Ditulis oleh : Ahmad Sarwat, Lc
Televisi sebenarnya adalah bagian dari kemajuan teknologi yang memiliki
kemampuan lebih. Karena televisi bisa menyiarkan sebuah program ke banyak orang
dalam waktu yang sangat cepat dan merata. Media televisi terdiri dari suara dan
gambar yang bergerak. Sehingga memenuhi dua indera sekaligu yaitu penglihatan
dan pendengaran.
Dibandingkan dengan media cetak seperti koran dan majalah, televisi
memiliki kelebihan. Karena bersuara dan juga bergambar dengan gerakan. Bahkan
dibandingkan radio, televisi memiliki kelebihan dari segi gambar. Menurut para
ahli jurnalistik, satu buah gambar akan lebih bercerita daripada seribu
kata-kata. Apalagi gambar itu hidup dan bergerak serta bersuara.
Selain itu televisi adalah media yang murah karena begitu seseorang
memiliki televisi, praktis tidak ada pengeluaran rutin lagi. Kecuali bila
berlangganan TV kabel atau parabola berlangganan. Bila dibandingkan dengan
koran atau majalah yang harus dibeli dahulu baru bisa dinikmati, maka televisi
tergolong media yang murah bahkan tanpa biaya.
Sedemikian efektifnya televisi dalam menyampaikan pesan sehingga seorang
Hitler sekalipun merasa perlu untuk memanfaatkan televisi dalam rangka
menyebarkan pahamnya. Konon, siaran televisi secara resmi pertama kali
mengudara adalah siara langsung pidato Hitler di depan massanya.
Namun dibalik manfaatnya, membangun sebuah stasiun televisi lengkap
dengan programnya bukan harga yang murah. Diperlukan investasi ratusan milyar
untuk bisa mengudara secara nasional. Selain membutuhkan perizinan khusus,
tekonologi yang mahal, juga diperlukan banyak sekali sumber daya manusia mulai
dari programer, kameraman, penyiar hingga para wartawan televisi pencari
berita. Ini belum termasuk para seniman dan pekerja di rumah-rumah produksi
yang memproduksi paket-paket tayangan khusus televisi. Sehingga perusahaan yang
berinvestasi di bidang pertelevisian haruslah perusahaan yang kuat terutama
dari segi pendanaan. Dan bila sudah sampai titik itu, maka yang ada dalam
pemikiran para pengusaha tidak lain adalah bagaimana memilirkan uangnya
kembali, kalau bisa menguntungkan.
Namun masalah ini tentu saja tidak mudah. Karena pemasukan sebuah
statsiun televisi hanya mengandalkan dana dari iklan. Sehingga bisa dikatakan
bahwa perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi adalah ‘pemilik’
televisi tersebut. Mereka-lah yang menentukan apakah sebuah tayangan itu punya
nilai jual atau tidak. Bila punya nilai jual maka mereka baru mau beriklan di
spot itu dan bila tidak, maka jangan harap tayangan itu akan muncul di layar
kaca.
Sayangnya sampai hari ini insan pertelevisian dan juga para pengiklan
masih belum memiliki tolok ukur yang baku dan akurat tentang nilai jual
tersebut. Sehingga mereka hanya berpegang pada SRI (Survey Rating Indonesia).
Data dari SRI inilah yang sekarang ini dijadikan patokan oleh mereka dalam
menentukan nilai sebuah tayangan. Ukurannya terlalu sederhana, yaitu jumlah
penonton yang menonton sebuah tayangan. Tanpa bisa membedakan detail para
penonton itu baik dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan
lainnya. Padahal dalam dunia periklanan, menentukan sasaran calon konsumen
sangat penting dan menentukan.
Sehingga berangkat dari sekedar sebuah asumsi sederhana itu, jadilah
nilai rating suatu tayangan menentukan harga jual slot iklannya. Para pengusaha
televisi saat ini hanya berpikir bagaimana iklan masuk sebanyak-banyaknya untuk
membiayai tayangan yang kalau bisa diproduksi dengan biaya semurah-murahnya.
Selisih dari kedua harga itu adalah keuntungannya.
Jadi sekarang tititk masalahnya ada pada bagaimana membuat tayangan
dengan biaya semurah mungkin tapi memiliki rating setinggi mungkin. Akibat
mudah diduga, kualitas tayangan itu sudah tidak menjadi tujuan utama lagi. Dan
dalam pola kehidupan yang permisif, logika ini menggiring mereka untuk
memproduksi apa saja walau pun harus bertabrakan dengan kualitas tayangan itu
sendiri baik dari sisi moral, etika, seni, estetika bahkan kalau perlu agama.
Maka bertaburanlah tayangan-tayangan yang tidak mendidik seperti
telenovela impor atau sinetron lokal yang ceritanya berputar-putar njelimet dan
dipenuhi dengan tokoh jahat, cerita perselingkuhan, suami atau istri main
serong hingga persekongkolan jahat.
Sayangnya, semua itu pun tidak ditunjang dengan seni peran yang baik, sehingga
sangat terasa dangkal, ditambah dengan pengambilan gambar yang terkesan asal
jadi dan asal kejar tayang, akting yang tidak jelas dan sekian banyak keluhan
lainnya dari para seniman film sejati.
Kekonyolan tayangan televisi pun diperkuat dengan membeludaknya
kuis-kuis yang hampir seragam, eksploitasi seksual yang semakin beragam dan
merata hampir di semua televisi.
Bahkan yang sekarang semakin menjamur di hampir semua televisi nasional
adalah tayangan dari dunia hitam dan kriminalitas, dunia paranormal hingga
berbagai macam bentuk pengobatan alternatif.
Belum lagi ekploitasi tubuh wanita dan acara yang berbau pornografi yang
juga mejadi menu hampir di semua televisi.
Sayangnya langkah seperti ini kelihatan seragam di semua stasiun
televisi nasional bahkan di manca negara. Lalau masalah hak pemirsa untuk
mendapatkan program tayangan yang berkualitas menjadi terabaikan. Pemirsa
televisi dianggap pasien yang pasrah menerima apa saja dan tidak akan pernah
protes.
Memang pada jam tertentu, ada juga tayangan yang berbau agama, seperti
pada dini hari dimana masih ada slot waktu buat para tokoh agama untuk tampil
sekitar setengah jam. Sayangnya, slot waktu itu bukanlah waktu yang banyak
ditonton orang, karena terlalu pagi dan masih banyak yang asyik lelap di tempat
tidur. Kalau pun ada yang nonton, maka hanya orang-orang ‘shaleh’ saja yang
masih sempat bangun pagi. Sedangkan slot waktu lainnya apalagi prime time jelas
tidak menyisakan satu kesempatan pun untuk tayangan agamis.
Memang benar di bulan Ramadhan hampir semua stasiun televisi kompak
menampilkan syiar Islam, tapi bukan berarti tanpa kritik. Karena tokoh-tokoh
yang tampil tidak lain itu-itu juga. Para artis yang setiap hari tampil membuka
aurat tiba-tiba berkerudung dan pakai baju muslim. Habis lewat Ramadhannya,
buka-bukaannya balik lagi. Wah …
Hukum Menonton Acara Televisi
Para ulama masa kini berbeda pendapat atas hukum menonton televisi ini.
Penyebabnya adalah penilaian mereka terhadapt nilai-nilai negatif yang ada
dalam tayangan itu sesuai dengan kondisi negara masing-masing.
Mereka yang agak ketat menjaga dampak negatif itu umumnya melarang
menonton acara televisi, paling tidak ini berlaku di beberapa pesantren yang
memang tidak membolehkan para santri menonton televisi. Meski bukan merupakan
bentuk pelarangan secara mutlak, namun umumnya pesantren itu melarang santrinya
menonton televisi kecuali pada acara tertentu.
Sebagian ulama lainnya membolehkan dengan syarat bahwa tayangan itu
memang bisa dipilih yang benar-benar bermanfaat dan bermutu.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- PENJARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
- CATUR MENURUT PANDANGAN ISLAM
- SENI RUPA MENURUT PANDANGAN ISLAM
- SENI MUSIK MENURUT PANDANGAN ISLAM
- SALON MUSLIMAH MENURUT PANDANGAN ISLAM
- TELIVISI MENURUT PANDANGAN ISLAM
- PANDANGAN ISLAM TERHADAP BUNGA
- KEKUASAAN NEGARA DALAM ISLAM (PENDEKATAN DAKWAH)
- KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar