BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pendidikan Akhlak di Awal
Datangnya Islam
1 .
Masa Pembinaan Pendidikan Islam
Masa
pembinaan pendidikan Islam yang dimaksud adalah masa di mana proses penurunan
ajaran Islam kepada Muhammad SAW dan proses pembudayaanya berlangsung. Yang
dimaksudkan Proses pembudayaan di sini adalah masuknya Islam ke dalam
kebudayaan manusiawi, sehingga diterima dan menjadi unsur yang menyatu dalam
kebudayaan manusia. Masa tersebut berlangsung sejak Muhammad SAW menerima wahyu
dan menerima pengangkatanya sebagai Rosul, sampai dengan lengkap dan
sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam, sepeniggal Muhammad
SAW. Masa tersebut berlangsung selama 22 atau 23 tahun, sejak beliau menerima
wahyu pertama kali, yaitu 17 Ramadlon 13 tahun sebelum hijrah (bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus 610 M) sampai dengan wafat beliau pada tanggal 12
Rabi’ul Awwal 11 Hijrah ( bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 M).[1]
Datangnya
ajaran Islam yang dibawa oleh para Rosul yang telah diutus oleh Allah adalah
untuk meluruskan dan memacu perkembang an budaya umat manusia. Demikian pula
halnya dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhmmad SAW, berfungsi untuk
meluruskan perkembangan budaya umat manusia yang ada pada zamannya dan menata
kembali unsur - unsur budaya yang telah ada di kalangan bangsanya dan
meletakkan unsur- unsur baru yang akan menjadi dasar bagi perkembangan budaya
berikutnya. Tugas ini bukan hanya tertuju pada bangsanya sendiri tetapi
mengarah pada pengembangan budaya seluruh umat manusia. Namun demikian, beliau
memulai dan berhadapan langsung dengan warisan budaya bangsanya (bangsa Arab)
karena disanalah ia lahir meskipun beliau diutus oleh Allah untuk seluruh Alam.[2]
Bangsa
Arab adalah keturunan Nabi Ibrahim dari anaknya Ismail, oleh karena itu pada
hakikatnya kebudayaan bangsa Arab adalah budaya warisan dari Nabi Ibrahim yang
tentunya terdapat unsur- unsur ajaran Islam yang telah dibudayakan oleh Ibrahim
dan Ismail kedalamnya. Tetapi karena sudah berjalan dalam waktu yang cukup
panjang maka unsur-unsur Islam tersebut tidak lagi tampak dalam bentuk yang
jelas, bahkan ada yang berubah sama sekali[3].
Intisari
ajaran Ibrahim dengan ka’bah sebagai pusatnya adalah ajaran Tauhid dan Muhammad
melalui tugasnya dengan membersihkan tauhid ini dari syirik dan penyembahan
terhadap berhala, sehingga mutiara tauhid yang telah pudar pada masa itu
menjadi cemerlang lagi dan menyinari seluruh warisan yang ada.
Intisari
ajaran tauhid yang di bawa oleh Nabi Muhammad dan yang digunakan olehnya untuk
mengadakan opersi pembedahan terhadap warisan Ibrahim yang telah banyak
menyimpang dari aslinya tersebut tidak lain adalah apa yang terlukiskan dakan
Surat Al-Fatihah yang merupakan intisari dari seluruh wahyu Allah yang
diwahyukan kepada Muhammad. Beliau menggunakan Surat Al- Fatihah tersebut
sebagai alat dan sekaligus criteria/pedoman dalam melaksanakan operasi
pembedahan terhadap warisan Ibrahim. Kemudian dalam praktek pelaksanaanya
beliau selalu menerima petunjuk dan intruksi dari Allah melalui wahyu – wahyu
yang diturunkan kemudian.
Dengan
demikian pendidikan Islam pada pembinaan ini dilaksanakan oleh Rasul berdasarkan
petunjuk dan bimbingan langsung dari Allah. Pelaksanaan pembinaan pendidikan
Islam pada zaman Nabi tersebut dapat dibedakan menjadi dua tahap yaitu fase
Makkah sebagai fase awal pembinaan pendidikan Islam dan fase Madinah sebagai
fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan pendidikan Islam.
2. Pelaksanaan
Pendidikan Islam Periode Makkah.
Pendidikan dan pengajaran
yang diberikan Nabi selama di Makkah ialah pendidikan keagamaan dan akhlak
serta menganjurkan kepda manusia, supaya mempergunakan akal pikirannya
memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta seagai
anjuran pendidikan ‘akliyah dan ilmiyah.[4]
Mahmud Yunus dalam
bukunya Sejarah Pendidikan Islam,menyatakan bahwa pembinaan
pendidikan islam pada masa Makkah meliputi:
a. Pendidikan
Keagamaan
Yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata jangan
dipersekutukan dengan nama berhala.
b. Pendidikan
Akliyah dan Ilmiah
Yaitu mempelajari kejadian manusiadari segumpal darah dan
kejadian alam semesta.
c. Pendidikan
Akhlak dan Budi pekerti
Yaitu
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya agar berakhlak baik sesuai
dengan ajaran tauhid.
d. Pendidikan
Jasmani atau Kesehatan.
Yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat
kediaman. Adapun tahapan pendidikan Islam Fase
Makkah ini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu :
a. Tahap
Pendidikan Islam Secara Rahasia Dan Perorangan
Yaitu
ketika awal turunnya wahyu pertama, pola pendidikan yang dilakukan adalah
secara sembunyi – sembunyi, dimulai dari diri beliau sendiri dan keluarga
dekatnya. Tahap ini berlangsung selama 3 tahun.
b. Tahap
pendidikan Islam secara terang – terangan
Tahap
ini dilaksanakan ketika turun wahyu berikutnya, yang memerintahkan dakwah
secara terang – terangan. Ketika wahyu itu turun belaiu mengundang keluarga
dekatnya untuk berkumpul di bukit Shafa, menyerukan agar berhati – hati
terhadap azab yang keras dikemudian hari bagi orang yang tidak mengakui Allah
sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai utusan Nya.[5]
c. Tahap
pendidikan Islam untuk umum.
Tahap
ini di dasarkan pada perintah Allah surat Al Hijr ayat 94 – 95, yang artinya “Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami
memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan
(kamu),”
3. Pelaksanaan
Pendidikan Islam Periode Mandinah
Berbeda dengan periode di Makkah, pada periode Madinah islam
merupakan kekuatan politik. Ajaran islam yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad juga mempunyai kedudukan,
bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala Negara.[6]
Cara Nabi melakukan pembinaan dan pengajaran pendidikan
agaam islam di Madinah adalah sebagai berikut:
a. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru,
menuju satu kesatuan sosial dan politik.
Masalah pertama yang di hadapi Nabi Muhammad Saw dan kaum
Muhajirin adalah tempat tinggal. Untuk sementara para kaum Muhajirin bisa
menginap dirumah-rumah kaum anshor. Tepi beliau sendiri memerlukan suatu tempat
khusus di tengah-tengah ummatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai
lambang persatuan dan kesatuan diantara kedua kelompok masyarakat yang
mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda.
Oleh
karena itu Nabi memerintahkan untuk membangun masjid. Masjid itu telah menjadi
pusat pendidikan dan pengajaran. Tugas selanjutnya yang dihadapi Nabi adalah
membina dan mengembangkan persatuan dan kesatuan masyaraka islam yang baru
tumbuh tersebut, sehingga mewujudkan satu kesatuan social dan kesatuan politik.
Setelah
selesai Nabi Muhammad SAW mempersatukan kaum muslimin, sehingga menjadi
bersaudara, lalu Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi, penduduk
Madinah. Dalam perjanjian itu ditegaskan, bahwa kaum Yahudi bersahabat dengan
kaum muslimin, tolong- menolong , bantu-membantu, terutama bila ada serangan
musuh terhadap Madinah. Mereka harus memperhatikan negeri bersama-sama kaum
Muslimin, disamping itu kaum Yahudi bebas memeluk agamanya dan bebas beribadah
menurut kepercayaannya. Inilah salah satu perjanjian persahabatan yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.[7]
b. Pendidikan
sosial politik dan kewarganegaraan.
Materi
pendidikan sosial dan kewarnegaraan islam pada masa itu adalah pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam konstitusi Madinah, yang dalam prakteknya
diperinci lebih lanjut dan di sempurnakan dengan ayat-ayat yang turun Selama
periode Madinah.[8]
Tujuan
pembinaan adalah agar secara berangsur-angsur, pokok-pokok pikiran konstitusi
Madinah diakui dan berlaku bukan hanya di Madinah saja, tetapi luas, baik dalam
kehidupan bangsa Arab maupun dalam kehidupan bangsa-bangsa di seluruh dunia.
4. Kurikulum
Pendidikan Islam Pada Masa Rosulullah
Mengindentifikasikan kurikulum pendidikan pada zaman
Rasulullah terasa sulit, sebab Rasul mengajar pada sekolah kehidupan yang luas
tanpa di batasi dinding kelas. Rasulullah memanfaatkan berbagai kesempatan yang
mengandung nilai-nilai pendidikan dan rasulullah menyampaikan ajarannya dimana
saja seperti di rumah, di masjid, di jalan, dan di tempat-tempat lainnya.
Sistem pendidikan islam lebih bertumpu kepada Nabi, sebab
selain Nabi tidak ada yang mempunyai otoritas untuk menentukan materi-materi
pendidikan islam.Dapat dibedakan menjadi dua periode:
a. Makkah
1). Materi yang diajarkan hanya berkisar pada
ayat-ayat Makiyyah sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya yang dikenal
dengan sebutan sunnah dan hadits.
2). Materi yang diajarkan menerangkan tentang kajian keagamaan
yang menitikberatkan pada keimanan, ibadah dan akhlak.
b. Madinah
1). Upaya pendidikan yang dilakukan Nabi
pertama-tama membangun lembaga masjid, melalui masjid ini Nabi memberikan
pendidikan islam.
2). Materi pendidikan islam yang diajarkan berkisar pada
bidang keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan jasmanai dan pengetahuan
kemasyarakatan
3). Metode yang dikembangkan oleh Nabi adalah:
a). Dalam bidang keimanan: melalui tanya jawab dengan
penghayatan yang mendalam dan didukung oleh bukti-bukti yang rational dan
ilmiah.
b). Materi ibadah: disampaikan dengan metode
demonstrasi dan peneladanan sehingga mudah didikuti masyarakat.
c). Bidang akhlak: Nabi menitikberatkan pada metode
peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan
dan keagungan baik dalam ucapan maupun perbuatan.
B. Tahapan-Tahapan Pendidikan Akhlak Anak
Pada
hakekatnya, Pendidikan akhlak itu berusaha menyempurnakan dan mengarahkan
potensi dan kekuatan naluri (garizah) dalam diri manusia.[9]
Dalam pendidikan akhlak bagi anak terbagi menjadi beberapa periode, diantaranya
:
1. Pendidikan Anak Prenatal (Pendidikan Anak dalam Kandungan)
Anak merupakan makhluk Ciptaan Allah SWT yang hadir di tengah keluarga
atas dasar Fitrah. Mereka menjadi sumber
kebahagiaan keluarga yang harus dijaga dan dipertahankan kesuciannya oleh kedua
orang tuanya dan seluruh anggota keluarga lainnya, guiina kelestarian
pertumbuhan kepribadian mereka secara totalitas. Kewajiban memelihara dan
mendidik anak tersebut terdapat dalam Q.S At-Tahrim ayat 6:
يا ايها اڵذين امنو قوا انفسکم واهليکم نارا وقودوها الناس
والحجارة عليها ملئکة غلاظ شداد ڵا يعصون الله ما امرەم ويفعلون ما يؤمرون.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (Q.S At-Tahrim: 6)[10]
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa Allah SWT telah
memerintahkan kepada segenap manusia yang beriman, agar memelihara dirinya dan
keluarganya dengan penuh tanggung jawab agar terhindar dari bahaya dunia dan
akhirat. Terutama pada anak-anak yang membutuhkan orang tua dalam pendidikan
dan masa depannya kelak.
Pendidikan anak dalam kandungan menurut Islam adalah usaha sadar dari
pihak orang tua untuk mendidik anak mereka yang masih dalam perut ibunya dengan
cara mengikuti petunjuk Islam mengenai pendidikan, khususnya pendidikan anak
dalam Kandungan.[11]
Pendidikan anak secara aktif menurut paedagogis Islami harus dimulai
sejak masa diketahuinya bahwa anak tersebut sudah ada di dalam kandungan sang
ibu (Prenatal). Dengan kata lain, pendidikan anak secara aktif sudah harus
dimulai sejak masa ia dalam kandungan dengan cara atau teknik pendidikan yang
Islami.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa
roh yang di tiupkan malaikat berdasarkan izin dan perintah Allah yang lantas
memberi hidup kepada anak di dalam kandungan, sudah memiliki daya kognitif
tinggi. Hal ini dijelaskan Allah dalam Q.S Al-A’raaf ayat 172:
وإذ أخذ ربك من بني ادم من ظهورەم دريتهم وأشهد هم علی انفسهم،
ألست بربکم قالو بلی شهدنا، ان تقولوا يوم القيمة إن کنا عن هذا غافلين.
Artinya: “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh
mereka (seraya berfirman) : “Bukankah aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab:
“Betul, (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Ke-Esaan Tuhan). (Q.S Al-A’raaf:
172) [12]
Menurut Baihaqi, A.K., bahwa syarat-syarat mendidik anak-anak Prenatal
diantaranya adalah: [13]
a. Beriman dan Bertaqwa kepada Allah
Merupakan syarat paling utama bagi keberhasilan upaya mendidik anak
Prenatal.
b. Bertekad dan Berniat Mendidik Anak Prenatal
c. Menghormati Orang Tua dan Mertua
d. Mendoakan Anak
Mendoakan menjadi kewajiban Orang tua sepanjang hayat, sejak anaknya
masih dalam kandungan sampai lahir, dewasa dan menjadi tua pula.
e. Memberi Makanan dan Pakaian yang Halal
f. Ikhlas Mendidik Anak
g. Berakhlak Mulia
Diantara akhlak mulia yang sangat erat kaitannya dengan Pendidikan anak
prenatal adalah:
1). Kasih sayang
2). Sopan dan Lembut
3). Sabar menghadapi Anak
4). Rukun antara Orang Tua, Anak dan Masyarakat.
Adapun materi dan metode pendidikan anak dalam kandungan dapat
dilaksanakan secara langsung, tetapi diaplikasikan melalui Ibunya. Metodenya
lebih ditekankan kepada pembinaan lingkungannya, artinya penerapan semua metode
yang diarahkan kepada pembinaan lingkungan yang Islami untuk anak Prenatal
tersebut melalui Ibunya. Adapun metode dan materi yang diberikan dalam
pendidikan anak Prenatal yaitu: [14]
a. Metode Kasih Sayang
b. Metode Beribadah
c. Metode Membaca Al-Qur’an
d. Metode Bercerita
e. Metode Berdo’a
Dan Materi yang diberikan dalam pendidikan anak Prenatal adalah sebagai
berikut:
a. Sholat Fardhu lima waktu
b. Shalat sunnat
c. Membaca Al-Qur’an
d. Keimanan
e. Akhlak Mulia
f. Do’a
2. Pendidikan Anak Sejak Lahir
Sejak bayi dilahirkan, Islam telah meletakkan tata cara, sebagai ajaran
dan tradisi yang baik untuk pembinaan Jiwa anak-anak. Diantaranya adalah:[15]
a. Bisyarah (Ungkapan turut gembira)
Bagi seorang Muslim, disunnatkan menggembirakan dan membahagiakan
saudaranya yang melahirkan anak. Hal itu dimaksudkan untuk menguatkan
ikatan-ikatan persaudaraan dan menyebarkan sayap-sayap cinta dan kelembutan
diantara saudara muslim. Penyampaian rasa ikut gembira atas kelahiran bayi
sekaligus merupakan do’a yang positif di sisi Allah.
b. DiSunnahkan mengadzani dan Mengiqamati anak yang baru lahir
Di antara hokum yang di syariatkan Islam bagi anak yang baru di lahirkan
adalah mengadzani di telinga kanannya dan meng-iqamati di telinga kirinya,
langsung pada saat di lahirkan. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmudzi, dari
Abi Rafi’:
رأيت رسول الله صڵی الله عليه و سڵم أذن في أذن الحسن بن
علێ حبن ولدته أمه. (رواه ابو داودوالترمذي).[16]
Artinya: “ Aku Pernah melihat Rasulullah mengadzani (di telinga) Hasan
bin Ali sesaat sesudah Fatimah melahirkan. (H.R Abu Daud dan Turmudzi).
Begitu juga di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, r.a., bahwa Nabi adzan di
telinga kanan dan iqamat di telinga kiri Hasan pada hari kelahirannya.
Rahasia mengadzani dan mengiqamati sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziah dalam kitabnya, Tuhfatul-Maudud, yaitu agar getaran
pertama kali yang di dengar manusia adalah kalimat panggilan agung yang
mengandung kebesaran dan keagungan Allah dan kesaksian pertama memasuki Islam.
Dengan kata lain, agar ajakan kepada Allah, kepada Islam dan Penyembahan
kepada-Nya didahulukan dari bujukan syaitan.
c. Disunnatkan mentahnik anak yang baru lahir
Tahnik yaitu memamahkan kurma, mengulumi mulutnya dengan buah tersebut.
Jika sukar mendapatkan kurma, maka biasa diganti dengan sesuatu yang manis
sebagai meneladani perbuatan Rasul SAW. Hikmah dari perbuatan tersebut adalah
untuk menguatkan otot-otot mulut dengan gerakan lidah karena menjilat sesuatu
yang manis. Sebaiknya orang yang bertaqwa dan shaleh, sebagai tabarrok
kepadanya, sebagai pengharapan agar si anak shaleh dan bertaqwa pula.
d. Disunnatkan mencukur rambut
Termasuk hokum yang di syariatkan Islam bagi anak yang baru lahir adalah
di sunnatkan mencukur rambutnya pada hari ketujuh. Hikmah dari perbuatan
tersebut adalahmenghilangkan rambut kepala anak berarti menguatkan kepala anak
dan membuka pori-pori kepala, begitu juga akan menajamkan penglihatan,
penciuman dan pendengaran.[17]
e. Tasmiyah (Penamaan Anak)
Yaitu memberi nama dengan nama-nama yang baik.[18]
Diriwayatkan oleh Ashabussunah dari Samrah yang berkata bahwa : “Setiap anak
terikat dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, diberi nama dan
dicukur rambutnya pada saat itu. (HR.Abu Daud, at-Turmudzi dan an-Nasai)”.
f. Aqiqah
Menurut bahasa berarti memutus. Sedangkan menurut istilah berarti
menyembelih domba untuk anak pada hari ketujuh kelahirannya.[19]
Menurut pandangan hokum (Fiqh) dikategorikan ke dalam sunnat muakkad, anjuran
yang ditekankan. Maksudnya meskipun Rasulullah tidak menggolongkannya ke
perintah yang di wajibkan, namun beliau senantiasa melaksanakannya. Adapun
hikmah aqiqah diantaranya:
1). Sebagai pengorbanan untuk mendekatkan anak kepada
Tuhan sedini mungkin sejak awal mengarungi kehidupan.
2). Sebagai tebusan si anak dari berbagai musibah dan
bencana, sama dengan Allah menebus Ismail dengan sembelihan yang Agung.
3). Sebagai pembuka penggadai anak pada kesempatan
syafa’at bagi kedua orang tuanya.[20]
g. Khitan
Khitan merupakan sunnah nabawiyah yang diwarisnya dari nabi-nabi
sebelumnya. Ulama ber-ikhtilaf dalam menentukan hukumnya antara wajib dan
sunnah. Menurut jumhur ulama, khitan itu wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi
wanita. Dan telah dibuktikan oleh penelitian kedokteran bahwa khitan itu
bernilai positif terhadap kesehatan. Adapun hikmahnya antara lain:
1). Khitan merupakan dasar fitrah (kesucian) syiar islam dan ciri
syariat.
2).Khitan merupakan puncak kesempurnaan yang
disyariatkan Allah melalui Nabi Ibrahim. Syariat yang mengajak hati untuk
bertauhid dan beriman.
3).Khitan dapat membedakan seorang muslim dari pemeluk
agama-agama lain di luar islam.
4).Khitan merupakan sebuah pengakuan penghambaan diri kepada Allah SWT.[21]
3. Pendidikan Anak Usia Dini (Anak Usia Sekolah)
Yang dimaksud dengan Usia Dini adalah kelompok anak yang berada dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan UU No.20 tahun 2003, anak usia
dini adalah kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun. Sedangkan berdasarkan para
pakar pendidikan anak, yaitu kelompok manusia yang berusia 8-9 tahun.[22]
Pendidikan Akhlak anak usia dini atau anak usia sekolah dilaksanakan
dalam suatu lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan
pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana, yaitu di sekolah. Dan Guru
sebagai Pelaksana dalam tugas pembinaan, pendidikan dan pengajaran adalah orang
yang telah dibekali dengan pengetahuan tentang anak didik dan memiliki
kemampuan untuk melaksanakan tugas kependidikan.
Pendidikan agama dan pendidikan akhlak yang baik dan mudah di lakukan
adalah melalui semua guru dan semua bidang studi. Artinya, setiap guru yang
mengajar di sekolah hendaknya menjadi contoh teladan bagi anak didiknya,
terutama dalam keimanan, amal shaleh, akhlak dan sikap hidup serta caranya
berpikir.[23]
Adapun materi Pendidikan akhlak yang harus diajarkan kepada anak usia
dini (anak usia Sekolah) sebagaimana akhlak-akhlak mulia yang diperintahkan
oleh Rasulullah dan dicontohkan oleh beliau dalam kehidupan sehari-hari,
diantaranya:
1). Jujur
Sesungguhnya mendidik masyarakat terutama dalam keluarga (mendidik
akhlak pada anak) menuntut adanya latihan bagi masing-masing untuk kejujuran
dalam setiap ucapan maupun perbuatan. Terutama bagi orang tua, wajib hukumnya
memberi contoh mengenai kejujuran dan mengajarkannya sejak kecil.
2).
Amanah
Sifat amanah dijadikan tanda adanya Iman dalam diri seseorang,
sebaliknya tanda orang munafik adalah tidak adanya sifat amanah dalam dirinya.
Orang tua wajib melatih anak-anaknya untuk bersifat amanah dan menghindari
sifat khianat.
3). Sabar
Sabar artinya tabah, sikap menerima dan tenang. Sabar merupakan akhlak
mahmudah baik di saat mengalami bahagia maupun menderita, sehingga manusia akan
terhindar dari hawa nafsunya.
4).
Malu
Seorang muslim seyogyanya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik
dan mempunyai sifat malu. Karena malu itu sebagian dari iman. Sifat malu
merupakan salah satu unsur pendorong yang kuat bagi seseorang untuk berkelakuan
baik dan menjauhi yang buruk.
Adapun metode yang dipakai disesuaikan dengan perkembangan kecerdasan
dan kejiwaan anak pada umumnya, yaitu mulai contoh, teladan, pembiasaan, dan
latihan. Kemudian berangsur-angsur memberikan penjelasan secara logis dan
maknawi.[24]
4. Pendidikan Akhlak Pada Masa Remaja
Masa remaja adalah ketika anak berusia 13-18 tahun. Dimana anak sudah
memasuki jenjang sekolah menengah. Pengawasan tidak hanya terbatas ketika
berada di sekitarnya, tetapi harus tanggap dan teliti terhadap pergaulannya.
5. Pendidikan Akhlak Pada Masa Dewasa
Pada masa ini anak berusia sekitar 19 tahunkeatas. Anak sudah dapat
menghayati pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialami sejak kecil hingga
dewasa, kemudian menemukan arti dan nilai-nilai tertentu yang bermanfaat untuk
menentukan sikap berfikir yang kritis.[25]
C. Peran Pendidikan Akhlak Terhadap
Kepribadian Muslim
Kepribadian berasal dari kata “Pribadi” yang berarti diri sendiri, atau perseorangan. Sedangkan dalam bahasa inggris digunakan istilah personality, yang berarti kumpulan kualitas jasmani, rohani dan susila yang membedakan seseorang dengan orang lain.[26]
Pada dasarnya kepribadian bukan terjadi secara serta merta akan tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Oleh karena itu banyak faktor yang ikut ambil bagian dalam membentuk kepribadian manusia tersebut. Dengan demikian apakah kepribadian seseorang itu baik, buruk, kuat, lemah, beradap atau biadap sepenuhnya ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi dalam pengalaman hidup seseorang tersebut. Dalam hal ini pendidikan sangat besar penanamannya untuk memenuhi kepribadian m anusia itu.[27]
Kepribadian
secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya
pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah
kepribadian yang dimiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat
kaitannya dengan tingkat keimanan. Sabda Nabi mengemukakan “orang mukmin yang
paling sempurna adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.”
Orang
yang dapat dengan benar melaksanakan aktivitas hidupnya seperti mendirikan
sholat, menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan dan peperangan
maka mereka disebut sebagai muslim yang takwa. Hal ini merupakan pola takwa
sebagai gambaran dari kepribadian yang hendak diwujudkan pada manusia Islam.
Apakah pola ini dapat “mewujud” atau “mempribadi” dalam diri seseorang,
sehingga Nampak perbedaannya dengan orang lain karena takwanya, maka orang itu
adalah orang yang dikatakan sebagai seseorang yang mempunyai “kepribadian
muslim”.
Secara
Individu kepribadian muslim mencerminkan ciri khas yang berbeda. Ciri khas
tersebut diperoleh berdasarkan potensi bawaan. Dengan demikian secara potensial
(pembawaan) akan dijumpai adanya perbedaan kepribadian antara seorang muslim
dengan muslim lainnya.[28]
Pembentukan
kepribadian muslim secara individu pada dasarnya didasarkan kepada pembentukan
pandangan hidup yang mantap yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman. Dengan
demikian setiap pribadi muslim akan memiliki pandangan hidup yang sama walaupun
masing-masing mempunyai faktor bawaan yang berbeda-beda.[29]
Pendidikan
akhlak dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai nilai-nilai
keislaman. Dengan adanya cermin dari nilai-nilai dimaksud dalam sikap dan
perilaku seseorang, maka tampilah kepribadiannya sebagai seorang muslim.
Pemberian nilai-nilai keislaman dalam upaya membentuk kepribadian muslim pada
dasarnya merupakan untuk memberi tuntunan dalam mengarahkan perubahan sikap ke
sikap yang dikehendaki oleh islam.
D. Muslih dan Muhsin Sebagai Produk Dari
Pendidikan Akhlak
Muslih dan
Muhsin, artinya orang yang selalu melakukan perbuatan baik terhadap Allah,
terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungan hidupnya. Muhsin adalah orang yang tekun menjalankan
rukun Islam, rukun Iman, ibadah yang continue, baik ibadah wajib maupun sunah,
lalu berusaha meningkatkan amalannya dengan memperbanyak bertaubat kepada
Allah, ‘inabah (taubat dalam hati), zuhud, tawakkal, rela,
tafwid (curahan perhatian kepada Allah) dan ikhlas dalam segala hal. Muslih menurut pendapat tersebut, adalah orang yang masih awam;
yaitu menjalankan ibadah ritual dan sosial sekedar karena memenuhi
kewajibannya. Tetapi muhsin adalah orang yang sudah mempersiapkan dirinya untuk
mulai memasuki kehidupan tasawuf, dengan melakukan berbagai persyaratan yang
harus memperoleh tingkatan rohani yang disebut maqamat. Oleh
karena itu, orang yang memperbanyak ibadah sunahnya (al-‘ubbad) disebut
juga muhsin. Dan orang yang menjalankan latihan kerohanian dengan cara
memperbanyak zikir (al-salik) disebut juga dengan muhsin. Karena itu,
peserta tasawuf (al-mutasawwif) di sebut juga muhsin[30],
karena orang tersebut sedang menjalankan amalan baik secara continue untuk
sampai kepada tingkat tertentu dalam maqam Tasawuf, yang di sebut al-jili
dengan al-istiqamah fi-maqamati al-sab’ah(berusaha menekuni secara
ketat tujuh macam tingkatan rohani); yang dimulai dari tingkatan taubat hingga
dengan tingkatan ikhlas. Muhsin berasal dari kata , Ikhsan artinya : baik. Muhsin adalah Orang
Mukmin yang mencapai tahap Ihsan sebagai yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
ra. didalam sebuag hadith yang panjang. Seorang Mukmin haruslah mengerjakan
perbuatan kebajikan yang disebut ihsan. Ihsan itu meliputi segala perbuatan
yang baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dari seorang Mukmin
meningkat lagi menjadi seorang Muhsin.[31]
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target
seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan
kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target
ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi
terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan
hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu
mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.[32]
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang
ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang
sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam
dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti
yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist
ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril yang menyamar
sebagai seorang manusia mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi,
Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang
mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di
atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan
pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(Al-Baqoroh: 195)
Didalam makalah ini akan dicoba untuk menjelaskan mengenai ihsan itu sendiri
dalam memahami kepribadian. Sehingga didapatkan suatu pemahaman baru tentang
kepribadian islam dilihat dari sisi pendekatan ihsan. Diharapkan dengan uraian
tentang ihsan ini terbuka wacana untuk dikembangkan dan disempurnakan
dikemudian hari, sehingga semakin kaya kazhanah pengetahuan kita tentang
psikologi islam.[33]
1 . Pengertian Kepribadian Muhsin
Muhsin berarti orang yang berbuat ihsan. Kata ihsan
berasal dari “hasuna” yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat
dan menghindarkan kemudaratan merupakan perilaku yang ihsan. Namun, karena
ukuran ihsan bagi manusia sangat relatif dan temporal, maka kriteria ihsan yang
sesungguhnya berasal dari allah swt. Karena itu, hadist nabi saw. Menyebutkan
bahwa ihsan bermuara pada pribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba
mengabdikan diri pada-Nya, seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma’iyyah)
dengan-nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak
tidak akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba di hadapan
tuhannya. [34]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin
adalah kepribadian dapat memperbaiki dan mempercantik individu, baik
berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan kepada Tuhan yang
diniatkan hanya untuk mencari ridhanya.[35]
Dalam studi tematik qurani ditemukan berbagai indikator
ihsan sebagai berikut: berserah diri kepada allah, agar terhindar dari takut (phobia)
dan sedih hati (QS. al-baqoroh: 122) dan masih banyak lagi keterangan
tentang ihsan didalam al-quran. Tetapi sekalipun dalam alquran ditemukan
beberapa pengertian dan indikator ihsan, tetapi yang dimaksudkan ihsan disini
adalah seluruh perilaku baik, selain masalah keimanan dan keislaman, yang
dilakukan dalam rangka mencari ridha allah swt. Ihsan ini terkait dengan
perilaku batin yang dapat menghiasi diri manusia, untuk menyempurnakan keimanan
dan peribadatannya.
2. Pola Pembentukan Kepribadian Muhsin
Kepribadian muhsin dapat dibentuk dengan dua pola:
pertama, pola umum, yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri
manusia yang objeknya tidak terbatas pada subjek tertentu. Pola umum ini antara
perilaku syukur, sabar, tawakal, pemaaf, iffah dan sebagainya. Perilaku syukur
misalnya, dapat ditujukan kepada allah dengan memuji karunianya dengan ucapan
al-hamdulillah dan mempergunakan karunia itu sebagaimana yang
diperintahkan-nya. Syukur juga dapat dialamatkan kepada sesama manusia dengan
ucapan terima kasih dan menerima pemberian itu dengan senang; kedua, pola
khusus, yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia yang
objeknya ditujukan pada subyek tertentu.[36]
Dalam pencapaian kepribadian muhsin ini, terdapat tiga pola
yang dapat diterapkan, yaitu: Pertama, pola hirarki, yang mana masing-masing karakter memiliki
tata urut dan tahapan. Artinya, masing-masing karakter meiliki tangga yang
harus dilalui dari tahap pertama menuju tahap berikutnya. Sebagai contoh, untuk
mencapai kepribadian muhsin, individu memiliki karakter taubah, diteruskan
dengan zuhud, sabar, faqir, tawadhu’, takwa, tawakal, ridha, cinta dan berakhir
pada ma’rifah. Kedua, pola proporsional, yang mana individu dapat memiliki bagian-bagian dari
kepribadian muhsin menurut keadaan yang dialami, tidak menurutadanya tata urut.
Ketiga, pola elektis, yaitu menggunakan semua bentuk-bentuk kepribadian muhsin
secara campuran dan simultan, sebab masing-masing bentuk kepribadian muhsin
merupakan satu kesatuan yang utuh.
Orang ‘soleh’ menurut Imam Gazali adalah orang yang baik
secara pribadi. Sedangkan oleh ‘muslih’ adalah orang yang baik secara pribadi
serta sosial.Atau dengan kata yang lain, ‘soleh’ adalah kualitas kebaikannya
hanya untuk diri sendiri, sedangkan ‘muslih’ kualitas kebaikannya bisa merambah
dan menjadi petunjuk orang lain atau masyarakat luas.
“Kalau ditanya mana yang lebih baik antara menjadi orang ‘soleh’ atau ‘muslih’ jawabnya tentu saja orang yang
‘muslih’. Istilahnya adalah orang ‘muslih’ itu punya kedalaman sekaligus
ketinggian tauhid yang kemudian diimplementasikan dalam kenyataan sosial
kemasyarakatan,” kata Najiyah. Ihsan berarti berbuat baik, orang yang ihsan
disebut Muhsin, berarti yang berbuat baik[37]
3. Menjadi Insan yang Ihsan (Muhsin)
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa
menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang
mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu
mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk
menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat
menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah
kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang
ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang
sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam
dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti
yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist
ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril yang
menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah
Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril
yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut
ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk
berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.[38]
“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)
4. Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang
artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang
artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri………..” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik
terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt
a. Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal
tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi
pokok bahasan kita kali ini.
1). Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan
menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya
dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan
adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,
kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita
rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah
senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh-Nya[39].
Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena
dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan
sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan.
Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari
ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan
tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti
jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan
setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh
karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan
seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam
ibadahnya.
2). Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada
surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu”. Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah
kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak
dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari
muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka
yang berhak mendapatkan ihsan tersebut[40]
a). Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24). Ayat di atas
mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan
ibadah kepada Allah.[41]
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin
Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang
tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah
tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang
tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan
hilang ketakwaan, keimanan dan keislaman.
b). Ihsan kepada kerabat karib.
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun
hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang
memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman,
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22).[42]
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan
Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang
hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam
sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman,
dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka,
barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa
yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmudzi). Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk
surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
c). Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga
kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari
tengahnya).”Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa dari
Kaum Muslimin yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya,
maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak
melakukan dosa yang tidak terampuni.”[43]
d). Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman
sejawat
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari
kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik
jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul
dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus,
perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori
tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi
tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim;
sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga,
sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam
sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat
bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani).[44]
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak
beriman kepadaku barang siapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan
tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)
e). Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR.
Jama’ah, kecuali Nasa’i). Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan
cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya,
menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya
harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu
berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia
tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)[45]
f). Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada
manusia
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik
adalah sedekah.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan
ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari
mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan
tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
g). Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya
makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar
kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika
ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan
cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.[46]
3). Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah.
Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah
melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang
telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan
melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka
sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah
menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan
dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.[47]
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Baca juga artikel yang lain:
- Pengertian Bid'ah
- Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
- Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
- Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
- Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
- Studi Al-Qur'an
- Studi Fikih (Hukum Islam)
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
- Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
- Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
- Tipologi Tasawuf
- Akhlak Tasawuf
- Pendidikan Akhlak
- Thareqat di Indonesia
- Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
- Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
- Nafsu dan Penyakit Hati
- Pengertian Tasawuf
- Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm
[2] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani),
2004, hlm.52
[3] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm. 37
[4]
Ibid. 38-39
[5] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm.46
[6] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia,
(Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.59
[7] Ibid.
60-63
[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada),
1997, hlm 50
[9] Mustofa,Akhlak Tasawuf (Bandung: CV.Pustaka Setia,1999),83.
[10] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Semarang:
PT.Kumudasmoro Grafindo,1994),654.
[11] Baihaqi,Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis
Islami (Jakarta: Darul Ulum Press,2001),12-13.
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan
…………………..,250.
[13] Baihaqi, Pendidikan Anak dalam Keluarga………………………………,29-32.
[14] Ibid., 51-60.
[15] Shodiq Ihsan,
Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Bandung: PT.Remaja
Roesdakarya,1993),124-125.
[16] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam
(Bandung: PT.Remaja Roesdakarya,1992),53.
[17] Ibid.,56.
[18] Shodiq Ihsan, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern……………………., 125.
[19] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak………………………………………,70-71.
[20] Ibid.,84.
[21] Ibid.,94-95.
[22] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2005),88.
[23] Zakiah
Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Yogyakarta:
CV.Ruhama,1995),82.
[24] Ibid.,83.
[25] Mahjuddin, Akhlak Tasawwuf (Jakarta: Kalam
Mulia,2011),53.
[26] Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada,1996),89.
[27] Jalaludin, Teologi
Pendidikan (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), 24.
[28] Jalaludin dan
Usman Said, Filsafat Pemikiran Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,1994),94.
[29] Ibid.,100.
[30] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada), 1997, hlm
[31] http://riyanasnani.blogspot.co.id diakses tanggal 7-April-2018 pukul 14.30
[32] Abdul
Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004, hlm.76
[33] Ibid, 82
[34] Nashih Ulwan Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya Offset), 1992, hlm.34
[35] Ibid, 39
[36] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004,
hlm.80
[37] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada),
1997, hlm 87
[38] Nashih Ulwan Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset), 1992, hlm. 98
[39] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaOvafindo Persada),
1997, hlm 93
[40] Ibid,
95-97
[41] Ibid, 99
[42] Ibid, 103
[43] Nashih Ulwan Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya Offset), 1992, hlm. 71
[44] Abdul Halim Ali, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani), 2004,
hlm.93
[45] Ibid, 98
[46] Ibid, 99-100
[47] Ibid, 89