BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui cara
menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin untuk mencapai
kebahagiaan yang abadi yang merupakan gerakan zuhud (meninggalkan urusan
duniawi). Islam sudah terbagi menjadi beberapa aliran sejak dahulu. Hal ini
juga terjadi pada ilmu tasawuf. Sebagai umat Islam, kita sebaiknya mengetahui
apa saja aliran-aliran tersebut dan pemikiran yang dikemukaan tokoh-tokoh tiap
aliran. Hal ini agar kita tidak buta terhadap ilmu-ilmu Islam dan aliran-aliran
di dalamnya sekaligus untuk mencocokkan diri dengan salah satu dari
aliran-aliran tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
adalah;
1. Bagaimana
pengetahuan dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Sunni?
2. Bagaimana
pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Akhlaqi?
3. Bagaimana
pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Irfani?
4. Bagaimana
pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Falsafi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah;
1. Dapat
mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Sunni
2.Dapat
mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Akhlaqi
3. Dapat
mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Irfani
4. Dapat
mengetahui dan memahami pengertian dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Falsafi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang
para penganutnya atau mendasari tasawuf mereka dengan menggunakan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, serta mengaitkan keadaan (Ahwal) dan tingkat rohaniah mereka pada
sumber kedua.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa
tasawuf sunni adalah tasawuf yang berwawasan moral praktis berdasarkan kepada
Al-Qur’an dan Al-Sunnah. [1]
Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf yang
ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi
interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat asholihin dan
lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara
menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah
yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu
kekuatan dan kekhusyukannya beribadah kepada Allah, zikrullah serta konsekuen
dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi.
Corak tasawuf ini muncul dikarenakan
ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun
eksternal yaitu para sufi dan ulama baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal
itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh
sufi melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini
memperoleh kesempurnaan ditangan imam al-Ghazali, yang kemudian melahirkan
Tasawuf Sunni. Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah
cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah
ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan
sahabat Nabi. [2]
B. Tokoh-Tokoh
Tasawuf Sunni
Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni yaitu: [3]
1. Hasan
Al Basri
Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al Hasan
bin Yasar adalah seorang zahid yang masyhur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan
di Madinah pada tahun 21 H.
Karakteristik dasar pendirianya yang
paling utama adalh zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala
kesenangan dan kenikmatan duniawi. Kedua yaitu khouf dan raja’ . dengan merasa
takut kepada siksa Allah SWT karena berbuat dosa dan sering melakukan
perintahnya, serta menyadari kekurangan sempurnanya. Oleh karena itu prinsip
ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan muhasabah agar
selalu memikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.
2. Rabiah
Al Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah Al Adawiyah
binti Ismail Al Adawiyah Al Bashoriyah,yang juga lahir di gelari ummu khoir. Ia
lahir di Bashrah 95 H. diantara ajarannya yang terpenting adalah konsep
mahabbah.
Karakteristik ajaranya adalah ia merupakan
orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas
tasawuf. Cinta murni kepada tuhan merupakan puncak ajaranya dalam tasawuf yang
pada umunya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat puitis. Bisa dikatakan,
dengan al-hubb ia ingin memandang wajah tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan
tabir yang memisahkan dirinya dengan tuhan.
3. Dzun
Al Nun Al Misri
Nama lengkapnya adalah Abu Al Faidil
Tsaubah Bin Ibrahim Dzun Al Nun Al Misri Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di
mesir. Ajaranya yang paling termashur adalah ma’rifat sufiyah dan ma’rifat
aqliyah
Karakteristik ajaran yang paling besar dan
menonjol adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju
Allah SWT, yang disebut al Maqo,at. Beliau banyak memberi petunjuk arah jalan
menuju kedekatan dengan Allah SWT sesuai dengan pandangan sufi
4. Abu
Hamid Al Ghazali
Tokoh ini tidak asing lagi dikalangan
masyarakat islam. Beliau masyhur dikalangan sufi dengan ajaranya yaitu ma’rifat
ahlusunnah waljama’ah
Inti tasawuf Al Ghazali adalah jalan
menuju Allah SWT atau Ma’rifatullah, oleh karena itu Al Maqomat dan Al Ahwal
pada dasarnya adalah rincian dari metode pencapaian.
5. Al
Junaid
Beliau dikenal dalam sejarah tasawuf
sebagai orang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Beliau juga melandaskan
bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan
hidup di Dalam-Nya” peniadaan diri ini disebut fana’, sebuah istilah yang
mengingatkan kepada ungkapan qur’ani “Segala sesuatu akan binasa kecuali
wajah-Nya” dan hidup dalam sebutan baqa’, beliau menganggap bahwa tasawuf
merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habisnya.
6. Al
Qusyairy An Naisibur
Beliau pernah mengkritik para sufi aliran
Sytahi yang mengungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang
terjadinya hulul (penyatuan) antara sifat manusia dan sifat tuhan. Al Quraisy
juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian
yang layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan berpegang pada
Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini disukainya dari pada penampilan lahiriyah
yang memberi kesa zuhud, tapi hatinya tidak demikian. Dari sini dapat dipahami,
Al Quraisy tidak mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.
7. Al
Harawi
Al Harawi berbicara tentang maqam
ketenangan. Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia
mengatakan “peringkat ketiga (peringkat ketenengan) adalah ketenangan yang
timbul dari perasaan ridha atas bagian yang diterimanya” ketenangan tersebut
bisa mencegah ucapan yang aneh yang menyesatkan dan membuat orang yang
mencapainya tegak pada batas tingkatanya.
C. Pengertian
Tasawuf Akhlaqi
Dalam diri manusia ada potensi untuk
menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah
al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs.
(nafsu) yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an,
surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”.
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang
menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub
kepada tuhannya, dengan cara mengadakanRiyyadah pembersihan diri dari moral
yang tidak baik, karena Tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali
yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati). [4]
Kata Tasawuf dalam bahasa arab adalah
“Membersihkan” yang merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek, dan
objek dari tasawuf adalah akhlak manusia.
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut
bahasa, bentuk fase dalam kaidah bahasa arab dikenal dengan sebutan jumlah
Idhofah. Fase jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu
kesatuan makna yang utuh dan menentuka realitas yang khusus yaitu kata
“Tasawuf” dan “Akhlak”. [5]
Secara etimologis, tasawuf akhlaqi
merupakan kegiatan membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah
laku. Jika konteksnya adalah manusia, maka tingkah laku manusia menjadi
sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar
untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas
dalam masyarakat. [6]
Tasawuf akhlaqi ini sering di tunjukan
dengan banyaknya istilah seperti halnya tasawuf praktis, karena lebih
berorientasikan pada praktek akhlak atau perilaku shaleh. Oleh karena itu,
tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk
menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus
dilakukan dengan aktifitas kehidupan manusia.
Di dalam diri manusia juga ada
potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang
cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsu yang cenderung
kepada keburukan. Jadi, tasawuf akhlaqi yaitu ilmu yang memperlajari pada
teori-teori perilaku dan perbaikan akhlak. [7]
Menurut para sufi, pengembangan tasawuf
akhlaki dibangun sebagai dasar latihan kerohanian dengan tujuan mensucikan hati
dan mengendalikan hawa nafsu sampai ke titik terendah. Sehingga nantinya tidak
akan ada penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Nah, agar lebih
mudah dalam mewujudkan ajaran Tasawuf Akhlaki ini, para sufi menyusun beberapa
tahapan sistem, yang meliputi ;
1. Takhalli
Takhalli adalah tahapan pertama yang
dilakukan oleh seorang sufi untuk membersihkan (melepaskan) diri dari perilaku
buruk, seperti berbuat maksiat, kecintaan kepada dunia yang berlebihan, berprasangka
su’udzon, ujub, hasad, riya, ghadab, dan sejenisnya. Sebagian sufi berpendapat
bahwa perbuatan maksiat merupakan najis maknawiyah yang bisa menghalangi
kedekatan hamba dengan Rabbnya. Oleh karena itu, sifat-sifat nafsu dalam diri
harus dimusnakan agar manusia tidak terjerumus ke dalam dosa.
Namun imam Al-Ghazali mempunyai pendapat
lain. Menurutnya, selama hidup di dunia setiap manusia pasti membutuhkan nafsu.
Bukan untuk melakukan hal-hal buruk, tapi nafsu diperlukan demi menjaga
keharmonisan keluarga, membela harga diri, dan hal-hal positif lainnya
2. Tahalli
Setelah membersihkan diri dari
perbuatan-perbuatan tercela,tahapan berikutnya yang perlu dilakukan adalah
pengisian jiwa atau disebut Tahalli. Pada tahap ini, seorang sufi diharuskan
membiasakan diri dengan akhlak-akhlak terpuji sabar, ikhlas, ridha, taubat, dan
sebagainya.
Selain itu, juga menjalankan ketentuan
syariat agama, seperti sholat, puasa, zakat, membaca Al-Quran, dan berhaji bila
mampu. Dengan demikian, apabila seseorang telah terbiasa melakukan
perbuatan-perbuatan mulia, taat dan beriman kepada Allah SWT maka lama-kelamaan
hati pun akan menjadi bersih.
3. Tajalli
Tahap yang terakhir adalah Tajalli yang
berarti tersingkapnya nur ghaib. Di tahap ini, seorang sufi benar-benar
menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT di dalam hatinya. Tujuannya agar
perilaku-perilaku baik yang telah dilakoni pada tahap Tahalli tidak luntur
begitu saja, dan bisa terus berkelanjutan.
Ritual Tajalli biasanya dilakukan dengan
cara bermunajat kepada Allah SWT, yaitu memuja dan memuji keagungan Allah SWT.
Kemudian bermusahabah (merenungi dosa-dosa yang telah diperbuat), muraqabah
(merasa jiwa selalu diawasi oleh Allah SWT), Tafakkur (merenungi kekuasaan
Allah dalam menciptakan alam semesta), serta memperbanyak amalan dizikir. [8]
D. Tokoh-Tokoh
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Akhlaki pertama kali berkembang di
pertengahan abad kedua hingga abad keempat hijriyah. Adapun tokoh-tokoh sufi
yang tergabung dalam tasawuf ini , meliputi Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa,
al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, dan al-Harowi.
Selanjutnya di abad kelima hijriyah, imam Al Ghozali, Al Harawi, dan Al
Qusyairi mulai mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan dasar-dasar tawasuf
yang sesuai dengan Al Quran dan as Sunnah.[9] Berikut ini beberapa tokoh yang paling
berpengaruh dalam pengembangan tasawuf akhlaki:
1. Hasan
Al-Basri (21 H- 110 H)
Hasan Al-Bashri memiliki nama lengkap Abu
Said Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid dari kalangan tabiin yang lahir
di Madinah pada tahun 21 Hijriyah. Beliau merupakan pelopor utama yang mulai
memperluaskan ilmu-ilmu kebatinan dan kesucian jiwa.
Menurut pandangannya, tasawuf merupakan
ajaran untuk menanamkan rasa takut (baik itu takut akan dosa-dosa, takut tidak
mampu memenuhi perintah dan larangan Allah, takut akan ajal atau kematian ) di
dalam diri setiap hamba dan senantiasa mengingat Allah SWT. Beliau berpendapat
bahwa dunia adalah ladang beramal, banyak duka cita di dunia dapat memperteguh
amal sholeh.
2. Al-Muhasibi
(165 H – 243 H)
Al-Muhasibi memiliki nama lengkap Abu
Abdillah Al-Harist bin Asad Al-Bashri Al- Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau lahir di
Bashroh, Irak pada tahun 165 Hijriyah. Menurut beliau, tasawuf berarti ilmu
yang mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan kewajiban
sebagai seorang hamba dan meneladani akhlak Rasulullah Saw.
Beliau juga berpendapat ada 3 hal yang
perlu ditekankan untuk membersihkan jiwa dan mencapai jalan keselamatan, yaitu
melalui Ma’rifat (Mengenal Allah SWT dengan mata hati), Khauf (rasa takut), dan
Raja’ ( pengharapan).
3. Al-Qusyairi
(376 H- 465 H)
Al-Qusyairi memiliki nama lengkap ‘Abdul
Karim bin Hawazim. Beliau lahir di kawasan Nishafur pada tahun 465 Hijriyah,
dimana beliau ini merupakan seorang ulama yang ahi dalam berbagai disiplin ilmu
pada masanya.
Ajaran tasawuf Al-Qusyairi didasarkan pada
doktrin Ahlusunnah Wal Jama’ah dan berlandasakan ketauhidan. Beliau mengadakan
pembaharuan di ajaran tasawuf, dengan menentang keras doktrin-doktrin aliran
Karamiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mujassamah. Ia juga menjelaskan pembeda
antara dzahir dan bathil, serta syariat dan hakikat. Menurutnya, tidak haram
jika seseorang menikmati kesenangan dunia, asalkan tetap berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan Assunnah.
4. Al-Ghazali
(450 H – 505 H)
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Muhammad
ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi. Beliau lahir di kota Khurasan,
Iran pada tahun 450 Hijriyah. Di masa hidupnya, Al Ghazali merupakan seorang
ahli ilmu yang dikagumi oleh banyak ulama besar. Beliau juga dikenal sebagai
seorang Sufi, Filosof, Fuqoha (ahli fiqh), dan Mutakallim. Beliau juga memiliki
banyak gelar, salah satunya Hujjah al-islam yang diperolehnya dari kerajaan
Bani Saljuk.
Seperti halnya Al-Qusyairi, Al-Ghazali
juga berupaya mengembalikan ajaran tasawuf yang sesuai syariat agama dan bersih
dari aliran-aliran asing yang menyesatkan islam, dengan berpedoman pada Al
Quran dan As sunnah (Ajaran Rasulullah Saw). Tasawuf Al-Ghazali lebih kepada
penekanan pendidikan moral, dimana seseorang dianjurkan memperdalam ilmu aqidah
dan syariat terlebih dahulu sebelum mempelajari ketasawufan. [10]
E. Pengertian
Tasawuf Irfani
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang
berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan
secara langsung (mauhibah). [11]
Tokoh-tokoh tasawuf Irfani diantaranya
Rabiah Al Adawiyah, Zun Nun Al Misry, Husein bin Mansyur, As Sulami, Al Hallaj,
Al Junaid, dan Abu Yazid Al Bustami.
Metode yang dipakai oleh tokoh tasawuf
irfani adalah sebagai berikut :
1. Riyadhah (latihan
jiwa)
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui
upaya pembiasaan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwa. Suatu
pembiasaan biasanya dilakukan terus menerus secara rutin sehingga seseorang
benar-benar terlatih khusus dalam menahan diri agar jauh dari perbuatan maksiat
atau dosa. Dalam pelaksanaannya riyadhah diperlukan mujahadah yaitu kesungguhan
dalam meninggalkan hal buruk.
2. Tafakur (refleksi
diri)
Tafakur adalah memikirkan sesuatu secara
mendalam, sistematis, dan terperinci sehingga hasil pemikiran tersebut dapat
terefleksi pada perilaku sehari-hari.
3. Tazkiyat (penyucian
diri)
Tazkiyat adalah mengeluarkan jiwa dari
ikatan-ikatan hawa nafsu, riya’, dan nifak, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh
cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah.
4. Dzikrullah (dzikir
kepada Allah)
Dzikrullah adalah mengingatkan diri kepada
Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya.
F. Tokoh-Tokoh
Tasawuf Irfani Dan Pemikirannya
1. Rabiah Al Adawiyah
Nama
lengkap Rabiah adalah rabiah bin Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah.
Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M disuatu perkampungan dekat kota
Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185/801 M.
Kedua orang tuanya meninggal ketika ia
masih kecil. Konon pada saat perang di basyrah, ia dilarikan penjahat dan
dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Pada kelurga inilah, ia
bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran melihat cahaya yang
memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia
sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup
menyendiri menjalani kehidupannya sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani
sisa hidupnya hidupnya hanya beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi.
Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan
orang kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat
materi
Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi.
Rabiah, menurutnya, sebelum bertobat, pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, rabiah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali
menjadi penyanyi dan penari sehingga bgitu terbenam dalam kehidupan duniawi.
Alasan badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat rabiah itu
sendiri. Menurut badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah kepada Allah
SWT begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di dalam
menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya. [12]
Rabiah dinilai tokoh tasawuf pertama yang
menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah atau pelopor agama cinta
(mahabbah). Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi
baru di kalangan sufi kala itu. Karena itulah ia disebut “The Mother of The
Grand Master/ Ibu para sufi besar.”
Pada suatu waktu Rabiah ditanya
pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rabiah menjawab : “Cinta berbicara
dengan kerinduan dan perasaan. Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju
keabadian (abad)
Ada beberapa batasan cinta yang sering
dinyatakan Rabiah, yaitu:
a. Sebagai
ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup seling Sang
Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka:
b. dia
harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
c. dia
harus memisahkan dirinya
d. dia
harus meninggalkan semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang
adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan
dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci.
Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak
ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharap balasan dari
Allah, baik baik ganjaran (pahala maupun pembebasan hukuman, dan melalui
jalan cinta inilah jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan yang
dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.
2. Zun
Nun al-Mishri
Zun Nun al-Mishri memiliki nama lengkap
Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di salah satu kawasan di Mesir
bernama Ekhmim pada tahun 180 H (798). Dan wafat pada tahun 246 H(856M).
Julukan Dzu al-Nun diberikan kepadanya berhubungan dengan berbagai
kelebihan yang diberikan Allah kepadanya.
Posisi Al-Mushri dalam tasawuf dilihat
penting karena dia lah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal
dan maqamat para wali. Dia juga dipandang sebagai bapak faham ma’rifah.[13]
Pemikiran yang dikemukakan oleh nya antara
lain ialah;
a.
Maqamat
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan,
tempat berpijak dua telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah Maqamat. Dalam
ilmu tasawuf, istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan
Allah, menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan,dan perjuangan menuju
Allah “Azza wa jalla”.
Dalam bahasa al-Thusi pendapat al-Mishri
tentang maqamat dikemukakan dalam beberapa hal yaitu: al-tawbah, al-sabr,al
tawakal, dan al-ridla.
Menurut Al-Mishri al-tawbah dibedakan atas
tiga tingkatan,yaitu:
1) Orang yang bertaubat dari
dosa dan keburukannya.
2) Orang yang bertaubat dari
kelalaian mengingat Allah.
3) Orang yang bertaubat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Al-Mishri tentang al-sabr
dikemukaan dalam bentuk kepingan dialong dari sebuah riwayat. Berikut contoh
ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan kaki nya dibelenggu sambil
dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh banyak orang. Ia berkata “
ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan Karunia-Nya, semua perbuatan Tuhan nikmat
dan baik.”
Tawakal menurut Al-Mishri adalah berhenti
memikirkan diri sendiri dan tidak merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki
kekuatan. Sedangkan al-ridla menurut Al-Mishri adalah kegembiraan hati
karena berlakunya ketentuan Tuhan.
b. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang
dari segi bahasa berarti sifat dan keadaan sesuatu. “Hal” merupakan pemberian
yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.[14]
Dalam bagian ini al-Mishri membahas
tentang cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan oleh al-Mishri, dijadikan
sebagai pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf, karena ia
melihat sebagai dari tanda-tanda orang yang mencintai Allah dengan mengikuti kekasih
Allah, yakni Nabi dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.
Artinya orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul ,
tidak mengabaikan syariat.[15]
c.
Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti
pengetahuan atau mengetahui sesuatu yang seyakin-yakinnya. Sedangkan secara
terminologi ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di dalam kitabnya al-Qalam ‘alam
al-Basmalah membagi ma’rifah atau pengetahuan menjadi tiga klasifikasi.
Pertama, ma’rifah tauhid yang dialami oleh orang-orang awam. Kedua, ma’rifah
alasan dan uraian mengenai Tuhan yang dialami oleh ilmuan, filsuf,dan
sastrawan. Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan
yang dialami oleh para wali dan para kekasih Allah.[16]
Menurut Al-Mishri bahwa ma’rifat hanya
terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka.
Pengetahuan sejenis ini khusus diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ini
menjelaskan bahwa ma’rifah hanya diperoleh dari pemberian Tuhan,bukan hasil
pemikiran.[17]
3. Al-Junaid
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim
al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, lahir di Wihawand,Irak. Menetap
di Bagdad dan meninggal di sini pada tahun 297H (910M). Dia adalah seorang
faqih dan juga seorang sufi yang cukup terkenal dengan keluasan wawasannya.
Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya
yang didasarkan kefanaan. Dimana pemahaman akan hakikat Allah tidak akan
dicapai dengan akal fikiran tetapi melalui kefanaan yang mana kefanaan ini
sendiri adalah pemberian dari Tuhan. Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri
dan segala sesuatu kecuali Allah yang kemudian hidup dalam Dia (Allah) yang ia
sebut dengan baqa’.
Perlu diperhatikan disini bahwa Al-Junaid
mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut oleh para sufi adalah pemisahan
antara yang qadim dengan yang hulus”. Dengan pemikiran seperti itu, Al-junaid
dipandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf kepada Al-qur’an dan
Al-Sunnah.
Tentang apa yang dimaksud fana oleh kaum
sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat manusia, akhlak yang tercela,dan
kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya sifat-sifat ketuhanan,
akhlak yang mulia dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti
al-fana’ ‘am al-nafs yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh
kasar seorang sufi, dimana wujud jasmani sudah dirasakan tidak ada lagi pada
kondisi ini yang tinggal hanyalah wujud rohani dan ketika itu ia bersatu
dengan Tuhan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa
pembicaraa tentang fana berhubungan dengan baqa’ seekaligus ittihad (persatuan
manusia dengan Tuhan).[18]
4. Abu
Abdul Rahman Al-Sulami
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn
Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami.
Lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya’ban 412 H / 1012 M. Dia pakar
hadits, guru para sufi dan pakar sejarah. Dia seorang Syeikh thariqah yang
telah dianugerahi penguasaan berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia
mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu
tasawuf dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa
al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. Kemudian
pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu ‘Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami
(w.360 H/971M). [19]
Pemikiran yang dikemukakannya antara lain
mengenai Manusia akan menjadi hamba sejati kalau hamba tersebut sudah bebas /
merdeka dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak
Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa
menentang sedikitpun (qana’ah).[20]
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat
bahwa perbandingan dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena
kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses
pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir
lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.[21]
5. Abu
Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur
bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947
M. Nama kecilnya adalah Thaifur . kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut
agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi penganut Islam di Bustam. Keluarga
Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi Ia telah memilih
hidup yang sederhana. sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah memiliki
keajaiban. kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak samai muntah
kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan keharamannya.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi Sufi
memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang
sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah
seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada
Abu Yazid Ilmu Tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya ajaran sufi Abu
Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan zuhud, selama
13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit
tidur, makan dan minum.
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah
fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti
musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai
keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ setelah
meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. seperti tampak
dalam ceritanya,
“Setelah Allah menaksikan kesucian hatiku
yang terdalam, maka aku mendengar puas dari-Nya. maka, diriku dicap dengan
keridhaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. ‘Engkaulah
yang aku inginkan,’jawabku, Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih
besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam
diri-Mu . . .” [22]
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid
dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar
aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan
kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya,
“Aku tahu pada Tuhan melalui dirikuhingga
aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya ,
dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah akhlak tasawuf,
baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT . Paham baqa’
tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Kedunya merupakan paham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ , ketika itu juga ia mengalami
baqa’.
6. Abu
Manshur Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu
Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida,
sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa
di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi
terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-tusturi di Ahwaz. Dua tahun
kemudian , ia pergi ke Bashroh dan berguru pada ‘Amr Al-Maliki yang juga
seorang sufi, dan pada tahun 878 M, Ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada
al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ia
diberi gelar al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
[23]
Dalam sebuah perjalanan dan
pengembaraannya ke berbagai kawasan islam, al-Hallaj banyak memperoleh
pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada Tahun 296 H/ 909 M. Di Baghdad
pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap
kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. secara kebetulan ia bersahabat
dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem
usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya
pelakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang Bersih”
dari Nashr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena Khalifah boleh
dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja.
Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur.
Pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan
pengaruh sufi terhadap pengaruh politik . oleh karena itu, ucapan al-Hallaj
“ana al-Haqq”, yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap
sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan
memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat
pertolongan sopir penjara, akan tetapi setelah 4 tahun ia ditangkap lagi di
kota Sus.
Setelah dipenjara selama 8 tahun,
Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa
mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Akan tetapi, sebelum dipancung,
ia meminta waktu untuk shalat dua raka’at. Setelah itu, kaki dan tangannya dipotong,
badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai,
sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat
pada tahun 922 M.
Kematian tragis al-Hallaj yang tampak
seperti dongeng tidak membuat gentar pada pengikutnya. Ajarannya masih tetap
berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang
menamakan dirinya Hallajiyah. Disisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap
pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah.[24]
Di antara ajaran Al-Hallaj yang paling
terkenal adalah al-hulul dan wahdat as-syudut yang kemudian melahirkan paham
wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu ‘Arabi .
Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul,
berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat . adapun menurut
istilah ilmu tasawuf al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat:
وَاِذْ
قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوْآ الّآ اِبْلِيْسَ, اَبَى
وَاسْتَكْبَرَ, وَكَانَ منَ الْكفرين.
“dan (ingatlah) ketika kami berfirman
kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam!’ maka merekapun sujud, kecuali
iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.” (Q.S
Al-Baqarah : 34)
Pada ayat di atas, Allah memberi perintah
kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud
hanya Allah SWT. Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur
ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan
melihat Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang
menjadi sebab dari yang banyak in. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam
bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini
adalah Adam. Pada diri Adamlah Allah SWT muncul.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung
kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap
kehendaknya adlah kehendak Tuhan. Demikian juga tindakannya. Pada pihak lain,
al-Hallaj mengatakan,
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan
berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan
ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Nya
dari Dzat dan Sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan
merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya,”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang
terjadi pada al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas
adanya perbedaan antara Hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi
hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, yaitu menurut
ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara
keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi
anggur meskipun keduanya telah bercampur. [25]
G. Pengertian
Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi berbeda dengan tasawuf
akhlaki dan irfani, perbedaannya kalau tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu
yang memerlukan publik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai
pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.
Sedangkan Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara
visi mistis dan visi rasional. Maksudnya dalam ajarannya itu menggunakan metode
yang serba mistis atau tersembunyi, bersifat rahasia-rahasia sehingga hanya
orang-orang tertentu saja yang dapat mengenal, mengetahui dan memahami terutama
kepada penganutnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari
macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun
keasliannya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf
filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf
(yang murni), karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat. [26]
H. Tokoh
dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali
bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia
Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dan meninggal pada tahun 638 H gdi Damaskus. Di
Sevilla (Spanyol) ia memepelajari Al-Qur’an, Hadist sertaa fiqih pada sejumlah
murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri. [27]
Ajaran pertama dari Ibn ‘Arabi adalah
wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat
al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tapi berasal dari Ibn Taimiyah yang
merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut.
Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud
mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud
alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan. [28]
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada
satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat
dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.
Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud
yang baru (makhluk). Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Maha Suci Tuhan yang
telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu
itu”. [29]
Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud
Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn
Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain
Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang
ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa
makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud
Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya
Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud
hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada
wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau
bayangan yang wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh
karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan). [30]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok
dari Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud yang mengatakan bahwa wujud Tuhan itu
hakikatnya sama dengan segala sesutu yang Dia ciptakan, karena dinilai sebagai
perwujudan Tuhan.
2. Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin
Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan –giwan, sebuah provinsi
disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417M. Nama Al- Jilli diambli
dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari
Baghdad. [31]
Adapun ajaran-ajaran yang telah tasawuf
falsafi menurut Al-Jilli, antara lain :
a. Insan
Kamil
Ajaran yang terpenting menurut Al-Jilli
adalah insan kamil yang berarti manusia sempurna. Al-Jilli memperkuatnya dengan
hadist : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman. Sebagaiman
diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar
dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami
bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil
dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama
ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu
pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian inheren
dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat
berwujud, tetapi pada insan kamil. [32]
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan
kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui
cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat
dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht
dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil.[33]
Dan dijelaskan dalam QS.Al-Ahzab: 33) yang
artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya
manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh
hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya.
Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional
(bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdapat
dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. [34]
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh
Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya
terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang
ajarannya lebih mengedepankan akal.
b. Maqamat
(Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan
membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus
dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:[35]
Pertama Islam, yamg didasarkan pada lima
pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok
itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
Kedua Iman, yakni membenarkan dalam hati
denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk
mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai
maqam yang lebih tinggi.
Ketiga ash-shalah, yakni dengan maqam ini
seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga
hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan
syari’at-syari’atnya dengan baik.
Keempat Ihsan, yakni dengan maqam ini
menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan
sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada
dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap
istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
Kelima Syahadah, yakni seorang sufi dalam
maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa
pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang
bersifat pribadi.
Keenam shiddiqiyah, yakni seorang sufi
dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga
dapat mengetahui hakikat dirinya.
Ketujuh qurbah, yakni maqam ini meupakan
maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama
yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa betapapun
manusia sesempurna apapun dengan nama dan sifat Allah, akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.
3. Ibn
Sabi’in
Nama lengkap Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul
Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufidan juga filsuf dari
Andalusia. Ia di panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula
dengan panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan
tahun 614 H (1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat.
Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari
madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa
guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611
H). [36]
Ajaran-ajarannya antara lain ialah;
a. Kesatuan
Mutlak
Ibn Sabi’in pengasas sebuah paham dalam
kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan
esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud
yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal
dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau
menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan
kesatuan itu sendiri. [37]
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan
ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah asal
segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan.
Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an yang
diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat
Al-Hadid:3 yang artinya “Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang
batin..”, dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya:”Apa yang pertama-tama
diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun
menerimanya.
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan
mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan
mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat
Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut Ibn Sabi’in adalah individu
yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf
ataupun sufi. [38]
b. Penolakan
terhadap Logika Aristotelian
Paham kesatuan mutlak telah membuatnya
menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun
suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang
berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu
dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang
bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat
manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah
didengarnya.
Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan
logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat
alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka.
Baca juga artikel yang lain:
- Pengertian Bid'ah
- Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
- Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
- Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
- Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
- Studi Al-Qur'an
- Studi Fikih (Hukum Islam)
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
- Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
- Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
- Tipologi Tasawuf
- Akhlak Tasawuf
- Pendidikan Akhlak
- Thareqat di Indonesia
- Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
- Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
- Nafsu dan Penyakit Hati
- Pengertian Tasawuf
- Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang
para penganutnya atau mendasari tasawuf mereka dengan menggunakan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, serta mengaitkan keadaan (Ahwal) dan tingkat rohaniah mereka pada
sumber kedua.
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang
menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub
kepada tuhannya, dengan cara mengadakanRiyyadah pembersihan diri dari moral
yang tidak baik, karena Tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali
yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati)
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang
berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan
secara langsung (mauhibah).
Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Maksudnya
dalam ajarannya itu menggunakan metode yang serba mistis atau tersembunyi,
bersifat rahasia-rahasia sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
mengenal, mengetahui dan memahami terutama kepada penganutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, Alwi. 2009. Antara tasawuf
Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia.Depok : Pustaka Iman.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf.
Bandung : Pustaka Setia.
Toriqudin, Moh. 2008. Sekularitas Tasawuf.
Malang : UIN Malang Press.
Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Basyuni, Ibrahim. 1993. Nasyi’ah
Al-Tashawuf Al Islam. Mesir : Dar Al Marif.
Hilal, Ibrahim. 2002. Al Tasawuf al
islami. Kairo : Dar al Nadhdla al Arabiyah.
Nasution, Harun. 1998. Tasawuf Dalam
Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Hamka. 1998. Tasawuf Perkembangan dan
Pemurnian. Jakarta : Panji Mas.
Sholihin, M. 2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas
Zaman. Bandung : Pustaka Setia.
Raizha, Gafna. 2003. Warisan Para Sufi.
Yogyakarta : Pustaka Sufi.
Jamil. 2013. Akhlak
Tasawuf.Medan:Referensi.
Ruslin, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat.
Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2013.
Kafi, Jamaludin. 2003. Tasawuf
Kontemporer. Prenduan : al-Amin.
Saviri, Sara. 2000. Demikianlah Kaum Sufi
Berbicara. Bandung : Pustaka Budaya.
Asmaran. 2003. Pengantar tasawuf. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
[1] DR. Alwi Shihab, PH.D, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, (Depok : Pustaka Iman. 2009) hal 51
[2] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010) 297
[3] Moh. Toriqudin, Sekularitas Tasawuf, (Malang : UIN
Malang Press, 2008) 182
[4] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, Cetakan ke Lima, 2010) hal 63
[5] Rosihin Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal 22
[6] Ibrahim Basyuni, Nasyi’ah Al-Tashawuf Al Islam (Mesir :
Dar Al Marif, 1993) hal 10
[7] Ibrahim Hilal Al Tasawuf al islami (Kairo : Dar al
Nadhdla al Arabiyah, 2002) hal 45
[8] Harun Nasution, Tasawuf Dalam Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1988) hal 92
[9] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian (Jakarta ; Panji Mas, 1998 ) hal 111
[10] M. Sholihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman (Bandung :
Pustaka Setia, 2003) hal 74
[11] Gafna Raizha , Warisan Para
Sufi,(Yogyakarta : Pustaka Sufi,2003), hlm.73
[12] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf , (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 253-254
[13] Jamil, Akhlak Tasawuf,
(Medan:Referensi,2013) hlm.121-122.
[14]
Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat , (Jakarta:PTRajaGrafindo Persada,2013) hlm.54-59.
[15] Ris’an Ruslin,Tasawuf dan
Tarekat, hlm. 61
[16]
Ris’an Ruslin,Tasawuf dan Tarekat, hlm. 63
[17] Jamil, Akhlak Tasawuf,
(Medan:Referensi,2013) hlm.123
[18]
Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan:Referensi,2013), hlm.124-125.
[19] Jamaludin Kafi, Tasawuf
Kontemporer, (Prenduan : al-Amin, 2003), hlm. 10-11
[20]
Sara Saviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, (Bandung : Pustaka Budaya,2000),hlm.23
[21] Asmaran, Pengantar tasawuf,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003),hlm. 258
[22] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 265
[23] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf,
hlm. 267
[24] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf,
hlm. 271
[25] Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf,
hlm. 274
[26] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Sufi dari Zaman ke Zaman oleh Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi, hlm.187
[27]
Dikutip
oleh Rosihon Anwar dari karangan At-Taftazani, hlm.201
[28] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Bathlm Al-Ishlah Ad-Diniy, Muhammad Mahdi Al-Instanbuli, hlm.59
[29] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Arabi,hlm.604
[30]
Dikutip oleh Moh. Toriquddin dari buku
Cakrawala Tasawuf, M. Jamil, hlm.150
[31] Moh. Toriqquddin, Sekularitas Tasawuf,cet.I (Malang:UIN Malang Press, 2008), hlm.177
[32]
Ibid, hlm.177
[33] Ibid, hlm.177
[34] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,cet.X (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm.289
[35]
Dikutip oleh Rosihon Anwar dari
Al-Jilli, juz.II, hlm.130
[36]
Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab
Ihya ‘Ulum Ad-Din, Abu Hamid Al-Ghazali, hlm.201-202
[37]
Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab
‘Awarif Al-Ma’rifat, Asy-Syuhrawardi, hlm.266
[38] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,cet.X (Bandung:Pustaka Setia, 2010), hlm.300