HOME

23 Januari, 2022

Pendidikan Akhlak

 

BAB II

PEMBAHASAN 

A. Pelaksanaan Pendidikan Akhlak di Awal Datangnya Islam 

1 . Masa Pembinaan Pendidikan Islam

Masa pembinaan pendidikan Islam yang dimaksud adalah masa di mana proses penurunan ajaran Islam kepada Muhammad SAW dan proses pembudayaanya berlangsung. Yang dimaksudkan Proses pembudayaan di sini adalah masuknya Islam ke dalam kebudayaan manusiawi, sehingga diterima dan menjadi unsur yang menyatu dalam kebudayaan manusia. Masa tersebut berlangsung sejak Muhammad SAW menerima wahyu dan menerima pengangkatanya sebagai Rosul, sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam, sepeniggal Muhammad SAW. Masa tersebut berlangsung selama 22 atau 23 tahun, sejak beliau menerima wahyu pertama kali, yaitu 17 Ramadlon 13 tahun sebelum hijrah (bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M) sampai dengan wafat beliau pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah ( bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 M).[1]

Datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh para Rosul yang telah diutus oleh Allah adalah untuk meluruskan dan memacu perkembang an budaya umat manusia. Demikian pula halnya dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhmmad SAW, berfungsi untuk meluruskan perkembangan budaya umat manusia yang ada pada zamannya dan menata kembali unsur - unsur budaya yang telah ada di kalangan bangsanya dan meletakkan unsur- unsur baru yang akan menjadi dasar bagi perkembangan budaya berikutnya. Tugas ini bukan hanya tertuju pada bangsanya sendiri tetapi mengarah pada pengembangan budaya seluruh umat manusia. Namun demikian, beliau memulai dan berhadapan langsung dengan warisan budaya bangsanya (bangsa Arab) karena disanalah ia lahir meskipun beliau diutus oleh Allah untuk seluruh Alam.[2]

Bangsa Arab adalah keturunan Nabi Ibrahim dari anaknya Ismail, oleh karena itu pada hakikatnya kebudayaan bangsa Arab adalah budaya warisan dari Nabi Ibrahim yang tentunya terdapat unsur- unsur ajaran Islam yang telah dibudayakan oleh Ibrahim dan Ismail kedalamnya. Tetapi karena sudah berjalan dalam waktu yang cukup panjang maka unsur-unsur Islam tersebut tidak lagi tampak dalam bentuk yang jelas, bahkan ada yang berubah sama sekali[3].

Intisari ajaran Ibrahim dengan ka’bah sebagai pusatnya adalah ajaran Tauhid dan Muhammad melalui tugasnya dengan membersihkan tauhid ini dari syirik dan penyembahan terhadap berhala, sehingga mutiara tauhid yang telah pudar pada masa itu menjadi cemerlang lagi dan menyinari seluruh warisan yang ada.

Intisari ajaran tauhid yang di bawa oleh Nabi Muhammad dan yang digunakan olehnya untuk mengadakan opersi pembedahan terhadap warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari aslinya tersebut tidak lain adalah apa yang terlukiskan dakan Surat Al-Fatihah yang merupakan intisari dari seluruh wahyu Allah yang diwahyukan kepada Muhammad. Beliau menggunakan Surat Al- Fatihah tersebut sebagai alat dan sekaligus criteria/pedoman dalam melaksanakan operasi pembedahan terhadap warisan Ibrahim. Kemudian dalam praktek pelaksanaanya beliau selalu menerima petunjuk dan intruksi dari Allah melalui wahyu – wahyu yang diturunkan kemudian.

Dengan demikian pendidikan Islam pada pembinaan ini dilaksanakan oleh Rasul berdasarkan petunjuk dan bimbingan langsung dari Allah. Pelaksanaan pembinaan pendidikan Islam pada zaman Nabi tersebut dapat dibedakan menjadi dua tahap yaitu fase Makkah sebagai fase awal pembinaan pendidikan Islam dan fase Madinah sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan pendidikan Islam. 

2. Pelaksanaan Pendidikan Islam Periode Makkah.

          Pendidikan dan pengajaran yang diberikan Nabi selama di Makkah ialah pendidikan keagamaan dan akhlak serta menganjurkan kepda manusia, supaya mempergunakan akal pikirannya memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta seagai anjuran pendidikan ‘akliyah dan ilmiyah.[4]

          Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam,menyatakan bahwa pembinaan pendidikan islam pada masa Makkah meliputi:

a. Pendidikan Keagamaan

Yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata jangan dipersekutukan dengan nama berhala.

b. Pendidikan Akliyah dan Ilmiah

Yaitu mempelajari kejadian manusiadari segumpal darah dan kejadian alam semesta.

c. Pendidikan Akhlak dan Budi pekerti

Yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.

d. Pendidikan Jasmani atau Kesehatan.

Yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman. Adapun tahapan pendidikan Islam Fase Makkah ini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu :

a. Tahap Pendidikan Islam Secara Rahasia Dan Perorangan

Yaitu ketika awal turunnya wahyu pertama, pola pendidikan yang dilakukan adalah secara sembunyi – sembunyi, dimulai dari diri beliau sendiri dan keluarga dekatnya. Tahap ini berlangsung selama 3 tahun.

b. Tahap pendidikan Islam secara terang – terangan

Tahap ini dilaksanakan ketika turun wahyu berikutnya, yang memerintahkan dakwah secara terang – terangan. Ketika wahyu itu turun belaiu mengundang keluarga dekatnya untuk berkumpul di bukit Shafa, menyerukan agar berhati – hati terhadap azab yang keras dikemudian hari bagi orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai utusan Nya.[5]

c. Tahap pendidikan Islam untuk umum.

Tahap ini di dasarkan pada perintah Allah surat Al Hijr ayat 94 – 95, yang artinya “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu),”

3. Pelaksanaan Pendidikan Islam Periode Mandinah

Berbeda dengan periode di Makkah, pada periode Madinah islam merupakan kekuatan politik. Ajaran islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad juga mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala Negara.[6]

Cara Nabi melakukan pembinaan dan pengajaran pendidikan agaam islam di Madinah adalah sebagai berikut:

a. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik.

Masalah pertama yang di hadapi Nabi Muhammad Saw dan kaum Muhajirin adalah tempat tinggal. Untuk sementara para kaum Muhajirin bisa menginap dirumah-rumah kaum anshor. Tepi beliau sendiri memerlukan suatu tempat khusus di tengah-tengah ummatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai lambang persatuan dan kesatuan diantara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda.

Oleh karena itu Nabi memerintahkan untuk membangun masjid. Masjid itu telah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran. Tugas selanjutnya yang dihadapi Nabi adalah membina dan mengembangkan persatuan dan kesatuan masyaraka islam yang baru tumbuh tersebut, sehingga mewujudkan satu kesatuan social dan kesatuan politik.

Setelah selesai Nabi Muhammad SAW mempersatukan kaum muslimin, sehingga menjadi bersaudara, lalu Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi, penduduk Madinah. Dalam perjanjian itu ditegaskan, bahwa kaum Yahudi bersahabat dengan kaum muslimin, tolong- menolong , bantu-membantu, terutama bila ada serangan musuh terhadap Madinah. Mereka harus memperhatikan negeri bersama-sama kaum Muslimin, disamping itu kaum Yahudi bebas memeluk agamanya dan bebas beribadah menurut kepercayaannya. Inilah salah satu perjanjian persahabatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.[7]

b. Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan.

Materi pendidikan sosial dan kewarnegaraan islam pada masa itu adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam konstitusi Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjut dan di sempurnakan dengan ayat-ayat yang turun Selama periode Madinah.[8]

Tujuan pembinaan adalah agar secara berangsur-angsur, pokok-pokok pikiran konstitusi Madinah diakui dan berlaku bukan hanya di Madinah saja, tetapi luas, baik dalam kehidupan bangsa Arab maupun dalam kehidupan bangsa-bangsa di seluruh dunia.

4. Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Rosulullah

Mengindentifikasikan kurikulum pendidikan pada zaman Rasulullah terasa sulit, sebab Rasul mengajar pada sekolah kehidupan yang luas tanpa di batasi dinding kelas. Rasulullah memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-nilai pendidikan dan rasulullah menyampaikan ajarannya dimana saja seperti di rumah, di masjid, di jalan, dan di tempat-tempat lainnya.

Sistem pendidikan islam lebih bertumpu kepada Nabi, sebab selain Nabi tidak ada yang mempunyai otoritas untuk menentukan materi-materi pendidikan islam.Dapat dibedakan menjadi dua periode:

a. Makkah

1).   Materi yang diajarkan hanya berkisar pada ayat-ayat Makiyyah sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya yang dikenal dengan sebutan sunnah dan hadits.

2).   Materi yang diajarkan menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada keimanan, ibadah dan akhlak.

b. Madinah

1). Upaya pendidikan yang dilakukan Nabi pertama-tama membangun lembaga masjid, melalui masjid ini Nabi memberikan pendidikan islam.

2). Materi pendidikan islam yang diajarkan berkisar pada bidang keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan jasmanai dan pengetahuan kemasyarakatan

3). Metode yang dikembangkan oleh Nabi adalah:

a).   Dalam bidang keimanan: melalui tanya jawab dengan penghayatan yang mendalam dan didukung oleh bukti-bukti yang rational dan ilmiah.

b). Materi ibadah: disampaikan dengan metode demonstrasi dan peneladanan sehingga mudah didikuti masyarakat.

c).   Bidang akhlak: Nabi menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan baik dalam ucapan maupun perbuatan.

B. Tahapan-Tahapan Pendidikan Akhlak Anak

Pada hakekatnya, Pendidikan akhlak itu berusaha menyempurnakan dan mengarahkan potensi dan kekuatan naluri (garizah) dalam diri manusia.[9] Dalam pendidikan akhlak bagi anak terbagi menjadi beberapa periode, diantaranya :

1.    Pendidikan Anak Prenatal (Pendidikan Anak dalam Kandungan)

Anak merupakan makhluk Ciptaan Allah SWT yang hadir di tengah keluarga atas dasar Fitrah.  Mereka menjadi sumber kebahagiaan keluarga yang harus dijaga dan dipertahankan kesuciannya oleh kedua orang tuanya dan seluruh anggota keluarga lainnya, guiina kelestarian pertumbuhan kepribadian mereka secara totalitas. Kewajiban memelihara dan mendidik anak tersebut terdapat dalam Q.S At-Tahrim ayat 6:

يا ايها اڵذين امنو قوا انفسکم واهليکم نارا وقودوها الناس والحجارة عليها ملئکة غلاظ شداد ڵا يعصون الله ما امرەم ويفعلون ما يؤمرون.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At-Tahrim: 6)[10]

Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada segenap manusia yang beriman, agar memelihara dirinya dan keluarganya dengan penuh tanggung jawab agar terhindar dari bahaya dunia dan akhirat. Terutama pada anak-anak yang membutuhkan orang tua dalam pendidikan dan masa depannya kelak.

Pendidikan anak dalam kandungan menurut Islam adalah usaha sadar dari pihak orang tua untuk mendidik anak mereka yang masih dalam perut ibunya dengan cara mengikuti petunjuk Islam mengenai pendidikan, khususnya pendidikan anak dalam Kandungan.[11]

Pendidikan anak secara aktif menurut paedagogis Islami harus dimulai sejak masa diketahuinya bahwa anak tersebut sudah ada di dalam kandungan sang ibu (Prenatal). Dengan kata lain, pendidikan anak secara aktif sudah harus dimulai sejak masa ia dalam kandungan dengan cara atau teknik pendidikan yang Islami.

Al-Qur’an  telah menjelaskan bahwa roh yang di tiupkan malaikat berdasarkan izin dan perintah Allah yang lantas memberi hidup kepada anak di dalam kandungan, sudah memiliki daya kognitif tinggi. Hal ini dijelaskan Allah dalam Q.S Al-A’raaf ayat 172:

وإذ أخذ ربك من بني ادم من ظهورەم دريتهم وأشهد هم علی انفسهم، ألست بربکم قالو بلی شهدنا، ان تقولوا يوم القيمة إن کنا عن هذا غافلين.

Artinya: “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : “Bukankah aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Betul, (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Ke-Esaan Tuhan). (Q.S Al-A’raaf: 172) [12]

Menurut Baihaqi, A.K., bahwa syarat-syarat mendidik anak-anak Prenatal diantaranya adalah: [13]

a.       Beriman dan Bertaqwa kepada Allah

Merupakan syarat paling utama bagi keberhasilan upaya mendidik anak Prenatal.

b.      Bertekad dan Berniat Mendidik Anak Prenatal

c.       Menghormati Orang Tua dan Mertua

d.      Mendoakan Anak

Mendoakan menjadi kewajiban Orang tua sepanjang hayat, sejak anaknya masih dalam kandungan sampai lahir, dewasa dan menjadi tua pula.

e.       Memberi Makanan dan Pakaian yang Halal

f.       Ikhlas Mendidik Anak

g.      Berakhlak Mulia

Diantara akhlak mulia yang sangat erat kaitannya dengan Pendidikan anak prenatal adalah:

1). Kasih sayang

2). Sopan dan Lembut

3). Sabar menghadapi Anak

4). Rukun antara Orang Tua, Anak dan Masyarakat.

Adapun materi dan metode pendidikan anak dalam kandungan dapat dilaksanakan secara langsung, tetapi diaplikasikan melalui Ibunya. Metodenya lebih ditekankan kepada pembinaan lingkungannya, artinya penerapan semua metode yang diarahkan kepada pembinaan lingkungan yang Islami untuk anak Prenatal tersebut melalui Ibunya. Adapun metode dan materi yang diberikan dalam pendidikan anak Prenatal yaitu: [14]

a.       Metode Kasih Sayang

b.      Metode Beribadah

c.       Metode Membaca Al-Qur’an

d.      Metode Bercerita

e.       Metode Berdo’a

Dan Materi yang diberikan dalam pendidikan anak Prenatal adalah sebagai berikut:

a.       Sholat Fardhu lima waktu

b.      Shalat sunnat

c.       Membaca Al-Qur’an

d.      Keimanan

e.       Akhlak Mulia

f.       Do’a

 

2.      Pendidikan Anak Sejak Lahir

Sejak bayi dilahirkan, Islam telah meletakkan tata cara, sebagai ajaran dan tradisi yang baik untuk pembinaan Jiwa anak-anak. Diantaranya adalah:[15]

a.       Bisyarah (Ungkapan turut gembira)

Bagi seorang Muslim, disunnatkan menggembirakan dan membahagiakan saudaranya yang melahirkan anak. Hal itu dimaksudkan untuk menguatkan ikatan-ikatan persaudaraan dan menyebarkan sayap-sayap cinta dan kelembutan diantara saudara muslim. Penyampaian rasa ikut gembira atas kelahiran bayi sekaligus merupakan do’a yang positif di sisi Allah.

b.      DiSunnahkan mengadzani dan Mengiqamati anak yang baru lahir

Di antara hokum yang di syariatkan Islam bagi anak yang baru di lahirkan adalah mengadzani di telinga kanannya dan meng-iqamati di telinga kirinya, langsung pada saat di lahirkan. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmudzi, dari Abi Rafi’:

رأيت رسول الله صڵی الله عليه و سڵم أذن في أذن الحسن بن علێ حبن ولدته أمه. (رواه ابو داودوالترمذي).[16]

Artinya: “ Aku Pernah melihat Rasulullah mengadzani (di telinga) Hasan bin Ali sesaat sesudah Fatimah melahirkan. (H.R Abu Daud dan Turmudzi).

Begitu juga di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, r.a., bahwa Nabi adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri Hasan pada hari kelahirannya.

Rahasia mengadzani dan mengiqamati sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziah dalam kitabnya, Tuhfatul-Maudud, yaitu agar getaran pertama kali yang di dengar manusia adalah kalimat panggilan agung yang mengandung kebesaran dan keagungan Allah dan kesaksian pertama memasuki Islam. Dengan kata lain, agar ajakan kepada Allah, kepada Islam dan Penyembahan kepada-Nya didahulukan dari bujukan syaitan.

c.       Disunnatkan mentahnik anak yang baru lahir

Tahnik yaitu memamahkan kurma, mengulumi mulutnya dengan buah tersebut. Jika sukar mendapatkan kurma, maka biasa diganti dengan sesuatu yang manis sebagai meneladani perbuatan Rasul SAW. Hikmah dari perbuatan tersebut adalah untuk menguatkan otot-otot mulut dengan gerakan lidah karena menjilat sesuatu yang manis. Sebaiknya orang yang bertaqwa dan shaleh, sebagai tabarrok kepadanya, sebagai pengharapan agar si anak shaleh dan bertaqwa pula.

d.      Disunnatkan mencukur rambut

Termasuk hokum yang di syariatkan Islam bagi anak yang baru lahir adalah di sunnatkan mencukur rambutnya pada hari ketujuh. Hikmah dari perbuatan tersebut adalahmenghilangkan rambut kepala anak berarti menguatkan kepala anak dan membuka pori-pori kepala, begitu juga akan menajamkan penglihatan, penciuman dan pendengaran.[17]

e.       Tasmiyah (Penamaan Anak)

Yaitu memberi nama dengan nama-nama yang baik.[18] Diriwayatkan oleh Ashabussunah dari Samrah yang berkata bahwa : “Setiap anak terikat dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, diberi nama dan dicukur rambutnya pada saat itu. (HR.Abu Daud, at-Turmudzi dan an-Nasai)”.

 

 

f.       Aqiqah

Menurut bahasa berarti memutus. Sedangkan menurut istilah berarti menyembelih domba untuk anak pada hari ketujuh kelahirannya.[19] Menurut pandangan hokum (Fiqh) dikategorikan ke dalam sunnat muakkad, anjuran yang ditekankan. Maksudnya meskipun Rasulullah tidak menggolongkannya ke perintah yang di wajibkan, namun beliau senantiasa melaksanakannya. Adapun hikmah aqiqah diantaranya:

1). Sebagai pengorbanan untuk mendekatkan anak kepada Tuhan sedini mungkin sejak awal mengarungi kehidupan.

2). Sebagai tebusan si anak dari berbagai musibah dan bencana, sama dengan Allah menebus Ismail dengan sembelihan yang Agung.

3). Sebagai pembuka penggadai anak pada kesempatan syafa’at bagi kedua orang tuanya.[20]

g.      Khitan

Khitan merupakan sunnah nabawiyah yang diwarisnya dari nabi-nabi sebelumnya. Ulama ber-ikhtilaf dalam menentukan hukumnya antara wajib dan sunnah. Menurut jumhur ulama, khitan itu wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita. Dan telah dibuktikan oleh penelitian kedokteran bahwa khitan itu bernilai positif terhadap kesehatan. Adapun hikmahnya antara lain:

1). Khitan merupakan dasar fitrah (kesucian) syiar islam dan ciri syariat.

2).Khitan merupakan puncak kesempurnaan yang disyariatkan Allah melalui Nabi Ibrahim. Syariat yang mengajak hati untuk bertauhid dan beriman.

3).Khitan dapat membedakan seorang muslim dari pemeluk agama-agama lain di luar islam.

4).Khitan merupakan sebuah pengakuan penghambaan diri kepada Allah SWT.[21]

3.      Pendidikan Anak Usia Dini (Anak Usia Sekolah)

Yang dimaksud dengan Usia Dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan UU No.20 tahun 2003, anak usia dini adalah kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun. Sedangkan berdasarkan para pakar pendidikan anak, yaitu kelompok manusia yang berusia 8-9 tahun.[22]

Pendidikan Akhlak anak usia dini atau anak usia sekolah dilaksanakan dalam suatu lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana, yaitu di sekolah. Dan Guru sebagai Pelaksana dalam tugas pembinaan, pendidikan dan pengajaran adalah orang yang telah dibekali dengan pengetahuan tentang anak didik dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas kependidikan.

Pendidikan agama dan pendidikan akhlak yang baik dan mudah di lakukan adalah melalui semua guru dan semua bidang studi. Artinya, setiap guru yang mengajar di sekolah hendaknya menjadi contoh teladan bagi anak didiknya, terutama dalam keimanan, amal shaleh, akhlak dan sikap hidup serta caranya berpikir.[23]

Adapun materi Pendidikan akhlak yang harus diajarkan kepada anak usia dini (anak usia Sekolah) sebagaimana akhlak-akhlak mulia yang diperintahkan oleh Rasulullah dan dicontohkan oleh beliau dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:

     1). Jujur

Sesungguhnya mendidik masyarakat terutama dalam keluarga (mendidik akhlak pada anak) menuntut adanya latihan bagi masing-masing untuk kejujuran dalam setiap ucapan maupun perbuatan. Terutama bagi orang tua, wajib hukumnya memberi contoh mengenai kejujuran dan mengajarkannya sejak kecil.

     2). Amanah

Sifat amanah dijadikan tanda adanya Iman dalam diri seseorang, sebaliknya tanda orang munafik adalah tidak adanya sifat amanah dalam dirinya. Orang tua wajib melatih anak-anaknya untuk bersifat amanah dan menghindari sifat khianat.

3). Sabar

Sabar artinya tabah, sikap menerima dan tenang. Sabar merupakan akhlak mahmudah baik di saat mengalami bahagia maupun menderita, sehingga manusia akan terhindar dari hawa nafsunya.

       4). Malu

Seorang muslim seyogyanya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik dan mempunyai sifat malu. Karena malu itu sebagian dari iman. Sifat malu merupakan salah satu unsur pendorong yang kuat bagi seseorang untuk berkelakuan baik dan menjauhi yang buruk.

Adapun metode yang dipakai disesuaikan dengan perkembangan kecerdasan dan kejiwaan anak pada umumnya, yaitu mulai contoh, teladan, pembiasaan, dan latihan. Kemudian berangsur-angsur memberikan penjelasan secara logis dan maknawi.[24]

4.      Pendidikan Akhlak Pada Masa Remaja

Masa remaja adalah ketika anak berusia 13-18 tahun. Dimana anak sudah memasuki jenjang sekolah menengah. Pengawasan tidak hanya terbatas ketika berada di sekitarnya, tetapi harus tanggap dan teliti terhadap pergaulannya.

5.      Pendidikan Akhlak Pada Masa Dewasa

Pada masa ini anak berusia sekitar 19 tahunkeatas. Anak sudah dapat menghayati pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialami sejak kecil hingga dewasa, kemudian menemukan arti dan nilai-nilai tertentu yang bermanfaat untuk menentukan sikap berfikir yang kritis.[25]

C. Peran Pendidikan Akhlak Terhadap Kepribadian Muslim

Kepribadian berasal dari kata “Pribadi” yang berarti diri sendiri, atau perseorangan. Sedangkan dalam bahasa inggris digunakan istilah personality, yang berarti kumpulan kualitas jasmani, rohani dan susila yang membedakan seseorang dengan orang lain.[26]

Pada dasarnya kepribadian bukan terjadi secara serta merta akan tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Oleh karena itu banyak faktor yang ikut ambil bagian dalam membentuk kepribadian manusia tersebut. Dengan demikian apakah kepribadian seseorang itu baik, buruk, kuat, lemah, beradap atau biadap sepenuhnya ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi dalam pengalaman hidup seseorang tersebut. Dalam hal ini pendidikan sangat besar penanamannya untuk memenuhi kepribadian m anusia itu.[27]

Kepribadian secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang dimiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Sabda Nabi mengemukakan “orang mukmin yang paling sempurna adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.”

Orang yang dapat dengan benar melaksanakan aktivitas hidupnya seperti mendirikan sholat, menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan dan peperangan maka mereka disebut sebagai muslim yang takwa. Hal ini merupakan pola takwa sebagai gambaran dari kepribadian yang hendak diwujudkan pada manusia Islam. Apakah pola ini dapat “mewujud” atau “mempribadi” dalam diri seseorang, sehingga Nampak perbedaannya dengan orang lain karena takwanya, maka orang itu adalah orang yang dikatakan sebagai seseorang yang mempunyai “kepribadian muslim”.

Secara Individu kepribadian muslim mencerminkan ciri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut diperoleh berdasarkan potensi bawaan. Dengan demikian secara potensial (pembawaan) akan dijumpai adanya perbedaan kepribadian antara seorang muslim dengan muslim lainnya.[28]

Pembentukan kepribadian muslim secara individu pada dasarnya didasarkan kepada pembentukan pandangan hidup yang mantap yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman. Dengan demikian setiap pribadi muslim akan memiliki pandangan hidup yang sama walaupun masing-masing mempunyai faktor bawaan yang berbeda-beda.[29]

Pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai nilai-nilai keislaman. Dengan adanya cermin dari nilai-nilai dimaksud dalam sikap dan perilaku seseorang, maka tampilah kepribadiannya sebagai seorang muslim. Pemberian nilai-nilai keislaman dalam upaya membentuk kepribadian muslim pada dasarnya merupakan untuk memberi tuntunan dalam mengarahkan perubahan sikap ke sikap yang dikehendaki oleh islam.

D. Muslih dan Muhsin Sebagai Produk Dari Pendidikan Akhlak

Muslih dan Muhsin, artinya orang yang selalu melakukan perbuatan baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungan hidupnya. Muhsin adalah orang yang tekun menjalankan rukun Islam, rukun Iman, ibadah yang continue, baik ibadah wajib maupun sunah, lalu berusaha meningkatkan amalannya dengan memperbanyak bertaubat kepada Allah, ‘inabah (taubat dalam hati), zuhud, tawakkal, rela, tafwid (curahan perhatian kepada Allah) dan ikhlas dalam segala hal. Muslih menurut pendapat tersebut, adalah orang yang masih awam; yaitu menjalankan ibadah ritual dan sosial sekedar karena memenuhi kewajibannya. Tetapi muhsin adalah orang yang sudah mempersiapkan dirinya untuk mulai memasuki kehidupan tasawuf, dengan melakukan berbagai persyaratan yang harus memperoleh tingkatan rohani yang disebut maqamat. Oleh karena itu, orang yang memperbanyak ibadah sunahnya (al-‘ubbad) disebut juga muhsin. Dan orang yang menjalankan latihan kerohanian dengan cara memperbanyak zikir (al-salik) disebut juga dengan muhsin. Karena itu, peserta tasawuf (al-mutasawwif) di sebut juga muhsin[30], karena orang tersebut sedang menjalankan amalan baik secara continue untuk sampai kepada tingkat tertentu dalam maqam Tasawuf, yang di sebut al-jili dengan al-istiqamah fi-maqamati al-sab’ah(berusaha menekuni secara ketat tujuh macam tingkatan rohani); yang dimulai dari tingkatan taubat hingga dengan tingkatan ikhlas. Muhsin berasal dari kata , Ikhsan artinya : baik. Muhsin adalah Orang Mukmin yang mencapai tahap Ihsan sebagai yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. didalam sebuag hadith yang panjang. Seorang Mukmin haruslah mengerjakan perbuatan kebajikan yang disebut ihsan. Ihsan itu meliputi segala perbuatan yang baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dari seorang Mukmin meningkat lagi menjadi seorang Muhsin.[31]

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.[32]

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril yang menyamar sebagai seorang manusia mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqoroh: 195)
Didalam makalah ini akan dicoba untuk menjelaskan mengenai ihsan itu sendiri dalam memahami kepribadian. Sehingga didapatkan suatu pemahaman baru tentang kepribadian islam dilihat dari sisi pendekatan ihsan. Diharapkan dengan uraian tentang ihsan ini terbuka wacana untuk dikembangkan dan disempurnakan dikemudian hari, sehingga semakin kaya kazhanah pengetahuan kita tentang psikologi islam.[33]

1 . Pengertian Kepribadian Muhsin

Muhsin berarti orang yang berbuat ihsan. Kata ihsan berasal dari hasuna” yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudaratan merupakan perilaku yang ihsan. Namun, karena ukuran ihsan bagi manusia sangat relatif dan temporal, maka kriteria ihsan yang sesungguhnya berasal dari allah swt. Karena itu, hadist nabi saw. Menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada pribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan diri pada-Nya, seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma’iyyah) dengan-nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak tidak akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba di hadapan tuhannya. [34]

Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin adalah kepribadian dapat memperbaiki dan mempercantik individu, baik berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan kepada Tuhan yang diniatkan hanya untuk mencari ridhanya.[35]

Dalam studi tematik qurani ditemukan berbagai indikator ihsan sebagai berikut: berserah diri kepada allah, agar terhindar dari takut (phobia) dan sedih hati (QS. al-baqoroh: 122) dan masih banyak lagi keterangan tentang ihsan didalam al-quran. Tetapi sekalipun dalam alquran ditemukan beberapa pengertian dan indikator ihsan, tetapi yang dimaksudkan ihsan disini adalah seluruh perilaku baik, selain masalah keimanan dan keislaman, yang dilakukan dalam rangka mencari ridha allah swt. Ihsan ini terkait dengan perilaku batin yang dapat menghiasi diri manusia, untuk menyempurnakan keimanan dan peribadatannya.

2. Pola Pembentukan Kepribadian Muhsin

Kepribadian muhsin dapat dibentuk dengan dua pola: pertama, pola umum, yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia yang objeknya tidak terbatas pada subjek tertentu. Pola umum ini antara perilaku syukur, sabar, tawakal, pemaaf, iffah dan sebagainya. Perilaku syukur misalnya, dapat ditujukan kepada allah dengan memuji karunianya dengan ucapan al-hamdulillah dan mempergunakan karunia itu sebagaimana yang diperintahkan-nya. Syukur juga dapat dialamatkan kepada sesama manusia dengan ucapan terima kasih dan menerima pemberian itu dengan senang; kedua, pola khusus, yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia yang objeknya ditujukan pada subyek tertentu.[36]

Dalam pencapaian kepribadian muhsin ini, terdapat tiga pola yang dapat diterapkan, yaitu: Pertama, pola hirarki, yang mana masing-masing karakter memiliki tata urut dan tahapan. Artinya, masing-masing karakter meiliki tangga yang harus dilalui dari tahap pertama menuju tahap berikutnya. Sebagai contoh, untuk mencapai kepribadian muhsin, individu memiliki karakter taubah, diteruskan dengan zuhud, sabar, faqir, tawadhu’, takwa, tawakal, ridha, cinta dan berakhir pada ma’rifah. Kedua, pola proporsional, yang mana individu dapat memiliki bagian-bagian dari kepribadian muhsin menurut keadaan yang dialami, tidak menurutadanya tata urut. Ketiga, pola elektis, yaitu menggunakan semua bentuk-bentuk kepribadian muhsin secara campuran dan simultan, sebab masing-masing bentuk kepribadian muhsin merupakan satu kesatuan yang utuh.

Orang ‘soleh’ menurut Imam Gazali adalah orang yang baik secara pribadi. Sedangkan oleh ‘muslih’ adalah orang yang baik secara pribadi serta sosial.Atau dengan kata yang lain, ‘soleh’ adalah kualitas kebaikannya hanya untuk diri sendiri, sedangkan ‘muslih’ kualitas kebaikannya bisa merambah dan menjadi petunjuk orang lain atau masyarakat luas.

Kalau ditanya mana yang lebih baik antara menjadi orang soleh’ atau ‘muslih’ jawabnya tentu saja orang yang ‘muslih’. Istilahnya adalah orang ‘muslih’ itu punya kedalaman sekaligus ketinggian tauhid yang kemudian diimplementasikan dalam kenyataan sosial kemasyarakatan,” kata Najiyah. Ihsan berarti berbuat baik, orang yang ihsan disebut Muhsin, berarti yang berbuat baik[37]

3. Menjadi Insan yang Ihsan (Muhsin)

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.[38]

Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)

4. Pengertian Ihsan

Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri………..” (Al-Isra’: 7)

“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt

a. Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1). Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya[39]. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

2). Muamalah

Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu”. Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut[40]

a). Ihsan kepada kedua orang tua

Allah swt menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24). Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.[41]

Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan dan keislaman.

b). Ihsan kepada kerabat karib.

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22).[42]

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmudzi). Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

c). Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin

Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa dari Kaum Muslimin yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”[43]

d). Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim; sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani).[44]

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barang siapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)

e). Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i). Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)[45]

f). Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

g). Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.[46]

3). Akhlak

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.[47]

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm

[2] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.52

[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm. 37

[4] Ibid. 38-39

[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm.46

[6] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.59

[7] Ibid. 60-63

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm 50

[9] Mustofa,Akhlak Tasawuf (Bandung: CV.Pustaka Setia,1999),83.

[10] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Semarang: PT.Kumudasmoro Grafindo,1994),654.

[11] Baihaqi,Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islami (Jakarta: Darul Ulum Press,2001),12-13.

[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan …………………..,250.

[13] Baihaqi, Pendidikan Anak dalam Keluarga………………………………,29-32.

[14] Ibid., 51-60.

[15] Shodiq Ihsan, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Bandung: PT.Remaja Roesdakarya,1993),124-125.

[16] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam (Bandung: PT.Remaja Roesdakarya,1992),53.

[17] Ibid.,56.

[18] Shodiq Ihsan, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern……………………., 125.

[19] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak………………………………………,70-71.

[20] Ibid.,84.

[21] Ibid.,94-95.

[22] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),88.

[23] Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Yogyakarta: CV.Ruhama,1995),82.

[24] Ibid.,83.

[25] Mahjuddin, Akhlak Tasawwuf (Jakarta: Kalam Mulia,2011),53.

[26] Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,1996),89.

[27] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), 24.

[28] Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pemikiran Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,1994),94.

[29] Ibid.,100.

[30] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm

[31] http://riyanasnani.blogspot.co.id diakses tanggal 7-April-2018 pukul 14.30

[32] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.76

[33] Ibid, 82

[34] Nashih Ulwan Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset), 1992, hlm.34

[35] Ibid, 39

[36] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.80

[37] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm 87

[38] Nashih Ulwan Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset), 1992, hlm. 98

[39] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm 93

[40] Ibid, 95-97

[41] Ibid, 99

[42] Ibid, 103

[43] Nashih Ulwan Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset), 1992, hlm. 71

[44] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.93

[45] Ibid, 98

[46] Ibid, 99-100

[47] Ibid, 89

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...