab ini mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam Ma’rifah ‘Ulum al-Hadith karya al-Hakim Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Naysaburi.[38]

Kurang lebih setengah abad berikutnya al-Hakim Abu ‘Amr Yusuf al-Namiri al-Qurt}ubi (368-463 H) banyak menghasilkan karya-karya di bidang hadis dan ilmu-ilmunya. Berkenaan dengan ilmu hadis di dalam mukadimah kitab al-Tamhid li ma fi al-Muwat}t}a’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, al-Qurt}ubi mengumpulkan sebagian besar kaidah-kaidah us}ul al-hadith.[39] Kemudian kitab al-Kifayah fi Qawanin al-Riwayah disusun oleh al-Khatib al-Baghdadi (392-463 H) merupakan kitab terlengkap di bidang ilmu hadis. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis dan kaidah-kaidah periwayatan. Menurut Abu Syihab, sebagian besar kajian ilmu hadis telah disusun dalam satu kitab ini.[40] Al-Baghdadi juga menulis kitab al-Jami’ li Akhlaq al-Rawiwa Adab al-Sami’ yang merupakan kitab terlengkap dan terdahulu di bidang tata cara mendengarkan dan meriwayatkan hadis serta hal-hal terkait dengan itu. Di samping itu, ia juga mnyusun kitab Sharf As}h}ab al-Hadith dan Taqyid al-‘Ilm. Menurut Abu Bakar ibn Nuqt}ah, sebagaimana dikutip Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, para ahli hadis setiap kali mnyusun ilmu, setelah al-Khatib al-Baghdadi, selalu mengambil dari kitab-kitabnya.[41]

Ulama yang termasyhur pasca al-Khatib al-Baghdadi di bidang ilmu hadis adalah Abu al-Fad}l ‘Iyad ibn Musa al-Yas}h}abi (476-544 H), yang menyusun kitab al-Ilma’ ila< Ma’rifah Us}ul al-Riwayah wa Taqyid al-Asma’ ada pula yang mnyebutnya al-‘Ilma’ fi D}abt} al-Riwayah wa Taqyid al-Asma’. Demikian pula Abu Hafs} ‘Umar ibn ‘Abd al-Majid al-Mayanji (w. 580 H) menulis kitab Ma la Yasi’u al-Muhaddith Jahluh.[42] Demikian pula kitab al-“Ilal al-Mutanahiyah karya Abu Faraj ibn al-Jawzi (597 H).

Kemudian banyak bermunculan karya-karya setelah itu, yang termasyhur diantaranya karya Taqy al-Din al-S}ahrazuri yang terkenal dengan nama Ibn al-S}alah (577-643 H) dengan kitabnya ‘Ulum al-Hadith yang terkenal dengan Muqaddimah Ibn al-S}alah. Kitab ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat sekitar 27 ringkasannya.

  1. Kitab-kitab ilmu hadis abad VII- Sekarang

Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, setelah Ibn al-S}alah, hampir tidak ditemukan aktivitas penyusunan ulang berdasar kitab-kitab yang sudah ada, yaitu kitab-kitab syarah, meringkas yang panjang lebar, atau memperluas yang ringkas, menertibkan dan lain-lain.[43] Pada masa ini, tidak ada ijtihad baru dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmu hadis kecuali sekedar mngulas kitan-kitab hadis yang sudah ada, berbeda dengan karya-karya ulama awal di bidang ilmu hadis seperti kitab al-Ramahurmuzi dan al-Khatib al-Baghdadi yang mengumpulkan materi berlimpah, yang menjadi sumber penulisan berbagai macam karya ilmu hadis sehingga para penulis kitab ilmu hadis setelah merak mencukupkan dengan menuturkan kaidah-kaidah yang telah mereka rumuskan.

Karya-karya yang muncul pada masa ini diantaranya kitab Fath al-Mughith bi Sharh Alfiyah al-Hadith karya Syam al-Din Abi Khayr Muhammad al-Sakhawi (w. 902 H), kitab Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi karya Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyut}i (849-911 H) yang merupakan syarah dari kitab Taqrib karya Muhyi al-Din Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kedua kitab ini mengumpulkan metode ulama mutaqaddimun dan ulama mutaakhirun dalam kaidah-kaidah ilmu hadis.[44] Demikian pula kitab Tajrid asma’ al-S}ah}abah karya Muhammad ibn Ahmad al-Dhahabi (w. 748 H), Nazh al-Durar fi ‘Ilm al-Athar dan al-Tabs}irah wa al-Tadhkirah karya Zayn al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Husayn al-‘Iraqi (w. 806 H), Nukhbar al-Fikar fi Must}alah Ahl al-Athar dan al-Nukat ‘ala Kitab ibn al-S}alah karya Ibn Hajar al-Asqalani (852 H), Fath al-Mughith Sharah Alfiyah al-Hadith oleh Muhammmad ibn Abd  al-Rahman al-Sakhawi (w. 902 H).

Selanjutnya bermunculan kitab-kitab must}alah al-hadith baik dalam bentuk nadham, seperti kitab Alfiyah al-Suyut}i maupun nasar (prosa). Dari kedua jenis ini para ulama juga memberikan syarahnya seperti kitab Manhaj Dhawi al-Nazar karya Muhammad Mahfudh al-Trimisi, syarah kitab Mandhumah ‘Ilm al-Athar karya al-Suyut}i (w. 911 H). Kitab-kitab yang disusun setelah abad kesepuluh Hijriah diantaranya adalah al-Mandhumah al-Bayquniyah karya ‘Umar ibn Muhammad al-Bayquni (w. 1080 H) dan Tawd}ih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Andhar karya Muhammad ibn  Isma’il (w. 1182 H) dan Qawaid al-Tahdith oleh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi. (w. 1332 H).[45]


Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

BAB III

PENUTUP

    A.    Kesimpulan

1.      Ilmu hadis adalah ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabi’at dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

2.      Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.

3.       Periodisasi pertumbuhan dan penghimpuna hadis dijelaskan dalam tiga periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: Sygma, 2009.

‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.

Ichwan, Mohammad Nor. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media  Group, 2013.

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.

______(al), Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadith, Kairo: Dar al-Fikr, 1989.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

Shabbagh (al), Muhammad. al-hadist al Nabawi, Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972.

Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.

Solahudin, M. Agus. Ulum al-hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Suyut}i (al), Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr. Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Syihab, Muhammad ibn Muhammad Abu. al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Thahhan (al), Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.

Tirmisi (al), Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah. Manhaj Dzawi al-Nazhar, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.


[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 966, 243.

[2] Muhammad ibn Muhammad Abu Syihab, al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), 23.

[3] Muhammad al-Shabbagh, al-hadist al Nabawi, (Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972), 13.

[4] Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nazhar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), 8.

[5] Muhammad al-Shabbagh, al-hadist al Nabawi, 13.

[6] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnahqabl al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), 20.

[7] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-hadist al-Nabawi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 26.

[8] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyut}i, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 5-6.

[9] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 5-6.

[10] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, 26.

[11] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma, 2009), 418.

[12] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 7.

[13] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi, 30.

[14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 77.

[15] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 78.

[16] Ibid., 79.

[17] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 106.

[18] Ibid.

[19] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.), 224.

[20] Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), 211.

[21] M. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan BIntang, 1987), 153.

[22] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 117.

[23] M.Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 164.

[24] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 121.

[25] Ibid., 119.

[26] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 120.

[27] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-hadist, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.), 225.

[28] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, 122.

[29] Ibid., 116.

[30] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadihs, 116.

[31] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Semarang: Rasail Media  Group, 2013), 109.

[32] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-hadist, 230

[33] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 130.

[34] Ibid.

[35] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 133.

[36] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 453.

[37] Ibid.

[38] Muhammad ibn Muhammad Abu Syihab, al-Wasit}, 31.

[39] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 455.

[40] Muhammad ibn Muhammad Abu Syihab, al-Wasit}, 31.

[41] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 456.

[42] Ibid.

[43] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 456.

[44] Ibid., 457.

[45] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, 457.

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...