HOME

26 Januari, 2022

Filsafat Kritisisme

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat atas kebenaran sesuatu atau studi yang membahas tentang fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.

Kehadiran aliran filsafat Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Pada satu  sisi aliran Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pemikiran atau pengetahuan, sedangkan aliran Empirisme berpendirian bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh yang menolak kedua pandangan tersebut adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).

Immanuel Kant berusaha menawarkan prespektif baru dan berusaha mengadakan penyelesaian permasalahan itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme atau Kontianisme. Secara harfiah kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Immanuel Kant bermaksud membeda-bedakan antar pengenalan yang murni dan tidak murni, yang tiada kepastiannya. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasannya.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari Filsafat Kritisisme ?

2.      Bagaimana biografi tokoh Filsafat Kritisisme ?

3.      Bangaimana pandangan Immanuel Kant terhadap Filsafat Kritisisme ?


C.     Tujuan  Masalah

1.      Untuk mengetahui lebih jelas pengertian dari Kritisisme

2.      Untuk mengetahui biografi tokoh Filsafat Kritisisme 

3.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant terhadap Filsafat Kritisisme tersebut


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat Kritisisme

Filsafat Kritisisme adalah filsafat yang dipelopori oleh Immanuel Kant dimana ia memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.[1]

Filsafat Immanuel Kant disebut sebagai filsafat kritis, karena pemikirannya mengkritik mengkritisi aliran filsafat sebelumnya yaitu Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Immanuel Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. karena itulah, ia menawarkan sebuah konsep ”Filsafat Kritisisme” yang merupakan sisntesis dari Rasionalisme dan Empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara.

Dengan itu, Immanuel Kant kemudian mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak Rasionalisme dan sifat sepihak Empirisme. Gagasan ini muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya, yaitu apa yang harus saya lakukan ? dan apa yang boleh saya harapkan?.[2] Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman. Sedangkan Empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa Empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Dengan kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia itu sendiri. Namun menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahiriyah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indra kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik dimana hal itu merupakan materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniyah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.[3] Immanuel Kant bermaksud mengadakan penilitian yang kritis terhadap rasio murni dan mewujudkan pemikiran tersebut kedalam beberapa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik.

Immanuel Kant tidak bermaksud mencari mana yang lebih benar dari yang lainnya. Rasionalisme lebih benar dari Empirisme kah, ataukah sebaliknya, Empirisme lebih benar dari Rasionalisme. Pemikiran monumental Kant ini hendak memadukan kedua pendapat yang awalnya bertolak belakang, menjadi sebuah paduan yang saling melengkapi. Pengetahuan adalah hasil dari perpaduan rasio yang hidup denngan dihadapkan kepada materi empirik.

Atau dengan kata lain, Kritisisme Kant sekaligus mengakhiri pendapat sebelumnya yang menganggap akal pikiran hanyalah berfugsi sebagai “container” (alat tempat menyimpan sesuatu dan bersifat pasif). Dalam Kritisisme, pengetahuan itu terkait dengan terjalinnya hubungan yang kokoh antara ide-ide (seabgai isi pokok dari pada akal pikiran), dan dunia luar pada umumnya. Akal pikiran yang dikatakan mempunyai ide-ide tertentu dalam dirinya sendiri yang dapat memaksa kita untuk menyatukan sifat-sifat dari dunia luar dalam satu kerangka keilmuan tertentu.[4]

Filsafat aliran Kritisisme ini muncul pada abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara Rasionalisme dengan Empirisme. Zaman baru ini disebut zaman percerahan (aufklarung), zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi seorang filosof Jerman Immanuel Kant mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan telah mencapai hasil yang menggembirakan. Di sisi lain filsafat jalannya tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.[5]


B.     Biografi Immanuel Kant

Immanuel Kant lahir di Konigsberg, Prusia, pada tahun 1724 dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant. Setelah itu, ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, tetapi pada tahun 1730-1740 perdangangan di Königsberg mengalami kemerosotan. Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan. Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.

Sejak kecil, Kant tidak pernah meninggalkan desa kelahirannya kecuali beberapa waktu singkat karena memberikan kuliah di desa tetangganya. Professor ini sangat doyan memberikan kuliah geografi dan etnologi. Pada tahun 1755, Kant memulai karirnya sebagai dosen swasta di Universitas Konisberg. Kemudian ia meninggalkan kedudukan itu setelah lima belas tahun. Dua kali lamarannya untuk menjadi guru besar ditolak dan akhirnya pada tahun 1770 ia diangkat menjadi professor logika dan metafisika. Setelah beberapa tahun mengajar, ia banyak melahirkan buku-buku tentang pendidikan yang berisi pendapat-pendapatnya yang sangat istimewa. [6]

Pada usia 40 tahun, ia merasa beruntung karena menyenangi metafisika ia sendiri rupanya tidak menyadari bahwa sifat-sifat metafisikawan itu sebenarnya ada pada dirinya. Sebelum tertarik pada metafisika, ia lebih dulu menyenangi pengetahuan yang bukan metafisika. Ia menulis tentang planet, gempa, api, angin, eter, gunung, bumi, etnologi, dan ratusan subjek lainnya yang tidak berhubungan dengan metafisika.

Kehidupan Kant, menurut salah seorang penulis biogafi, berlangsung menurut aturan yang tegas : bangun, minum kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu rumahnya, berjalan menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut tempat jalan-jalan sang filosof. Maka tahulah tetangganya bahwa itu berarti jam setengah empat. Ia berjalan naik-turun sepanjang musim, dan tatkala udara berkabut atau hujan, Lampe, pelayannya yang sudah tua, menjaganya dengan susah payah sambil memayunginya, seperti perlambang kebijaksanaan.

Secara fisik ia lelah, memerlukan perwatan dokter, tetapi ia hidup sampai usia delapan puluh tahun. Ia memang filosof tulen. Ia selalu berpikir lebih dahulu sebelum berbuat. Barangkali karena inilah ia membujang seumur hidup. Dua kali ia mencoba mendekati perempuan. Karena Kant terlalu memikirkan sebelum berbuat dan membutuhkan waktu yang lama membuat perempuan itu meninggalkanya dan menikah engan pemuda lain. Mungkin ia berpikiran seperti Nietzsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran sedangkan Kant pada umur dua puluh dua tahun telah menyatakan, “saya sudah menetapkan jalan yang pasti. Saya ingin belajar, tidak satu pun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu.”

Melalui berbagai kondisi ia terus menyelesaikan karya besarnya selama lima belas tahun. Selesai tahun 1781 tatkala ia berumur lima puluh tujuh tahun. Belum pernah ada orang yang matang selambat itu dan juga belum pernah ada buku sehebat itu dalam mengguncangkan dunia pemikiran.

Perkembangan filsafat Kant umumnya dibagi menjadi duaa, yakni periode pra-kritis dan periode kritis. Dalam periode pra-kritis, Kant banyak menulis mengenai filsafat ilmu alam dan metode-metodenya. Sejak muda, Kant memang telah memiliki ketertarikan pada metode ilmu alam. Ketertarikan atas metode itu terutama karena Kant yakin bahwa yang membuat ilmu-ilmu alam dapat maju secara konstan adalah metode yang digunakannya. Ilmu alam dapat dikatakan maju karena begitu sebuah teori atau hukum ditemukan, maka hukum tersebut dapat menjadi batu loncatan untuk penemuan berikutnya. Dan tidak ada lagi ahli yang kemudian membahas atau membuktikan kekeliruan hukum tersebut. hal serupa tidak terjadi pada filsafat dan metafisika. Dalam filsafat dan metafisika, begitu sebuah pendapat diajukan oleh seorang filsuf, maka ia langsung dikritik oleh filsuf lain, sehingga metafisika atau filsafat itu kelihatan tidak maju, melainkan hanya berputar-putar dalam rangkaian kritik atas kritik. Nah, Kant ingin mengakhiri rangkaian kritik atas kritik yang tanpa akhir ini, yakni dengan mencoba mmenerapkan metode ilmu alam ke bidang filsafat dan metafisika. Tujuannya jelas : agar metafisika juga dapat mencapai kemajuan seperti ilmu-ilmu alam dan matematika. Pada periode kritis-nya, Kant mulai menerapkan metode ilmu alam untuk masalah metafisika. Periode ini ditandai oleh penulisan buku Kritik atas Akal Budi Murni (KABM). Usaha untuk menerapkan metode ilmu alam inilah yang kemudian tertuang dalam buku KABM dan juga buku-buku lainnya.

Immanuel Kant menjadi tonggak filsafat Barat Modern, terutama melalui bukunya Kritik atas Akal Budi Murni(KABM). Tujuan utama Kant dalam buku ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai : Kritik terhadap akal budi murni dan kritik melalui (dengan menggunakan) akal budi murni.

Dalam buku ini, akal budi murni menjadi hakim sekaligus terdakwa. akal budi murni melakukan kritik terhadap akal budi murni melalui akal budi murni itu sendiri. KABM adalah buku yang sangat sulit dipahami dan membingungkan, sehingga seringkali pembaca pertamanya menjadi salah faham. Karena itu Kant merevisi bukunya dan kemudian ia menulis buku lain yang meringkas buku tersebut dan berjudul Prolegomena untuk setiap Metafisika di Masa Depan yang mampu menyebut dirinya sebagai ilmu.


C.     Pandangan imanuel kant terhadap filsafat hingga tercipta filsafat kritisisme

Metafisika adalah ‘ratu’ilmu - ilmu, demikianlah anggapan umum yang tersebar di antara filsuf abad pertengahan (400 – 476 AD sampai 1453 – 1517 AD) dan awal filsafat modern. Akan tetapi pernyataan tesebut kini telah banyak dikritik, terutama karena banyak klaimnya yang tidak bisa didasarkan secara memadai melalui pengalaman inderawi, sehingga, terutama dari sudut pandag sains, refleksi – refleksinya dianggap tidak ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kegelisahan tentang status metafisika memang masih menjadi perdebatan di dalam dunia filsafat, bahkan sampai sekarang. Metafisika disini bukanlah dalam arti mistik atau klenik, melainkan cabang dari filsafat yang ingin merefleksikan realitas sampai dasar terdalamnya , dan menemukan prinsip – prinsip yang menentukan “ada”-nya realitas tersebut.[7]

Perdebatan di dalam refleksi  metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada. Konsekuensinya, metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatism dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba – raba secara acak.

Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya itu, Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat.

“Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya dengan obyek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih berhasil di dalam metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa obyeklah yang harus menyesuikan diri dengan kesadaran kita…. Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”[8]

Dalam ranah filsafat, metafisika, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, mengacu pada cabang filsafat yang hendak memahami hakekat fundamental dari seluruh realitas. Hakekat itu bisa tampak bagi mata, tetapi juga bisa tidak. Metafisika berusaha mendeskripsikan realitas secara sangat mendasar (basic), sederhana (simple), dan luas, sehingga deskripsinya bisa mencakup semua hal.

Dalam konteks ini metafisikus adalah sebutan umum bagi orang yang tertarik untuk menemukan dasar dari seluruh realitas. Dan bisa dibagi setidaknya dua jenis kategori metafisikus.yang pertama adalah para materialis, yakni orang – orang yang berpendapat bahwa seluruh realitas ini sebenarnya adalah materi yang bergerak terus menerus. Sementara di sisi lain, para idealis yang berpendapat bahwa seluruh realitas terdiri dari ide – ide, pikiran, ataupun roh. Gaya berpikir ini sering juga disebut sebagai metafisika tradisinal yang bersifat dogmatis. Disebut tradisional karena cara berpikir ini banyak digunakan oleh filsuf abad pertengahan dan di awal filsafat modern, dan disebut dogmatis, karena metafisika ini mengklaim mampu mengetahui hakekat dasar dari realitas secara mutlak, serta tidak kritis terhadap batas – batas pengetauan manusia.

Salah satu filsuf yang dengan gencar mengkritik metafisika, dalam arti metafisika tradisional (traditional metaphysic), di dalam sejarah filsafat modern adalah imanuel kant. Akan tetapi menurut Karl Ameriks, proyek kritis atas metafisika yang dirumuskan oleh Kant tersebut tampak mengandung ambiguitas, bahkan sejak perumusannya dimulai.[9]

Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776) Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintetis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas. Kritiknya terhadap metafisika juga terdapat di dalam tanggapannya ini.[10]

Pencerahan adalah kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’ (Beranilah Berpikir Sendiri!). seperti dikutip oleh Gardner, Kant menulis,

“Masa di mana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa krtisme, dan untuk mengkritik apapun yang ada. Termasuk di antaranya adalahh agama dengan kesuciannya, hukum yang telah terberi dengan kemuliaannya.. haruslah mampu bertahan di hadapan ujian akal budi yang bebas dan terbuka.”

Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin, bahwa kemajuan sudah merupakan bagian inheren di dalam karakter manusia itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami dunianya melalui sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan oleh Isaac Newton (1642-1727).

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Filsafat kritisisme merupakan  filsafat yang mengkritik dua filsafat sebelumnya yaitu rasionalisme yang mengedepankan akal da empirisme yang mengedepankan pengalaman empirik. Filsafat kritisisme berpendapat bahwa dalam memperoleh sebuah ilmu kit membutuhan dua unsur yakni rasio dan pengalaman.

Filsafat kritisisme di kemukakan oleh seorang ahli filosof Immanuel Kant. Immanuel Kant lahir di Prusia, Konisberg. Sejak kecil ia sudah bergelut dengan dunia metafisika sehingga membuatnya berfikir secara kritis hingga dewasa.

Immanuel Kant selalu menekankan berfikir kritis dalam dunia metafisika. Ia juga mengatakan bahwa pencerahan adalah kemunculan manusi dari ketidak dewasaan yang dibuatnya sendiri. Hal ini mejadikan sebuah semboyan “Beranilah Berpikir Sendiri”  yang kemudian dikuatkan dengan kutipan Immanuel kant bahwa hidup harus mengkritik apapun yang ada. Termasuk di antaranya adalah agama dengan kesuciannya, hokum yang telah diberi dengan kemuliaan haruslah mampu bertahan di hadapan akal budi yang bebas dan terbuka.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir. 2002.  Filsafat Umum . Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Asmoro Ahmadi, 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Juhaya, 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: PrenadaMedia

Reza A.A Wattimena,2010.  Filsafat kritis,Iimanuel Kant, mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Imanuel Kant atas Metafisika. Surabaya :  PT Evolitera

Susanto, 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara

http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html (diakses pada 23 Oktober 2017)

http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html (diakses pada 24 Oktober 2017)


[1]Juhaya,Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. (Jakarta: PrenadaMedia, 2008), 114.

[2] Susanto,Filsafat Ilmu. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 38.

[3] http://ozziexdanuarta.blogspot.com/200/10/kritisisme-filsafat-ilmu.html

[4] http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/ktitisisme-immanuel-kant.html

[5]Asmoro Ahmadi,Filsafat Umum. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 118.

[6] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002) h.157

[7] Reza A.A Wattimena, Filsafat kritis,Iimanuel Kant, mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Imanuel Kant atas Metafisika (Surabaya, 2010, PT Evolitera) h.1

[8] Ibid. h 7-8

[9]Ibid, h 2 - 3

[10]ibid, h 8

Filsafat Abad Pertengahan

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Filsafat sebagai pandangan hidup, sangat erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Di sini filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolak ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus di capai.

Misalnya Amerika sebagai suatu bangsa menilai bahwa demokrasi sebagai pandangan hidup yang benar, maka mereka berusaha untuk membentuk pandangan hidup itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya negara-negara yang menilai sosialisme sebagai pandangan hidup, merekapun akan berupaya mewujudkan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam filsafat sosialisme dalam kehidupan di negaranya. Dan demikian pula masyarakat atau bangsa lain yang memiliki filsafat sebagai pandangan hidup.

Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantara nya adalah mengetahui sisi perspektif historisnya. Dengan demikian kamu dapat mengetahui asal dari sebuah pemikiran filsafat yang kita ketahui saat ini.

Disini kita akan membahas pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan. Dimana terdapat zaman patristik dan zaman skolastik, pemikiran filsafat pada zaman tersebut juga sangat terkenal  dan memberi inspirasi baru sampai saat ini. Dan karya-karya para tokoh filsafatnya memberi kontribusi besar bagi kehidupan kita saat ini. Permulaan abad pertengahan barangkali dapat dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M.), pengaruh agama kristen kelihatannya sudah besar; filsafatnya bersifat spiritual. Dan Augustinus yang mempunyai ajaran khas, Aquinas yang terkenal dengan 5 dalil tentang adanya Tuhan, Anselmus yang mengeluarkan istilah Credo ut intelligam (yang dapat dianggap ciri utama filasafat abad pertengahan). Karena itu sangatlah penting mengetahui pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan tersebut. Sebagai ilmu yang berharga bagi kita untuk mengetahui  lebih dalam apakah sebenarnya filsafat itu.


B.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Sejarah Pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan?

2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan penting pada masa abad pertengahan?

3.      Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan di zaman sekarang?


C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui sejarah peradaban pemikiran filsafat pada masa abad pertengahan.

2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam sejarah filsafat masa abad pertengahan.

3.      Mengerti tentang pengaruh pemikiran filsafat pada abad pertengahan terhadap zaman sekarang.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pemikiran Filsafat pada Masa Abad Pertengahan

1.      Zaman Patristik atau Pemikiran Para Bapa Gereja

Patristik berasal dari kata Latin “Patres” yang berarti Bapa-bapa Gereja, ialah ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen.[1] Zaman ini muncul pada abad ke-2 sampai abad ke-7, dicirikan dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bid’ah kaum Gnosis. Bagi para Bapa Gereja, ajaran Kristen adalah filsafat yang sejati dan wahyu sekaligus. Sikap para Bapa Gereja terhadap filsafat yunani berkisar antara sikap menerima dan sikap penolakan. Penganiayaan keji atas umat Kristen dan karangan-karangan yang menyerang ajaran Kristen  membuat para Bapa Gereja awal memberikan reaksi pembelaan (apologia) atas iman Kristen dengan mempelajari serta menggunakan paham-paham filosofis.

Akibatnya, dalam perjalanan waktu, terjadilah reaksi timbal balik, kristenisasi helenisme dan helenisasi kristianisme. Maksudnya, untuk menjelaskan dan membela ajaran iman Kristen, para Bapa Gereja memakai filsafat yunani sebagai sarana (helenisme”di kristenkan”). Namun, dengan demikian, unsur-unsur pemikiran kebudayaan helenisme, terutama filsafat yunani, bisa masuk dan berperan dalam bidang ajaran iman Kristen dan ikut membentuknya (ajaran Kristen “di Yunanikan” lewat gaya dan pola argumentasi filsafat yunani). Misalnya, Yustinus Martir melihat “Nabi dan Martir” kristus dalam diri sokrates. Sebaliknya, bagi Tertulianus (160-222), tidak ada hubungan antara Anthena (simbol filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani). Bagi Origenes (185-253) wahyu illahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Menurutnya orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi gereja dan ajaran para rasul. Pada abad ke-5, Augustinus(354-430) tampil.Ajarannya yang kuat di pengaruhi neo-platonisme merupakan sumber inspirasi bagi para pemikir abad pertengahan sesudah dirinnya selama sekitar 800 tahun. Zaman Patristik ini mengalami dua tahap:[2]

a.    Permulaan agama Kristen Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat Yunani maka agama Kristen memantapkan diri Keluar memperkuat gereja dan ke dalam menetapkan dogma-dogma.

b.    Filsafat Augustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Augustianus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan.

Setelah berakhirnya zaman sejarah filsafat Barat Kuno dengan ditutupnya Akademia Plato pada tahun 529 oleh Kaisar Justinianus, karangan-karangan peninggalan para bapa gereja berhasil disimpan dan diwariskan di biara-biara zaman itu dan beratus-ratus tahun sesudahnya, praktis menjadi pusat-pusat intelektual berkat kemahiran para biarawan dalam membaca, menulis, dan menyalinnya ke dalam bahasa Latin-Yunani serta tersedianya fasilitas perpustakaan.


2.      Skolastik 800-1500

Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajaran dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.

Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata”skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.

Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diiuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contrannya untuk kemudian di temukan pemecahannya. Tuntutan ke masuk akalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.

Sesudah agustinus: keruntuhan. Satu-satunya pemukir yang tampil kemuka ialah: Skotus Erigena (810-877). Kemudian Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu.Persoalan-persoalan tentang pengertian-pengetian umum (pengaruh plato). Filsafat mengabdi pada theology yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaelardus (1079-1142). Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:

a.       Periode skolastik awal (800-1200)

Ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.

Pada periode ini, diupayakan misalnya,pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpaberdasarkan kitab suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya,logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan Pro-contra mulai berkembang(Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masa universalia dengan konfrontasi antara ”Realisme” dan ”Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoristis mengenai filsafat alam, sejarah, dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.

Pengaruh alam pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun 8000-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filusuf dan ilmuwan zaman yunani kuno. kaum intelektual dan kalangan kerajaan islam menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa yunani kedalam bahasa arab. maka, pada para pengikut islam mendatangi Eropa (melalui spanyol dan pulau sisilia). terjemahan karya-karya filusuf yunani itu, terutama karya-karya Aristoteles sampai kedunia Barat. Dan salah seorang pemikir islam adalah Muhammad Ibn Rushd (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushd, seorang filusuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara aliran neo-Platonisme dan Aristotelanisme.

Dengan demikian, pada gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani Abad Pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh dari pada sebelumnya. Hal ini semakin didukung dengan adanya biara-biara yang antara lain memang berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.

b.      Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)

Periode puncak perkembangan skolastik, dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi.[3] Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad pertengahan. Aristoteles diakui sebagai sang filusuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan yahudi. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinnya. Pada abad ke-13, dihasilkan suatu tensis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat yunani. Tokoh-tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintensis  besar ini dinamakan summa (keseluruhan).

c.       Periode Skolastik lanjut atau akhir  (abad ke-14-15)

Periode skolastik akhir abad ke-14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio member jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.

Salah seorang yang berfikir kritis pada periode ini adalah Wiliam dari Ockham (1285-1349). Anggota ordo Fransiskan ini mempertajam dan menghangatkan kembali persoalan mengenai nominalisme yang dulu pernah didiskusikan. Selanjutnya, pada akhir periode ini, muncul seorang pemikir dari daerah yang sekarang masuk wilayah Jerman, Nicolaus Cusanus (1401-1464). Ia menampilkan “pengetahuan mengenai ketidaktahuan” ala sokrates dalam pemikiran kritisnya: “aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat ku ketahui bukanlah Tuhan”. Pemikir yang memiliki minat besar pada kebudayaan Yunani-Romawi Kuno ini adalah orang yang mengatur kita memasuki zaman baru, yakni zaman modern, yang diawali oleh zaman Renaissans, zaman “kelahiran kembali” kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa mulai abad ke-16. Baru sesudah tahun 1200 filsafat berkembang kembali berkat pengaruh filsafat arab yang diteruskan ke Eropa.


B.   Tokoh-Tokoh yang Berperan Penting pada Masa Abad Pertengahan

1.   Plotinus (204-270)

Plotinus dilahirkan pada tahun 204 di Mesir, mungkin di daerah Lycopolis.[4]Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, pada seorang guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada tahun 243 ia mengikuti Raja Gordiasius III berperang melawan Persia; ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempelajari kebudayaan Parsi dan India. Akan tetapi, sebelum ia sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244, Plotinus dengan susah payah dapat melarikan diri ke Antakya (Antioch). Pada umur 40 ia pergi ke Roma. Disana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Tahun 270 ia meninggal di Minturnae, Campania, Italia.


2.   Augustinus (354-430)

Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria), pada 13 November 354.[5] Ayahnya, praticius, adalah seseorang pejabat pada kekaisaran Romawi, yang tetap kafir sampai kematiannya pada tahun 370. Ibunya, Monica, adalah penganut Kristen yang taat. Dalam bahasa Latin Augustinus dikenal dengan nama Aurelius Augustinus. Pada tanggal 28 Agustus 430, Augustinus meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang dialaminya saat perang Imperium Romawi.


3.   Anselmus (1033-11090)

Anselmus berasal dari keluarga bangsawan di Aosta, Italia, pada tahun 1033.[6] Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhan kepada Gereja. Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan ikut ambil bagian dalam perselisihan antara golongan pendeta dan orang orang sekular. Dalam seluruh hidupnya ia berusaha untuk meningkatkan kondisi moral orang-orang suci. Dalam dirinya mengalir arus mistisisme, dan iman merupakan masalah utama baginya.  


4.   Thomas Aquinas

Thomas lahir di roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga bangsawan, baik bapak maupun ibunya.[7] Pada masa mudanya dia hidup bersama pamannya yang menjadi pemimpin ordo di Monte Cassino. Ia berada disana pada tahun 1230-1239. Pada tahun 1239-1244 ia belajar di Universitas Napoli, tahun 1245-1248 di Universitas Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus. Tahun 1256 ia diberi ijazah (licentia Docendi) dalam bidang teologi, dan mengajar di Universitas Paris sampai tahun 1259. Tahun 1269-1272 ia menyusun tantangan terhadap ajaran Ibn Rusyd. Sejak tahun 1272 ia mulai mengajar di University Napoli. Ia meninggal pada tahun 1274 di Lyons.


C.     Karya-karya pada Masa Abad Pertengahan yang Berpengaruh pada Masa Zaman Modern ini.

1.      Plotinus (204-270)

Seorang filosof membangun sebuah system yang disebut neo-Platonisme.[8] Jelas ia adalah seorang metafisikawan yang besar. Pengaruhnya itu ada pada teologi Kristen, juga pada renaissance. Mungkin semua filosof yang mementingkan suara hati (iman) dapat dikatakan dipengaruhinya, seperti Goethe, Kant, dan banyak yang lain lagi. Dan teori ini berpengaruh sangat besar pada para filosof Muslim. Ajarannya tentang kebersatuan dengan Tuhan mengingatkan kita pada teor-teori yang dikembangkan oleh para sufi Muslim seperti pada Al-Hallaj, Abu Yazid Al-bisthami, Ibn al-‘Arabi, dan lain-lain.


2.      Augustinus (354-430)

Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh pada gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekuler.[9] Dalam pertarungan berbagai ideology politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatism, dan juga dalam fanatisme. Kita menghadapi konflik antar ideology yang tidak dapat disatukan.

Paham teoentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan pengetahuan duniawi, kebenciannya kepada teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagian peradaban modern. Sejak zaman Agustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif. Bagian penting dalam filsafat Agusyinus ialah pertanyaan sekalipun, umpanyan, bukan jawabannya. Kita juga sering diganggu oleh keraguan dan selalu mencari kepastian. Kita selalu ingin memperoleh norma yang dapat yang dapat mengukur tindakan-tindakan kita. Singkatnya pemikiran Agustius penting bagi manusia modern.


3.      Anselmus (1033-11090)

Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna.[10] Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tapi segala sesuatu berada di dalam Tuhan.

Ciri khas filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Ansekmus, yaitu credo ut intelligam.

Credo ut intelligam kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argument untuk memahaminya, mungkin juga untuk meneguhkan keimanan itu. Didalam ungkapan itu tersimpan juga pengertian seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini imam secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya.

Sifat ini berlawanan dengan sifat fisalfat rasional. Dalam filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan: setelah dimengerti, barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani, mengikuti jalan pikiran inilah maka saya berkesimpulan bahwa jantung filsafat Abad Pertengahan Kristen terletak pada ungkapan itu. Berdasarkan penalaran itulah maka menurut saya tokoh utama letak kekuatan filsafat Abad Pertengahan adalah St. Anselmus.

Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dapat berlaku umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan ialah bahwa kaidah ini lebih kurang dianut, juga dalam filsafat islam. Contoh yang menonjol dalan islam mislanya pada filsafat Al-Ghazali.


4.      Thomas Aquinas

Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian: pengetahuan fisika, matematika, dan metafisika.[11] Dari ketiganya metafisikalah yang lebih banyak mendapat perhatian, yang menurut pendapatnya dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi (Mayer:461).

Sehubungan dnegan teorinya diatas maka didalam filsafat Aquinas, filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akliah., sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak begitu jelas karena pengetahuan sebenarnya adalah gabungan kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi dua. Yang pertama ialah agama natural yang dibentangkan diatas akal, dan yang kedua ialah agama wahyu yang dibetangkan diatas iman.

Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah banyak berkurang.[12] Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan filsafat rasionalnya. Yang terkenal ialah beberapa pembuktian tentang adanya Tuhanyang masih dipelajari orang hingga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu. Lima dalil tentang adanya Tuhan dari Aquinas itu sebenarnya tidaklah kuat sebagaimana yang diduganya. Kelak banyak filosof yang menolaknya, terutama Kant.

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    SIMPULAN

Zaman pertengahan dibagi menjadi dua: zaman patristic dan zaman skolastik. Zaman patristic (bapa-bapa gereja) diwarnai oleh tokoh-tokoh seperti Clemens, Origenes, Gregorius, dan seterusnya. Di masa ini, filsafat menyatu dengan gereja dan mendasarkan inspirasinya dari Plotinus. Zaman skolastik terjadi sekitar tahun 1000 M. Pada zaman ini pengaruh Plotinus digeser oleh Aristoteles. Pertemuan antara filsafat Aristotelian dengan kristianitas ini melahirkan banyak filsuf kritiani, terutama terejawantah melalui perkembangan dua ordo dominan, Dominikan dan Fransiskan. Tokoh-tokoh yang penting pada masa abad pertengahan adalah Plotinus (204-270), Augustinus (354-430), Anselmus (1033-11090), Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh pada masa abad pertengahan berhasil mempengaruhi pemikiran di zaman sekarang dengan rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Ansekmus, yaitu credo ut intelligam yang kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti.


DAFTAR PUSTAKA

AM, Suhar. 2009. Filsafat Umum (Konsepsi, Sejarah, dan Aliran). Jakarta: Gaung Persada Press

Jalaluddin dan Said,  Usman. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Umam, Muhammad Helmi, dkk. 2017. Pengantar Filsafat. Surabaya: UINSA Press

Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset


[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005),  hal. 157

[2] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157

[3] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157

[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005) cet. Keempatbelas 66.

[5] Tafsir., 79.

[6] Tafsir., 95.

[7] Tafsir., 97.

[8] Tafsir., hal. 75

[9] Suhar AM, Filsafat Umum Konsep, Sejarah dan Aliran,  (Jakarta, Gaung Persada Press , 2009) hal. 210

[10] Tafsir, hal. 97

[11] Tafsir., hal. 104

[12] Tafsir., hal. 115-116

Filsafat Pada Masa Yunani Klasik

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat.  Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato".  Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.

A.    Rumusan Masalah

1.     Apa arti dari filsafat ?

2.    Bagaimana perkembangan filsafat pada masa Yunani klasik ?

3.    Apa saja pemikiran-pemikiran filsafat pada masa yunani klasik, dan penjelasannya ?


B.   Tujuan Penulisan

1.   Dapat memahami pengertian filsafat

2.   Dapat mengetahui sejarah perkembangan filsafat pada masa Yunani klasik

3. Dapat mengetahui pemikira-pemikiran yang berkembang pada masa Yunani klasik beserta penjelasannya


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian filsafat

Kata filsafat padanan dari bahasa arab falsafah dan bahasa inggrisnya philosopy. Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa yunani philoshopia. Yakni gabungan dari kata “philos” yang artinya cinta, dan “sophos” berarti kebijaksanaan, dengan kata lain filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan[1], kearifan atau pengetahuan (wisdom). Secara etimologi filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan (loveof wisdom).[2]

Menurut Cicero (106-43 SM), penulis Romawi menyatakan bahwa orang yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Pythagoras (582-496 SM), sebagai reaksi terhadap cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya “ahli pengetahuan”. Menurut Pythagoras, manusia hanya pencari kebijaksanaan (filsuf) dan Tuhan yang memiliki kebijaksanaan. Kemudian Socrates (470-399 SM) dan Plato (427-347 SM) lebih memperkenalkan kata filsafat melalui metode dialektika dan deduktif-spekulatif transendental.[3]


B.     Perkembangan filsafat pada masa Yunani klasik

Filsafat pada masa ini mencapai pada masa kejayaan. Dimana banyak lahir filosof-filosof  besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Zaman ini ditandai dengan munculnya kaum shopis yang mengajarka pada pemuda-pemuda Athena tentang keunggulan retorika dan kebenaran subyektif. Menurut kaum ini manusia merupakan ukuran bagi segala sesuatu (homo mensura). Akibat ari ajaran ini, maka ukuran kebenaran menjadi relatif dan subyektif.

Dalam kondisi inilah muncul filosof terkemuka Socrates yang menyatakan bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk tindakan kita. Socrates dengan pemikiran filsafatnya selalu berusaha untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah, dimana keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.[4]


C.     Tokoh-Tokoh Dan Pemikiran Filsafat Pada Masa Keemasan(Klasik)

Banyak tokoh yang bermunculan pada masa ini diantaranya adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles.

1.    SOCRATES

Socrates adalah seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari.[5]

Filsafat Socrates banyak membahas masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasarat utama dalam kehidupan manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia harus sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup yang lainnya dapat diraih.[6]

Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.


2.    PLATO

Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik,yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan"ideal".Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.[7]

Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani Kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau Negara. Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan, sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu.

Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai idea. Pandangan Plato terhadap idea-idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi. Idea yang dimaksud oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern. Orang-orang modern berpendapat ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja. Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan idea-idea tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui segala idea yang ada.[8] Adapun Pandangan Plato Tentang Karya Seni Dan Keindahan, yaitu :

1)         Pandangan Plato tentang Karya Seni

Pandangan Plato tentang karya seni dipengaruhi oleh pandangannya tentang ide. Sikapnya terhadap karya seni sangat jelas dalam bukunya Politeia (Republik). Plato memandang negatif karya seni. Ia menilai karya seni sebagai mimesis mimesos. Menurut Plato, karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan (mimesis) dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ide. Ide jauh lebih unggul, lebih baik, dan lebih indah daripada yang nyata ini.


2)         Pandangan Plato tentang Keindahan

Pemahaman Plato tentang keindahan yang dipengaruhi pemahamannya tentang dunia indrawi, yang terdapat dalamPhilebus. Plato berpendapat bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide.Ia berpendapat bahwa kesederhanaan adalah ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya seni.Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.[9]


3.    ARISTOTELES

Aristoteles adalah murid dari Plato. Mekipun ia adalah murid Plato tetapi banyak dalam hal ia tidak setuju dengan Plato. Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan  menjadi, Arisoteles menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya, yang semuanya itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut dengan realisme.[10]

Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, metafisika, psikologi, dan ilmu alam.[11]

Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam.

Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis).

Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi. Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.

Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas pada abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (11351204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (11261198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.[12]

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

  • Pengertian filsafat

Kata filsafat padanan dari bahasa arab falsafah dan bahasa inggrisnya philosopy. Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa yunani philoshopia. Yakni gabungan dari kata “philos” yang artinya cinta, dan “sophos” berarti kebijaksanaan, dengan kata lain filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan (wisdom). Secara etimologi filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan (loveof wisdom).

  • Perkembangan pemikiran filsafat pada masa Yunani klasik

Filsafat pada masa ini mencapai pada masa kejayaan. Dimana banyak lahir filosof-filosof  besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Zaman ini ditandai dengan munculnya kaum shopis yang mengajarka pada pemuda-pemuda Athena tentang keunggulan retorika dan kebenaran subyektif. Menurut kaum ini manusia merupakan ukuran bagi segala sesuatu (homo mensura). Akibat dari ajaran ini, maka ukuran kebenaran menjadi relatif dan subyektif.

Banyak tokoh yang bermunculan pada masa ini diantaranya adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates filsafatnya banyak membahas masalah-masalah etika. Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani yang mana filsafat pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik,yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan"ideal".Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama. Aristoteles adalah murid dari Plato. Mekipun ia adalah murid Plato tetapi banyak dalam hal ia tidak setuju dengan Plato. Filsafat Aristoteles disebut dengan realisme. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, metafisika, psikologi, dan ilmu alam.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2012. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers. Suharsono, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Poedjawijatna. 1994. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Salam, Burhanuddin. 1995. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Penjelasan lebih lengkap pemikiran filsafat Aristoteles, lihat,ali Maksum,Pengantar Filsafat, op. Cit., hal. 80-93.

http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c / Diakses pada tanggal 17 september 2017.


[1] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara,1995. 46

[2] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,1996. 14

[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. 3

[4] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta,  1994. 28

[5]http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c/Diakses pada tanggal 17 september 2017

[6] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. 100

[7]http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c/Diakses pada tanggal 17 september 2017

[8] Ibid, hal 4

[9] Ibid, hal 4

[10] Suparlan Suharsono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal.46-47.

[11] Penjelasan lebih lengkap pemikiran filsafat Aristoteles, lihat,ali Maksum,Pengantar Filsafat, op. Cit., hal. 80-93.

[12]http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c/Diakses pada tanggal 17 september 2017

Aliran Qadariyyah

DAFTAR ISI                                                                             

HALAMAN JUDUL....................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................... ii

BAB I

PENDAHULUAN...........................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN..............................................................................2

A. Pengertian Qadariyah..................................................................2

B. Sejarah Aliran Qadariyah ............................................................3

C. Doktrin- doktrin Aliran Qadariyah..............................................4

D. Sekte, Tokoh, dan pemikiran Aliran Qadariyah..........................7

E. Perkembangan pemikiran Aliran Qadariyah 

dalam Dinamika Kontemporer.........................................................9

BAB III

PENUTUP.......................................................................................11

A.   Kesimpulan...............................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................12


BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan pemikiran manusia selalu searah dengan perjalanan zaman. Dan tak dapat dipungkiri perkembangan pemikiran manusia satu dengan yang lain banyak menuai perbedaan. Dari perbedaan itulah suatu golongan akan dapat muncul dikarenakan jika bentuk pemikiran mereka terdapat kesamaan. Dalam hal ini manusia sebagai umat yang beragama tentunya memiliki banyak hal yang dapat memberi landasan hidup dari pemikiran rasionalnya. Dan untuk mempertahankan dasar tersebut mereka memiliki banyak argumentasi/kalam yang menguatkan pemahaman mereka. Dalam perbedaan kalam yang disinkronkan pada umat islam yang awalnya, menurut Harun Nasution, dipicu oleh persoalan politik menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Ustman bin Affan’ yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Maka dari itu, perbedaan paham agama mereka bermunculan yang pada awalnya mereka dalah satu umat dan memisah diri seperti anak panah lepas dari busurnya. Aliran teologi dalam islampun mengalir pada sejumlah masyarakat islam. Dari paham yang menegaskan pendosa adalah kafir, pendosa masih tetap mukmin. Dua aliran yang timbul pula setelah berbagai aliran itu adalah Qadariyah dan Jabariyah.

Dari paparan diatas menarik perhatian kami untuk menjelaskan secara terperinci mengenai aliran Qadariyah yang ada dalam makalah seerhana ini.


BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Qadariyah

Qadariyah secara etimologi berasal dari kata qadara  yang berarti kekuatan atau kemampuan. Adapun menurut pengertian  terminologi  adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.[1] Hal ini dapat diartikan bahwasanya paham aliran Qadariyah menilai segala sesuatu yang tercipta dari diri manusia adalah bergantung pada kehendak mereka sendiri, sehingga secara tidak langsung kebebasan dalam diri seseorang menjadi hak mutlak.

Dalam hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[2]

Adapun secara definitif, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengungkapkan bahwa qadariyah adalah paham yang menetapkan(Itsbat) semua perbuatan manusia atau hamba ini terwujud dengan qudrat  yang bersifat baharu. Dalam paham ini manusialah, katanya lebih lanjut, yang menciptakan segala perbuatannya melalui ikhtiar, baik yang bersifat  mubasyarah maupun tawallud, yakni dengan daya dan qudrat yang dijanjikan Allah Ta‘la padanya.[3]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi akan paham Qadariyah memang dikembalikan pada pangkal keyakinan paham itu sendiri, yang megukuhkan kebebasan dan tanggung jawab manusia atas segala perbuatannya.


B.     Sejarah Aliran Qadariyah

Aliran- aliran dalam agama tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan landasan yang tidak serupa. Seperti sejarah lahirnya paham Qadariyah, munculnya paham ini masih menjadi perdebatan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.[4] Ma’bad adalah seorang taba‘i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.[5]

Adapun Ghailan adalah seorang orator yang berasal dari Damaskus dan ayahya menjadi maula Usman bin Afan.

Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama-ulama kalam dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an.

Ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia . Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Qadaryiah dan Jabariyah. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mempunya qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata . 

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. Ma’bad adalah seorang taba‘i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri, Adapun Ghailan adalah seorang orator yang berasal dari Damaskus dan ayahya menjadi maula Usman bin Afan.[6]  

Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. 

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam faham Mu’tazilah. 


C.  Doktrin- doktrin Aliran Qadariyah

Secara definitive, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengungkapkan bahwa qodariyah adalah paham yang menetapkan (itsbat) semua perbuatan manusia atau hamba  terwujud dengan qodrat yang bersifat baru. Dalam hal ini, manusialah yang menciptakan segala perbuatannya melalui ikhtiar, dengan daya dan qodrat yang dijadikan Allah Ta’ala kepadanya.[7]

Ajaran Qadariyah menerangkan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya. 

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya. 

Menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-islam halaman 297-298. Pokok-pokok ajaran Qodariyah itu adalah:

1.  Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.

2.  Alla2h SAW tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang menciptakan amal perbuatannya. Jika amalnya baik akan masuk surge dan jika amalnya  jelek, ia akan masuk neraka. Oleh karena itu maka Allah SWT. Berhak disebut adil. Bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti Allah tidak memiliki sifat0sifat azaly, seperti ilmu, qudrat,hayat, mendengar, dan melihat yang bukan dengan Dzat-Nya sendiri. Menurut mereka, Allah itu mengetahui,

3.  Bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab segala sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. Misalnya, benar itu memilik sifat-sifat sendiri yang menyebabkan baik. Dan sebaliknya bohong itu juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkannya menjadi buruk.

Berikut ini adalah Dalil-dalil yang mendukung aliran Qodariyah:

1.      QS. Al-Kahfi (18:29)

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ

Artinya :

Dan katakanlah (wahai Muhamad): " kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.  


2.      QS. Fussilat (41:40)

ٱعْمَلُوا۟ مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُۥ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya :

“berbuatlah sesuai apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”


3.      QS. Ali Imron (3:165)

أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya :

“dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165) 


4.      QS. Ar-Ra’d (13:11)

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

 Artinya :

:“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-Ra’d :11) 

Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka. Artinya bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Manusia tidak dikendalikan seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tetapi dapat memilih sesuai keinginannya sendiri.[8]


5.      QS An Nisa’ (4:111)

وَمَن يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُۥ عَلَىٰ نَفْسِهِۦ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya :

“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana”.

Sungguhpun demikian aliran tersebut tidaklah berjalan mulus begitu saja tanpa adanya tantangan-tantangan. Banyak kritik yang dituju padanya, namun para pengikutnya rupanya tidak begitu surut, sebab faham qodariyah dianggap lebih rasional yang lambat laun diteruskan oleh muktazilah yang berupaya menjunjung tinggi martabat manusia sebaga kholifah fi al-ardl, yang akan mempertanggungjawabkan  segala perbuatannya.


D.    Sekte, Tokoh, dan pemikiran Aliran Qadariyah

1.      Sekte Qodariyah

Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok be¬sar, yang setiap kelompok dari me¬reka mengkafirkan kelompok yang lain¬nya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah, ‘Amru¬wiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murda¬riyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah, Jahizhi¬yah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathi¬yah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qub¬bah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah. 

Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan.

Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman. 

Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya, dan kami tidak mengharamkan apapun.

Yang kedua, Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya. 

Dan yang ketiga Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal jamaah). 

Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu: Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir, dan Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.


2.      Tokoh dan Pemikiran Aliran Qodariyah

a.       Ajaran  Ma’bad al-Juhani

Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu ia bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tuhan sama sekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia, bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh manusia, kecuali setelah perbuatan itu dilakukan barulah Tuhan mengetahuinya.


b.      Ajaran Ghailan al-Dimasqi

Diantara pokok-pokok ajaran Ghailan al-Dimasqi yaitu :

1) Manusia menentukan perbuatannya dengan kemampuannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan Tuhan.

2) Iman adalah mengetahui dan mengakui Allah dan Rosulnya, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Iman juga merupakan hak semua orang, asal berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-sunnah

3)   Al-qur’an adalah makhluk

4)   Allah tidak memiliki sifat

Paham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Paham ini dikemukakan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi yaitu paham Takdir. Menurut Qodariyah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptkannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum-hukum yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnatullah. Secara alamiah manusia mempunyai takdir yan tidak dapat dirubah. Manusia dalam bentk fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya, manusia tidak ditakdirkan oleh Tuhan mempunyai sirip seperti ikan yang dapat berenang secara bebas dilautan, atau manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang berates kilogram. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.

Keyakinan tauhid tanpa penalaran bukan termasuk iman. Maksudnya, keimanan didapat melalui penalaran dan pembuktian. Salah seorang pemuka Qodariyah yang lain, al-Nadhdham, mengemukakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa camur tangan tuhan.


E. Perkembangan pemikiran Aliran Qadariyah dalam Dinamika Kontemporer

Pemikiran Aliran Qodariyah adalah manusia bebas berbuat apa saja yang mereka kehendaki. Dalam dinamika kontemporer, pemikiran tersebut terus berkembang dengan maksud agar manusia selalu berikhtiar dalam menjalani proses hidupnya. Di sisi lain, manusia juga diberi akal untuk berfikir hal-hal yang baik dan tidak baik. Dengan demikian apapun yang dikehendaki manusia mereka harus berfikir bagaimana proses untuk mewujudkan kehendak tersebut. tentunya dalam manifestasi keinginannya ia harus melihat perihal apa yang akan menimpa dirinya selepas melakukan hal tersebut. hingga kini pola pemikirannya masih digunakan dapat digunakan dalam bentuk hak

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

KESIMPULAN

Dalam islam timbul dua aliran teologi yang salah satunya dikenal dengan nama Qadariyah. Aliran ini memiliki paham yang menggaris besarkan manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan secara mutlak dalam kehendak dan segala perbuatannya baik itu jahat maupun baik sehingga ketika mereka berbuat baik maka yang diterima sesuai dengan apa yang mereka perbuat.

Tokoh-tokoh pemuka aliran Qodariyah adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi. Mereka memaparkan pendapat bahwa manusialah yang mengatur segala perbuatannya tanpa campur tangan dari Tuhan.

Dalam aliran qodariyah terdapat beberapa sekte yang masing-masingnya mempunyai pedoman sendiri-sendiri namun mereka tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnatullah

Dalam dinamika kontemporer, pemikiran aliran ini dapat kita ambil sisi positifnya yaitu kita selalu berusaha dalam melakukan suatu hal. Hidup kita, kita yang mengaturnya. Nasib kit, kita yang bisa mengubahnya. Namun, kita harus ingat bahwa semua hal yang kita perbuat tetap akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak.


Daftar pustaka

Muhammad Nazir,2004.  Dialektika Teologi Islam . Pekanbaru:Suska Press

Rochimah dkk,2014. Ilmu Kalam. Surabaya: UINSA Press

Rosihan Anwar,2001. Ilmu Kalam . Bandung: Pustaka Setia


[1] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.70

[2] Ibid ,dalam Nasution,Teologi Islam..h.31

[3] Muhammad Nazir, Dialektika Teologi Islam(Bandung: Penerbit Nuansa, 2004),h.114

[4] Ibid, h.71, dalam Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, maktabah An-Nahdhah Al

[5] Ibid.

[6] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.71

[7] Muhammad Nazir, Dialektika Teologi Islam (Pekanbaru:Suska Press, 2004) h. 114

[8] Rochimah dkk, Ilmu Kalam, (Surabaya: UINSA Press, 2014) h 128

Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad Abduh

BAB I

PEMBAHASAN

1.    Riwayat hidup Syaikh Muhammad Abduh

Syaikh Muhammad Abduh (Mesir, 1265-1323/1849-1905 M) adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam islam di Mesir. Ayahandanya Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama bertempat tinggal di Mesir. Sedangkan ibunya bernama Junainah, berasal dari suku Arab asli yang masih bersilsilah sampai kepada sayyidina umar bin khattab. Dia lahir pada pemerintahan Muhammad Ali pasya.

Ayahnya adalah penduduk di Mahallah Nasr, daerah Subrakhit, dari Provinsi Buhairah Mesir selatan, seorang petani yang sedang memiliki 40 feddan sawah. Karena tindakan-tindakan penguasa yang dipandang sering sewenang-wenang, maka Ayahnya pindah ke Provinsi Gharbiyah dan menetap di situ selama 15 tahun dan akhirnya kembali lagi ke daerah asalnya.

Setelah pulang ke kampung halamannya, ayahnya kemudian kawin lagi dan dari istri kedua ini lahir beberapa anak. Dengan demikian, maka Syaikh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah tangga  yang terdiri dari istri-istri dan anak-anak. Keadaan rumah tangga orang tuanya yang demikian ini, ternyata berpengaruh terhadap pemikirannya, khususnya tentang masalah poligami.

Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru kepada ayahnya sendiri di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan menghafal Al-quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun seluruh Al-quran telah dihafalnya. Kemudian pada usia 14 tahun dia dikirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di masjid Al-Ahmadi (al-jami’ al-Ahmadi). Di sini, disamping melancarkan hafalan Al-Qurannya, dia juga belajar Bahasa Arab dan Fiqih. Setelah belajar dua tahun, Abduh merasa bosan karena system pengajarannya memakai metode hafalan. Dengan rasa kecewa Abduh kembali ke Mahallat Nasr.

Pada 1282 H/1866 M Abduh memasuki hidup berumah tangga. Sekitar 40 hari setelah menikah, Abduh dipaksa ayahnya kembali ke Tanta untuk melanjutkan pelajarannya. Dalam perjalanannya ke Tanta, Abduh mengubah haluan menuju ke desa kanisah untuk bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr. Dia adalah pengikut tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang luas karena banyak melakukan perjalanan ke luar mesir.

Kemudian dia melanjutkan pelajarannya di Masjid Al-Ahmadi dan pada 1866 dia resmi masuk di Al-Azhar. Di perguruan tinggi islam yang paling popular itu ternyata Abduh tidak menemukan sesuatu yang baru. Materi pelajaran dan metodenya tidak jauh berbeda dengan di Tanta sebelumnya.

Kebosanannya itu disampaikan kepada pamannya, Syaikh Darwisyi, bahwa di Al-Azhar dia merasa kecewa pula. Pamannya lalu menyarankan supaya tetap belajar di Al-Azhar, disamping menuntut ilmu kepada ulama-ulama di luar Al-Azhar. Saran tersebut dipatuhi oleh Abduh. Dia belajar ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di Al-Azhar, seperti filsafat, logika, dan matematika kepada Syaikh Hasan At-Tawil.

Abduh dan kawan-kawannya berkesempatan berdialog dengan tokoh pembaru, bernama Jamaluddin Al-Afghani (1870). Di sinilah awal perkenalan Abduh dengan Jamaluddin Al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya pula. Melalui Jamaluddin, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika, teologi, politik, dan jurnalistik.

Karena tertarik pada pemikiran Muktazilah, Abduh lalu dituduh ingin menghidupkan lagi Aliran ini. Atas tuduhan ini dia dipanggil menghadap Syaikh al-Laisi, tokoh ulama penentang Muktazilah. Ketika ditanya apakah dia akan memilih Muktazilah, dijawabnya dengan tegas bahwa dia tidak bermaksud taklid kepada aliran manapun dan kepada siapapun. Dia ingin menjadi pemikir bebas. Peristiwanya ini nyaris membuatnya gagal memperoleh ijazah Al-Azhar. Meskipun tujuan Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh sama, yaitu pembaruan masyarakat islam, namun cara untuk mencapai tujuan itu berebeda.


2.    Karya-karya Syaikh Muhammad Abduh

Syaikh Muhammad Abduh meninggalkan beberapa karya, Antara lain :

a.       Risalah al-Tauhid

Pada 1882 di Mesir terjadi pemberontakan yang dipelopori oleh ‘Urabi Pasya, yang mana Abduh menjadi penasihatnya. Ketika pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka resikonya Abduh diusir dari negeri Mesir, dan akhirnya memilih di Syiria (Beirut). Di sini dia mengajar pada perguruan As Shulthaniyah pada 1885 sekitar setahun lamanya, mengajarkan Ilmu Tauhid, Fiqih, dan Sejarah Islam. Hasil pelajaran tersebut, kemudian dibukukan dan menjadi bahan pelajaran di Sekolah Menengah Al-Azhar, ketika dia telah diizinkan pulang ke mesir. Jadi Risalah a;-Tauhid adalah karya hasil pengalaman mengejar ketika di Syiria.

b.      Al-Islam Wan-Nashraniyah Ma’ al-Ilmi Wal-Madaniyah

Ditulis tahun 1902, buku ini memperbandingkan antara pandangan Islam dan Kristen tentang Ilmu, peradaban, watak kedua agama itu dan keadaan islam waktu itu, penyakit yang melanda umat islam dan bagaimana terapinya. Pada bab penutup dikupas pemikiran filosof ibnu rusydi dan terakhir berisi tentang kesan dan tanggapan terhadap buku tersebut baik dari kalangan islam maupun Kristen.

c.       Syarah kitab Al-Bashair al-Nashiriyah karangan Syaikh Al-Qadhi Zainuddin, tahun 1898.

d.      Tafsir Al-Manar

e.     Ide pemikirannya Bersama-sama dengan gurunya, Sayid Jamaluddin Al-Afghani, ditulis di majalah Al-‘Urwah Al-Wutsqo, untuk menyadarkan dan mempersatukan pikiran umum di seluruh negeri Muslim. Majalah tersebut diterbitkan di paris ketika keduanya pada masa pengasingan

f.       Ar-Raddu ‘Ala al-Dahriyyin tahun 1886

g.      Syahrul-Balaghoh, tahun 1885

h.      Syarah Maqamat Badi’izzaman Al-hamadani, tahun 1889

i.    Menerjemahkan karangan Herbert spencer, filsuf inggris ke dalam Bahasa Prancis, berjudul L’education (Nasution: 62-74; Adam: 48-49).

j.        Durus Min Al-Qur’an (berbagai pelajaran dari Al-quran

k.      Hashiyah ‘Ala Syarhid-Dawwani al-Aqaid al-Adudiyah

(komentar terhadap penjalasan Ad-Dawwani tentang Akidah-akidah yang meleset).

l.        Tafsir Al-Qur’an al Karim Juz ‘Amma. [1]


3.    Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh

a.       Tentang Islam

Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati(mu jma’ ‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai  jelas. [2]

Disinilah peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.

Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.

Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan  kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.[3]

Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahayatak lid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.

Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.[4]

Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bias dihindarkan.

Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut.[5]

Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan as Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah

dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.

Tantangannya yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.

Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatantakl id dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami sesuatu. Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bias diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.

b.      Tentang Akal Pikiran

Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya,

pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.[6]

Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.

Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.

Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.

Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap

sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam  tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.[7]

Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasandalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud.

Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu.[8]

Baca juga artikel yang lain:

4.  Inti Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh

1.  Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.

2.   Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.

3.     Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.[9] 


[1] Prof. dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M. Pd.I, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) sejarah, ajaran, dan perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h.305-307

[2] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 26

[3] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 29

[4] Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hlm 79.

[5] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 40

[6] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 42

[7] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 50

[8] Muhammad Abduh, Risalah tauhid,  hlm 51

[9] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...