HOME

25 Februari, 2022

Pengertian & Bentuk-Bentuk Hadist

Secara bahasa hadis adalah antonim dari kata qadim yang berarti lama.[1] Jadi hadis secara bahasa berarti baru. Hadis juga berati sebuah kabar atau berita.[2] Hadis secara istilah ialah segala sesuatu yang dinisbatkan atau bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan biografi.[3]

1.      Hadis Qawli

        Hadis Qawli adalah seluruh ucapan yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa perintah, nasehat, cerita, berita, doa, maupun jawaban Nabi SAW atas pertanyaan para sahabat.

Contoh- contoh Hadis Qawli:

a.       Perintah

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

“Salatlah kalian -dengan tatacara- seperti halnya kalian melihatku salat.”[4]


b.      Nasehat

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Orang Islam adalah yang tak melukai umat Islam lainnya dengan lisan dan tangannya.”[5]


c.       Berita atau wawasan

إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً غَيْرَ وَاحِدَةٍ مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, 100 kurang satu, barang siapa yang menghitungnya (dengan berzikir) maka ia akan masuk surga.”[6]


d.      Doa

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا لْوَسِيلَةَوَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang memanjatkan doa ini setelah azan berkumandang: “Ya Allah, Tuhan panggilan yang sempurna ini dan salat yang didirikan. Berilah –tuan kami- Muhammad wasilah, keutamaan, kemuliaan, dan derajat yang tinggi. Dan berilah ia tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan,” maka ia berhak menerima syafaatku.”[7] 


e.       Jawaban dari pertanyaan Sahabat

Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW perihal terjadinya hari kiamat? Nabi SAW menjawab:

فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Jika amanah disia-siakan dan tak lagi digubris, maka tunggulah hari Kiamat -akan datang-.”[8]

 

2.      Hadis ‘Amali

             Hadis ‘Amali adalah hadis yang berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW. Mayoritas hadis ‘Amali berbentuk cerita atau pernyataan dari istri-istri Nabi, dan para sahabat.

                 Contoh hadis ‘Amali:

كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ

                        “Rasulullah SAW berpuasa setiap hari Senin dan Kamis.”[9]


3.      Hadis Taqriri

      Hadis Taqriri yaitu sebuah perbuatan atau ucapan yang dilihat atau diketahui oleh Rasulullah SAW dan tidak diingkari keberadaannya.[10]

      Diamnya Rasulullah SAW terhadap sesuatu perbuatan atau ucapan para Sahabat menunjukkan bahwa perbuatan atau ucapan tersebut baik dan dapat ditiru oleh sahabat lain, karena Rasulullah SAW tidak mungkin mendiamkan begitu saja perbuatan atau ucapan yang buruk atau munkar.

      Sikap persetujuan Rasulullah SAW adakalanya hanya dengan diam, dengan senyuman, atau dengan kata-kata yang menguatkan.[11]

                        Contoh hadis Taqriri:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ نُصَلِّى حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّى لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

 “Janganlah salah satu dari kalian mendirikan salat Ashar, kecuali sudah sampai di perkampungan Bani Quraidhoh. Sebagian mereka mendapati waktu Ashar saat perjalanan, lalu berkata, kita tidak boleh salat sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhoh. Sebagian yang lain mengatakan, kita tetap salat. Tidak ada satupun yang membantah –perbedaan pendapat- itu.Dan saat hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW, ternyata Nabi SAW tidak menyalahkan seorang pun dari mereka.”[12]

      Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah  SAW diam dan tidak menyalahkan salah satu dari dua golongan yang berbeda pendapat tersebut. Hal itu sudah cukup menjadi ketentuan bahwa Rasulullah SAW menyetujui perbuatan tersebut.

4.      Hadis Ahwali

      Hadis Ahwali adalah hadis yang menerangkan tentang ahwal, ihwal, sifat, fisik kepribadian Rasulullah SAW,[13] seperti bentuk keperawakan Rasulullah SAW, rambutnya, rupanya, dan lain-lain.

                        Contoh hadis ahwali:

مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِى لِمَّةٍ أَحْسَنَ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شَعْرُهُ يَضْرِبُ مَنْكِبَيْهِ بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ لَيْسَ بِالطَّوِيلِ وَلاَ بِالْقَصِيرِ

“Tidaklah pernah aku lihat seseorang yang mempunyai rambut sebahu yang mengenakan pakaian warna merah lebih tampan dari Rasulullah SAW. Beliau memiliki rambut sebahu, berbadan gagah dan atletis, tidak pendek dan tidak pula tinggi sekali.”[14]

 

5.      Hadis Hammi

         Hadis Hammi adalah hadis yang berupa keinginan Nabi SAW dan belum atau tidak terealisasikan/tidak dilakukan oleh Nabi SAW, seperti keinginan Nabi SAW membakar rumah-rumah orang yang tidak mau salat Jumat dan salat Jamaah.[15]

                        Contoh hadis Hammi:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

“Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan salat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang menjadi imam. Kemudian aku pergi bersama beberapa orang dengan membawa seikat kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri salat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka.”[16]

Baca juga artikel yang lainya:


[1]‘Ali ‘Abd al-Basit Mazid, Mu’jam al-Mustalahat al-Hadithiyyah...,  36.

[2]Bakri Syekh Amin, Adab al-Hadith Al-Nabawi (Beirut: Dar al-Shuruq: 1981), 9.

[3]Ibid.,10.

[4]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’u Al-Sahih..., Hadis nomor 634.

[5]Ibid., Hadis nomor 10.

[6]Muhammad bin Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi..., Hadis nomor 3849.

[7]Muhammad Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’u Al-Sahih...,  Hadis nomor 617.

[8]Ibid., Hadis nomor 59.

[9]Ahmad bin Shuaib al-Nasai, Sunan al-Nasai...., Hadis nomor 2376.

[10]Yusuf Al-Qardawi, al-Madkhal li Dirasat al-Sunnah al-Nabawiyah..., 32.

[11]Ibid., 33.

[12]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’u Al-Sahih..., Hadis nomor 4169.

[13]Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 18.

[14]Muslim bin Hajjaj, al-Musnad al-Sahih..., Hadis nomor 6211.

[15]Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu al-Amal min Musthalahi al-Hadith wa Al-Rijal..., 44.

[16]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’u Al-Sahih..., Hadis nomor 647.       

24 Februari, 2022

Teori Kesahihan Hadist

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama. Kedua, diisi oleh sunah Rasulullah SAW yang diutus oleh Allah SWT untuk menjelaskan isi al-Qur’an secara rinci. Rasulullah SAW sendiri adalah contoh praktis dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Oleh karenanya, sejak zaman Nabi hingga sekarang kaum muslimin menjadikan sunah sebagai sumber hukum dan penuntun akhlak selain al-Qur’an.

Sunah yang diwariskan Rasulullah SAW kepada umatnya memiliki kedudukan tersendiri untuk al-Qur’an. Apalagi fungsi sunah terhadap al-Qur’an yang menjadikannya istimewa tetapi tidak semua sunah bisa dijadikan hujjah. Hal ini karena banyak faktor semisal tingkat kecermatan perawi. Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawattir sehingga tidak perlu lagi untuk menelitinya. Berbeda dengan hadis yang memiliki banyak varian sehingga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kehujjahannya.

Tidak semua Sunnah Rasulullah SAW bisa dijadikan hujjah bahkan harus memenuhi syarat shahih. Syarat shahih tidak hanya dari segi sanad tetapi juga harus sahih dari segi matan. Hadis yang sahih dari segi sanad dan matan dipastikan bisa dijadikan hujjah. Oleh karenya ulama salaf berupaya untuk membuat teori ke-shahih-an hadis. usaha ulama salaf ini kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama sesudahnya. Oleh karenanya perlu untuk mengetahui metode ke-shahih-an hadis. 


B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hadis shahih?

2. Apa saja kriteria ke- shahih-an sanad dan matan hadis?


C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui maksud hadis shahih.

2. Untuk mengetahui kriteria ke-shahih-an sanad dan matan hadis.

Baca selengakapanya artikel tersebut...........>>>>>>>>>>


Hadist Tentang Keringanan Siksa Abu Lahab Setiap Hari Senin

 

Hadis tentang keringanan siksa Abu Lahab setiap hari senin

قَالَ عُرْوَةُ، وثُوَيْبَةُ مَوْلاَةٌ لِأَبِي لَهَبٍ: كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا، فَأَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ، قَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَة

Urwah berkata: Thuwaibah dulunya budak perempuan Abu Lahab. Abu lahab membebaskannya, lalu dia menyusui nabi, tatkala abu lahab meninggal dia diperlihatkan kepada sebagian keluarganya (dalam mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia (keluarganya) berkata kepadanya  “apa yang engkau dapatkan?" abu lahab menjawab saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi inum sebanyak ini (sedikit) karena saya memerdekakan Thuwaibah.

Hadis ini diriwayatkan secara mursal (diriwayatkan oleh ‘Urwah, seorang tabi’in). seharusnya ia termasuk hadis yang tertolak namun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ada yang berpendapat boleh dijadikan hujjah dengan syarat yang me-mursal-kannya adalah orang yang thiqah. Ada pula yang berpendapat bahwa hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena sifat rawi yang digugurkan tidak diketahui. Terlepas dari perbedaan tersebut, melihat rawinya yakni ‘Urwah yang termasuk thiqah maka penulis lebih cenderung sepakat dengan ulama yang berpendapat menerima.

Keluarga yang bermimpi tentang Abu Lahab adalah ‘Abbas yang kemudian masuk Islam tetapi ketika bermimpi dalam keadaan kafir sehingga terjadi perdebatan di kalangan ulama. Al-Qurtbi berpendapat bahwa keringanan yang terjadi pada Abu Lahab adalah keringanan yang khusus diberikan oleh Allah kepada Abu Lahab. Begitu pula Ibn al-Munir, seperti yang dikutip Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari bahwa yang demikian ini terdapat dua keputusan. Pertama amal perbuatan orang kafir tidak di hitung sebab kekafirannya (tidak di balas dengan pahala). Kedua, amalnya di balas dengan pahala sebagai bentuk tafaddalan keutamaan bagi kafir tersebut. Keringan yang terjadi kepada Abu Lahab termasuk yang kedua karena Allah akan memberi keringanan atau pahala kepada orang yang dikehendaki-Nya seperti halnya yang terjadi kepada Abu Talib. Adapun orang-orang yang tidak sepakat dengan dalil bahwa dalam al-Qur’an, surah Fatir, Allah telah berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ (36)

Menanggapi ayat di atas, penulis sepakat dengan pendapat Ibn al-Munir bahwa ayat ini tidak bertentangan dengan hadis tersebut karena hak mutlak hanya dimiliki oleh Allah untuk memberikan keringanan atau tidak kepada makhluk-Nya. Meskipun Allah telah berfirman demikian tetapi Allah juga memiliki sifat ja’iz sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya Abu Lahab yang diringankan siksanya apalagi mengingat bahwa dia sangat bergembira dengan kehadiran kekasih Allah SWT yakni Nabi Muhammad SAW.

Meskipun persaksian orang kafir tidak diterima tetapi mimpi ‘Abbas tentang Abu Lahab yang ketika itu masih kafir, patut untuk diperhitungkan karena pernyataannya bukan untuk persaksian melainkan untuk bisharah (memberi kabar gembira). Abu Lahab yang kafir mendapat keringanan karena bergembiara atas kelahiran Nabi lalu bagaimana dengan umatnya yang beriman kemudian ikut bergembira di hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tentang adat yang terjadi di masyarakat kita bahwa di hari kelahiran Nabi dirayakan dengan bacaan-bacaan shalawat yang dianggap bid’ah, penulis tidak sepakat. Mereka yang berpendapat demikian menggunaan dalil bahwa semua yang baru (tidak pernah dikerjakan Rasulullah) adalah bid’ah. Kata-kata “semua” dalam hadis ini tidak menunjukkan keseluruhan tetapi sebagian. Jadi apabila hal baru yang baik maka tidak termasuk bidah dalalah.  Apabila sebaliknya maka termasuk bidah dalalah. Membaca tahlil, tahmid, dan lain sebagainya adalah hal yang dianjurkan hanya saja dikemas dengan cara yang berbeda.

Baca juga artikel yang lainya:

23 Februari, 2022

Cara Menyikapi Hadis Rasulullah SAW

Menyikapi sebuah hadis sebaiknya mengikuti langkah-langkah ulama agar tidak salah dalam memahaminya. Sesuai dengan kesepakatan ulama bahwa hadis adakalanya maqbul (di terima) dan mardud (di tolak). Hadis dari segi kuantitas terbagi dua; mutawatir dan ahad. Begitu pula dari segi matan, hadis terbagi pada tiga; shahih, hasan, dan dha‘if. Dari macam-macam hadis ini terbagi lagi pada beberapa macam hadis sesuai dengan kategori masing-masing. Hadis mutawatir sudah pasti bisa diterima berbeda dengan hadis ahad yang terjadi perbedatan antara ulama tetapi yang pasti adalah hadis ahad bisa diterima jika berkualitas sahih sanad dan matan. Seperti definisi yang dipaparkan oleh ‘Abd al-Mun‘im Salim dalam kitabnya Taisir ‘Ulum al-H}adith li al-Mubtadi’in:

الحديث الصحيح هو المسند المتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة.[1]

Hadis sahih ialah musnad yang sanadnya bersambung dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan dhabit yang berasal dari orang-orang yang adil dan dabit sampai akhir sanad tanpa adanya kejanggalan dan cacat.

Definisi ini memunculkan beberapa syarat hadis untuk menjadi sahih sehingga bisa di terima yakni muttashil, ‘adl, dhabit, ghairu shazh, dan ghairu ‘illah. Tiga syarat yang pertama berkenaan dengan ke-shahih-an sanad sedangkan syarat dua terakhir berkenaan dengan sanad dan matan. Sebuah hadis bisa di terima dengan syarat sanad dan matannya sama-sama sahih karena sanad yang sahih tidak menjamin ke-sahih-an matan oleh karenanya kedua-duanya perlu di teliti. Langkah pertama yaitu meneliti para rawi hadis satu-persatu sehingga diketahui apakah ada rawi yang cacat sehingga mengurangi kualitas hadis atau mungkin menyebabkan hadis tersebut dha‘if. Baru kemudian meneliti matan hadis. M Syuhudi Ismail mengatakan bahwa dalam meneliti matan harus melakukan beberapa langkah di bawah ini:

1)   Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad hadis

2)   Meneliti susunan lafal dari berbagai matan yang semakna

3)   Meneliti kandungan matan.

Poin pertama perlu dilakukan karena kualitas sanad tidak menjamin kualitas matan. Poin kedua perlu dilakukan untuk mengetahui adanya persamaan amupun perbedaan baik dari segi lafazh maupun makna. Poin ketiga adalah memahami subtansi hadis itu sendiri sehingga bisa mengetahui apakah bertentangan dengan al-Qur’an, Hadis lain, akal, fakta sejarah, atau penelitian ilmiah. Kesimpulannya adalah tidak boleh serta merta menjustifikasi hadis sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu.

Baca juga artikel yang lainya:

[1] Abu ‘Abd al-Rah}man ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im Salim, Taisir ‘Ulum al-H}adith li al-Mubtadi’in (T.k: Dar al-D}iya’, 2000), 14. Lihat pula T}ah}}an, Taisir Must}alah}…, 30.

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...