HOME

22 Januari, 2022

Tipologi Tasawuf

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi yang merupakan gerakan zuhud (meninggalkan urusan duniawi). Islam sudah terbagi menjadi beberapa aliran sejak dahulu. Hal ini juga terjadi pada ilmu tasawuf. Sebagai umat Islam, kita sebaiknya mengetahui apa saja aliran-aliran tersebut dan pemikiran yang dikemukaan tokoh-tokoh tiap aliran. Hal ini agar kita tidak buta terhadap ilmu-ilmu Islam dan aliran-aliran di dalamnya sekaligus untuk mencocokkan diri dengan salah satu dari aliran-aliran tersebut.

B.      Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah;

1.       Bagaimana pengetahuan dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Sunni?

2.       Bagaimana pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Akhlaqi?

3.       Bagaimana pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Irfani?

4.       Bagaimana pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Falsafi?

C.      Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah;

1. Dapat mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Sunni

2.Dapat mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Akhlaqi

3. Dapat mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Irfani

4. Dapat mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Falsafi

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Tasawuf Sunni

Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya atau mendasari tasawuf mereka dengan menggunakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta mengaitkan keadaan (Ahwal) dan tingkat rohaniah mereka pada sumber kedua. 

Dalam redaksi lain disebutkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berwawasan moral praktis berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. [1]  

Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat asholihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyukannya beribadah kepada Allah, zikrullah serta konsekuen dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi.

Corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan imam al-Ghazali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni. Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat Nabi. [2]

 

B.      Tokoh-Tokoh Tasawuf Sunni

Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni yaitu: [3]

1.       Hasan Al Basri

Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang masyhur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H.

Karakteristik dasar pendirianya yang paling utama adalh zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi. Kedua yaitu khouf dan raja’ . dengan merasa takut kepada siksa Allah SWT karena berbuat dosa dan sering melakukan perintahnya, serta menyadari kekurangan sempurnanya. Oleh karena itu prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.

2.       Rabiah Al Adawiyah

Nama lengkapnya adalah Rabiah Al Adawiyah binti Ismail Al Adawiyah Al Bashoriyah,yang juga lahir di gelari ummu khoir. Ia lahir di Bashrah 95 H. diantara ajarannya yang terpenting adalah konsep mahabbah.

Karakteristik ajaranya adalah ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Cinta murni kepada tuhan merupakan puncak ajaranya dalam tasawuf yang pada umunya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat puitis. Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan tuhan.

3.       Dzun Al Nun Al Misri

Nama lengkapnya adalah Abu Al Faidil Tsaubah Bin Ibrahim Dzun Al Nun Al Misri Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di mesir. Ajaranya yang paling termashur adalah ma’rifat sufiyah dan ma’rifat aqliyah

Karakteristik ajaran yang paling besar dan menonjol adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah SWT, yang disebut al Maqo,at. Beliau banyak memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah SWT sesuai dengan pandangan sufi

4.       Abu Hamid Al Ghazali

Tokoh ini tidak asing lagi dikalangan masyarakat islam. Beliau masyhur dikalangan sufi dengan ajaranya yaitu ma’rifat ahlusunnah waljama’ah

Inti tasawuf Al Ghazali adalah jalan menuju Allah SWT atau Ma’rifatullah, oleh karena itu Al Maqomat dan Al Ahwal pada dasarnya adalah rincian dari metode pencapaian.

5.       Al Junaid

Beliau dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai orang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Beliau juga melandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di Dalam-Nya” peniadaan diri ini disebut fana’, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan qur’ani “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya” dan hidup dalam sebutan baqa’, beliau menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habisnya.

6.       Al Qusyairy An Naisibur

Beliau pernah mengkritik para sufi aliran Sytahi yang mengungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya hulul (penyatuan) antara sifat manusia dan sifat tuhan. Al Quraisy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian yang layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini disukainya dari pada penampilan lahiriyah yang memberi kesa zuhud, tapi hatinya tidak demikian. Dari sini dapat dipahami, Al Quraisy tidak mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.

7.       Al Harawi

Al Harawi berbicara tentang maqam ketenangan. Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan “peringkat ketiga (peringkat ketenengan) adalah ketenangan yang timbul dari perasaan ridha atas bagian yang diterimanya” ketenangan tersebut bisa mencegah ucapan yang aneh yang menyesatkan dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatanya.

 

C.      Pengertian Tasawuf Akhlaqi

Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :

Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.

Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara mengadakanRiyyadah pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena Tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati). [4]

Kata Tasawuf dalam bahasa arab adalah “Membersihkan” yang merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek, dan objek dari tasawuf adalah akhlak manusia.

Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa, bentuk fase dalam kaidah bahasa arab dikenal dengan sebutan jumlah Idhofah. Fase jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentuka realitas yang khusus yaitu kata “Tasawuf” dan “Akhlak”. [5]

Secara etimologis, tasawuf akhlaqi merupakan kegiatan membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, maka tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas dalam masyarakat. [6]

Tasawuf akhlaqi ini sering di tunjukan dengan banyaknya istilah seperti halnya tasawuf praktis, karena lebih berorientasikan pada praktek akhlak atau perilaku shaleh. Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus dilakukan dengan aktifitas kehidupan manusia.

Di dalam diri manusia juga ada potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Jadi, tasawuf akhlaqi yaitu ilmu yang memperlajari pada teori-teori perilaku dan perbaikan akhlak. [7]

Menurut para sufi, pengembangan tasawuf akhlaki dibangun sebagai dasar latihan kerohanian dengan tujuan mensucikan hati dan mengendalikan hawa nafsu sampai ke titik terendah. Sehingga nantinya tidak akan ada penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Nah, agar lebih mudah dalam mewujudkan ajaran Tasawuf Akhlaki ini, para sufi menyusun beberapa tahapan sistem, yang meliputi ; 

1.       Takhalli

Takhalli adalah tahapan pertama yang dilakukan oleh seorang sufi untuk membersihkan (melepaskan) diri dari perilaku buruk, seperti berbuat maksiat, kecintaan kepada dunia yang berlebihan, berprasangka su’udzon, ujub, hasad, riya, ghadab, dan sejenisnya. Sebagian sufi berpendapat bahwa perbuatan maksiat merupakan najis maknawiyah yang bisa menghalangi kedekatan hamba dengan Rabbnya. Oleh karena itu, sifat-sifat nafsu dalam diri harus dimusnakan agar manusia tidak terjerumus ke dalam dosa.

Namun imam Al-Ghazali mempunyai pendapat lain. Menurutnya, selama hidup di dunia setiap manusia pasti membutuhkan nafsu. Bukan untuk melakukan hal-hal buruk, tapi nafsu diperlukan demi menjaga keharmonisan keluarga, membela harga diri, dan hal-hal positif lainnya

2.       Tahalli

Setelah membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela,tahapan berikutnya yang perlu dilakukan adalah pengisian jiwa atau disebut Tahalli. Pada tahap ini, seorang sufi diharuskan membiasakan diri dengan akhlak-akhlak terpuji sabar, ikhlas, ridha, taubat, dan sebagainya.

Selain itu, juga menjalankan ketentuan syariat agama, seperti sholat, puasa, zakat, membaca Al-Quran, dan berhaji bila mampu. Dengan demikian, apabila seseorang telah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan mulia, taat dan beriman kepada Allah SWT maka lama-kelamaan hati pun akan menjadi bersih.

3.       Tajalli

Tahap yang terakhir adalah Tajalli yang berarti tersingkapnya nur ghaib. Di tahap ini, seorang sufi benar-benar menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT di dalam hatinya. Tujuannya agar perilaku-perilaku baik yang telah dilakoni pada tahap Tahalli tidak luntur begitu saja, dan bisa terus berkelanjutan.

Ritual Tajalli biasanya dilakukan dengan cara bermunajat kepada Allah SWT, yaitu memuja dan memuji keagungan Allah SWT. Kemudian bermusahabah (merenungi dosa-dosa yang telah diperbuat), muraqabah (merasa jiwa selalu diawasi oleh Allah SWT), Tafakkur (merenungi kekuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta), serta memperbanyak amalan dizikir. [8] 

 

D.      Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf Akhlaki pertama kali berkembang di pertengahan abad kedua hingga abad keempat hijriyah. Adapun tokoh-tokoh sufi yang tergabung dalam tasawuf ini , meliputi Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, dan al-Harowi. Selanjutnya di abad kelima hijriyah, imam Al Ghozali, Al Harawi, dan Al Qusyairi mulai mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan dasar-dasar tawasuf yang sesuai dengan Al Quran dan as Sunnah.[9] Berikut ini beberapa tokoh yang paling berpengaruh dalam pengembangan tasawuf akhlaki: 

1.       Hasan Al-Basri (21 H- 110 H)

Hasan Al-Bashri memiliki nama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid dari kalangan tabiin yang lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah. Beliau merupakan pelopor utama yang mulai memperluaskan ilmu-ilmu kebatinan dan kesucian jiwa.

Menurut pandangannya, tasawuf merupakan ajaran untuk menanamkan rasa takut (baik itu takut akan dosa-dosa, takut tidak mampu memenuhi perintah dan larangan Allah, takut akan ajal atau kematian ) di dalam diri setiap hamba dan senantiasa mengingat Allah SWT. Beliau berpendapat bahwa dunia adalah ladang beramal, banyak duka cita di dunia dapat memperteguh amal sholeh.

2.       Al-Muhasibi (165 H – 243 H)

Al-Muhasibi memiliki nama lengkap Abu Abdillah Al-Harist bin Asad Al-Bashri Al- Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashroh, Irak pada tahun 165 Hijriyah. Menurut beliau, tasawuf berarti ilmu yang mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba dan meneladani akhlak Rasulullah Saw.

Beliau juga berpendapat ada 3 hal yang perlu ditekankan untuk membersihkan jiwa dan mencapai jalan keselamatan, yaitu melalui Ma’rifat (Mengenal Allah SWT dengan mata hati), Khauf (rasa takut), dan Raja’ ( pengharapan).

3.       Al-Qusyairi (376 H- 465 H)

Al-Qusyairi memiliki nama lengkap ‘Abdul Karim bin Hawazim. Beliau lahir di kawasan Nishafur pada tahun 465 Hijriyah, dimana beliau ini merupakan seorang ulama yang ahi dalam berbagai disiplin ilmu pada masanya.

Ajaran tasawuf Al-Qusyairi didasarkan pada doktrin Ahlusunnah Wal Jama’ah dan berlandasakan ketauhidan. Beliau mengadakan pembaharuan di ajaran tasawuf, dengan menentang keras doktrin-doktrin aliran Karamiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mujassamah. Ia juga menjelaskan pembeda antara dzahir dan bathil, serta syariat dan hakikat. Menurutnya, tidak haram jika seseorang menikmati kesenangan dunia, asalkan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah.

4.       Al-Ghazali (450 H – 505 H)

Al-Ghazali memiliki nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi. Beliau lahir di kota Khurasan, Iran pada tahun 450 Hijriyah. Di masa hidupnya, Al Ghazali merupakan seorang ahli ilmu yang dikagumi oleh banyak ulama besar. Beliau juga dikenal sebagai seorang Sufi, Filosof, Fuqoha (ahli fiqh), dan Mutakallim. Beliau juga memiliki banyak gelar, salah satunya Hujjah al-islam yang diperolehnya dari kerajaan Bani Saljuk.

Seperti halnya Al-Qusyairi, Al-Ghazali juga berupaya mengembalikan ajaran tasawuf yang sesuai syariat agama dan bersih dari aliran-aliran asing yang menyesatkan islam, dengan berpedoman pada Al Quran dan As sunnah (Ajaran Rasulullah Saw). Tasawuf Al-Ghazali lebih kepada penekanan pendidikan moral, dimana seseorang dianjurkan memperdalam ilmu aqidah dan syariat terlebih dahulu sebelum mempelajari ketasawufan. [10]

E.      Pengertian Tasawuf Irfani

Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan secara langsung (mauhibah). [11]

Tokoh-tokoh tasawuf Irfani diantaranya Rabiah Al Adawiyah, Zun Nun Al Misry, Husein bin Mansyur, As Sulami, Al Hallaj, Al Junaid, dan Abu Yazid Al Bustami.

Metode yang dipakai oleh tokoh tasawuf irfani adalah sebagai berikut :

1.      Riyadhah (latihan jiwa)

Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya pembiasaan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwa. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih khusus dalam menahan diri agar jauh dari perbuatan maksiat atau dosa. Dalam pelaksanaannya riyadhah diperlukan mujahadah yaitu kesungguhan dalam meninggalkan hal buruk.

2.      Tafakur (refleksi diri)

Tafakur adalah memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis, dan terperinci sehingga hasil pemikiran tersebut dapat terefleksi pada perilaku sehari-hari.

3.      Tazkiyat (penyucian diri)

Tazkiyat adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya’, dan nifak, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah.

4.      Dzikrullah (dzikir kepada Allah)

Dzikrullah adalah mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya.

 

F.      Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani Dan Pemikirannya

1.      Rabiah Al Adawiyah

          Nama lengkap Rabiah adalah rabiah bin Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185/801 M.

Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat perang di basyrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Pada kelurga inilah, ia bekerja  keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.

Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupannya sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hidupnya hanya beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi

Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi. Rabiah, menurutnya, sebelum bertobat, pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rabiah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga bgitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat rabiah itu sendiri. Menurut badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah kepada Allah SWT begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya. [12] 

Rabiah dinilai tokoh tasawuf pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah atau pelopor agama cinta (mahabbah). Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan sufi kala itu. Karena itulah ia disebut “The Mother of The Grand Master/ Ibu para sufi besar.”

Pada suatu waktu Rabiah ditanya pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rabiah menjawab : “Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad)

Ada beberapa batasan cinta yang sering dinyatakan Rabiah, yaitu:

a.       Sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup seling Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka:

b.       dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.

c.       dia harus memisahkan dirinya

d.       dia harus meninggalkan semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci.

Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharap balasan dari Allah, baik  baik ganjaran (pahala maupun pembebasan hukuman, dan melalui jalan cinta inilah jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan yang dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.

 

2.       Zun Nun al-Mishri

Zun Nun al-Mishri memiliki nama lengkap Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di salah satu kawasan di Mesir bernama Ekhmim pada tahun 180 H (798). Dan wafat pada tahun 246 H(856M). Julukan  Dzu al-Nun diberikan kepadanya berhubungan dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah kepadanya.

Posisi Al-Mushri dalam tasawuf dilihat penting karena dia lah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dia juga dipandang sebagai bapak faham  ma’rifah.[13]

Pemikiran yang dikemukakan oleh nya antara lain ialah;

a.         Maqamat

Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan, tempat berpijak dua telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah  Maqamat. Dalam ilmu tasawuf, istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan,dan perjuangan menuju Allah “Azza wa jalla”.

Dalam bahasa al-Thusi pendapat al-Mishri tentang maqamat dikemukakan dalam beberapa hal yaitu: al-tawbah, al-sabr,al tawakal, dan al-ridla.

Menurut Al-Mishri al-tawbah dibedakan atas tiga tingkatan,yaitu:

1)   Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya.

2)   Orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah.

3) Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

Keterangan Al-Mishri tentang al-sabr dikemukaan dalam bentuk kepingan dialong dari sebuah riwayat. Berikut contoh ucapan Al-Mishri  selagi kedua tangan dan kaki nya dibelenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh banyak orang. Ia berkata “ ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan Karunia-Nya, semua perbuatan Tuhan nikmat dan baik.”

Tawakal menurut Al-Mishri adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan tidak merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Sedangkan  al-ridla menurut Al-Mishri adalah kegembiraan hati karena berlakunya ketentuan Tuhan.

b.       Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi bahasa berarti sifat dan keadaan sesuatu. “Hal” merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.[14]

Dalam bagian ini al-Mishri membahas tentang cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan oleh al-Mishri, dijadikan sebagai pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf, karena ia melihat sebagai dari tanda-tanda orang yang mencintai Allah dengan mengikuti kekasih Allah, yakni Nabi dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. Artinya orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul , tidak mengabaikan syariat.[15]

c.          Ma’rifah

Ma’rifah secara etimologi berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu yang seyakin-yakinnya. Sedangkan secara terminologi ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di dalam kitabnya al-Qalam ‘alam al-Basmalah membagi ma’rifah atau pengetahuan menjadi tiga klasifikasi. Pertama, ma’rifah tauhid yang dialami oleh orang-orang awam. Kedua, ma’rifah alasan dan uraian mengenai Tuhan yang dialami oleh ilmuan, filsuf,dan sastrawan. Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan yang dialami oleh para wali dan para kekasih Allah.[16]

Menurut Al-Mishri bahwa ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan sejenis ini khusus diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ini menjelaskan bahwa ma’rifah hanya diperoleh dari pemberian Tuhan,bukan hasil pemikiran.[17]

 

3.       Al-Junaid

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, lahir di Wihawand,Irak. Menetap di Bagdad dan meninggal di sini pada tahun 297H (910M). Dia adalah seorang faqih dan juga seorang sufi yang cukup terkenal dengan keluasan wawasannya.

Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang didasarkan kefanaan. Dimana pemahaman akan hakikat Allah tidak akan dicapai dengan akal fikiran tetapi melalui kefanaan yang mana kefanaan ini sendiri adalah pemberian dari Tuhan. Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala sesuatu kecuali Allah yang kemudian hidup dalam Dia (Allah) yang ia sebut dengan baqa’.

Perlu diperhatikan disini bahwa Al-Junaid mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut oleh para sufi adalah pemisahan antara yang qadim dengan yang hulus”. Dengan pemikiran seperti itu, Al-junaid dipandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf kepada Al-qur’an dan Al-Sunnah.

Tentang apa yang dimaksud fana oleh kaum sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat manusia, akhlak yang tercela,dan kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang mulia dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti al-fana’ ‘am al-nafs yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar seorang sufi, dimana wujud jasmani sudah dirasakan tidak ada lagi pada kondisi ini yang tinggal  hanyalah wujud rohani dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pembicaraa tentang fana berhubungan dengan baqa’ seekaligus ittihad (persatuan manusia dengan Tuhan).[18]

 

4.       Abu Abdul Rahman Al-Sulami

Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami. Lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya’ban 412 H / 1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi dan pakar sejarah. Dia seorang Syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawuf dari ayah dan datuknya.

Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. Kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu ‘Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w.360 H/971M). [19] 

Pemikiran yang dikemukakannya antara lain mengenai Manusia akan menjadi hamba sejati kalau hamba tersebut sudah bebas / merdeka dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana’ah).[20] 

Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.[21]

 

5.       Abu Yazid Al-Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur . kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi penganut Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi Ia telah memilih hidup yang sederhana. sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah memiliki keajaiban. kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak samai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan keharamannya.

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi Sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid Ilmu Tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.

Dalam perjalanan kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan dan minum.

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. seperti tampak dalam ceritanya,

“Setelah Allah menaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar puas dari-Nya. maka, diriku dicap dengan keridhaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. ‘Engkaulah yang aku inginkan,’jawabku, Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu . . .” [22] 

Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya,

“Aku tahu pada Tuhan melalui dirikuhingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.

Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya , dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah akhlak tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT . Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Kedunya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ , ketika itu juga ia mengalami baqa’.

 

6.       Abu Manshur Al-Hallaj

Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian , ia pergi ke Bashroh dan berguru pada ‘Amr Al-Maliki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, Ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ia diberi gelar al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol. [23] 

Dalam sebuah perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan islam, al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada Tahun 296 H/ 909 M. Di Baghdad pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.

Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya pelakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang Bersih” dari Nashr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena Khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur. Pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi terhadap pengaruh politik . oleh karena itu, ucapan al-Hallaj “ana al-Haqq”, yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara, akan tetapi setelah 4 tahun ia ditangkap lagi di kota Sus.

Setelah dipenjara selama 8 tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Akan tetapi, sebelum dipancung, ia meminta waktu untuk shalat dua raka’at. Setelah itu, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.

Kematian tragis al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar pada pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang menamakan dirinya Hallajiyah. Disisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah.[24]

Di antara ajaran Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat as-syudut yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud  (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu ‘Arabi . Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat . adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.            

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat:

 وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوْآ الّآ اِبْلِيْسَ, اَبَى وَاسْتَكْبَرَ, وَكَانَ منَ الْكفرين.

“dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam!’ maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.” (Q.S Al-Baqarah : 34)

Pada ayat di atas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah SWT. Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab dari yang banyak in. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adamlah Allah SWT muncul.

Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya adlah kehendak Tuhan. Demikian juga tindakannya. Pada pihak lain, al-Hallaj mengatakan,

“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Nya dari Dzat dan Sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya,”

Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara Hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, yaitu menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur. [25]  

 

G.      Pengertian Tasawuf  Falsafi

Tasawuf Falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan irfani, perbedaannya kalau tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang memerlukan publik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Sedangkan Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Maksudnya dalam ajarannya itu menggunakan metode yang serba mistis atau tersembunyi, bersifat rahasia-rahasia sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengenal, mengetahui dan memahami terutama kepada penganutnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun keasliannya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni), karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat. [26]

 

H.      Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi

1.    Ibn Arabi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dan meninggal pada tahun 638 H gdi Damaskus. Di Sevilla (Spanyol) ia memepelajari Al-Qur’an, Hadist sertaa fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri. [27]

Ajaran pertama dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tapi berasal dari Ibn Taimiyah yang merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan. [28] 

Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”. [29] 

Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan yang wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan). [30] 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok dari Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud yang mengatakan bahwa wujud Tuhan itu hakikatnya sama dengan segala sesutu yang Dia ciptakan, karena dinilai sebagai perwujudan Tuhan.

 

2.       Al-Jilli

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan –giwan, sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417M. Nama Al- Jilli diambli dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. [31] 

Adapun ajaran-ajaran yang telah tasawuf falsafi menurut Al-Jilli, antara lain :

a.       Insan Kamil

Ajaran yang terpenting menurut Al-Jilli adalah insan kamil yang berarti manusia sempurna. Al-Jilli memperkuatnya dengan hadist : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman. Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil. [32] 

Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil.[33] 

Dan dijelaskan dalam QS.Al-Ahzab: 33) yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”

Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdapat dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. [34] 

Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.

b.       Maqamat (Al-Martabah)

Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:[35]

Pertama Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.

Kedua Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.

Ketiga ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik.

Keempat Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.

Kelima Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat pribadi.

Keenam shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga dapat mengetahui hakikat dirinya.

Ketujuh qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa betapapun manusia sesempurna apapun dengan nama dan sifat Allah, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.

3.       Ibn Sabi’in

Nama lengkap Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufidan juga filsuf dari Andalusia. Ia di panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611 H). [36]  

Ajaran-ajarannya antara lain ialah; 

a.       Kesatuan Mutlak

Ibn Sabi’in pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. [37] 

Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab  wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an  yang diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid:3 yang artinya “Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”, dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya:”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya.

Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut  Ibn Sabi’in adalah individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi. [38] 

b.       Penolakan terhadap Logika Aristotelian

Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.

Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka. 

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

KESIMPULAN

Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya atau mendasari tasawuf mereka dengan menggunakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta mengaitkan keadaan (Ahwal) dan tingkat rohaniah mereka pada sumber kedua. 

Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara mengadakanRiyyadah pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena Tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati)

Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan secara langsung (mauhibah).

Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Maksudnya dalam ajarannya itu menggunakan metode yang serba mistis atau tersembunyi, bersifat rahasia-rahasia sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengenal, mengetahui dan memahami terutama kepada penganutnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Alwi. 2009. Antara tasawuf  Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia.Depok : Pustaka Iman.

Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.

Toriqudin, Moh. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang : UIN Malang Press.

Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 

Basyuni, Ibrahim. 1993. Nasyi’ah Al-Tashawuf Al Islam. Mesir : Dar Al Marif.

Hilal, Ibrahim. 2002. Al Tasawuf al islami. Kairo : Dar al Nadhdla al Arabiyah.

Nasution, Harun. 1998. Tasawuf Dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Hamka. 1998. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian. Jakarta : Panji Mas.

Sholihin, M. 2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung : Pustaka Setia.

Raizha, Gafna. 2003. Warisan Para Sufi. Yogyakarta : Pustaka Sufi.

Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf.Medan:Referensi.

Ruslin, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2013.

Kafi, Jamaludin. 2003. Tasawuf Kontemporer. Prenduan : al-Amin.

Saviri, Sara. 2000. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara. Bandung : Pustaka Budaya. 

Asmaran. 2003. Pengantar tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 

 



[1] DR. Alwi Shihab, PH.D, Antara tasawuf  Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, (Depok : Pustaka Iman. 2009) hal 51

[2] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010) 297

[3] Moh. Toriqudin, Sekularitas Tasawuf, (Malang : UIN Malang Press, 2008) 182

[4] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, Cetakan ke Lima, 2010) hal 63

[5] Rosihin Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal 22

[6] Ibrahim Basyuni, Nasyi’ah Al-Tashawuf Al Islam (Mesir : Dar Al Marif, 1993) hal 10

[7] Ibrahim Hilal Al Tasawuf al islami (Kairo : Dar al Nadhdla al Arabiyah, 2002)  hal 45

[8] Harun Nasution, Tasawuf Dalam Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1988) hal 92

[9] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian (Jakarta ; Panji Mas, 1998 ) hal 111

[10] M. Sholihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman (Bandung : Pustaka Setia, 2003) hal 74

[11] Gafna Raizha , Warisan Para Sufi,(Yogyakarta : Pustaka Sufi,2003), hlm.73

[12] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf , (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 253-254

[13] Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan:Referensi,2013)  hlm.121-122.

[14] Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat , (Jakarta:PTRajaGrafindo Persada,2013)  hlm.54-59.

[15] Ris’an Ruslin,Tasawuf dan Tarekat, hlm. 61

[16] Ris’an Ruslin,Tasawuf dan Tarekat, hlm. 63

[17] Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan:Referensi,2013) hlm.123

[18] Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan:Referensi,2013), hlm.124-125.

[19] Jamaludin Kafi, Tasawuf Kontemporer, (Prenduan : al-Amin, 2003), hlm. 10-11

[20] Sara Saviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, (Bandung : Pustaka Budaya,2000),hlm.23

[21] Asmaran, Pengantar tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003),hlm. 258

[22] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 265

[23] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 267

[24] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 271

[25] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 274

[26] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Sufi dari Zaman ke Zaman oleh Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi, hlm.187

[27] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari karangan At-Taftazani, hlm.201

[28] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Bathlm Al-Ishlah Ad-Diniy, Muhammad Mahdi Al-Instanbuli, hlm.59

[29] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Arabi,hlm.604

[30] Dikutip oleh Moh. Toriquddin dari buku Cakrawala Tasawuf, M. Jamil, hlm.150

[31] Moh. Toriqquddin, Sekularitas Tasawuf,cet.I (Malang:UIN Malang Press, 2008), hlm.177

[32] Ibid, hlm.177

[33] Ibid, hlm.177

[34] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,cet.X (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm.289

[35] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari Al-Jilli, juz.II, hlm.130

[36] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, Abu Hamid Al-Ghazali, hlm.201-202

[37] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab ‘Awarif Al-Ma’rifat, Asy-Syuhrawardi, hlm.266

[38] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,cet.X (Bandung:Pustaka Setia, 2010), hlm.300

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...