BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Melebur di antara
dunia sufi dan dunia muhadisin, akan terasa kesenjangan yang nyata. Di mana
kaum sufi lebih menyentuh segala sesuatu dengan batinnya, sedang muhadisin
lebih mengedepankan teori-teori yang tersepakati dan rasional untuk menuju
nilai keabsahan sebuah sabda warisan Nabi SAW.
Selain itu, ilmu
serta wawasan yang didapatkan sufi tidaklah ia dapatkan dari hasil olah piker
otaknya atau melalui proses belajar maupun transformasi dari nenek moyang,
sebagaimana ilmu eksakta zaman dahulu mampu memberikan sumbangsih besar bagi
teknologi masa kini. Melainkan, ilmu tersebut berasalkan langsung dari Tuhannya
tanpa perantara. Imam Ghazali mendeskripsikannya sebagai cahaya dari pelita
gaib, yang mana dapat terengkuh oleh jiwa-jiwa yang jernih nan lembut.[1] Hal
ini seringkali dikenal dengan sebutan kashaf (penyingkapan spiritual).
Sedangkan muhadis
dalam berbagai teori dan perkembangannya tak lepas dari pengaruh campur tangan
perjalanan sejarah dan buah karya dari para pendahulu. Di samping itu dalam
observasinya, seorang muhadis akan membutuhkan perangkat dari ilmu lain,
seperti gramatikal, sejarah dan lain sebagainya untuk mencapai pada keabsahan
yang aktual.
Maka dalam ekspedisi ini, penulis berusaha mencoba menyuguhkan wacana hadis yang berkaitan dengan kedua dunia di atas. Yakni, hadis-hadis yang dinilai sahih secara kashaf sufi, terlebih menurut Ibn ‘Arabi. Dalam tulisan ini, penulis mengambil dua sampel dari jenis hadis tersebut. Pertama, hadis yang mengulas tentang ilmu yang tersembunyi. Kedua, hadis yang mengungkap tentang penciptaan Adam AS. dari segi bentuknya. Namun, sebelum masuk kedalam wacana tersebut, penulis menyinggung tentang otoritas hadis dan juga kashaf, sekaligus paparan singkat siapakah itu Ibn ‘Arabi sebagai pengenalan agar pembaca tak merasa asing, lalu terjadi kesalahpahaman yang tidak diinginkan.
B. Rumusan
Masalah
1. Sejauh mana
otoritas kashaf dalam ilmu hadis?
2. Bagaimana
perspektif Ibn ‘Arabi terhadap hadis tentang penciptaan Adam AS. ?
3. Bagaimana
interpretasi Ibn ‘Arabi atas ilmu yang tersembunyi?
C. Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui
otoritas kashaf dalam ilmu hadis
2. Memahami
perspektif Ibn ‘Arabi tentang hadis penciptaan Adam AS
3. Memahami perspektif Ibn ‘Arabi mengenai hadis ilmu yang tersembunyi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Otoritas Hadis dalam Kehidupan Manusia
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا[2]
“Hai orang –orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[3]
Hadis memiliki
nilai-nilai otoritas tinggi dalam hal beragama, di samping al-Qur’an. Allah
menempatkannya di sisi kitab suci, bukan hanya sebagai penafsir ataupun
penjelas semata. Namun, hadis juga memiliki otoritas untuk mensyariatkan segala
sesuatu yang belum disinggung oleh al-Qur’an. Entah hukum yang disyariatkan itu
berasal dari wahyu ilahi maupun hasil ijtihad Nabi SAW sendiri.[4]
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى[5]
“Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, melainkan ia hanyalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya”.[6]
Kesemua golongan mengamini otoritas hadis tersebut sebagai rujukan kedua dalam shariat, mencakup golongan Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Zaidiyah maupun Imamiyah dan Ibadiyah, terkecuali golongan yang terlalu menyeleweng dalam garis agama. Seperti kelompok-kelompok yang menyempitkan pedoman mereka kepada al-Qur’an saja, hanya karena alasan yang kurang bijaksana. Tak lain dan tak bukan karena terdapatnya hadis-hadis yang lemah secara sanad maupun matannya.[7]
Dalam
observasi menuju keabsahan, hal yang layak dilakukan bagi seorang muhadis
adalah meneliti hadis dari segi sanad melalui perangkat ilmu jarh wa ta’dil.
Dan meneliti bagian matan dengan menggunakan ilmu ‘ilal dan mukhtalaf
hadis serta asbab al-wurud . Yakni matan hadis diukur dan
dibandingkan dengan beberapa elemen, meliputi ayat al-Qur’an, hadis sahih atau
yang bernilai lebih sahih dari hadis yang tengah diteliti, rasio dan ilmu
pengetahuan beserta historisitas.[8] Berangkat
dari sini, tak heran bila seorang al-Ghamary, dalam bukunya secara
terang-terangan menolak pengakuan otoritas hadis yang telah terbukti sanadnya
lemah. Baginya, hadis yang telah terbukti lemah sanadnya melalui perangkat
disiplin ilmu hadis, sudah tidak bisa diterima matannya. Baik kandungan matan
tersebut senada dengan riwayat atau kebenaran yang lain ataupun tidak, baik
hadis tersebut mencapai nilai keabsahan melalui perangkat lain selain disiplin
ilmu hadis.[9]
Sejatinya, pendapat
untuk hadis yang lemah bermacam-macam. Pertama, ada yang menganggap tidak bisa
diamalkan sama sekali, entah itu dalam urusan keutamaan amal atau hukum shariat
sekalipun, sebagaimana al-Ghamary. Kedua, bisa diamalkan secara mutlak seperti
yang diungkapkan Imam Suyuti bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad berpendapat
demikian. Sebab, bagi mereka hadis yang lemah itu lebih baik daripada pendapat
seseorang. Ketiga, bisa diamalkan apabila termasuk dalam perihal keutamaan amal
dan pendapat inilah yang diamini oleh sebagian besar para ulama.
Namun, satu hal yang
perlu diperhatikan. Sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, guru
Imam Bukhari bahwasannya ada sebuah unsur yang membantu seorang muhadis
dapat mengetahui hadis-hadis palsu, yang mana secara zahir sanadnya bernilai
sahih. Unsur tersebut adalah ilmu yang diilhamkan Allah bagi segenap
insan-insan terkhusus.[10]
Maka penting kiranya untuk menyinggung otoritas kashaf dalam dunia
tasawuf, di mana ilham tercakup di dalamnya sebagai salah satu warna dalam
medan penyingkapan spiritual para sufi.
B. Otoritas
Kashaf dalam Hadis Nabawi
Sebelum
berbincang panjang lebar dengan kashaf dalam dunia sufi, eloknya berkenalan
terlebih dahulu dengan makna kashaf itu sendiri. Secara terminologi, kashaf
berarti menyibak tabir. الكشف هو رفع الحجاب Sedang
secara epistemologi sufi berarti menyibak tabir tentang hal-hal yang
berhubungan dengan gaib dan hakikat sesuatu melalui eksistensinya maupun apa
yang tampak. [11]
الاطلاع على ما وراء الحجاب من المعاني الغيبية و الأمور الحقيقية وجودا و شهودا
Kashaf
banyak macamnya, meliputi mimpi, ilham dan wahyu. Kashaf menurut Ibn ‘Arabi
ada dua jenis, hissi dan khayali. Pertama kashaf melalui
panca indera yang nyata, lainnya adalah kashaf melalui firasat dalam
khayal. Tidak ada definisi khusus untuk kedua hal tersebut, hanya saja kita
bisa membedakan di antaranya, yakni apabila kita melihat seseorang atau sebuah
perilaku makhluk maka tutuplah kedua mata kita, apabila hal tersebut masih
tetap ada, maka ia berada dalam alam bawah sadar (khayal). atau dengan
kata lain itulah kashaf khayali. Sedangkan bila hal tersebut
tidak ada, maka kashaf hissi.[12]
Sementara,
mimpi sebagai bagian dari kashaf, bagi para fakih tidak bisa
dijadikan dalil ataupun otoritas dalam Islam. Karena kashaf seperti yang
tadi disebutkan adalah ilmu yang didapatkan secara personal dan tidak dapat
diwariskan kepada khalayak umum. Apalagi, orang dalam keadaan tidur tidak
memiliki tanggungan dan beban. Karena posisi dia bukanlah mukalaf, terlebih
mempunyai hak untuk meriwayatkan sesuatu. Kemudian mimpi sesuai kebiasaannya,
muncul berbanding terbalik dengan kenyataannya, karena ia merupakan
simbol-simbol dan isyarat yang membutuhkan penafsiran dan penakwilan.[13]
Maka hukum-hukum shariat Islam hanyalah berbasis kepada al-Qur’an, sunah, konsensus
para ulama, analogi dan sebagainya.
Kembali
kepada macam-macam kashaf, antara mimpi dan ilham terdapat keterkaitan
semacam hubungan umum dan khusus bagi sebagian ulama. Ilham mencakup mimpi dalam
metodenya, sedang mimpi berarti salah satu jenis dari ilham. Sementara sebagian
ulama yang lain berpendapat di antara keduanya tabayun. Ilham adalah kashaf
dalam kondisi sadar, berbeda dengan mimpi yang termasuk kashaf di kala
tidur. Yang jelas, kesemuanya di atas mencakup mimpi, ilham, ataupun pertemuan
dengan Rasulullah dalam keadaan sadar termasuk beberapa metode yang dapat
menentukan keabsahan sebuah hadis melalui kashaf.[14]
Bentuknya
pun bermacam-macam, seperti terbukanya tabir padanya akan hakikat sebuah hadis
tertentu. Sebagaimana yang dialami oleh Ali bin Abi Talib. Di mana ia
mendapatkan ilham dari Allah berupa petunjuk, ataupun peringatan padanya untuk
mencerna kembali sebuah hadis tentang rahbah, berdasarkan pada kebiasaan
dan bahasa Nabi SAW, serta retorikanya. Diriwayatkan dari Imam al-Mustaghfiry
dengan sanadnya, bahwasannya Ali bertanya kepada seseorang tentang hadis rahbah,
kemudian berbohonglah orang itu kepada Ali. Maka Ali berkata: “Engkau
membohongiku”. Orang tersebut menjawab: “Tidak, aku tidak membohongimu”.
Kemudian berkatalah Ali: “Apakah aku harus mendoakanmu buta terlebih dahulu jikalau
dirimu benar-benar berdusta?”. Ia menjawab: “Berdoalah saja”. Maka berdoalah Ali
seperti demikian, hingga akhirnya orang tersebut benar-benar buta.[15]
Dengan
demikian, perlunya memahami pernyataan Abd al-Rahman bin Mahdi, guru Imam
Bukhari bahwasannya makrifat hadis adalah ilham. Yakni dalam mengetahui hadis,
ilham merupakan unsur penyokongnya.[16]Tak
ayal, Abdullah al-Ghamari menyatakan peranan ilham dalam kritik hadis. “Dan
ulama hadis menelaah ‘ilal-‘ilal hadis yang zahir dan tersembunyi (khafiy)
dengan menggunakan ilham yang dikhususkan Allah kepada mereka, sehingga mereka
mampu mengetahui hadis yang maudu‘ meskipun secara zahir sanadnya sahih.[17]
Mungkin hal inilah yang membuat seorang peneliti mengatakan seorang sufi dalam
menelaah hadis tidak hanya mengandalkan kritik sanad dan matan semata, namun
mereka juga menelisik kandungannya, apabila sesuai dengan kashaf yang ia
peroleh maka hadisnya sahih apabila bertentangan maka hadisnya mardud.
berbeda dengan ulama-ulama zahir meliputi muhadisin, mutakallimin,
fukaha yang mana pembahasan dan ilmunya selalu berkutat dalam daerah dzan,
kebenarannya bersifat relatif bukan absolut.[18]
Adapun
bentuk lainnya yang seringkali disebut dengan al-Rabitah al-Barzakhiyah,
bisa dideskripsikan sebagai komunikasi dua pihak, antara sufi yang tengah
meneliti keabsahan hadis dengan perawi tersebut. Di mana seorang Fulan dalam
tidurnya berjumpa dengan sang perawi asli, kemudian sang perawi dengan serta
merta membenarkan keabsahan hadis yang diduga lemah oleh sebagian kalangan.
Ataupun sebaliknya, malah menyangkal partisipasinya dalam sebuah periwayatan
hadis yang sebelumnya dianggap benar. [19]
al-Rabitah
al-Barzakhiyah
atau dalam istilah lainnya Kashfu al-Qabr, merupakan kontak batin yang
terjadi di antara manusia-manusia yang saleh, ataupun antara syeikh dan
muridnya, yang mana salah satu di antaranya telah berpindah ke alam barzah.
Entah kontak batin tersebut berisikan pengajaran atau nasehat semata. Yang
jelas, arwah syaikh itu tampak dengan jasad aslinya dan mampu dilihat oleh sahibul
kashaf dengan melalui perantara mimpi atau penyingkapan tersebut bisa
terjadi ketika sahibul kashaf berada dalam alam sadarnya alias nyata.
Maupun melalui ziarah makam-makam para syeikh akbar beserta para wali.
Kesemuanya itu bukanlah hal yang baru, karena telah banyak dalil dalam al-Qur’an
dan hadis serta asar para sahabat dan tabiin yang mengungkap tentang hal
tersebut.[20]
Dalam
tarekat Naqsabandiyah, bentuk penyingkapan di atas lebih dikenal dengan sebutan
tarbiyah Uwaisiyah. Kata Uwaisiyah diambil dari sosok Uwais al-Qarni,
seorang tabiin yang belum berkesempatan untuk bertemu dengan Nabi SAW. Namun,
memiliki keistimewaan khusus hingga membuat Ali bin Abi Talib dan Umar bin
Khattab menyalaminya dan memohon kepada dirinya untuk mendoakan mereka berdua.
Hal tersebut tentunya tak lepas dari perintah Nabi SAW. kepada kedua Khalifah
Rashidin sebelum beliau wafat.[21]
Tidak
hanya dua bentuk itu saja, melainkan terdapat bentuk lain di mana sahibul kashaf
dapat melihat Nabi SAW dalam posisi tidur. Di situlah Nabi ditanya tentang
keabsahan hadis yang dipermasalahkan oleh sahibul kashaf, dijawablah
Nabi SAW dengan ingkar jikalau hadis
tersebut palsu, atau dengan penegasan jikalau benar dan sahih. Namun tidak bisa
dikatakan bahwa seseorang yang telah bertemu Nabi SAW. dalam kondisi ini
disebut sebagai sahabat. Karena bagi para muhadis, sahabat adalah
seseorang yang bertemu Nabi SAW. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam
keislamannya.[22]
Dari
sekian hasil kashaf dari berbagai bentuk yang ada, jikalau hasil kashaf
menunjukkan kepada kesahihan sebuah hadis, yang mana secara disiplin ilmu hadis
sendiri hadis tersebut bernilai hasan atau sahih, maka tidak ada pertentangan
mengenai otoritas hadis tersebut. Karena buah dari kashaf dinilai
sebagai penegas, dalam kata lain didapatkannya dua bukti bagi satu perkara.
Kemudian, harus disadari bahwa otoritas dari hasil kashaf yang benar
hanya diperuntukkan bagi sahibul kashaf saja, tidak bagi yang lain. Juga
tidak diperkenankan untuk menyeru khalayak umum untuk mengaplikasikan buah kashaf
yang diperolehnya. Otoritasnya bukanlah publik melainkan individual. Berangkat
dari sini, sebagian ulama menentukan pagar-pagar batasan dalam lingkup otoritas
kashaf yang berasal dari individual selain para Nabi. Dikatakan bahwa
buah kashaf tak berarti apa-apa apabila bersinggungan perihal akidah,
serta hukum shariat mencakup wajib, makruh, mandub. Kecuali apabila berhubungan
perihal keutamaan amal ataupun meliputi berbagai urusan yang berhukum mubah, ia
menjadi hal yang tidak dipermasalahkan.[23]
Di
samping itu, karena otoritas kashaf bersifat individual, tidak bisa
dinafikan bila terkadang tak semua hasil dari penyingkapan spiritual tersebut
bernilai mutlak. Ada yang benar, ada juga yang salah. Dengan demikian, tak
pelak bila sahibul kashaf dihukumi mujtahid. Di kala salah mendapat satu
pahala, sedang di kala benar baginya dua pahala. Maka apabila buah kashaf
bertentangan dengan norma-norma yang telah diajarkan agama, sangat dianjurkan
bagi sahibul kashaf untuk meninggalkannya. Karena tidak ada otoritas
yang terkandung dalam hasil kashaf tersebut. Sebagaimana yang dipaparkan
Ibn ‘Arabi dan Imam Al-Ghazali bahwa hasil ijtihad sahibul kashaf yang
non fakih, hanyalah diperuntukkan dia seorang, dengan ketentuan tidak
menyimpang dari shariat agama yang ada. Namun, bisa saja seseorang yang hatinya
telah diterangi cahaya kebenaran, boleh baginya mengikuti buah kashaf
dari sahibnya bila sesuai dengan nilai-nilai shariat.[24]
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
C.
Studi Kasus I : Hadis tentang
Penciptaan Adam AS
1.
Telaah Hadis tentang
Penciptaan Adam AS
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ
عَلَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ: اذْهَبْ
فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ، النَّفَرِ مِنَ المَلاَئِكَةِ، جُلُوسٌ، فَاسْتَمِعْ
مَا يُحَيُّونَكَ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ، فَقَالَ:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَقَالُوا: السَّلاَمُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ،
فَزَادُوهُ: وَرَحْمَةُ اللَّهِ، فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ
آدَمَ، فَلَمْ يَزَلِ الخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الآنَ "[25]
“Dari
Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda “Allah menciptakan Adam sesuai dengan
bentuknya, postur tingginya 60 hasta, ketika telah diciptakan Allah berfirman:
Pergilah dan beri salam kepada mereka (yakni beberapa malaikat) duduklah dan
dengarkan apa yang akan disalamkan kepadamu, sesungguhnya itu adalah salammu
dan keturunanmu, maka ketika ia berkata: Assalamu alaikum, mereka menjawab:
Assalamu alaika wa rahmatullah. Mereka menambahinya dengan lafal: Wa
rahmatullah. Setiap manusia yang masuk surga, tubuhnya akan berpostur
seperti Adam AS. anak cucu Adam AS. diciptakan semakin kecil hingga sekarang”.
Hadis
ini tertera dalam masterpiece Imam Bukhari sebanyak dua kali. Pertama, dalam
bab permulaan salam nomor 6227. Kedua, dalam penciptaan Adam AS. kesemuanya melalui
riwayat dari Yahya bin Ja‘far, Abd Al-Razaq, Ma‘mar, Hammam dan terakhir Abu
Hurairah sebelum akhirnya berujung ke Nabi SAW. Hanya saja dalam bab penciptaan
Adam AS. posisi Yahya bin Ja‘far digantikan oleh Abdullah bin Muhammad, serupa
dengan apa yang tertoreh dalam kitab Jami‘ Ma‘mar bin Rashid, bab etika
mengucapkan salam dan menjawabnya, nomor 19435.
Pula
tertera di buah karya Muslim sebanyak dua kali, meski dengan lafal yang tak
sama. Pertama, dalam bab larangan menampar, terdapat hadis yang selaras, tak
jauh dari cuplikan penciptaan Adam AS. dikatakan, dari Nasr bin Ali al-Jahdami,
dari ayahnya, dari al-Muthana, dari Muhammad bin Hatim, dari Abd al-Rahman bin
Mahdi dari al-Muthana bin Said, dari Qatadah, dari Abi Ayyub dari Abu Hurairah
berkata: Rasulullah SAW bersabda, dan dari hadis Ibn Hatm dikatakan : Nabi SAW
bersabda: “ apabila salah seorang dari kalian membunuh saudaranya, baginya
menghindari wajah, karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam AS berdasarkan
bentuknya.[26]
Kedua,
terangkum dalam bab masuk surga, dengan lafal matan yang sama dengan hadis yang
telah disebutkan di awal tadi dan jalur sanad yang agak sedikit berbeda.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Rafi’, Abd al-Razaq, Ma’mar, Hammam bin Munabbih
berkata: inilah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Sebagian dari
hadis tersebut ialah sabda Rasulullah SAW tentang penciptaan Adam AS. [27]
Sedang
dalam Sunan Tirmidhi, matan dan sanad hadis agak berbeda dari riwayat
yang telah ada. Diriwayatkan dari Muhammad bin Bashar, dari Safwan bin Isa dari
al-Haris bin Abd al-Rahman bin Abi Dhubab dari Said bin Abi Said al-Maqbury
dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Ketika Allah menciptakan Adam
dan dihembuskan ruh kepadanya, ia bersin. Maka berkatalah: Alhamdulillah.
Memujilah ia kepada Tuhannya dengan izinNya. Maka berkatalah Tuhannya
kepadanya: Allah telah merahmatimu hai Adam, pergilah engkau ke segerombolan malaikat
itu, kemudian duduklah dan katakanlah kepada mereka: assalamu alaikum..”. Al-Albani
menghukuminya sebagai hadis hasan sahih.
Selain itu, Tabrani juga
meriwayatkan dalam Musnad al-Shammiyin. Ia menggunakan sanad dari
jalur Ahmad bin Abd al-Wahab, Abu Zaid Ahmad bin Abd al-Rahim. Keduanya berkata
Abu al-Yaman telah meriwayatkan hadis ini kepada kami, dari Shuaib, Abu al-Zinad
dari Musa bin Abi Uthman dari Abu Hurairah lalu Nabi SAW.[28] Jalur
sanad memang berbeda, namun matan hadis yang diriwayatkan serupa dengan riwayat
Bukhari.
Tak
jauh dari riwayat-riwayat di atas, Musnad Ahmad juga turut menyuguhkan
riwayat hadis tentang penciptaan Adam. Namun kiranya, matan hadis serta
sanadnya lumayan berbeda dengan riwayat sebelumnya. Hanya saja, sanadnya masuk
dalam kategori hadis yang berhukum sahih berdasarkan konsep keabsahan hadis
Imam Muslim. Kurang lebihnya, Musnad memuat hadisnya seperti berikut:
diriwayatkan dari Affan dari Hammad, keduanya memakai lafal haddathana,
kemudian dari Thabit dengan lafal akhbarana, dari Anas, Rasulullah SAW
bersabda: ketika Allah menciptakan Adam, ia membentuknya, kemudian
membiarkannya berada di dalam surga dengan kehendakNya.[29]
Dari
kesemua di atas, dapat dikatakan bahwa hadis tentang penciptaan Adam berdasarkan
bentuknya adalah benar adanya. Dan tetap berhukum sahih meskipun matan-matan
yang ditemukan berbeda-beda dan hukum transmisi yang tak semua sama. Salah satu
sebabnya karena hadis ini terhimpun dalam kedua kitab sahih, Bukhari dan
Muslim. Maka riwayat hadis yang berbeda tapi masih dalam satu nada tidak
dinilai sebagai pelemah keabsahan hadis ini melainkan sebagai penguat.
2.
Perspektif Ibn ‘Arabi tentang
Hadis Penciptaan Adam AS
Kali
ini damir ha’ dalam kata suratihi menjadi buah kontroversi. Ia
cukup mengundang perselisihan pendapat di kalangan ulama yang mencoba berupaya
menginterpretasi kandungan matan hadis tersebut. Bagi sebagian ulama, ha’ yang berarti
“nya” dipahami sebagai damir yang kembali kepada Adam, sebagai lafal
yang terdekat dan terasa lebih berhak sebab sebagaimana yang diketahui dalam
ilmu gramatikal, damir kembali kepada lafal yang lebih dekat. Sementara
pihak lain memahami bahwa damir tersebut kembali kepada Allah, subyek
yang menciptakan. Maka tak ayal bila interpretasi yang dihasilkan kedua belah
pihak berlainan, bahkan sangat berseberangan.[30]
Bagi
kalangan pertama yang mengatakan bahwa kata pengganti kembali ke Adam, memahami
secara zahir, bahwa Adam diciptakan oleh Tuhan dengan postur tubuh yang telah
dimilikinya. Dalam artian, sebelum penciptaan Adam, Allah telah mengetahui
bagaimana postur tubuh Adam setelah diciptakan, karena Allah Maha Mengetahui
atas apa-apa yang terjadi dahulu, sekarang dan mendatang. Maka bentuk Adam
telah menjadi bagian dari ilmu Allah yang dahulu masih belum terwujudkan, namun
akhirnya dengan kehendakNya ilmu tersebut teraplikasikan dan terwujudkan.[31]
Interpretasi
di atas sangat jauh berbeda dengan pemahaman Imam Ahmad bin Hanbal. Terbukti
ketika Abu Thaur memahami seperti apa yang dianggap para ulama kalangan
pertama, Imam Ahmad langsung serta merta menyanggahnya, bagaimana bisa
menganggap Allah menciptakan dengan melihat contoh yang ada. Lalu contoh postur
seperti apakah yang dikatakan sama persis dengan Adam, sampai ia diciptakan
sesuai contohnya itu. Maka yang diinginkan Imam Ahmad adalah pendapat yang tak
jauh dari kalangan ulama kedua. Bahwa kata pengganti “nya” kembali kepada Allah
SWT.[32]
Anggapan
yang terakhir akan menimbulkan interpretasi yang berbeda. Pemahaman mereka
didukung dengan adanya hadis riwayat Tabarani dan Ibn Asakir yang menggunakan Al-Rahman
sebagai pengganti damir ha’. Hadis Tabarani ini meskipun dinilai daif
oleh para muhadisin, namun ia bernilai sahih secara kashaf
seperti yang diungkapkan Ibn Arabi. Dengan kembalinya damir ha’ kepada Allah,
maka manusia yang diciptakan dengan surah ilahi. Dengan maksud
bahwa sifat-sifat Tuhan juga berada pada diri manusia. Seperti kekuasaan,
manusia juga mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan memelihara apa-apa yang ada
dalam alam semesta.[33]
Dengan
demikian, lafal surah dalam pandangan Ibn Arabi juga tidak bisa diartikan
sebagai bentuk dzat. Namun perumpamaannya seperti orang yang sedang bercermin.
Ketika ia menghadapkan dirinya di depan kaca, tentunya akan tampak sosok yang
serupa dengannya. Apa yang ada dalam diri orang yang sedang bercermin, semuanya
tampak jelas dan sama dalam gambaran yang dipantulkan oleh kaca. Tidak ada yang
berbeda, sekilas tampak sama. Namun sejatinya, hakikat gambaran yang muncul
dari kaca bukanlah hakikat sosok yang sedang bercermin. Mereka berdua tidak
sama dari segi status kedudukan maupun dzat. Sosok itu adalah dzat, gambaran
itu adalah bayangan saja. Seperti itulah keterkaitan antara Adam (Al-Insan Al-Kamil)
dengan Tuhannya.[34]
Seakan-akan seorang manusia yang
telah mencapai tingkatan al-insan al-kamil mampu memancarkan sifat-sifat
ketuhanan. Akan tetapi sekali lagi, ia bukanlah Tuhan. Hanya saja hal tersebut
timbul karena adanya pengaruh dari “cermin” tadi. Orang yang bercermin tadi adalah
perumpamaan dari Allah, sedang sosok yang tampak dari balik kaca adalah
manusia. Allah adalah Sang Pencipta. Sementara manusia adalah makhluk
ciptaanNya. Gerak sosok yang tampak dari balik kaca tersebut mempunyai
keterbatasan, ia takkan bisa bergerak sesuka hati, bertindak lebih dari apa
yang dilakukan orang yang sedang bercermin. Karena ia adalah wujud
representasi, maka ruang geraknya pun tak luput dari pengaruh orang yang sedang
bercermin itu. Tidak ada ceritanya, orang yang sedang minum kopi bercermin,
sedang pantulan dari balik kaca menampakkan dirinya tengah menonton televisi.
Begitulah manusia, ia tetaplah hamba, statusnya tidak akan pernah berubah
menjadi Tuhan seketika.[35]
Sementara
itu lafal surah sendiri dalam kosakata bahasa Arab memiliki makna
sebagai kondisi ataupun perintah. Maka hadis yang memuat matan “Allah
menciptakan Adam berdasarkan surahNya, bisa bermaknakan sesuai dengan
kondisiNya atau perintahNya. [36]
D. Studi Kasus II : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
1.
Telaah Hadis tentang Ilmu
yang Tersembunyi
رواه سفيان بن عيينة عن ابن جريج عن عطاء عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العلماء بالله فإذا نطقوا به لا ينكره إلا أهل الغرة بالله.
Diriwayatkan
oleh Sufyan bin Uyainah dari Juraij dari ‘Ata’ dari Abu Hurairah, Rasulullah
SAW. bersabda: “Sesungguhnya terdapat bagian dari ilmu yang tersembunyi, hanya
para ulama Allah yang mengetahuinya, maka apabila mereka membicarakannya, hanya
orang-orang yang lalai akan Allah yang mengingkarinya”.
Abu
Abdurrahman al-Sulaimi meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab al-Arbain fi al-Tasawwuf,
sanadnya ia dapatkan dari Hamid Al-Harwi bersambung ke Nasr bin Muhammad bin al-Harith,
lalu Abd al-Salam bin Salih kemudian barulah sampai pada sang muara Sufyan bin
‘Uyainah.[37]
Kesemua rantai sanad di atas terhubung dengan lambang periwayatan haddathana,
kecuali rantai terakhir yang menghubungkan antara Abd al-Salam bin Salih dan
Sufyan bin Uyainah, menggunakan lafal ‘an. Dalam istilah muhadisin,
haddathana yang berarti telah diriwayatkan kepada kami, memiliki
otoritas lebih tinggi dibandingkan lafal ‘an. Lafal pertama memuat kabar
bentuk transmisi yang jelas, sedang lafal kedua meskipun berpotensi memiliki
makna yang sama, akan tetapi tetap saja ia mengandung bentuk transmisi yang
samar. Tak elak bila yang pertama dinilai lebih actual dalam menyampaikan
fakta.
Selain itu al-Dailamy juga meriwayatkan hadis
tersebut dalam Musnadnya, Musnad al-Firdaus. Sanad yang digunakan
berbeda dengan al-Sulaimi. Hadis yang diriwayatkannya memakai jalur sanad Abu
Abd al-Rahman. Meskipun, pada akhirnya al-Mundhiri melemahkannya dan al-‘Iraqi
dalam kita Takhrij Ahadith al-Ihya’ turut mengamini hal tersebut.[38]
Dalam
buku al-Targhib, al-Tibby memaparkan sanad hadis di atas dengan jalur al-Qadi
Abu Bakar Ahmad bin al-Hasan, berlanjut ke Abu Ali Hamid bin Muhammad al-Rifa al-Harwy,
lalu Nasr bin Ahmad al-Bauzijani. Semuanya menggunakan lafal anba’ana,
kemudian dilanjutkan ke Abd al-Salam bin Salih dengan lafal transmisi haddathana,
barulah bersambung ke perawi pokok yakni Sufyan bin Uyainah sampai akhir.
Sedang golongan lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut melalui jalur sanad
Abi Salt Abd al-Salam bin Salih al-Harwy. Sementara, Abd al-Salam al-Harwy
dikenal perawi yang lemah kapabelitasnya. Mau tak mau, hal ini berakibat pada
kelemahan otoritas hadis yang diriwayatkan.[39]
Ditambah
lagi, penulis pribadi tidak menemukan hadis ini dalam kutub al-sittah, 6 kitab
monumental dan muktabar dalam bidang hadis. akan tetapi terdapat riwayat senada
dengan hadis tersebut dalam kitab ‘Awarif Al-Ma‘arif. “Ia adalah
rahasia-rahasia Allah, yang ditampakkan kepada para wali yang amanah dan
insan-insan yang mulia tanpa adanya proses belajar. Dan ia adalah bagian dari
sekian rahasia yang tak tersentuh tabirnya kecuali orang-orang yang khusus”.[40]
Begitu
juga yang dikatakan oleh Abu Sa‘id al-Kharraz, ia berpendapat bahwa bagi
golongan manusia yang telah mencapai tingkatan arif, mereka mempunyai
lumbung tersendiri yang mana mampu memuat dan menyimpan berbagai ilmu yang berbau
aneh dan pengetahuan yang ajaib. Mereka memperbincangkannya melalui lisan yang
abadi dan menjabarkannya dengan retorika azali,[41]
serta ia merupakan bagian dari ilmu yang samar.[42]
Ditambah
lagi dengan adanya hadis Nabi SAW lainnya yang masih senada dengan hadis
tentang ilmu yang tersembunyi. Berisikan sebagai berikut: “Allah SWT. Berkata:
“Hai ulama, sesungguhnya ilmuKu takkan kuberikan padamu kecuali karena
pengetahuanKu atas dirimu, bangkitlah sesungguhnya aku telah mengampuni kalian”.
Diriwayatkan oleh Ibn ‘Adiy melalui Wathilah bin al-Asqa marfu’
(bersambung hingga Rasulullah SAW) dan dihukumi munkar oleh sebagian ulama.
Namun, masih terdapat jalur sanad yang lain melalui Ibn ‘Adiy dari Abu Musa al-‘Ash‘aryn
marfu’. Jua termaktub dalam al-Lali’i seperti yang dikatakan al-Shaukani,
bahwa para perawi dalam periwayatan hadis ini dinilai berkapabelitas dan
terpercaya (‘adil dan dabit) serta hadis ini masih memiliki
beberapa jalur sanad yang lain.[43]
2.
Perspektif Ibn ‘Arabi tentang
Ilmu yang Tersembunyi
Dalam
pandangan Ibn Arabi, hadis tersebut merupakan hadis sahih melalui kashaf
menurut ahlinya. Benar adanya, bila terdapat sebagian ilmu yang bersifat
tersembunyi. Namun, pada hakikatnya ilmu tersebut tidak tersembunyi secara
mutlak. Karena apabila hal itu terjadi, maka tidak akan ada ulama satu pun yang
mengetahui tentang eksistensi ilmu tersebut dan perkara tersebut hanya Allah
lah yang tahu. Akan tetapi sekali lagi, pada kenyataannya Allah menganugrahi
dan mewarisi ilmu tersebut kepada manusia, meskipun hanya kepada insan-insan
tertentu. Dengan demikian ilmu tersebut tetaplah tersembunyi, meskipun tidak
seutuhnya.[44]
Sebagaimana
yang kita ketahui, pengetahuan insan akan Tuhannya akan membuatnya mewarisi segala
ilmu-ilmu yang Allah berikan dan diajarkan padanya. Tak ayal, ilmu-ilmu ini
hanya akan diberikan kepada komunitas manusia tertentu saja, bukan bersifat
umum. Karena tidak bersifat umum inilah, maka setiap individu yang tergolong dalam
komunitas khusus ini diperkenankan untuk tidak memperbincangkan perkara ini di
depan khalayak ramai. Mengapa? sebab kembali kepada hal pertama tadi, bahwa
hanya insan-insan tertentu yang memperoleh anugerah tersebut, juga hanya mereka
yang mengerti sepenuhnya tentang perkara di dalamnya. Maka apabila
diperbincangkan di khalayak ramai di mana kapabelitas akal dan kualitas iman
manusia berbeda-beda, tak pelak akan menimbulkan perseteruan dan pengingkaran
dari golongan orang-orang yang merasa lebih tahu akan Tuhannya, namun pada
kenyataannya lalai.[45]
Dan
jika suatu saat, timbul padanya sebuah rasa pemaksaan ataupun layaknya seperti
perintah, yang ia dapatkan melalui penerawangan spritualnya atau kashaf,
namun tidak sesuai dengan pilihannya, maka ketika ia kerjakan dan menimbulkan
pertentangan, manusia yang terkhusus itu tidaklah bersalah. Juga tidak
melanggar apa yang ada. Karena sejatinya, ia hanya mengerjakan perkara yang ia
ketahui saja, tidak lebih. Dengan demikian, tindakan yang ia perbuat tidaklah
membahayakannya, bahkan Allah pun mengampuninya.[46]
Tak
salah bila dikatakan ilmu yang bersifat tersembunyi ini diketahui secara
individual dan tak bisa diwariskan. Lain halnya dengan ilmu yang didapat dari
hasil olah pikir. Ilmu tersebut masih bisa untuk dipindahkan, diwariskan kepada
generasi selanjutnya yang berkompeten. Masih dapat diwariskan karena terdapat dalil-dalil,
atau bukti-bukti secara logis, sehingga dapat diterima rasio dengan mudah.
Sedang ilmu yang khusus itu tidak demikian. Ilmu tersebut didapat tanpa ada
proses berpikir. Ia seperti anugerah yang tidak bisa ditolak, dan mampu
diterima walau tanpa dalil apapun seketika.[47]
Tak
heran, bila sebagian dari komunitas mereka mengatakan bahwa ilmu itu di luar
dari daya otak, jauh dari rasionalitas yang sangat tinggi. Statement mereka
bersandar pada kalam ilahi yang menyinggung tentang kisah Nabi Khidir AS. “
Telah kami ajarkan padanya ilmu dari sisi kami”.[48]
Dan firman Allah di surat al-Rahman “Mengajarinya al-Bayan”.[49]
Dari kata-kata ‘allamahu (mengajarinya) diambillah benang merah bahwa
ilmu ini didapatkan melalui pengajaran, yang berasal dari Allah langsung kepada
hambaNya tanpa perantara melainkan melalui penyingkapan spiritual. Telah kita
ketahui bersama bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bukanlah hal yang
aneh bila ia mengajari hambaNya segala sesuatu di berbagai urusan, karena Ia
bertindak sesuai dengan kehendakNya. Ada ilmu yang mampu dicerna rasio manusia,
adapula yang tidak, namun tak mustahil bila terjadi. Terkadang, adapula yang
sama sekali tidak bisa dicapai akal dan mustahil untuk terjadi. Karena kita semua
tahu, di sana ada kawasan yang tidak bisa disentuh oleh otak. Tak pelak bila
disebut jauh dari hasil olah pikir manusia.
Dengan demikian, maklum adanya bila ilmu-ilmu yang dianggap tersembunyi tersebut tidak bisa dikupas secara nyata. Karena ia seperti ilmu tentang rasa, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
BAB
III
PENUTUP
Berbicara tentang nilai-nilai kebenaran dalam agama tentunya takkan lepas dari perselisihan, perbedaan pendapat. Hal itu wajar dan manusiawi, karena setiap kepala mempunyai ide dan cara berpikir tersendiri yang dianggapnya benar. Tidak elok kiranya, bila saling menyalahkan dan menjustifikasi hanya pada dirinya kebenaran berada. Seperti yang diungkapkan Syaikh Ibrahim Mali, dalam mencari kebenaran bolehlah kita berpegang pada suatu mazhab, namun hendaklah jangan sampai terpungkur dalam kefanatikan lalu dengan mudahnya menyalahkan. Maka perselisihan pendapat dalam menginterpretasi sabda sabda Nabi kesemuanya bertujuan untuk mencapai pada nilai kebenaran. Maka selanjutnya kembali pada diri sendiri dalam mencari kebenaran dengan berbekal kejernihan hati dan kebijaksanaan diri tanpa memandang sebelah mata salah satu diantaranya.
[1] Al-Ghazali, Risalah al-Imam al-Ghazali,
(Kairo: Maktabah Tauifiqiyyah, t.th), 287.
[2] al-Qur’an, 4 : 59.
[3]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul
‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 87.
[4] Muhammad Muhammad Zahwu, al-Hadith
wa al-Muhaddithun, (t.tp: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th), 44.
[5] al-Qur’an, 53 : 3-4.
[6]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul
‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 526.
[7]Abdullah bin Muhammad bin
al-Siddiq al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al-Ahadith al-Shadhah
al-Mardudah, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2007), 17.
[8] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 192.
[9] Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin al-Siddiq
al-Ghamary, al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu Rabbi fi Surati
Shab Amrad, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2009), 9.
[10] al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid
al-Maqsudah, 18.
[11] Sayyid Sharif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta‘rifat, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1983), 184.
[12] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Naqd Al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus, (t.tp, 1375), 162-163.
[13] Ali Jum’ah, Mada Hujjiyah al-Ru’ya
‘inda Al-Usuliyin, (Kairo: Dar al-Risalah, 2004), 86.
[14] Muhammad Aunul Abid Shah, ‘An al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda al-Sufiyah, (t.tp, 2012), 3.
[15] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Nafahat
al-Ins min Hadrat al-Quds, tahkik Muhammad Adib al-Jadir, (Beirut: Dar
al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), 38.
[16] Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala’ (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), Vol 7, 594.
[17] Al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah, 18.
[18] ‘Abdurrahman bin Muhammad
Al-Murakibi, Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy, (Kairo: Dar
al-Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987), 196.
[19] Muhammad Najm al-Din al-Kurdi, al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa Al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah, (Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008), 298-308.
[20] Ibid., 298-308.
[21] Al-‘Allamah Al-Sindi, Fath al-Wadud
bi Sharh Sunan Abi Dawud, tahkik. Najm al-Din al-Kurdi, (Kairo: Maktabah
Kurdiyah, 2008), 1-38.
[22] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh
Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi Taudihi Nukhbat al-Fikr, (Kairo: Dar al-Basair,
2011), 111.
[23] ‘Abd al-Fattah Ahmad Qutb, al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah, (Kairo: Muassasah Qurtuba, 2005), 92.
[24] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th), 3-18. Lihat
juga Mahmud Mahmud Ghurab, Al-Tariq ila Allah –al-Syeikh wa al-Murid- min Kalam
al-Syaikh Al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi, (t.tp, t.th), 51.
[25] Muhammad bin Ismail Abu
Abdillah Bukhari, Sahih Bukhari, tahkik Muhammad Zahir bin Nasir al-Nasir,
(t.tp: Dar Tauq al-Najah, 1422 H), 50.
[26] Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, tahkik Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya’ Turath, t.th), Bab al-Nahyu ‘an al-Darb…, Vol. IV, no. hadis 2612, 2017.
[27] Ibid., no. hadis 2841, 2183.
[28] Tabarani, Musnad al-Shammiyin li al-Tabarani, tahkik Hamdi bin ‘Abd al-Majid al-Salafi, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1984), bab Shuaib dan Abu Zinad ‘Abd, no. 3357.
[29] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Tahkik Shu‘aib al-Arnaut, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2001), Vol. XXI, no. hadis 13661.
[30] Mahmud Mahmud Ghurab, al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syeikh al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi, (Damaskus: Dar Al-I<man, 2007), Vol. II, 173.
[31] Ibid., 173.
[32] Ibid., 173.
[33] Ibid., 174.
[34]
Ibid., 174.
[35] Ibid., 179.
[36] Ibid., 179.
[37] Ahmad bin Muhammad bin Al-Siddiq
al-Hasani al-Ghamary al-Maghribi, ‘Awatif al-Lataif min Ahadith ‘Awarif al-Ma’arif,
(Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 764.
[38] Lihat Jami’ al-Ahadith, bab Inna al-Muashadadah ma‘a Hamzah, Juz 9, no. 8481, 308.
[39] al-Ghamary al Maghribi, ‘Awatif
al-Lataif, 764.
[40] Abi Hafs Umar bin Muhammad bin
Abdillah al-Sahruradi, ‘Awarif al-Ma‘arif, (Arab Saudi: Maktabah
Makkiyah, 2001), 893.
[41] Maksud dari lisan abadi dan
retorika azali tak lain adalah isyarat bahwa mereka berbicara dengan bantuan Allah.
[42] Ibid., 893.
[43] Ibid., 893.
[44] Mahmud Mahmud Ghurab, al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syeikh al-Akbar Muhyidin Ibn Arabi, (t.tp, 2007), 23.
[45] Ibid., 24.
[46] Ibid., 24.
[47] Ibid., 24.
[48] al-Qur’an, 18:65.
[49] al-Qur’an, 55:4.
Daftar Pustaka
‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Sharh Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi TaudihI Nukhbat al-Fikr. Kairo: Dar al- Basair, 2011.
Bukhari (al), Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Sahih Bukhari. tahkik Muhammad Zahir bin Nasir al-Nasir. t.tp: Dar Tauq al-Najah, 1422 H.
Dhahabi (al), Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad. Siyar A‘lam al-Nubala’. Kairo: Dar Al-Hadith, 2006.
Ghamary (al), Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin Al-Siddiq. al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu Rabbi fi Surati Shab Amrad, Amman: Dar Imam Nawawi, 2009.
Ghazali (al), Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th.
_________. Risalah al-Imam al-Ghazali. Kairo: Maktabah Tauifiqiyyah, t.th.
Ghurab, Mahmud Mahmud. al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn Arabi. t.tp, 2007.
_________. al-Tariq ila Allah –al-Syaikh wa al-Murid- min Kalam al-Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi. t.tp, t.th.
Hajjaj, Muslim bin. Sahih Muslim. tahkik Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi. Beirut: Dar Ihya’ Turath, t.th.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad. Tahkik Shu‘aib al-Arnaut. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.
Hasani (al), Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghamary. al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al- Ahadith al-Shadhah al-Mardudah. Amman: Dar Imam Nawawi, 2007.
Jami (al), Nuruddin Abdurrahman. Nafahat al-Ins min Hadrat al-Quds. tahkik Muhammad Adib al- Jadir. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
________. Naqd al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus. t.tp, 1375.
Jum’ah, ‘Ali. Mada Hujjiyah al-Ru’ya ‘inda al-Usuliyin. Kairo: Dar al-Risalah, 2004.
Jurjani (al), Sayyid Sharif Ali bin Muhammad. al-Ta‘rifat. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1983.
Kurdi (al), Muhammad Najm al-Din. al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah. Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008.
Maghribi (al), Ahmad bin Muhammad bin Al-Siddiq al-Hasani al-Ghamary. ‘Awatif al-Lataif min Ahadith ‘Awarif al-Ma’arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.
Murakibi (al), ‘Abdurrahman bin Muhammad. Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy. Kairo: Dar al- Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987.
Qutb, ‘Abd al-Fattah Ahmad. Al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah. Kairo: Muassasah Qurtuba, 2005.
Sahruradi (al), Abi Hafs Umar bin Muhammad bin Abdillah. ‘Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.
Shah, Muhammad Aunul Abid. ‘An Al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda Al-Sufiyah. t.tp, 2012.
Sindi (al), al-‘Allamah. Fath al-Wadud bi Sharh Sunan Abi Dawud. tahkik. Najm al-Din al-Kurdi. Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Tabarani. Musnad al-Shammiyin li al-Tabarani. tahkik Hamdi bin ‘Abd al-Majid al-Salafi. Beirut : Muassasah al-Risalah, 1984.
Zahwu, Muhammad Muhammad. al-Hadith wa al-Muhaddithun. t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.